B.
Pemeriksaan Histopatologik
Perubahan histopatologik tidak terlalu nampak dan tidak selalu diperlukan tetapi dapat membantu diagnosis (1,2). Epidermis pada umumnya normal. Ikatan-ikatan kolagen di retikular dermis terpisah oleh edema dan ada infiltrat inflamasi limfositik perivaskular. Biasanya juga terdapat peningkatan jumlah sel mast.(2)
Infiltrat limfositik ini biasanya ditemukan pada lesi urtikaria akut dan kronik. Beberapa lesi urtikaria mengandung infiltrat seluler campuran, antara lain limfosit, PMN, dan sel inflamasi lainnya. Tipe infiltrat campuran biasanya merupakan karakteristik dari bentuk refraktur dari urtikaria kronik seperti urtikaria mediasi-autoimun.(7)
Biasanya terdapat kelainan berupa pelebaran kapiler di papila dermis, geligi epidermis mendatar, dan serat kolagen membengkak. Pada tingkat permulaan tidak tampak infiltrasi selular dan pada tingkat lanjut terdapat infiltrasi leukosit, terutama disekitar pembuluh darah. (1)
Punch biopsy dengan ukuran 4 mm dapat digunakan membantu diagnosis. Urtikaria dapat juga mencakup kelainan histopatologis yang luas, mulai infiltrasi berbagai macam sel radang yang agak jarang dengan edema dermis yang menonjol disertai infiltrasi sel-sel radang yang relatif banyak. Sel-sel infiltrat tersebut terdiri dari neutrofil, limfosit dan eosinofil. Adanya infiltrat eosinofil, lebih mengarah pada urtikaria alergi.(1)
Perubahan histopatologik tidak terlalu nampak dan tidak selalu diperlukan tetapi dapat membantu diagnosis (1,2). Epidermis pada umumnya normal. Ikatan-ikatan kolagen di retikular dermis terpisah oleh edema dan ada infiltrat inflamasi limfositik perivaskular. Biasanya juga terdapat peningkatan jumlah sel mast.(2)
Infiltrat limfositik ini biasanya ditemukan pada lesi urtikaria akut dan kronik. Beberapa lesi urtikaria mengandung infiltrat seluler campuran, antara lain limfosit, PMN, dan sel inflamasi lainnya. Tipe infiltrat campuran biasanya merupakan karakteristik dari bentuk refraktur dari urtikaria kronik seperti urtikaria mediasi-autoimun.(7)
Biasanya terdapat kelainan berupa pelebaran kapiler di papila dermis, geligi epidermis mendatar, dan serat kolagen membengkak. Pada tingkat permulaan tidak tampak infiltrasi selular dan pada tingkat lanjut terdapat infiltrasi leukosit, terutama disekitar pembuluh darah. (1)
Punch biopsy dengan ukuran 4 mm dapat digunakan membantu diagnosis. Urtikaria dapat juga mencakup kelainan histopatologis yang luas, mulai infiltrasi berbagai macam sel radang yang agak jarang dengan edema dermis yang menonjol disertai infiltrasi sel-sel radang yang relatif banyak. Sel-sel infiltrat tersebut terdiri dari neutrofil, limfosit dan eosinofil. Adanya infiltrat eosinofil, lebih mengarah pada urtikaria alergi.(1)
Diagnosis Urtikaria
Diagnosis
dapat ditegakkan melalui anamnesis, gejala, dan pemeriksaan fisik.
1. Anamnesa
Berdasarkan dari anamnesa pasien, keluhan subyektif biasanya gatal, rasa terbakar, atau tertusuk pada daerah lesi. Selain itu, pasien memiliki alergi terhadap obat dan makanan tertentu, atau pernah mengalami suatu pengalaman yang merupakan salah satu penyebab urtikaria, misalnya pernah mengalami suatu penyakit sistemik atau mengalami trauma psikis kejiwaan atau fisik yang berhubungan dengan suhu maupun tekanan. (1,3,6)
2. Pemeriksaan klinik
Pada pemeriksaan kulit ditemukan
a. Lokalisasi : Pada badan, tapi dapat juga mengenai ekstremitas, kepala dan leher. (11)
b. Efloresensi : Eritema dan edema setempat berbatas tegas, kadang-kadang bagian tengah tampak pucat. Bentuknya dapat papular. Epidermis di sekitar urtikaria normal. (1,6,8)
c. Ukurannya dari beberapa milimeter hingga sentimeter, dapat berbentuk dari lentikular, numular, sampai plakat. Karakteristik lesi berwarna kemerahan dan terasa gatal. (1,8)
1. Anamnesa
Berdasarkan dari anamnesa pasien, keluhan subyektif biasanya gatal, rasa terbakar, atau tertusuk pada daerah lesi. Selain itu, pasien memiliki alergi terhadap obat dan makanan tertentu, atau pernah mengalami suatu pengalaman yang merupakan salah satu penyebab urtikaria, misalnya pernah mengalami suatu penyakit sistemik atau mengalami trauma psikis kejiwaan atau fisik yang berhubungan dengan suhu maupun tekanan. (1,3,6)
2. Pemeriksaan klinik
Pada pemeriksaan kulit ditemukan
a. Lokalisasi : Pada badan, tapi dapat juga mengenai ekstremitas, kepala dan leher. (11)
b. Efloresensi : Eritema dan edema setempat berbatas tegas, kadang-kadang bagian tengah tampak pucat. Bentuknya dapat papular. Epidermis di sekitar urtikaria normal. (1,6,8)
c. Ukurannya dari beberapa milimeter hingga sentimeter, dapat berbentuk dari lentikular, numular, sampai plakat. Karakteristik lesi berwarna kemerahan dan terasa gatal. (1,8)
Dalam
membantu diagnosis, perlu pula dilakukan pemeriksaan untuk membuktikan penyebab
urtikaria, misalnya: (1,8,12)
- Pemeriksaan darah, urin, dan feses rutin untuk menilai ada tidaknya infeksi yang tersembunyi atau kelainan pada organ dalam.
- Pemeriksaan gigi, telinga-hidung-tenggorok serta usapan vagina perlu untuk menyingkirkan adanya infeksi lokal.
- Pemeriksaan kadar IgE, eosinofil, dan komplemen.
- Tes kulit, meskipun terbatas kegunaannya dapat dipergunakan untuk membantu diagnosis. Uji gores (scratch test) dan uji tusuk (prick test) serta tes intradermal.
- Tes eliminasi makanan
- Pemeriksaan histopatologik
- Tes dengan es (ice cube test) dan air hangat.
- Pada urtikaria fisik akibat sinar dapat dilakukan tes foto tempel.
- Suntikan mecholyl intradermal dapat digunakan pada diagnosa urtikaria kolinergik.
- Pemeriksaan darah, urin, dan feses rutin untuk menilai ada tidaknya infeksi yang tersembunyi atau kelainan pada organ dalam.
- Pemeriksaan gigi, telinga-hidung-tenggorok serta usapan vagina perlu untuk menyingkirkan adanya infeksi lokal.
- Pemeriksaan kadar IgE, eosinofil, dan komplemen.
- Tes kulit, meskipun terbatas kegunaannya dapat dipergunakan untuk membantu diagnosis. Uji gores (scratch test) dan uji tusuk (prick test) serta tes intradermal.
- Tes eliminasi makanan
- Pemeriksaan histopatologik
- Tes dengan es (ice cube test) dan air hangat.
- Pada urtikaria fisik akibat sinar dapat dilakukan tes foto tempel.
- Suntikan mecholyl intradermal dapat digunakan pada diagnosa urtikaria kolinergik.
Diagnosis Banding
Diagnosis
banding pada urtikaria antara lain adalah :
1. Pitiriasis Rosea
1. Pitiriasis Rosea
5. Makula
eritema pada Pitiriasis Rosea* Gambar
Pitiriasis rosea merupakan suatu penyakit ringan yang menyebabkan peradangan kulit disertai pembentukan sisik berwarna kemerahan. Seperti pada urtikaria, pitiriasis rosea juga sering terjadi pada golongan dewasa muda dan adanya eritema dengan peninggian dan berbatas tegas serta gatal. Bentuknya bisa bulat atau lonjong. Untuk membedakan pitiriasis rosea dari urtikaria, pada urtikaria tidak mempunyai sisik. (1,3)
Pitiriasis rosea merupakan suatu penyakit ringan yang menyebabkan peradangan kulit disertai pembentukan sisik berwarna kemerahan. Seperti pada urtikaria, pitiriasis rosea juga sering terjadi pada golongan dewasa muda dan adanya eritema dengan peninggian dan berbatas tegas serta gatal. Bentuknya bisa bulat atau lonjong. Untuk membedakan pitiriasis rosea dari urtikaria, pada urtikaria tidak mempunyai sisik. (1,3)
2.
Dermatitis Kontak Alergi
Dermatitis kontak alergi adalah dermatitis yang terjadi akibat pajanan ulang dengan bahan dari luar yang bersifat haptenik atau antigenik yang sama, atau mempunyai struktur kimia serupa, pada kulit seseorang yang sebelumnya telah tersensitasi. Persamaan dermatitis kontak alergi dengan urtikaria adalah pada gambaran kliniknya yaitu terjadi eritema dengan peninggian atau pembengkakan. Untuk membedakan dermatitis kontak alergi dari urtikaria, pada anamnesis diketahui adanya kontak dengan alergen seperti nikel, lateks, dan sebagainya beberapa menit atau beberapa jam sebelum timbul gejala eritema tersebut.(1,14)
Dermatitis kontak alergi adalah dermatitis yang terjadi akibat pajanan ulang dengan bahan dari luar yang bersifat haptenik atau antigenik yang sama, atau mempunyai struktur kimia serupa, pada kulit seseorang yang sebelumnya telah tersensitasi. Persamaan dermatitis kontak alergi dengan urtikaria adalah pada gambaran kliniknya yaitu terjadi eritema dengan peninggian atau pembengkakan. Untuk membedakan dermatitis kontak alergi dari urtikaria, pada anamnesis diketahui adanya kontak dengan alergen seperti nikel, lateks, dan sebagainya beberapa menit atau beberapa jam sebelum timbul gejala eritema tersebut.(1,14)
TERAPI
Terapi terbaik untuk urtikaria adalah mengobati penyebabnya dan jika memungkinkan menghindari penyebab yang dicurigai.(3,4,12)
Obat lini pertama untuk urtikaria adalah antihistamin antagonis reseptor H1. Obat ini berfungsi untuk mengurangi rasa gatal, serta memendekkan durasi terjadinya eritema dan pembengkakan.(4)
Pengobatan dengan antihistamin pada urtikaria sangat bermanfaat. Cara kerja antihistamin telah diketahui dengan jelas, yaitu menghambat histamin pada reseptor-reseptornya. Berdasarkan reseptor yang dihambat, antihistamin dibagi menjadi 2 kelompok besar, yaitu antagonis reseptor H1 dan H2. Secara klinis dasar pengobatan pada urtikaria difokuskan pada efek antagonis terhadap histamin pada reseptor H1 namun efektivitas tersebut acapkali berkaitan dengan efek samping farmakologik, yaitu sedasi. Dalam perkembangannya terdapat antihistamin baru yang berkhasiat terhadap reseptor H1 tetapi nonsedatif, golongan ini disebut antihistamin nonklasik.(4)
Antihistamin Klasik sebaiknya tidak digunakan sebagai monoterapi tetapi sebaiknya dikombinasikan dengan antihistamin nonklasik. Biasanya antihistamin nonklasik diberikan pada siang hari dan klasik antihistamin diberikan pada malam hari. Antihistamin antagonis reseptor H1 klasik dengan kerja singkat seperti hidroksizina dihidroklorida, terdapat dalam bentuk tablet dan sirup diberikan dengan dosis 50-100 mg per hari pada dewasa, sedangkan untuk anak berumur di bawah 6 tahun dengan dosis 50 mg perhari, anak diatas umur 6 tahun dengan dosis 50-100 mg per hari dengan dosis terbagi. Penggunaan obat ini sebaiknya dihindari pada kehamilan trimester pertama. Disamping itu dapat diberikan antihistamin antagonis reseptor H1 kerja panjang (long acting) seperti difenhidramina diberikan dengan dosis 25-50 mg perhari dan dosis pada anak 5 mg/kgBB perhari dengan dosis maksimal 300 mg perhari.(4,7)
Berikut adalah bagan manajemen terapi untuk kronik urtikaria.
Terapi terbaik untuk urtikaria adalah mengobati penyebabnya dan jika memungkinkan menghindari penyebab yang dicurigai.(3,4,12)
Obat lini pertama untuk urtikaria adalah antihistamin antagonis reseptor H1. Obat ini berfungsi untuk mengurangi rasa gatal, serta memendekkan durasi terjadinya eritema dan pembengkakan.(4)
Pengobatan dengan antihistamin pada urtikaria sangat bermanfaat. Cara kerja antihistamin telah diketahui dengan jelas, yaitu menghambat histamin pada reseptor-reseptornya. Berdasarkan reseptor yang dihambat, antihistamin dibagi menjadi 2 kelompok besar, yaitu antagonis reseptor H1 dan H2. Secara klinis dasar pengobatan pada urtikaria difokuskan pada efek antagonis terhadap histamin pada reseptor H1 namun efektivitas tersebut acapkali berkaitan dengan efek samping farmakologik, yaitu sedasi. Dalam perkembangannya terdapat antihistamin baru yang berkhasiat terhadap reseptor H1 tetapi nonsedatif, golongan ini disebut antihistamin nonklasik.(4)
Antihistamin Klasik sebaiknya tidak digunakan sebagai monoterapi tetapi sebaiknya dikombinasikan dengan antihistamin nonklasik. Biasanya antihistamin nonklasik diberikan pada siang hari dan klasik antihistamin diberikan pada malam hari. Antihistamin antagonis reseptor H1 klasik dengan kerja singkat seperti hidroksizina dihidroklorida, terdapat dalam bentuk tablet dan sirup diberikan dengan dosis 50-100 mg per hari pada dewasa, sedangkan untuk anak berumur di bawah 6 tahun dengan dosis 50 mg perhari, anak diatas umur 6 tahun dengan dosis 50-100 mg per hari dengan dosis terbagi. Penggunaan obat ini sebaiknya dihindari pada kehamilan trimester pertama. Disamping itu dapat diberikan antihistamin antagonis reseptor H1 kerja panjang (long acting) seperti difenhidramina diberikan dengan dosis 25-50 mg perhari dan dosis pada anak 5 mg/kgBB perhari dengan dosis maksimal 300 mg perhari.(4,7)
Berikut adalah bagan manajemen terapi untuk kronik urtikaria.
Prognosis Urtikaria
Urtikaria
akut prognosisnya lebih baik karena penyebabnya cepat dapat diatasi. Kebanyakan
kasus dapat disembuhkan dalam 1-4 hari. Urtikaria kronik lebih sulit diatasi karena
penyebabnya sulit dicari. Hal ini juga tergantung dari penyebab dari urtikaria
itu sendiri. (1,7,15)
KESIMPULAN
Urtikaria
adalah reaksi vaskuler di kulit akibat faktor imunologik dan non-imunologik,
biasanya ditandai dengan edema setempat yang timbul mendadak dan menghilang
perlahan-lahan. Urtikaria dapat terjadi pada semua umur. Penyebabnya yaitu
faktor imunologik (reaksi hipersensitivitas tipe I, II, III, IV, dan genetik)
dan faktor non-imunologik (bahan kimia pelepas mediator, faktor fisik, efek kolinergik,
alkohol, emosi, demam). Gejala yang timbul biasanya berupa edema setempat yang
eritem, kemudian biasanya disertai gatal. Pengobatan yang selama ini diberikan
sesuai dengan kausa dan diberikan juga anti histamin.
DAFTAR
PUSTAKA
1. Aishah
S. Urtikaria. ln:Djuanda A, Hamzah Mochtar, Aisah S, eds. Ilmu Penyakit Kulit
dan Kelamin Tempat. Indonesia: Balai Penerbit FKUI Jakarta; 2007.p.169-81
2. Arnold H L, Odom R B, James W D. Urticaria in : Andrew’s Disease of the Skin Clinical Dermatology. USA: WB Saunders; 1990.p.1147-57
3. Moschella S L, Hurley H J. Disorder of immunity hypersensitivity and inflammation in : Dermatology 3rd Edition. USA: W.B.Saunders Company; 1992.p.286-301.
4. Grattan C, Black A. Urticaria and Angioedema. ln:Horn D, Mascaro J, Saurat J, Mancini A, Salasche S, Stingl G,eds. Dermatology Volume One. Inggris: Mosby; 2003.p. 287-302
5. Habif T P. Urticaria and Angioedema in : Clinical Dermatology 4th Edition A color Guide To diagnosis and therapy . London: Mosby; 2004.p.129-59.
6. Soter N A . Urticaria and Angioedema in : Fitzpatrick Dermatology in General Medicine 5th Edition Volume One . New York: McGraw Hill;1999.p.1409-19.
7. Sheikh J. Urticaria . ( Online ). (2007 ). ( 22 screens ). Available from : URL:http://www.emedicine.com. Accessed on : 05/06/2008.
8. Orkin M, Maibach H I, Dahl M V. Urticaria and Angioedema in : Dermatology 1st Edition . Minessota. Prentice Hall Intternational Inc. 1991 : 417-21.
9. Baratawidjaja K. Imunologi Dasar. Indonesia: Balai Penerbitan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2004.p.46-48
10. Linscott M S. Urticaria. ( Online ). ( 2008 ). ( 19 screens ), Available from : URL:http://www.emedicine.com . Accessed on : 05/06/2008.
11. Siregar R S. Urtikaria dalam : Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit edisi 2. Jakarta: EGC; 2003.p.124-26.
12. Baskoro A, Soegiarto G, Effendi C, Konthen PG. Urtikaria dan Angioedema dalam : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: FKUI; 2006.p.257-61.
13. Stulberg D L, Wolfrey J. Pityriasis Rosea. ( Online ).( 2004 ) ( 17 screens ) . Available from : www.american familyphysician.com. Accessed on : 05/06/2008.
14. Anonymous. Allergic Contact Dermatitis ( Online ). (2008).(4 screens ). Available from : URL:http://www.dermnetNZ.com. Accessed on ; 05/06/2008.
15. Brown R G, Burns T. Berbagai Kelainan Eritematous dan Papuloskuamosa serta Penyakit Kulit akibat Sinar Matahari dalam : Lecture notes dermatologi edisi 8 terjemahan. Jakarta: Penerbit Erlangga;2006.p.151-53.
2. Arnold H L, Odom R B, James W D. Urticaria in : Andrew’s Disease of the Skin Clinical Dermatology. USA: WB Saunders; 1990.p.1147-57
3. Moschella S L, Hurley H J. Disorder of immunity hypersensitivity and inflammation in : Dermatology 3rd Edition. USA: W.B.Saunders Company; 1992.p.286-301.
4. Grattan C, Black A. Urticaria and Angioedema. ln:Horn D, Mascaro J, Saurat J, Mancini A, Salasche S, Stingl G,eds. Dermatology Volume One. Inggris: Mosby; 2003.p. 287-302
5. Habif T P. Urticaria and Angioedema in : Clinical Dermatology 4th Edition A color Guide To diagnosis and therapy . London: Mosby; 2004.p.129-59.
6. Soter N A . Urticaria and Angioedema in : Fitzpatrick Dermatology in General Medicine 5th Edition Volume One . New York: McGraw Hill;1999.p.1409-19.
7. Sheikh J. Urticaria . ( Online ). (2007 ). ( 22 screens ). Available from : URL:http://www.emedicine.com. Accessed on : 05/06/2008.
8. Orkin M, Maibach H I, Dahl M V. Urticaria and Angioedema in : Dermatology 1st Edition . Minessota. Prentice Hall Intternational Inc. 1991 : 417-21.
9. Baratawidjaja K. Imunologi Dasar. Indonesia: Balai Penerbitan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2004.p.46-48
10. Linscott M S. Urticaria. ( Online ). ( 2008 ). ( 19 screens ), Available from : URL:http://www.emedicine.com . Accessed on : 05/06/2008.
11. Siregar R S. Urtikaria dalam : Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit edisi 2. Jakarta: EGC; 2003.p.124-26.
12. Baskoro A, Soegiarto G, Effendi C, Konthen PG. Urtikaria dan Angioedema dalam : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: FKUI; 2006.p.257-61.
13. Stulberg D L, Wolfrey J. Pityriasis Rosea. ( Online ).( 2004 ) ( 17 screens ) . Available from : www.american familyphysician.com. Accessed on : 05/06/2008.
14. Anonymous. Allergic Contact Dermatitis ( Online ). (2008).(4 screens ). Available from : URL:http://www.dermnetNZ.com. Accessed on ; 05/06/2008.
15. Brown R G, Burns T. Berbagai Kelainan Eritematous dan Papuloskuamosa serta Penyakit Kulit akibat Sinar Matahari dalam : Lecture notes dermatologi edisi 8 terjemahan. Jakarta: Penerbit Erlangga;2006.p.151-53.