askep trauma thorax

A.    Secara keseluruhan angka mortalitas trauma thorax adalah 10 %, dimana trauma thorax menyebabkan satu dari empat kematian karena trauma yang terjadi di Amerika Utara. Banyak penderita meninggal setelah sampai di rumah sakit dan banyak kematian ini seharusnya dapat dicegah dengan meningkatkan kemampuan diagnostik dan terapi. Kurang dari 10 % dari trauma tumpul thorax dan hanya 15 – 30 % dari trauma tembus thorax yang membutuhkan tindakan torakotomi. Mayoritas kasus trauma thorax dapat diatasi dengan tindakan teknik prosedur yang akan diperoleh oleh dokter yang mengikuti suatu kursus penyelamatan kasus trauma thorax.

II. DEFINISI.
Trauma thorax adalah luka atau cedera yang mengenai rongga thorax yang dapat menyebabkan kerusakan pada dinding thorax ataupun isi dari cavum thorax yang disebabkan oleh benda tajam atau bennda tumpul dan dapat menyebabkan keadaan gawat thorax akut.

III. ETIOLOGI.
1. Trauma thorax kebanyakan disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas yang umumnya berupa trauma tumpul dinding thorax.
2. Dapat juga disebabkan oleh karena trauma tajam melalui dinding thorax.

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjTvMeTgX_iySR9oDU9_Z_1TbHnPT0ow5JozZzWAL8XFu3Z6lD3f6Ol8WvVnVszJLs4qUpYQNlKCGRWDA7oIXubVr_h1fG2NqDKSve9zdD5xoq7T500uYsgOHFmsWT_15LgXny-qSZJQ9TJ/s320/thorax.jpgIV. ANATOMI.
Kerangka rongga thorax, meruncing pada bagian atas dan berbentuk kerucut terdiri dari sternum, 12 vertebra thoracalis, 10 pasang iga yang berakhir di anterior dalam segmen tulang rawan dan 2 pasang yang melayang. Kartilago dari 6 iga memisahkan articulasio dari sternum, kartilago ketujuh sampai sepuluh berfungsi membentuk tepi kostal sebelum menyambung pada tepi bawah sternu. Perluasan rongga pleura di atas klavicula dan di atas organ dalam abdomen penting untuk dievaluasi pada luka tusuk.
Musculus pectoralis mayor dan minor merupakan muskulus utama dinding anterior thorax. Muskulus latisimus dorsi, trapezius, rhomboideus, dan muskulus gelang bahu lainnya membentuk lapisan muskulus posterior dinding posterior thorax. Tepi bawah muskulus pectoralis mayor membentuk lipatan/plika aksilaris posterior.
Dada berisi organ vital paru dan jantung, pernafasan berlangsung dengan bantuan gerak dinding dada. Inspirasi terjadi karena kontraksi otot pernafasan yaitu muskulus interkostalis dan diafragma, yang menyebabkan rongga dada membesar sehingga udara akan terhisap melalui trakea dan bronkus.
Pleura adalah membran aktif yang disertai dengan pembuluh darah dan limfatik. Disana terdapat pergerakan cairan, fagositosis debris, menambal kebocoran udara dan kapiler. Pleura visceralis menutupi paru dan sifatnya sensitif, pleura ini berlanjut sampai ke hilus dan mediastinum bersama – sama dengan pleura parietalis, yang melapisi dinding dalam thorax dan diafragma. Pleura sedikit melebihi tepi paru pada setiap arah dan sepenuhnya terisi dengan ekspansi paru – paru normal, hanya ruang potensial yang ada.
Diafragma bagian muskular perifer berasal dari bagian bawah iga keenam kartilago kosta, dari vertebra lumbalis, dan dari lengkung lumbokostal, bagian muskuler melengkung membentuk tendo sentral. Nervus frenikus mempersarafi motorik dari interkostal bawah mempersarafi sensorik. Diafragma yang naik setinggi putting susu, turut berperan dalam ventilasi paru – paru selama respirasi biasa / tenang sekitar 75%.


V. PATOFISIOLOGI.
Hipoksia, hiperkarbia, dan asidosis sering disebabkan oleh trauma thorax. Hipokasia jaringan merupakan akibat dari tidak adekuatnya pengangkutan oksigen ke jaringan oleh karena hipivolemia ( kehilangan darah ), pulmonary ventilation/perfusion mismatch ( contoh kontusio, hematoma, kolaps alveolus )dan perubahan dalam tekanan intratthorax ( contoh : tension pneumothorax, pneumothorax terbuka ). Hiperkarbia lebih sering disebabkan oleh tidak adekuatnya ventilasi akibat perubahan tekanan intrathorax atau penurunan tingkat kesadaran. Asidosis metabolik disebabkan oleh hipoperfusi dari jaringan ( syok ).


VI. INITIAL ASSESSMENT DAN PENGELOLAAN.
1. Pengelolaan penderita terdiri dari :
a. Primary survey. Yaitu dilakukan pada trauma yang mengancam jiwa, pertolongan ini dimulai dengan airway, breathing, dan circulation.
b. Resusitasi fungsi vital.
c. Secondary survey yang terinci.
d. Perawatan definitif.
2. Karena hipoksia adalah masalah yang sangat serius pada Trauma thorax, intervensi dini perlu dilakukan untuk pencegahan dan mengoreksinya.
3. Trauma yang bersifat mengancam nyawa secara langsung dilakukan terapi secepat dan sesederhana mungkin.
4. Kebanyakan kasus Trauma thorax yang mengancam nyawa diterapi dengan mengontrol airway atau melakukan pemasangan selang thorax atau dekompresi thorax dengan jarum.
5. Secondary survey membutuhkan riwayat trauma dan kewaspadaan yang tinggi terhadap adanya trauma – trauma yang bersifat khusus.


VII. KELAINAN AKIBAT TRAUMA THORAX .
A. Trauma dinding thorax dan paru.
- Fraktur iga. Merupakan komponen dari dinding thorax yang paling sering mngalami trauma, perlukaan pada iga sering bermakna, Nyeri pada pergerakan akibat terbidainya iga terhadap dinding thorax secara keseluruhan menyebabkan gangguan ventilasi. Batuk yang tidak efektif intuk mengeluarkan sekret dapat mengakibatkan insiden atelaktasis dan pneumonia meningkat secara bermakna dan disertai timbulnya penyakit paru – paru. Fraktur sternum dan skapula secara umum disebabkan oleh benturan langsung, trauma tumpul jantung harus selalu dipertimbangkan bila ada asa fraktur sternum. Yang paling sering mengalami trauma adalah iga begian tengah ( iga ke – 4 sampai ke – 9 ).
- Flail Chest. terjadi ketika segmen dinding dada tidak lagi mempunyai kontinuitas dengan keseluruhan dinding dada. Keadaan tersebut terjadi karena fraktur iga multipel pada dua atau lebih tulang iga dengan dua atau lebih garis fraktur. Adanya semen flail chest (segmen mengambang) menyebabkan gangguan pada pergerakan dinding dada. Jika kerusakan parenkim paru di bawahnya terjadi sesuai dengan kerusakan pada tulang maka akan menyebabkan hipoksia yang serius. Kesulitan utama pada kelainan Flail Chest yaitu trauma pada parenkim paru yang mungkin terjadi (kontusio paru). Walaupun ketidak-stabilan dinding dada menimbulkan gerakan paradoksal dari dinding dada pada inspirasi dan ekspirasi, defek ini sendiri saja tidak akan menyebabkan hipoksia. Penyebab timbulnya hipoksia pada penderita ini terutama disebabkan nyeri yang mengakibatkan gerakan dinding dada yang tertahan dan trauma jaringan parunya. Flail Chest mungkin tidak terlihat pada awalnya, karena splinting (terbelat) dengan dinding dada. Gerakan pernafasan menjadi buruk dan toraks bergerak secara asimetris dan tidak terkoordinasi. Palpasi gerakan pernafasan yang abnormal dan krepitasi iga atau fraktur tulang rawan membantu diagnosisi. Dengan foto toraks akan lebih jelas karena akan terlihat fraktur iga yang multipel, akan tetapi terpisahnya sendi costochondral tidak akan terlihat. Pemeriksaan analisis gas darah yaitu adanya hipoksia akibat kegagalan pernafasan, juga membantu dalam diagnosis Flail Chest. Terapi awal yang diberikan termasuk pemberian ventilasi adekuat, oksigen yang dilembabkan dan resusitasi cairan. Bila tidak ditemukan syok maka pemberian cairan kristoloid intravena harus lebih berhati-hati untuk mencegah kelebihan pemberian cairan. Bila ada kerusakan parenkim paru pada Flail Chest, maka akan sangat sensitif terhadap kekurangan ataupun kelebihan resusitasi cairan. Pengukuran yang lebih spesifik harus dilakukan agar pemberian cairan benar-benar optimal. Terapi definitif ditujukan untuk mengembangkan paru-paru dan berupa oksigenasi yang cukup serta pemberian cairan dan analgesia untuk memperbaiki ventilasi. Tidak semua penderita membutuhkan penggunaan ventilator. Pencegahan hipoksia merupakan hal penting pada penderita trauma, dan intubasi serta ventilasi perlu diberikan untuk waktu singkat sampai diagnosis dan pola trauma yang terjadi pada penderita tersebut ditemukan secara lengkap. Penilaian hati-hati dari frekuensi pernafasan, tekanan oksigen arterial dan penilaian kinerja pernafasan akan memberikan suatu indikasi timing / waktu untuk melakukan intubasi dan ventilasi.
- Kontusio paru adalah kelainan yang paling sering ditemukan pada golongan potentially lethal chest injury. Kegagalan bernafas dapat timbul perlahan dan berkembang sesuai waktu, tidak langsung terjadi setelah kejadian, sehingga rencana penanganan definitif dapat berubah berdasarkan perubahan waktu. Monitoring harus ketat dan berhati-hati, juga diperlukan evaluasi penderita yang berulang-ulang. Penderita dengan hipoksia bermakna (PaO2 <>

B.     PATHWAYS
C.     ANALISA DATA
NO
TGL / JAM
DATA
PROBLEM
ETIOLOGI
1
Diisi pada saat tanggal pengkajian
Berisi data subjektif dan data objektif yang didapat dari pengkajian keperawatan
masalah yang sedang dialami pasien seperti gangguan pola nafas, gangguan keseimbangan suhu tubuh, gangguan pola aktiviatas,dll
Etiologi berisi tentang penyakit yang diderita pasien
D.    DIAGNOSA KEPERAWATAN
o     
o    Ketidakefektifan pola pernapasan b/d ekpansi paru yang tidak maksimal karena akumulasi udara/cairan.
o    Inefektif bersihan jalan napas b/d peningkatan sekresi sekret dan penurunan batuk sekunder akibat nyeri dan keletihan.
o    Perubahan kenyamanan : Nyeri akut b/d trauma jaringan dan reflek spasme otot sekunder.
o    Gangguan mobilitas fisik b/d ketidakcukupan kekuatan dan ketahanan untuk ambulasi dengan alat eksternal.
o    Potensial Kolaboratif : Akteletasis dan Pergeseran Mediatinum.
o    Kerusakan integritas kulit b/d trauma mekanik terpasang bullow drainage
o    Resiko terhadap infeksi b/d tempat masuknya organisme sekunder terhadap trauma.
o     
E.     RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN
NO
DIAGNOSA KEPERAWATAN
TUJUAN
PERENCANAAN
1
Ketidakefektifan pola pernapasan b/d ekspansi paru yang tidak maksimal karena trauma.
Pola pernapasan efektive
Dengan Kriteria Hasil :
? Memperlihatkan frekuensi pernapasan yang efektive.
? Mengalami perbaikan pertukaran gas-gas pada paru.
? Adaptive mengatasi faktor-faktor penyebab.
1.                  Berikan posisi yang nyaman, biasanya dnegan peninggian kepala tempat tidur. Balik ke sisi yang sakit. Dorong klien untuk duduk sebanyak mungkin.
2.                  Obsservasi fungsi pernapasan, catat frekuensi pernapasan, dispnea atau perubahan tanda-tanda vital.
3.                  Jelaskan pada klien bahwa tindakan tersebut dilakukan untuk menjamin keamanan.
4.                  Jelaskan pada klien tentang etiologi/faktor pencetus adanya sesak atau kolaps paru-paru.
5.                  Pertahankan perilaku tenang, bantu pasien untuk kontrol diri dnegan menggunakan pernapasan lebih lambat dan dalam.
6.                  Perhatikan alat bullow drainase berfungsi baik, cek setiap 1 - 2 jam
2
Inefektif bersihan jalan napas b/d peningkatan sekresi sekret dan penurunan batuk sekunder akibat nyeri dan keletihan
Jalan napas lancar/normal
Kriteria Hasil :
? Menunjukkan batuk yang efektif.
? Tidak ada lagi penumpukan sekret di sal. pernapasan.
? Klien nyaman.
7.                  Jelaskan klien tentang kegunaan batuk yang efektif dan mengapa terdapat penumpukan sekret di sal. pernapasan.
8.                  Ajarkan klien tentang metode yang tepat pengontrolan batuk.
9.                  Auskultasi paru sebelum dan sesudah klien batuk.
10.             Ajarkan klien tindakan untuk menurunkan viskositas sekresi : mempertahankan hidrasi yang adekuat; meningkatkan masukan cairan 1000 sampai 1500 cc/hari bila tidak kontraindikasi.
11.             Dorong atau berikan perawatan mulut yang baik setelah batuk.
3
Perubahan kenyamanan : Nyeri akut b/d trauma jaringan dan reflek spasme otot sekunder.
Nyeri berkurang/hilang.
Kriteria Hasil :
? Nyeri berkurang/ dapat diadaptasi.
? Dapat mengindentifikasi aktivitas yang meningkatkan/menurunkan nyeri.
? Pasien tidak gelisah.
12.             Jelaskan dan bantu klien dnegan tindakan pereda nyeri nonfarmakologi dan non invasif.
13.             Berikan kesempatan waktu istirahat bila terasa nyeri dan berikan posisi yang nyaman ; misal waktu tidur, belakangnya dipasang bantal kecil.
14.             Tingkatkan pengetahuan tentang : sebab-sebab nyeri, dan menghubungkan berapa lama nyeri akan berlangsung.
15.             Kolaborasi denmgan dokter, pemberian analgetik.
16.             Observasi tingkat nyeri, dan respon motorik klien, 30 menit setelah pemberian obat analgetik untuk mengkaji efektivitasnya. Serta setiap 1 - 2 jam setelah tindakan perawatan selama 1 - 2 hari.

 

Link Kesehatan Copyright © 2011-2012 | Powered by Blogger