Meternitas

 a.   Maternitas

Keilmuan keperawatan maternitas melihat aspek wanita dari sisi fisiologis pada kondisi pubertas sampai dengan menopause dan dari sisi patologis pada wanita dengan gangguan reproduksi. Meningkatnya populasi wanita dan berbagai permasalahan yang muncul untuk itu perlu dikembangkan penelitian yang dapat menjawab berbagai permasalahan masyarakat terkait keilmuan maternitas. Rencana pengembangan penelitian pada bidang keilmuan maternitas diarahkan pada permasalahan di antenatal care, intranatal care, postnatal care, dan gangguan reproduksi wanita.

Analisi Kuantitatif Dokumen Rekam medis

Penilaian mutu berkas rekam medik salah satunya dapat dilakukan melalui analisis kuantitatif. Ketidak lengkapan pengisian berkas rekam medik sering terjadi pada pengisian nama dan nomor rekam medik. Dengan tidak adanya nama dan nomor rekam medik akan menyulitkan petugas rekam medik dalam menggabungkan berkas rekam medik dengan berkas rekam medis yang lain jika tercecer atau terlepas dari mapnya.
Mutu dalam pengisian berkas rekam medis memang menjadi tanggung jawab para tenaga kesehatan. Hal ini dijelaskan dalam UU Praktik Kedokteran No. 29 tahun 2004 pasal 46 ayat (1) :’Setiap dokter atau dokter gigi dalam menjalankan praktek wajib membuat rekam medis.”. Selanjutnya dalam ayat (2) disebutkan bahwa “Rekam medis sebagaimana dimaksud ayat (1) harus segera dilengkapi setelah pasien selesai menerima pelayanan kesehatan. Dalam ayat (3) disebutkan bahwa,” Setiap catatan rekam medis harus dibubuhi nama, waktu dan tanda tangan petugas yang memberikan pelayanan atau tindakan”.
Analisis kuantitatif adalah telaah atau review bagian tertentu dari isi rekam medis dengan maksud menemukan kekurangan khusus dari isi rekam medis dengan maksud menemukan kekurangan khusus yang berkaitan dengan pendokumentasian (pencatatan) rekam medis.
Dalam melakukan analisis kuantitatif harus dilakukan oleh tenaga rekam medik yang “tahu” tentang :
1.      Jenis formulir yang digunakan
2.      Jenis formulir yang harus ada
3.      Orang yang berhak mengisi formulir
4.      Orang yang harus  melegalisasi penulisan.
Yang dimaksud dengan “tahu”  adalah dapat mengidentifikasi ( mengenal, menemukan) bagian yang tidak lengkap ataupun belum tepat pengisiannya.


Waktu pelaksanaan analisis Kuantitatif :
1.      Concurrent Analisys yaitu analisis dilakukan bersamaan dengan saat pelayanan pasien terkait sedang berjalan. Cara ini memudahkan koreksi dan akan mengurangi salah tafsir dikemudian hari. Keuntungan yang lain yaitu terjaganya kualitas kelengkapan data/informasi klinis dan pengesahannya (adanya nama lengkap, tanda tangan petugas/pasien/wali, waktu pemberian pelayanan dan lainya) dalam rekam medis.
2.      Retrospective Analisys yaitu analisis dilakukan pada saat perawatan selesai dilaksanakan yang memungkinkan telaah secara menyeluruh walaupun hal ini memperlambat proses melengkapi yang kurang.
Telaahan rekam medis secara kuantitatif dilaksanakan dengan mengevaluasi kelengkapan berbagai jenis formulir dan data/informasi (manual kertas maupun elektronis) seperti pada:
  1. Semua laporan yang dianggap penting, bentuk entry data atau tampilan layar (pada RKE)
  2. Semua laporan dan bentuk entry data atau tampilan layar, termasuk keakuratan informasi identitas pasien (nama, nomor pasien, jenis kelamin, dokter yang merawat dan lainnya)
  3. Semua jenis perijinan yang diperlukan pasien, ragam otoritas atau pengesahan yang telah ditandatangani pasien atau wali pasien yang berwenang
  4. Semua jenis tes diagnostik yang diinstruksikan oleh dokter dan laporan konsultasi
  5. Pelaksanaan semua konsultasi medis yang diinstruksikan oleh dokter dan laporan konsultasi
  6. Semua masukan dan laporan harus diberi tanggal sesuai dengan kebijakan sarana pelayanan kesehatan
  7. Riwayat dan laporan pemeriksaan fisik terisi dengan lengkap, termasuk pendokumentasian diagnosis saat mendaftar
  8. Ringkasan riwayat pulang (resume)tercatat lengkap
  9. Dokumentasi dokter termasuk semua diagnosis utama dan sekunder serta prosedur utama dan tambahan
  10. Untuk pasien bedah, selain kelengkapan data di atas juga ditelaah kelengkapan:a.       Semua anestesi saat pra dan sertapasca operasib.      Semua laporan operasi, laporan patologi dan catatan perkembangan pasca operasic.       Semua laporan ruang pemulihan (recovery room)
  11. Untuk pasien yang meninggal saat dirawat dan diautopsi harus memiliki laporan awal dan akhir autopsi

Berikut ini adalah komponen dari analisis kuantitatif :
1.      Review identifikasi pasien
Pemilihan terhadap tiap-tiap halaman atau lembar dokumen rekam medis dalam hal identifikasi pasien, minimal harus memuat nomor rekam medis dan nama pasien. Bila terdapat lembaran tanpa identitas maka harus dilakukan review untuk menentukan kepemilikan formulir rekam medis tersebut. Dalam hal ini secara concurrent analysis akan lebih baik dari pada retrospectif analysis.
2.      Review pelaporan yang penting
Dalam analisis kuantitatif, bukti rekaman yang dapat dipertanggungjawabkan secara lengkap yaitu adanya data/info kunjungan yang memuat alasan, keluhan pasien(kalau ada), riwayat pemeriksaan, data tambahan (lab), USG, EKG, EMG, diagnosis atau kondisi, rujukan(kalau ada). Lembaran tertentu kadang ada tergantung kasus. Contoh laporan operasi, anestesi, hasil PA. Penting ada tanggal dan jam pencatatan, sebab ada kaitannya dengan peraturan pengisian.
3.      Review Otentikasi
Rekam kesehatan dikatakan memiliki keabsahan bilamana tenaga kesehatan yang memeriksa pasien atau surat persetujuan yang diberikan pasien/wali dalam rekam kesehatan diakhiri dengan membubuhkan tanda tangan.
Otentikasi dapat berupa tanda tangan, stempel milik pribadi, initial akses komputer, pasword dan sebagainya. Sehingga dapat memudahkan identifikasi dalam rekam medis.
Tidak boleh ditanda tangani oleh orang lain selain penulis, kecuali bila ditulis oleh Dokter jaga atau mahasiswa maka akan ada tanda tangan sipenulis ditambah countersign oleh supervisor dan ditulis “telah direview dan dilaksanakan atas instruksi dari.......................atau telah diperiksa oleh..........................
4.      Review pencatatan
Analisa kuantitatif tidak bisa memecahkan masalah tentang isi rekam medis yang tidak terbaca atau tidak lengkap, tetapi bisa mengingatkan atau menandai entry yang tidak tertanggal, dimana kesalahan tidak diperbaiki secara semestinya terdapat daerah lompatan yang seharusnya diberi garis untuk mencegah penambahan, kemudian pada catatan kemajuan dan perintah dokter, perbaikan kesalahan merupakan aspek yang sangat penting dalam pendokumentasian.
Singkatan tidak diperbolehkan. Bila ada salah pencatatan maka bagian yang salah digaris dan catatan tersebut masih terbaca, kemudian diberi keterangan disampingnya bahwa catatan tersebut salah/salah menulis rekam medis pasien lain.
Pelaksanaan Analisis Kuantitatif:
  1. Tentukan bagian lembaran rekam medis yang akan dianalisis
  2. Tentukan jadwal analisis (per hari, per minggu,per bulan)
  3. Tentukan rekam medis yang akan dianalisis (obsgin, bedah, anak atau semua rekam medis)
  4. Siapkan tenaga yang akan melakukan analisis
  5. Siapkan peraturan/SOP/petunjuk teknis/standar akreditasi/peraturan staf medis sebagai acuan analisis. 


Hasil Analisis Kuantitatif adalah:
  1. Identifikasi kekurangan pencatatan yang harus dilengkapi oleh pemberi pelayanan kesehatan dengan segera
  2. Kelengkapan rekam medis sesuai dengan peraturan yang sitetapkan jangka waktunya, perizinan, akreditasi dan keperluan sertifikasinya
  3. Mengetahui hal-hal yang berpotensi untuk membayar ganti rugi. 
Sumber :
Depkes RI. 2006. Pedoman Penyelenggaraan dan Prosedur Rekam Mrdis Rumah Sakit di Indonesia. Jakarta: DEPKES RI
Hatta, Gemala R. 2010. Manajemen Informasi Kesehatan di Sarana Pelayanan Kesehatan. Jakarta: UI Press
Huffman, EK. 1994. Health Information Mnagement Physicians Record. Company Berwyn Iilnois
Wijaya, Lili. 2003. Materi Pelatihan Manajemen Rekam Medis dan Informasi Kesehatan Analisis Rekam Medis. Yogyakarta: RS Bethesda.

Aspek Hukum Rekam Medis

ASPEK HUKUM REKAM MEDIS         

I. PENDAHULUAN

             Sejak permulaan sejarah umuat manusia sudah dikenal adanya hubungan kepercayaan  antara dua insan, yaitu sang pengobatdan sang penderita, yang pada jaman modern ini disebut dengan transaksi terapeutik antara dokter dan pasien.
            Pemeriksaan, pengobatan dan perawatan akan melahirkan hubungan antara pasien/ penderita atau keluarganya dengan dokter sebagai pribadi maupun sebagai orang dalam bentuk badan hukum (rumah sakit, yayasan, atau lembaga lain yang bergerak di bidang pelayanan kesehatan).Pemeriksaan, pengobatan dan perawatan (termasuk informed consent) inilah yang akan dicatat di dalam rekaman medis, yang dalam keputusan disebut “Medical Record.”
            Pembuatan catatan medis (yang sekarang disebut  Rekam Medis) di rumah sakit atau boleh dokter pada kartu pasien di tempat praktek sebenarnya sudah merupakan kebiasaan sejak jaman dahulu, namun belum menjadi kewajiban, sehingga pelaksanaannya dianggap tidak begitu serius (baca pula J. Guwandi, 1991 : 73). Seiring dengan perkembangan masyarakat yang sangat dinamis; termasuk masyarakat Indonesia, maka rekam medis menjadi sangat penting dan dibutuhkan. Oleh karena itu, khusus di Negara Kesatuan Republik Indonesia, pemerintah mellaui Departemen Kesehatan telah mengeluarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 749a/Menkes/ Per/XII/1989 tentang Rekam Medis/ Medical  Records. Dengan diterbitkannya Permenkes ini pengadaan rekam medis menjadi suatu keharusan atau telah menjadi hukum yang harus ditaati bagi setiap sarana pelayanan kesehatan.

II. PENGERTIAN


            Dalam bukunya yang berjudul “Legal Aspect of Medical Record” Hayt and Hayt mendefinisikan rekam medis sebagai berikut :
“A Medical record is the compilation of the partinent facta of the patient’s life history, his illness, and treatment. In a larger sense the medical record is compilation of scientifis data derived from many and available for various uses, personal and impersonal, to serve the patiens was treated, the science of medce, and society as awhole.” (Hayt and Hayt, 1964: 1).
            Dengan demikian menurut Hayt and Hayt, suatu rekam medis itu ialah himpunan fakta-fakta yang berhubungan dengan sejarah /riwayat kehidupan pasien, sakitnya, perawat/pengobatannya. Dalam pengertian yang luas (lebih luas) rekam medik ialah suatu himpunan data ilmiah dari banyak sumber, dikoordinasikan pada satu dokumen dan yang disediakan  untuk bermacam-macam kegunaan, personel dan impersoanl, untuk melayani pasien dirawat, diobati , ilmu kedokteran, dan masyarakat secara keseluruhan.
            Lebih lanjut Hayt and Hayt mengemukakan (Hayt and Hay, 1964:1):
            “Medical Record are an important tool in the practice of medicine. They serve as a bassic for planning patient care; they provide a means contributing to the patient’s care; they furnish documentary evidence of the course of the patient’s illness and treadment and they serve as a bassic for review, study, and evaluation of the medical care renderen to the patient.”
            Dengan pernyataan tersebut di atas jelaslah bahwa rekam medis merupakan sarana penting dalam praktek kedokteran.
            Sedangkan menurut Gemala R. Hatta dalam makalahnya yang berjudul “Peranan  Rekaman Medik/Kesehatan (medical record) dalam Hukum Kedokteran,” rekam medis dirumuskan sebagai kumpulan segala kegiatan yang dilakukan oleh para pelayan kesehatan yang ditulis, digambarkan, atas aktivitas terhadap pasien (Gemala R. Hatta, 1986:2).
            Selanjutnya, dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 749s/Menkes/Per XII/1989 tentang Rekam Medis/Medical Records, yang dimaksud rekam medis ialah  berkas yang berisikan catatan, dokumen tentang identitas pasien, pemeriksaan, pengobatan, tindakan dan pelayaran lain kepada pasien pada sarana pelayanan kesehatan (Pasal 1 huruf a)
            Apabila rekam medis merupakan kumpulan segala kegiatan yang dilakukan oleh para pelayan kesehatan yang tertulis, maka akan mencerminkan setiap langkah yang diambil dalam rangka hubungan pasien dengan dokter yang disebut hubungan transaksi terapeutik. Dalam transaksi ini pasien dilindungi oleh dokumen internasional yang terdiri dari “ the right to information” and “ the right to self determination.”
            Suatu rekam medis yang baik akan membantu perawatan secara profesional pasien, di samping memberikan refleksi mengenai kualitas/mutu/derajat perawatan/pelayanan kesehatan. Pembuatan rekaman tertulis itu merupakan  salah satu jalan yang reliabel yang menyakinkan bahwa setiap orang memperhatikan secara lengkap dan akurat mengenai informasi pelayanan kesehatan. Dalam praktek kedokteran modern akan menyangkut tindakan terhadap pasien sebagai satu keseluruhan, yang menuntut kseseluruhan, yang menuntut keseluruhan ketrampilan dan tehnologi yang dikuasai para dokter, perawat, teknsi. Manajemen yang sempurna atas perawatan pasien menuntut adanya rekaman yang akurat dan tepat oleh setiap anggota dan tim klinis.

III. FUNGSI DAN REKAM MEDIS 
            Dari penjelasan di muka maka secara singkat dapat dikatakan bahwa rekam medis merupakan catatan singkat tentang sejarah penyakit dan cara / teknik /terapi  upaya penyembuhan yang dilakukan oleh pelayan kesehatan (dokter dan paramedik) yang sudah disetujui oleh pasien berdasarkan “Informed Consent”. Agar “Informed Consent” ini dapat dijadikan bukti menurut hukum harus dicatat dan direkam dalam rekam medis.”
            Dalam transaksi terapeutik apabila hak dan kewajiban tidak dipenuhi oleh salah satu pihak (dokter atau pasien) maka tentunya pihak lain yang merasa dirugikan akan menggugat atau menuntut. Dalam hal ini maka rekam medik mempunyai peranan yang besar sekali yaitu dapat dipergunakan untuk menguatkan gugatan(pasien) atau menolak gugatan perdata (bagi dokter dan atau rumah sakit) atau tuntutan pidana yang didasarkan kesalahan, baik yang disengaja maupun yang karena kelalaian. Ini berarti bahwa rekam medis mempunyai kekuatan hukum sebagai salah satu unsur masukan dalam proses pengambilan keputusan oleh hakim.
            Fungsi rekam medik secara lengkap adalah sebagai “adminitrative value, legal value, finacial value, research value, educational value dan documentary value.” Karena fungsi rekam medik itulah, maka di negara-negara besar atau di negara-negara maju telah ditentukan satu standar baku bai pembuatan rekam medis yang mencerminkan kualitas/mutu/derajat pelayanan kesehatan yang diberikan oleh sang pengobat pada sang penderita. Fungsi rekam medis di Indonesia bisa dilihat dalam Pasal 14 Permenkes Nomor 749a/Menkes/Per/XII/1989, yaitu dapat dipakai untuk :
  1. dasar pemeliharaan kesehatan dan pengobatan pasie;
  2. bahan pembuktian dalam perkara hukum;
  3. bahan untuk keperluan penelitian dan pendidikan;
  4. dasar pembayaran biaya pelayanan kesehatan; dan
  5. bahan untuk menyiapkan statistik kesehatan.

Rekam medis yang diisi oleh para pihak dalam transaksi terapeutik menampilkan mutu kualitas pelayanan kesehatan kepada pasien. Oleh karena itu, menurut kepustakaan, dapat dikaji bahwa untuk memenuhi persyaratan bagi satu rekam medis/haruslah ditandatangani oleh semua pelayan medik yang terlibat sebagai para pihak dalam trnsasi terapeutik.
Ada tiga alasan yang menyebabkan para pelayan kesehatan (dokter dan para medis) harus wajib menandatangani rekam Medis yang berisi sejarah perkembangan kesehatan pasien dan ringkasannya, yaitu (periksa Hayt dan Hayt, 1964:42-44).
  1. Pasien harus dilindungi
  2. Tanda tangan dokter yang merawat itu relevan jika kasus tersebut sampai di pengadilan;
  3. Untuk mencegah kegagalan bagi rumah sakit dalam memperoleh akreditasi.

Dengan tiga alasan tersebut di atas, maka rekam medis dapat berfungsi sebagai dokumen hukum yaitu sebagai alat bukti dokumen undang-undang yang bernilai sebagai keterangan/saksi ahli/”expert wittness” (Periksapasal 164RIB untuk perkara perdata, dan pasal 184 KUHP untuk perkara pidana). Dengan demikian pembubuhan tanda tangan itu sebagai bukti bahwa keputusan yang diambil oleh pasien itu tanggung jawabnya, sedangkan apa yang dilakukan oleh pelayan kesehatan (dokter dan paramedik) yang memberikan informasi yang lengkap dan akurat bertanggungjawab atas kelengkapan dan kenaran informasinya.
Di samping itu, agar rekam medik yang mengandung informed consent itu dapat berfungsi sebagai alat bukti di dalam proses peradilan, maka isi rekam medik modern (“Contents of a Modern Medical Record”) harus meliputi hal-hal sebagai berikut :
1.      Identification Data (Identifikasi data);
2.      Provisional Diagnosis (Diagnosis awal);
3.      Chief Complaint (Keluhan utama);
4.      Present Illness (Penyakit yang diderita saat ini/saat masuk);
5.      History and Physical examination (Sejarah pemeriksaan fisik);
6.      Consultations (Konsultan/para konsultan jika lebih dari satu);
7.      Clinical Laboratory Reports (Laporan laboratorium  klinik);
8.      X-ray Reports (Laporan kamar X-ray);
9.      Tissue Report (Laporan Kamar bebat);
10.  Treatment-Medical and Surgical (tindakan medik operatif);
11.  Progress Notes (Catatan Kemajuan);
12.  Final Diagnosis (diagnosis akhir);
13.  Summary (Ringkasan); dan
14.  Autopsy Findings(Penemuan-penemuan otopsi)
(Periksa.Hayt and Hayt, 1964:5).
Sedangkan observasi lain yang bisa membantu kegunaan Rekam Medik/K antara lain, ialah (periksa Hayt and Hayt, 1964 : 19):
  1. Correct spelling of name of patient and attending physician (menuliskan secara tepat ejaan nama pasien dan dokternya);
  2. method of admission orarrival, i.e., by wheelchair, ambulance, or ambulatory (caranya pasien datang pada bagian masuk, misalnya dengan ambulance, dengan kursi roda;
  3. complete discription of condition of patient on adminission and on discharge, nothing particulary any mark, bruise, burn, rash or irritation (diskripsi yang jelas mengenai keadaan pasie pada saat pertama kali masuk, misalnya apakah ada bekas luka bakar atau iritasi).
  4. Admission temperature, pulse and respiration (temperatur pada saat masuk, pulsa dan respirasi);
  5.  routine and special procedures (prosedur rutin atau khusus);
  6. medication, dosage, and manner of administration (pengobatan, dosis dan cara-cara administratif);
  7. objective signs and subdition (tanda-tanda obyektif dan gejala-gejala (simtom) subyektif);
  8. changes in apperance and mental condition (perubahan lahiriah serta kondisi mental);
  9. Compalints (Keluhan); dan
  10. Signature of nurse who renders the service (tanda tangan paramedis yang bertugas).

Dengan demikian, menurut kriteria rekam medis modern, agar rekam medik dapat berfungsi sebagai alat bukti menurut undang-undang di dalam proses peradilan tidaklah mudah dengantanpa memenuhi persyaratan utama maupun tambahan di atas, walau pun mengandung/berisi persetujuan antara Pasien atau keluarganya dengan dokter atau rumah sakit.
Di Indonesia, isi rekam medis bisa dibagi menjadi dua, yaitu isi rekam medik untuk pasien rawat dan untuk pasien rawat inap (Pasal 15 dan 16 Permenkes No 749a/Menkes/Per/XII/1989).
Isi rekam medis untuk pasien rawat jalan dapat dibuat selengkap-lengkapnya dan sekurang-kurangnya  memuat : identitas, amnese, diagnosis, dan tindakan/pengobatan. Sedangkan isi rekam medis untuk pasien rawat nginap sekurang-kurangnya memuat:
1.      identitas pasien
2.      anamnese;
3.      riwayat penyakit
4.      hasil pemeriksaan laboratorik;
5.      diagnosis
6.      persetujuan tindakan medik
7.      tindakan/pengobatan
8.      catatan perawat
9.      catatan observasi klinis dan hasil pengobatan; dan
10.  resume akhir dan evaluasi pengobatan.
Tata cara penyelenggaraan  rekam medis di Indonesia ialah sebagai berikut (lihat Pasal 2-9, 19, dan 20 Permenkes No 749a/Menkes/Per/XII/1989):
  1. Setiap sarana pelayanan kesehatan yang melakukan pelayanan rawat jalan maupun rawat nginap wajib membuat rekam medis.
  2. Rekam medis itu dibuat oleh dokter dan atau tenaga kesehatan lain yang memberi pelayanan kepada pasien.
  3. Rekam medis harus dibuat segera dan dilengkapi seluruhnya  setelah pasien menerima pelayanan.
  4. Setiap pencatatan ke dalam rekam medis harus dibubuhi nama dan tanda tangan petugas yang memberikan pelayanan atau tindakan.
  5. Pembetulan kesalahan catatan dalam rekam medis dilakukan pada tulisan yang salah dan diberi paraf oleh petugas yang bersangkutan.
  6. Penghapusan tulisan dalam rekam medis dengan cara apapun tidak diperbolehkan.
  7. Lama penyimpanan rekam medis sekurang-kurangnya untukjangka waktu 5 (lima) tahun terhtung dari tanggal terakhir pasien berobat. Sedangkan lama penyimpanan rekam medis yang berkaitan dengan hal-hal yang bersifat khusus dapat ditempatkan tersendiri.
  8. Setelah batas waktu sebagaimana dimaksud pada nomor tujuh dilampaui, rekam medis dapat dimusnahkan. Tata cara permusnahannya ditetapkan oleh Direktur Jenderal.
  9. Rekam medis harus disimpan oleh petugas yang ditunjuk oleh pimpinan sarana pelayanan kesehatan.
  10. Pengawasan terhadap penyelenggaraan rekam medis dilakukan oleh Direktur Jenderal.
  11. Pelanggaran terhadap ketentuan dalam peraturan ini dapat dikenakan sanksi administratif mulai dari teguran lisan sampai pencabutan izin.

Berkas rekam medis adalah milik sarana pelayanan kesehatan, namun isi rekam medis adalah milik pasien. Oleh karena itu, isi rekam medis wajib dijaga kerahasiaannya. Pemaparan isi rekam medis hanya boleh dilakukan oleh dokter yang merawat pasien dengan izin tertulis pasien. Pemamparan isi rekam medis oleh pimpinan sarana kesehatan tanpa izin pasien dibolehkan apabila berdasarkan peraturan perundang-undangan. Apabila rekam medis tersebut rusak, hilang, dipalsukan, digunakan oleh orang /badan yang tidak berhak, maka yang bertanggung jawab adalah pimpinan sarana pelayanan kesehatan (baca Pasal 10-13 Permenkes No 749a/Menkes/Per/XII/1989).
Apabila rekam medis rusak karena pemeliharaannya tidak baik atau tidak diisi sebagaimana mestinya sehingga isi rekam medis menjadi kabur atau tidak jelas, maka menurut yurisprudensi di dalam hukum kedokteran bisa diberlakukan “pembalikan pembuktian” terhadap dokter/rumah sakitnya. Pembebanan atas kewajiban pembuktin (“onu”, burden of proff”) bisa dibebankan kepada dokter /rumah sakit (baca J. Guwandi, 1991 : 76-77).
Hal terpenting dalam penyelenggaraan rekam medis ialah bahwa pengisisan rekam medis harus dilakukan secara lengkap dan langsung, tepat waktu, dan tidak ditunda—tunda. Bila pengisiannya ditunda-tunda maka kemungkinan besar dokter lupa pada pasien dan penyakitnya, lebih-lebih bila pasiennya sangat banyak. Mutu pelayanan rumah sakit antara lain akan tercermin pada berkas rekan medisnya. Selanjutnya, muncullah ucapan yang mengatakan : “ Medical record are witnesses whose memories never die”.

IV. PENUTUP 
      Rekam Medik/Kesehatan (Medical Record) pada hakekatnya merupakan dokumen hukum yang isinya dapat dibahas dan dipertimbangkan dalam suatu proses persidangan peradilan (perdata maupun pidana)yaitu sebagai salah satu bukti yang berupa keterangan/ saksi ahli (“Expet wittness”), Dengan demikian, rekam medis merupakan input yang relecvan bagi hakim falam mengambil keputusannya.       

DAFTAR PUSTAKA

Anonim, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1993 tentang Kesehatan. Jakarta: Sekretariat Negara.

Fred Ameln. 1991. Kapita Selekta Hukum Kedokteran. Jakarta : Grafikatama Jaya.
Gemala R. Hatta. 1986, “ Peranan Rekam Medik/Kesehatan (medical Record) dalam Hukum Kedokteran”. Makalah. Disampaikan dalam Konggres PERHUKI I,tanggal 8 -9 Agustus 1986 di Jakarta: PERHUKI. 
Hayt, Emanuel and Hayt, Jonathan. 1964. Legal Aspect of Medical Record. Illinois: Physician’s Record Company. 
Hermien Hadiati Koeswadji. 1984. Hukum da Masalah Medik. Surabaya: Airlangga University Press. 
______________1984.” Aspek Medikolegal dari Pelayanan Kesehatan dan Rekam Medik”. Makalah. Suarbaya: Fakultas Hukum UNAIR. 
J. Guwandi.1991. Dokter dan Pasien, Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
 Ninik Mariyanti. 1988. Malapraktek Kedokteran dari Segi Hukum Pidana dan Perdata, Jakarta : Bina Aksara. 
Prasetyo Hadi Purwandoko. 1996.” Hubungan Dokter-Pasien dalam Upaya Penembuhan /Perawatan menurut Hukum Kedokteran”. Yustisia Nomor 36 Tahun X, Juni-Agustus 1996. Surakarta : Fakultas Hukum UNS. 
Prasetyo Hadi Purwandoko dan Suranto. 1991.” Hukum dan Kesehatan tentang Hukum Kedokteran”. BPK . Surakarta : UNS. 
Oemar Seno Adji. 1991. Profesi Dokter, Etika Profesional dan Hukum Pertanggungjawaban Pidana Dokter. Jakrta : Erlangga. 
Soerjono Soekanto. 1989. Aspek Hukum Kesehatan (Suatu Kumpulan Catatan). Jakarta : IN Hill Co.



                                                                                                                                                                                                                                                                                                           
        




Defenisi Rabies

BAB I   PENDAHULUAN


1.1.  LATAR BELAKANG


            Rabies merupakan salah satu penyakit hewan tertua di dunia dan  tidak diketahui kapan penyakit rabies masuk ke Indonesia, namun penyakit  rabies pertamakali dilaporkan terjadi pada jaman penjajahan Belanda. Schorl pada tahun 1884, melaporkan penyakit rabies menyerang seekor kuda di Bekasi, Jawa Barat. Sedangkan kasus rabies pada seekor kerbau di daerah Bekasi dilaporkan Esser  pada tahun 1889. Kemudian kasus rabies pada anjing di Tangerang dilaporkan oleh Penning pada tahun 1890. Kasus rabies pada manusia dilaporkan oleh E.de Haan, menyerang seorang anak di desa Palimanan, Cirebon pada tahun 1894. Berdasarkan studi retrospektif,  wabah rabies di Indonesia dimulai pada tahun 1884 di Jawa Barat; tahun 1953 di Jawa Tengah; Jawa Timur; Sumatera Barat, kemudian  tahun 1956 di Sumatera Utara. Selanjutnya Sulawesi Selatan dan Sulawesi Utara tahun 1958; Sumatera Selatan tahun 1959; Lampung  tahun 1969; Aceh tahun 1970; Jambi; DI Yogyakarta tahun 1971; DKI Jakarta; Bengkulu dan Sulawesi Tengah tahun 1972; Kalimantan Timur tahun 1974; Riau tahun 1975; Kalimantan Tengah  tahun 1978 dan Kalimantan Selatan tahun 1981
            Sampai dengan tahun 2006 wilayah di Indonesia yang dinyatakan daerah bebas rabies yaitu Propinsi Bali, Nusa Tenggara Barat (NTB), Nusa Tenggara Timur (NTT) kecuali Pulau Flores dan Lembata, Irian Jaya Barat dan Papua, pulau-pulau di sekitar Sumatera serta Pulau Jawa. Pulau Jawa dinyatakan bebas rabies oleh Pemerintah secara bertahap, yaitu berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian No 892/Kpts/TN/560/9/97 tanggal 9 September 1997, Jawa Timur, Jawa Tengah dan D.I. Yogyakarta dinyatakan bebas rabies diikuti tahun 2004, berdasarkan SK Menteri Pertanian No. 566/Kpts/ PD/PD640/10/2004, DKI Jakarta, Banten dan Jawa Barat dinyatakan bebas rabies, sehingga dengan demikian P. Jawa dinyatakan bebas rabies.
            Sesuai dengan tugas pokok dan fungsi Karantina Hewan maka Badan Karantina Pertanian bertekad agar pulau-pulau/daerah yang bebas dari rabies dapat dipertahankan tetap bebas.
            Rabies disebabkan oleh virus RNA beramplop yang mengandung lemak.  Karena itu virus rabies mudah rusak bila terpapar bahan pelarut lemak (alkohol, ether, chloroform), dan pada kasus gigitan, dianjurkan untuk mencuci luka dengan alkohol 70%.
            Rabies bersifat zoonosis yang sangat mematikan yaitu case fatality rate (CFR) nya 100%, dapat ditularkan juga melalui jilatan pada luka atau selaput lendir dan melalui udara (aerogen).  Tindakan pencegahan pada hewan dilakukan melalui vaksinasi dengan vaksin inaktif (killed) secara intramusculer atau intradermal dan vaksin aktif (live virus) secara injeksi atau peroral.  Hewan yang divaksinasi dan kebal (titer antibodi > 0,5 IU/ml) tidak mengandung virus walaupun berasal dari daerah endemik.
            Kelompok masyarakat beresiko tinggi yaitu dokter hewan dan paramedis di laboratorium virologi serta petugas karantina di daerah endemik, sebaiknya divaksinasi dan menggunakan masker penutup hidung dan kacamata sewaktu bertugas. 
            Di daerah endemik, terdapat hewan (anjing, kucing, carnivora liar) yang bertindak sebagai carrier tanpa menunjukkan gejala klinis, terutama hewan-hewan yang dibiarkan tidak terpelihara dengan baik dan tidak divaksinasi.  Hewan carrier tersebut harus dicegah masuk ke daerah bebas melalui peraturan perkarantinaan, yang diatur di dalam petunjuk teknis ini.

1.2.   MAKSUD DAN TUJUAN

Petunjuk Teknis ini sebagai pedoman bagi petugas karantina hewan di lapangan dalam melakukan pengawasan dan pemeriksaan terhadap persyaratan dan tindakan karantina bagi lalulintas pemasukan dan pengeluaran Hewan Penular Rabies.

1.3.      RUANG LINGKUP
     
Petunjuk Teknis ini menjelaskan sistem pengawasan karantina hewan terhadap Hewan Penular Rabies, persyaratan dan tindakan karantina hewan serta prosedur teknis pemeriksaan terhadap Hewan Penular Rabies yang berlaku untuk pemasukan (impor dan antar area) dan pengeluaran (ekspor dan antar area), baik yang dilakukan untuk keperluan penelitian, komersial (perdagangan) atau keperluan lainnya oleh semua pihak.
           

1.4.    DEFINISI
        
Dalam Petunjuk Teknis ini yang dimaksud dengan :

  1. Penyakit Anjing Gila yang selanjutnya disebut Penyakit Rabies adalah penyakit hewan menular yang bersifat akut dan menyerang susunan syaraf pusat, disebabkan oleh Rhabdo virus yang dapat menyerang semua hewan yang berdarah panas dan juga menyerang manusia;
  2. Hewan Penular Rabies yang selanjutnya disebut HPR adalah hewan-hewan yang tergolong sebagai hewan yang dapat menularkan rabies baik kepada sesama hewan maupun kepada manusia, yang terdiri dari anjing, kucing, kera dan hewan sebangsanya.
  3. Hewan Sebangsanya adalah semua hewan (satwa) liar yang dapat bertindak sebagai pembawa penyakit rabies (carier) dan terjangkit serta menularkan rabies;
  4. Tindakan Karantina Hewan yang selanjutnya disebut Tindakan Karantina adalah kegiatan yang dilakukan untuk mencegah masuk dan tersebarnya hama dan penyakit hewan karantina dari luar negeri dan dari suatu area ke area lain di dalam wilayah Negara Republik Indonesia.
  5. Petugas Karantina Hewan yang selanjutnya disebut Petugas Karantina adalah pegawai negeri tertentu yang diberi tugas untuk melakukan tindakan karantina berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
  6. Wabah Rabies adalah kejadian rabies disuatu negara/daerah asal HPR atau letupan (out break) rabies yang meluas secara cepat disuatu negara/daerah HPR yang semula dikategorikan endemic berdasarkan informasi dari OIE atau dari sumber lainnya.
  7. Negara/Daerah yang dinyatakan bebas rabies adalah negara/daerah yang belum pernah tertular rabies; negara/daerah yang tertular rabies dan dalam 12 bulan terakhir tidak ada kasus rabies dan tidak melakukan vaksinasi; atau negara/daerah yang tertular rabies tetapi melaksanakan vaksinasi dan dalam 12 bulan berikutnya tanpa vaksinasi tidak terjadi kasus rabies;
  8. Negara/Daerah yang dinyatakan tertular (endemic / enzootic) rabies adalah negara/daerah dimana masih terjadi kasus rabies; dan dalam 30 hari sejak kasus rabies terakhir tidak ada lagi kasus  serta belum dinyatakan bebas rabies.
  9. Negara/Daerah yang dinyatakan wabah rabies adalah negara/daerah yang semula berstatus bebas rabies kemudian terjadi kasus rabies; atau negara/daerah yang semula berstatus tertular rabies kemudian terjadi letupan (outbreak) rabies yang meluas secara cepat.
  10. Pemasukan adalah memasukkan HPR dari luar negeri ke dalam wilayah Negara Republik Indonesia atau dari suatu area ke area lain di dalam wilayah Negara Republik Indonesia.
  11. Pengeluaran adalah mengeluarkan HPR dari wilayah Negara Republik Indonesia atau dari suatu area ke area lain di dalam wilayah Negara Republik Indonesia.
  12. Dokumen Persyaratan Karantina Hewan adalah sertifikat kesehatan dari negara/area asal (health certificate), surat keterangan asal (certificate of origin), Pasport hewan dan surat keterangan mutasi/transit;Surat Persetujuan Pemasukan/ Surat Rekomendasi Pemasukan;
  13. Surat Persetujuan Pemasukan yang selanjutnya disebut SPP adalah Keputusan Pemberian Persetujuan Pemasukan (izin) yang diberikan kepada peorangan atau badan hukum oleh Menteri Pertanian ataupejabat yang ditunjuk.
  14. Surat Rekomendasi Pemasukan adalah surat rekomendasi pemasukan dari Dinas Peternakan Propinsi/Kabupaten/Kota atau Dinas yang membidangi Peternakan atau Kesehatan Hewan/ Kesehatan Masyarakat Veteriner di daerah tujuan;

 BAB II

PERSYARATAN KARANTINA TERHADAP LALULINTAS PEMASUKAN HEWAN PENULAR RABIES

2.1.        PERSYARATAN KARANTINA TERHADAP LALULINTAS PEMASUKAN HPR DARI LUAR NEGERI YANG BEBAS RABIES

A.       Dari Luar Negeri
Dari negara bebas rabies sesuai dengan Lampiran Keputusan Menteri Pertanian No. 1096 Tahun 1999 yang dapat diperbaharui sesuai perkembangan status bebas rabies dunia; 
B.      Kelengkapan Dokumen : Harus memiliki
(i)    Sertifikat Kesehatan Hewan yang diterbitkan oleh pejabat berwenang di negara asal dan negara transit;
(ii)  Surat Persetujuan Pemasukan;
(iii) Pasport hewan atau surat keterangan identitas hewan dalam bahasa inggris yang dikeluarkan oleh dokter hewan berwenang di negara asal yang memuat antara lain telah berada atau dipelihara sekurang-kurangnya 6 (enam) bulan di negara asal sebelum diberangkatkan, dan hewan sekurang-kurangnya telah berumur 6 (enam) bulan serta tidak dalam keadaan bunting umur 6 (enam) minggu atau lebih, dan atau hewan tersebut tidak sedang menyusui pada saat diberangkatkan.  Pasport mencantumkan informasi sekurang-kurangnya jenis hewan, bangsa, jenis kelamin, warna bulu, umur/tanggal lahir dan penanda identitas; atau memiliki
(iv) Penanda identitas permanen dengan identifikasi elektronik (microchip).  Bila microchip yang digunakan tidak sesuai dengan alat baca pada pelabuhan/bandara pemasukan, maka pemilik atau kuasa pemilik harus menyediakan sendiri perangkat alat baca untuk microchip tersebut.
(v)  Hewan yang akan masuk ke wilayah/daerah bebas rabies di Indonesia diberangkatkan langsung dari negara bebas rabies. Apabila harus transit maka harus ada persetujuan dari Menteri Pertanian Cq. Dirjen Peternakan dan otoritas veteriner di negara transit  memberikan keterangan transit;
(vi) Surat keterangan vaksinasi bagi negara yang melaksanakan vaksinasi, yang menerangkan bahwa vaksinasi menggunakan vaksin inaktif, yang diberikan :
-       untuk hewan yang divaksinasi pertama kali (primer), sekurang-kurangnya 6 (enam) bulan dan tidak lebih dari 1 tahun sebelum diberangkatkan yang diberikan saat hewan berumur minimal 3 (tiga) bulan;
-       untuk vaksinasi booster, sekurang-kurangnya 1 bulan atau tidak lebih dari 1 tahun sebelum diberangkatkan;
(vii)        Surat keterangan hasil pemeriksaan titer antibodi dari negara asal.  Pengujian titer antibodi tidak boleh dilakukan lebih lama dari 6 bulan setelah vaksinasi DARI LABORATORIUM YANG TELAH DIAKREDITASI;

C.      Ketentuan Vaksinasi
(1)  Bila di negara asal bebas rabies dan wilayah/daerah tujuan tidak ada kegiatan vaksinasi, maka hewan yang dilalulintaskan tidak dilakukan vaksinasi;
(2)  Bila di negara asal bebas rabies tidak ada kegiatan vaksinasi sedangkan di wilayah/daerah tujuan ada kegiatan vaksinasi, maka hewan yang dilalulintaskan dilakukan vaksinasi di wilayah/daerah tujuan;
(3)  Bila di negara asal bebas rabies dan di wilayah/daerah tujuan ada kegiatan vaksinasi, maka hewan yang dilalulintaskan dilakukan vaksinasi di negara asal;
(4)  Bila di negara asal bebas rabies ada kegiatan vaksinasi sedangkan di wilayah/daerah tujuan tidak ada kegiatan vaksinasi, maka hewan yang dilalulintaskan dilakukan vaksinasi di negara asal;
(5)  Vaksinasi di negara asal bebas rabies sekurang-kurangnya dilakukan 30 hari dan selambat-lambatnya 1 (satu) tahun sebelum diberangkatkan;
(6)  Dengan uji Serum Netralisasi (SN Test) memiliki titer antibodi rabies kurang dari 0,1 IU /ml (< 0,1 IU/ml ) dari negara asal bebas rabies tidak ada kegiatan vaksinasi ; dan lebih besar atau sama dengan 0,5 IU/ml ( ≥ 0,5 IU/ml ) dari negara asal bebas rabies ada kegiatan vaksinasi; oleh laboratorium yang ditunjuk oleh Kepala Badan Karantina Pertanian;

2.2.  PERSYARATAN KARANTINA TERHADAP LALULINTAS PEMASUKAN HPR 
        ANTAR WILAYAH/DAERAH DI INDONESIA ( ANTAR AREA )

2.2.1.  Dari Wilayah /Daerah Bebas Ke Wilayah/Daerah Bebas Rabies
            A.  Kelengkapan Dokumen : Harus memiliki
(i)    Sertifikat Kesehatan Hewan yang diterbitkan oleh pejabat berwenang di wilayah/daerah asal;
(ii)  Surat Rekomendasi Pemasukan dari Dinas Peternakan Propinsi/Kabupaten/Kota atau Dinas yang membidangi Peternakan atau Kesehatan Hewan/Kesehatan Masyarakat Veteriner wilayah/daerah tujuan;
(iii) Pasport hewan atau surat keterangan identitas hewan yang dikeluarkan oleh dokter hewan berwenang di wilayah/daerah asal yang memuat antara lain tidak dalam keadaan bunting umur 6 (enam) minggu atau lebih, dan atau hewan tersebut tidak sedang menyusui pada saat diberangkatkan.  Pasport mencantumkan informasi sekurang-kurangnya jenis hewan, bangsa, jenis kelamin, warna bulu, umur/tanggal lahir dan penanda identitas;
(iv) Surat keterangan vaksinasi bagi wilayah/daerah yang melaksanakan vaksinasi, yang menerangkan bahwa vaksinasi menggunakan vaksin inaktif, yang diberikan :
-       untuk hewan yang divaksinasi pertama kali (primer), sekurang-kurangnya 6 (enam) bulan dan tidak lebih dari 1 tahun sebelum diberangkatkan yang diberikan saat hewan berumur minimal 3 (tiga) bulan;
-       untuk vaksinasi booster, sekurang-kurangnya 1 bulan atau tidak lebih dari 1 tahun sebelum diberangkatkan;
(v)  Surat keterangan hasil pemeriksaan titer antibodi dari daerah asal.  Pengujian titer antibodi tidak boleh dilakukan lebih lama dari 6 bulan setelah vaksinasi DARI LABORATORIUM YANG TELAH DIAKREDITASI;

B.  Ketentuan Vaksinasi
(1)     Bila di wilayah/daerah asal bebas rabies dan wilayah/daerah tujuan tanpa vaksinasi, maka hewan yang dilalulintaskan tidak dilakukan vaksinasi;
(2)     Bila di wilayah/daerah asal bebas rabies tanpa kegiatan vaksinasi sedangkan di wilayah/daerah tujuan ada kegiatan vaksinasi, maka hewan yang dilalulintaskan divaksinasi di wilayah/daerah tujuan;
(3)     Bila di wilayah/daerah asal bebas rabies dan di wilayah/daerah tujuan ada kegiatan vaksinasi, maka hewan yang dilalulintaskan dilakukan vaksinasi di wilayah/daerah asal;
(4)     Bila di wilayah/daerah asal bebas rabies ada kegiatan vaksinasi sedangkan di wilayah/daerah tujuan tidak ada kegiatan vaksinasi, maka hewan yang dilalulintaskan dilakukan vaksinasi di wilayah/daerah asal;
(5)     Vaksinasi di wilayah/daerah asal bebas rabies sekurang-kurangnya dilakukan 30 hari dan selambat-lambatnya 1 (satu) tahun sebelum diberangkatkan;
(6)     Dengan uji Serum Netralisasi (SN Test) memiliki titer antibodi rabies kurang dari 0,1 IU /ml (< 0,1 IU/ml ) dari wilayah/daerah asal bebas rabies tidak ada kegiatan vaksinasi ; dan lebih besar atau sama dengan 0,5 IU/ml ( ≥ 0,5 IU/ml ) dari wilayah/daerah asal bebas rabies ada kegiatan vaksinasi; oleh laboratorium yang ditunjuk oleh Kepala Badan Karantina Pertanian;

2.2.2.  Dari Wilayah/Daerah Bebas Ke Wilayah/Daerah Endemis Rabies
            A.  Kelengkapan Dokumen : Harus memiliki
(i)    Sertifikat Kesehatan Hewan yang diterbitkan oleh pejabat berwenang di wilayah/daerah asal;
(ii)  Surat Rekomendasi Pemasukan dari Dinas Peternakan Propinsi/Kabupaten/Kota atau Dinas yang membidangi Peternakan atau Kesehatan Hewan/Kesehatan Masyarakat Veteriner wilayah/daerah tujuan;
(iii) Pasport hewan atau surat keterangan identitas hewan yang dikeluarkan oleh dokter hewan berwenang di daerah asal yang memuat antara lain tidak dalam keadaan bunting umur 6 (enam) minggu atau lebih, dan atau hewan tersebut tidak sedang menyusui pada saat diberangkatkan.  Pasport mencantumkan informasi sekurang-kurangnya jenis hewan, bangsa, jenis kelamin, warna bulu, umur/tanggal lahir dan penanda identitas;
(iv) Surat keterangan vaksinasi bagi daerah yang melaksanakan vaksinasi, yang menerangkan bahwa vaksinasi menggunakan vaksin inaktif, yang diberikan :
-       untuk hewan yang divaksinasi pertama kali (primer), sekurang-kurangnya 6 (enam) bulan dan tidak lebih dari 1 tahun sebelum diberangkatkan yang diberikan saat hewan berumur minimal 3 (tiga) bulan;
-       untuk vaksinasi booster, sekurang-kurangnya 1 bulan atau tidak lebih dari 1 tahun sebelum diberangkatkan;
(v)  Surat keterangan hasil pemeriksaan titer antibodi dari daerah asal.  Pengujian titer antibodi tidak boleh dilakukan lebih lama dari 6 bulan setelah vaksinasi DARI LABORATORIUM YANG TELAH DITUNJUK/DITETAPKAN OLEH PEMERINTAH;

B.  Ketentuan Vaksinasi
(1) Bila di wilayah/daerah asal bebas rabies tanpa kegiatan vaksinasi sedangkan di wilayah/daerah tujuan ada kegiatan vaksinasi, maka hewan yang dilalulintaskan divaksinasi di wilayah/daerah tujuan;
(2) Bila di wilayah/daerah asal bebas rabies dan di wilayah/daerah tujuan ada kegiatan vaksinasi, maka hewan yang dilalulintaskan dilakukan vaksinasi di wilayah/daerah asal;
(3)  Vaksinasi di wilayah/daerah asal bebas rabies sekurang-kurangnya dilakukan 30 hari dan selambat-lambatnya 1 (satu) tahun sebelum diberangkatkan;

2.2.3.  Dari Wilayah /Daerah Endemis Ke Wilayah/Daerah Endemis Rabies
            A.  Kelengkapan Dokumen : Harus memiliki
(i)    Sertifikat Kesehatan Hewan yang diterbitkan oleh pejabat berwenang di wilayah/daerah asal;
(ii)  Surat Rekomendasi Pemasukan dari Dinas Peternakan Propinsi/Kabupaten/Kota atau Dinas yang membidangi Peternakan atau Kesehatan Hewan/Kesehatan Masyarakat Veteriner daerah tujuan;
(iii) Pasport hewan atau surat keterangan identitas hewan yang dikeluarkan oleh dokter hewan berwenang di wilayah/daerah asal yang memuat antara lain tidak dalam keadaan bunting umur 6 (enam) minggu atau lebih, dan atau hewan tersebut tidak sedang menyusui pada saat diberangkatkan.  Pasport mencantumkan informasi sekurang-kurangnya jenis hewan, bangsa, jenis kelamin, warna bulu, umur/tanggal lahir dan penanda identitas;
(iv) Surat keterangan vaksinasi yang menerangkan bahwa vaksinasi menggunakan vaksin inaktif, yang diberikan :
-       untuk hewan yang divaksinasi pertama kali (primer), sekurang-kurangnya 6 (enam) bulan dan tidak lebih dari 1 tahun sebelum diberangkatkan yang diberikan saat hewan berumur minimal 3 (tiga) bulan;
-       untuk vaksinasi booster, sekurang-kurangnya 1 bulan atau tidak lebih dari 1 tahun sebelum diberangkatkan;
(v)  Surat keterangan hasil pemeriksaan titer antibodi dari daerah asal.  Pengujian titer antibodi tidak boleh dilakukan lebih lama dari 6 bulan setelah vaksinasi DARI LABORATORIUM YANG TELAH DITUNJUK/DITETAPKAN OLEH PEMERINTAH;

B.  Ketentuan Vaksinasi
Vaksinasi di wilayah/daerah asal endemis rabies sekurang-kurangnya dilakukan 30 hari dan selambat-lambatnya 1 (satu) tahun sebelum diberangkatkan;

>>>>>>>selengkapnya klik di bawah<<<<<<<<<<<

 

 BAB III : TINDAKAN KARANTINA HEWAN



 

Link Kesehatan Copyright © 2011-2012 | Powered by Blogger