Kanker ialah suatu penyakit sel
dengan ciri gangguan atau kegagalan mekanisme pengatur multiplikasi dan fungsi
homeostasis lainnya pada organisme multiseluler 1. Sifat umum dari
kanker ialah sebagai berikut :
- Pertumbuhan berlebihan umumnya berbentuk tumor.
- Gangguan diferensiasi dari sel dan jaringan sehingga mirip jaringan mudigah.
- Bersifat invasif, mampu tumbuh di jaringan sekitarnya (perbedaan pokok dengan jaringan normal).
- Bersifat metastatik, menyebar ke tempat lain dan menyebabkan pertumbuhan baru.
- Memiliki hereditas bawaan (acquired heredity) yaitu turunan sel kanker juga dapat menimbulkan kanker.
- Pergeseran metabolisme ke arah pembentukan makromolekul dari nukleosida dan asam amino serta peningkatan katabolisme karbohidrat untuk energi sel.
Sel
kanker mengganggu tuan rumah karena menyebabkan :
- Desakan akibat pertumbuhan tumor.
- Penghancuran jaringan tempat tumor berkembang atau bermetastasis.
- Gangguan sistemik lain akibat sekunder dari pertumbuhan sel kanker.
Umumnya
keganasan pada anak dapat disembuhkan 2. Tetapi penatalaksanaan
keganasan pada anak sangatlah kompleks dan membutuhkan suatu kerjasama tim
spesialis onkologi yang terdiri dari dokter anak, penyakit dalam, radiologi dan
gizi.
Pengembangan
terapi yang efektif dan aman terbatas. Oleh karena kesulitan memahami mekanisme
transformasi molekuler sel, resistensi terhadap pengobatan, kurangnya pilihan terapi yang tersedia untuk
sel malignan dan non-malignan dan toksisitas.
Terapi lokal
dengan pembedahan dan / atau radiasi merupakan komponen penting terapi untuk
kebanyakan tumor padat, tapi kemoterapi multiagen sistemik kadang diperlukan
pada kasus dengan metastasis. Demikian pula, kemoterapi sendirian biasanya
tidak cukup untuk melenyapkan tumor sisa yang besar. Sehingga kadang pada anak
dengan tumor ganas, diperlukan ketiga terapi. Sayangnya, kebanyakan kemoterapi efektif punya indeks
terapeutik yang sempit (rasio kemanjuran terhadap toksisitas), sehingga toksisitas
akut dan kronis dapat diminimalkan.
Kemoterapi
adalah cara pengobatan dengan menggunakan bahan / alat kimia yang akan
menyebabkan kerusakan atau kematian sel kanker. Obat – obat kimia tersebut
dikenal sebagai sitostatika.
Kemoterapi
merupakan dasar pengobatan kanker yang penting pada anak dan dengan diikuti
dengan peningkatan cure rate.
Berdasarkan
pengaruhnya terhadap kinetika sel, sitostatika digolongkan, yaitu obat – obatan
tidak spesifik, obat - obatan yang spesifik untuk golongan tertentu dan obat –
obatan yang spesifik untuk siklus sel.
Dalam
klinis, kemoterapi diberikan dengan tujuan menyembuhkan, paliasi atau
pencegahan.
Kemampuan
kemoterapi dalam mengontrol perkembangan ini ditentukan oleh beberapa faktor
antara lain jenis obat, dosis, cara pemberian, farmakokinetik, sifat biologis,
kinetika sel dan toleransi penderita.
Pembahasan
Masalah
Kemoterapi adalah
pengobatan penyakit yang disebabkan oleh agen kimia yang biasanya digunakan
untuk terapi kanker. Dasar pengobatan yaitu perbedaan antara sel kanker dan sel
normal terhadap reaksi pengobatan sitostatika yang diberikan sendiri – sendiri
atau secara kombinasi. Perbedaan tersebut adalah perbedaan sifat biologis,
biokimia, reaksi farmakokinetik dan sifat proliferatif. Sebelum membahas
mengenai cara kerja masing – masing golongan obat antineoplasma, perlu
diketahui dulu hubungan kerja obat antineoplasma dengan siklus sel kanker. Sel
tumor dapat berada dalam 3 keadaan yaitu :
1.
Yang sedang membelah (siklus
proliferatif).
2.
Yang dalam keadaan istirahat
(tidak membelah, G0).
3.
Yang secara permanen tidak
membelah. 1
Sel tumor yang sedang membelah terdapat
dalam beberapa fase yaitu :
-
fase mitosis (M)
-
fase pramitosis (G1)
-
fase sintesis DNA (S)
-
fase pascamitosis (G2) 1
Bagan fase sel kanker adalah sebagai berikut
:
Pada akhir fase G1 terjadi
peningkatan RNA disusul dengan fase S yang merupakan saat terjadinya replikasi
DNA. Setelah fase S berakhir sel masuk dalam fase pramitosis (G2)
dengan ciri – ciri :
-
sel berbentuk tetraploid
-
mengandung DNA lebih banyak daripada
sel fase lain
-
masih berlangsungnya sintesis RNA
dan protein
Sewaktu mitosis berlangsung (fase M)
sintesis protein dan RNA berkurang secara tiba – tiba, dan terjadi pembelahan
menjadi 2 sel. Setelah itu sel dapat memasuki interfase untuk kembali memasuki
fase G1, saat sel berproliferasi atau memasuki fase istirahat (G0).
Sel dalam fase G0 yang masih potensial untuk berproliferasi disebut
sel klonogenik atau sel induk (stem cell). Jadi yang menambah jumlah sel
kanker adalah sel dalam siklus proliferasi dan dalam fase G0 1.
Ditinjau dari
siklus sel, obat dapat digolongkan dalam 2 golongan yaitu :
1.
Yang memperlihatkan toksisitas
selektif terhadap fase – fase tertentu dari siklus sel (cell cycle specific),
misalnya vinkristin, vinblastin, merkaptopurin, metotreksat, asparaginase. Zat
ini terbukti efektif terhadap kanker yang berproliferasi tinggi misalnya kanker
sel darah.
2.
Zat cell cycle nonspecific,
misalnya zat alkilator, antibiotik antikanker, sisplatin. 1
Perbedaan kerja
tersebut lebih bersifat relatif daripada absolut karena banyak zat yang
tergolong cell cycle nonspecific lebih efektif terhadap sel yang
berproliferasi dan terhadap sel – sel yang sedang dalam fase tertentu
siklusnya. Misalnya bila DNA sel klonogenik yang telah teralkilasi diperbaiki
sebelum sel memasuki fase S, maka sel tersebut tidak dipengaruhi oleh zat
alkilator.
. Obat – obat untuk terapi kanker terdiri dari beberapa kelas obat,
yaitu golongan antibiotika, hormon, antimetabolit, alkaloid nabati / alkaloid
vinka dan agen alkilasi 4.
Mekanisme
kerja masing – masing golongan adalah sebagai berikut :
I.
Alkilator (Agen Alkilasi)
Cara kerja : melalui pembentukan ion karbonium yang sangat reaktif à alkilasi DNA. Yang termasuk
golongan alkilator adalah :
1.1. Mekloretamin
.Siklofosfamid
Klorambusil
Busulfan
II.
Antimetabolit
Cara kerja :
menggantikan purin / pirimidin dalam pembentukan nukleosida à menghambat sintesis DNA. Yang termasuk golongan antimetabolit adalah :
2.1. Sitarabin
2.2.Metotreksat
(MTX)
2.3.Merkaptopurin
III.
Alkaloid Nabati (Alkaloid Vinka)
Cara kerja :
berikatan dengan tubulin (komponen protein mikrotubulus), yang merupakan bagian
penting dari micotic spindle à mitosis
terhenti dalam metafase. Yang termasuk golongan alkaloid nabati adalah :
3.1. Vinkristin
3.2. Vinblastin
IV.
Antibiotika
4.1. Daunorubisin
dan Doksorubisin (Adriamisin)
Cara kerja :
a.
Interkalasi dengan DNA à rantai DNA putus.
b.
Bereaksi dengan sitokrom p450
reduktase à reaksi dengan O2 à menghasilkan radikal bebas à sel
hancur
4.2.
Aktinomisin-D (Daktinomisin)
Cara kerja :
Interkalasi
antara guanin dan sitosin pada 2 rantai DNA (double stranded DNA)
Menghambat
sintesis RNA yang dependen terhadap DNA (terutama ribosomal DNA)
4.3.Bleomisin
Cara kerja :
membentuk kompleks dengan Fe à
berikatan dengan DNA à
terbentuk radikal bebas à rantai DNA
putus (single and double stranded) dan sintesis DNA terhambat.
V.
Hormon
Cara kerja :
hormon berikatan dengan reseptor protein pada sel kanker. Kanker yang sensitif
terhadap hormon tertentu mempunyai reseptor spesifik untuk hormon tersebut,
misalnya reseptor estrogen, progesteron dan kortikosteroid. Keberhasilan terapi
dengan hormon tertentu ditentukan oleh banyaknya reseptor hormon tersebut pada
sel kanker itu. Yang termasuk golongan
hormon dan yang banyak digunakan pada kasus tumor pada anak adalah kortikosteroid.
Berikut ini adalah bagan yang menunjukkan
cara kerja obat antineoplasma menurut golongannya.
Kemoterapi Ajuvan
Pemberian
kemoterapi dosis tunggal telah dapat dibuktikan dan kemudian diperbaiki dengan
kemoterapi secara kombinasi, seperti penggunaan kombinasi obat – obat
antineoplastik dengan cara kerja yang berbeda dan efek samping terbatas (limited
overlapping), dilanjutkan dengan interval masa istirahat. Hasil yang
dicapai dengan menggunakan kombinasi kemoterapi dipengaruhi oleh beberapa
faktor seperti heterogenitas tumor, sensitifitas terhadap obat dan efek
sinergis dari obat – obatan kombinasi tersebut. Walaupun dengan kemoterapi
kontrol terhadap tumor telah dapat diperlihatkan secara klinis, namun secara
klinis penggunaan kombinasi kemoterapi telah memperlihatkan pengaruh yang besar
dengan menunjukkan tidak adanya residual tumor setelah pemberian pengobatan
awal. Setelah operasi reseksi total, sebagian besar penyakit kanker mempunyai
kemungkinan metastase ke bagian lain jika tidak diberikan kemoterapi
profilaksis. Kombinasi kemoterapi pada cara ini disebut kemoterapi ajuvan (adjuvant
chemotherapy).
Manfaat
pengobatan kemoterapi ajuvan telah diperlihatkan pada sejumlah penelitian
prospektif secara acak (random) pada tumor anak dan menunjukkan tidak
adanya mikrometastase pada saat operasi 3. Efektifitas /
keberhasilan kemoterapi ajuvan mungkin berhubungan dengan perbedaan antara
mikrometastase dan metastase yang nyata secara klinis ;
1.
Berkurangnya sel – sel tumor
2.
Sebagian besar sel – sel berada
dalam siklus sehingga peka terhadap kemoterapi (Salmon 1979)
3.
Semua sel terkena dengan konsentrasi obat yang
adekuat (tidak berhubungan dengan vaskularisasi tumor)
4.
Resistensi berkurang (Goldie dan
Coldman 1979) 3
Kemoterapi Pre-operatif
Terapi
prabedah atau neoadjuvant telah banyak digunakan untuk mencegah /
mengatasi beberapa masalah operasi seperti ruptur dari tumor Wilms di tengah –
tengah operasi. Pemberian kemoterapi neoajuvan diikuti dengan terapi standar
pasca operasi telah memperlihatkan hasil yng lebih baik daripada cara standar
sebelumnya (Lemerle dan kawan - kawan 1983) 3. Suatu
keuntungan yang besar adalah operasi akan lebih mudah dilaksanakan dan sering
tumor dapat diangkat secara utuh, dengan rendahnya insidens sekuele akibat
operasi. Yang menarik pada tumor Wilms adalah mengecilnya ukuran tumor dan
rendahnya insidens penyebaran setelah diberikan kemoterapi serta memperbaiki
prognosis dengan meningkatnya proporsi tumor stadium I (Lamerle dan kawan -
kawan 1983). Respons terhadap pengobatan biasanya berdasarkan pada
digunakannya lebih dari satu macam obat dan dapat dievaluasi pada pasien secara
perorangan sehingga baik digunakan untuk pengobatan pasca operasi. Namun
demikian, manfaat dari berbagai obat tunggal terhadap kemoterapi kombinasi
belum diketahui. Penelitian aktivitas suatu obat antineoplastik tunggal dapat
dilakukan dengan memberikan untuk waktu yang pendek pada tumor kemudian
dievaluasi sebelum pemberian kemoterapi kombinasi.
Kemoterapi Dosis Tinggi
Secara
eksperimen, sistem trasplantasi tumor serta pengalaman klinis memperkuat
kentungan pengobatan kemoterapi dosis tinggi pada tumor padat yang sensitif 3.
Namun demikian, definisi kemoterapi dosis tinggi dengan cepat berubah dan tetap
merupakan konsep yang dinamis. Sebagai salah satu cara penanganan pasien
kanker, telah menjadi lebih komprehensif dan efektif terutama dengan
diperkenalkannya faktor – faktor pertumbuhan hematopoeitik. Bila penggunaan
kemoterapi dosis tinggi digabung dengan transplantasi sumsum tulang atau
bersamaan dengan penanganan sel – sel muda darah perifer (peripheral blood
stem cell support), maka disebut kemoterapi megadose.
Agen
alkilasi merupakan bahan yang terbaik untuk digunakan dengan dosis yang
ditingkatkan selama toksisitas ekstrameduler pada dosis tinggi relatif rendah.
Diketahui bahwa tumor yang residif setelah pemberian kemoterapi dosis tinggi
merupakan masalah yang penting dan perlu pengobatan. Tumor yang kemosensitif
yang tidak diterapi dengan dosis konvensional merupakan calon untuk kemoterapi megadose.
Sekarang ini kemoterapi dosis tinggi diikuti dengan infus berulang sumsum
tulang autolog atau PSBC pada anak – anak sangat penting terutama untuk
pengobatan metastase neuroblastoma, sarkoma Ewing stadium lanjut, tumor otak
yang residif dan limfoma yang refrakter. Transplantasi sumsum tulang alogenik
dilakukan terutama untuk mengobati leukemia atau setelah induksi pengobatan
pasien pada saat risiko tinggi kekambuhan.
Farmakologi Klinis
Tujuan
utama penelitian farmakologi klinis terhadap obat – obatan antineoplastik
adalah untuk meningkatkan efektifitas pengobatan kanker dengan toksisitas yang
terbatas 3. Farmakokinetik dan farmakodinamik merupakan dua aspek
yang sangat kuat dalam farmakologi klinik. Farmakokinetik mempelajari suatu
obat dan hasil metabolitnya pada beberapa tempat yang berbeda dalam tubuh dalam
waktu kerjanya. Farmakodinamik menerangkan mengenai efek obat antineoplastik
pada tumor dan pengaruh yang merusak jaringan normal. Ukuran untuk
farmakokinetik biasanya dimulai dari pengukuran secara serial dari kadar dalam
plasma, menunjukkan keadaan obat di dalam tubuh. Beberapa isitilah
farmakokinetik yang paling sering digunakan untuk menerangkan tentang absorbsi,
metbolisme, distribusi dan eliminasi dari suatu obat :
1.
Area under the curve (AUC) : adalah daerah dibawah kurva konsentrasi dalam plasma,
menunjukkan kuantitas obat yang dinyatakan dengan konsentrasi dikalikan dengan
waktu (plasma concentration time)
2.
Bioavailabilitas : jumlah obat
yang diabsorbsi, menunjukkan persentasi dari dosis yang diberikan. Pada umumnya
digunakan untuk mengevaluasi absorbsi obat yang diberikan peroral.
3.
Clearance : kecepatan eliminasi obat. Meliputi seluruh mekanisme pembuangan,
termasuk proses metabolisme ginjal dan ekskresi bilier. Dinyatakan dalam
mL/menit.
4.
Waktu paruh (half-life) :
waktu yang dibutuhkan untuk konsentrasi obat menjadi setengahnya. Fase
distribusi cepat awal (initial rapid distribution phase) dalam plasma
biasanya disebut alfa dan fase eliminasi akhir (terminal) disebut beta.
5.
Volume of Distribution: merupakan teori tentang volume plasma yang diperlukan untuk
melarutkan suatu dosis obat yang diberikan kemudiandiobservasi konsentrasi
dalam plasma. Hal ini menunjukkan karakteristik dari obat, dan bukan volume
compartment physiology. 3
Saat ini pengaruh farmakokinetik terhadap respons dari tumor dan
toksisitasnya setelah dapat dijelaskan secara lebih terperinci (Rodan dan kawan
- kawan 1993). Parameter farmakokinetik telah memperlihatkan hubungan erat
dengan respon tumor pada hanya sedikit penelitian kasus anak. Anak dengan clearance
sistemik yang tinggi terhadap metotreksat (MTX) mempunyai kemungkinan
relaps yang lebih tinggi (Evans dan kawan - kawan 1984). Penelitian klinik
dengan jumlah yang lebih besar memperlihatkan hubungan yang jelas antara
parameter farmakokinetik dan toksisitasnya seperti tabel dibawah ini.
Obat
|
Parameter
Farmakokinetik
|
Efek
|
Busulfan
Sisplatin
Metotreksat
Vinkristin
|
AUC
Puncak
Systemic
clearance
AUC
|
Penyakit
oklusi vena
Nefrotoksik
Toksik
terhadap sumsum tulang
Neurotoksik
|
Pengawasan terapi
obat – obatan pada disiplin ilmu lain seperti kardiologi dan neurologi lebih
perlu dalam rangka memperoleh efek terapeutik yang optimal dengan menghindari
kurang dosis atau kelebihan dosis (under and overdosage) yang disebabkan
oleh variabilitas farmakokinetik. Pada onkologi, walaupun indeks terapeutiknya
rendah dan risiko toksisitas yang mengancam nyawa, dengan pengecualian
pemakaian dosis tinggi metotreksat pada terapi metotreksat dosis tinggi,
pengawasan terapi obat belum rutin dilakukan. Tidak adanya pengujian obat yang
sensitif dan sederhana serta penentuan batasan terapeutik, sebagaimana juga
tidak dihubungkannya antara kadar metabolit aktif dalam plasma dan intrasel adalah salah satu alasan mengapa
pengawasan obat pada pasien sangat sedikit dilakukan. Oleh karena itu pada
sejumlah penelitian farmakokinetik dan farmakodinamik, dosis obat tetap
dihitung berdasarkan luas permukaan badan (LPB) atau berdasarkan berat badan
untuk hampir semua obat antineoplasma pada anak. Formula dosis dewasa telah
dimodifikasi untuk anak – anak oleh Newell dan kawan – kawan (1993), filtrasi
glomerulus (GFR) dan eliminasi non-renal, yaitu 3 :
Dosis (mg) = target AUC x GFR + 0,36 x berat badan (kg)
Intensitas
peningkatan dosis (mg/m2 per minggu) merupakan variabel kemoterapi
kanker pada sejumlah penelitian klinik pada orang dewasa dan anak (Ozols dan
kawan – kawan 1993). Meskipun keabsahan dari cara ini belum dikonfirmasikan
dengan penelitian prosektif secara acak pada anak, intensitas dosis kemoterapi
yang tertinggi harus disesuaikan dengan toleransi penderita.
Efek
farmakokinetik obat – obat yang berubah – ubah yang disebabkan oleh disfungsi
organ dapat merupakan penyebab utama meningkatnya toksisitas. Bila terjadi perubahan
ekskresi, penurunan dosis harus disesuaikan guna menghindari toksisitas yang
lebih besar lagi. Pada akhirnya, penghitungan dosis per unit luas permukaan
badan (LPB) dapat meningkatkan toksisitas pada bayi, dimana anak kecil
mempunyai LPB yang lebih tinggi per kg dibandingkan orang dewasa 3.
Pada anak dibawah 1 tahun, atau dengan LPB kurang dari 0,5 m2,
perhitungan dosis biasanya berdasarkan pada berat badan. Woods dan kawan –
kawan (1981) pertama kali menganjurkan perlunya menghitung kemoterapi berdasarkan
berat badan setelah mengobservasi terjadinya bahaya neuropati dan hepatotoksik
pada anak yang diterapi dengan dosis vinkristin yang berdasarkan luas permukaan
badan 3. Telah dilaporkan banyak kasus lain akibat kemoterapi yang
berhubungan dengan toksisitas yang berlebihan (overwhelming toxicity)
pada bayi. Saat ini dianggap lebih praktis untuk menghitung dosis per kilogram
pada bayi dimana tidak adanya penelitian farmakokinetik dan farmakodinamik.
McLeod dan kawan
– kawan (1992). Walaupun pada sejumlah kecil pasien dapat membedakan ketentuan
obat antikanker untuk bayi dibawah 1 tahun dan anak diatas 1 tahun.
Diperlihatkan pada penggunaan sitarabin dengan dosis berdasarkan LPB hasilnya
hampir sama dengan sistem berdasarkan berat badan untuk kedua golongan umur.
Diperkirakan bahwa perhitungan dosis berdasarkan berat badan dapat menghasilkan
kurang dosis (under-dosing) pada anak dibawah 1 tahun 3. Clearance
metotreksat setelah pemberian dosis tinggi metotreksat dengan pemberian
leukovorin cenderung lebih rendah pada anak dibawah 1 tahun; bagaimanapun
penurunan dosis tidak diperlukan pada golongan umur ini. Sebaliknya terlihat
pada adriamisin lebih baik pemberian dengan dosis berdasarkan berat badan
dibandingkan dengan LPB. Kesimpulannya, perhitungan dosis berdasarkan berat
badan dapat dianjurkan untuk sebagian obat sedangkan untuk beberapa obat lain,
dapat menyebabkan hasil yang rendah secara sistemik. Akan lebih bijaksana bila
selalu menggunakan dosis per kilogram pada bayi saat pemberian dosis pertama dan
bila tidak terjadi toksisitas, dosis dapat dinaikkan secara bertahap dengan
obat antineoplasma terpilih.
Farmakologi Susunan Saraf Pusat
Farmakologi
susunan saraf pusat mendapat banyak perhatian dari para onkolog pediatri sejak
leukemia susunan saraf pusat ditemukan sebagai komplikasi dari leukemia
limfositik akut (LLA) dan tumor otak yang paling sering pada anak adalah
neoplasma yang padat 2,3. Testis dan susunan saraf pusat telah lama
diduga merupakan tempat yang terlindung dari efek farmakologi, sejak diketahui
pada penderita leukemia limfositik akut yang mengalami relaps. Pada
interstisial testis walaupun sel leukemik ditemukan secara khas namun belum
ditemukan hambatan farmakologis (Riccardi dan kawan – kawan 1982). Sedangkan
pada susunan saraf pusat, sawar darah otak memperlihatkan hambatan (barrier)
fisiologis yang dibentuk oleh endotel kapiler otak. Farmakokinetik obat
antineoplasma pada susunan saraf pusat sangat jelas berbeda dari bagian tubuh
yang lain. Sawar darah otak menghambat masuknya sebagian besar obat
antineoplasma ke dalam susunan saraf pusat pada konsentrasi terapeutik 3.
Barrier ini tidak sama keutuhannya pada tumor otak, dimana terlihat
berfungsi di sebagian besar area pada tumor. Ukuran molekul, liposolubilitas
dan muatan listrik (electrical charge) merupakan karakteristik
fisikokemikal yang mempengaruhi penetrasi obat ke dalam susunan saraf pusat
(Roll dan Zubrad 1962). Ikatan protein merupakan faktor tambahan karena setelah
obat membentuk ikatan dengan protein, maka akan terjadi suatu bentuk yang
terlalu besar untuk dapat melalui sawar darah otak. Penelitian terakhir
memperlihatkan bahwa pembentukan dan pemeliharaan sawar darah otak terjadi
akibat interaksi yang kompleks antara sel endotel dan faktor tropik yang
dibentuk oleh astrosit 3. Resistensi berbagai obat melalui
p-glikoprotein memegang peranan sentral pada pemeliharaan sawar darah otak
dengan jalan ikut mengaktifkan proses timbulnya sejumlah substansi toksik yang
potensial dari sel endotel otak (Schinke dan kawan – kawan 1994). Dengan dosis
standar terapeutik, sebagian besar obat antineoplasma tidak dapat melalui sawar
darah otak. Metotreksat dan arabinosin-c dengan dosis tinggi mencapai tingkatan
yang adekuat dan dapat menimbulkan efek anti-tumor di susunan saraf pusat. Pengawasan
kadar obat di cairan serebrospinal tidaklah menggambarkan kadar pada jaringan.
Kadar di jaringan mungkin jalan terbaik untuk mengevaluasi penetrasi ke dalam
massa tumor dari obat antineoplasma yang diberikan 3.
Bagan dibawah ini menunjukkan jenis obat,
cara kerja, metabolisme, ekskresi, indikasi penggunaan dan toksisitasnya 2,5.
Obat
|
Aksi
|
Metabolisme
|
Ekskresi
|
Indikasi
|
Toksisitas
|
Antimetabolit
Metotreksat
6-Merkaptopurin
(Purihetol)
Sitarabin
(Ara-C)
|
Antagonis asam
fo-
lat; mengham-bat
dehidrofolat
reduktase
Analog purin,
mengham-bat
sintesis
purin
Analog
pirimidin, menghambat polimerase DNA
|
Hati
Hati,
alopurinol
menghambat
metabolisme
Hati
|
Ginjal,
50 – 90%
diekskresi
tanpa pe-
rubahan;
biliaris
Ginjal
Ginjal
|
LLA, limfoma,
Medulo –
blastoma,
Osteosarkoma
LLA
LLA, limfoma
|
Mielosupresi
(terendah 7 – 10 hari) , mukositis, stomatitis, dermatitis, hepatitis
Mielosupresi,
nekrosis hati,
mukositis, alopurinol meningkat- kan toksisitas
Mielosupresi,
konjungtivitis, mukositis, disfungsi SSS
|
Agen
Alkilasi
Siklofosfamid
(citoksan)
Ifosfamid
(Ifeks)
|
Guanin alkilat,
mengham-bat sintesis DNA
Sama dengan
siklofosfa-mid
|
Hati
Hati
|
Ginjal
Ginjal
|
LLA, limfoma,
sarkoma
Limfoma, tumor
Wilms, sarkoma, tumor sel benih (germ cell) dan tumor testis
|
Mielosupresi,
sistitis hemoragik, fibrosis paru, sekresi ADH tidak memadai
Sama dengan
siklofosfamid, disfungsi SSS, toksisitas jantung
|
Antibiotika
Doksorubi-sin
(Adria-mycin) dan Daunorubi-sin (Cerubidin)
Daktinomi-sin
Bleomisin
(Blenoxan)
|
Mengikat DNA
interkalasi
Mengikat DNA,
menghambat transkripsi
Mengikat DNA,
memotong DNA
|
Hati
Hati
Hati
|
Biliaris,
Ginjal
Ginjal, tinja,
30% obat diekskresi tanpa perubahan
Ginjal
|
LLA, LMA,
osteosarkoma, sarkoma Ewing, limfoma, neuro-blastoma
Tumor Wilms,
rhabdomiosar-koma, sarkoma Ewing
Penyakit
Hodgkin, limfoma, tumor sel benih (germ cell)
|
Kardiomiopati,
urin merah, nekrosis jaringan bila ekstravasasi, mielosupresi,
konjungtivitis, dermatitis radiasi, aritmia
Nekrosis
jaringan bila ekstravasasi, mielosupresi, radio-sensitisasi, ulserasi mukosa
Pneumonitis,
stomatitis, fenomena Raynaud, fibrosis paru, dermatitis
|
Alkaloid Vinka
Vinkristin
(Onkovin)
Vinblastin
(Velban)
|
Mengham-bat
pembentu-kan mikrotubuli
Meng-hambat
pem-bentukan mikrotubuli
|
Hati
Hati
|
Biliaris
Biliaris
|
LLA, limfoma,
tumor Wilms, penyakit Hodgkin, sarkoma Ewing, neuroblasto-ma,
rhabdomiosarkoma
Penyakit
Hodgkin, histiositosis sel Langerhans
|
Selulitis
lokal, neuropati perifer, konstipasi, ileus, nyeri rahang, sekresi ADH tidak
memadai, kejang, ptosis, mielosupresi minimal
Selulitis
lokal, leukopenia
|
Enzim
L-Asparagina-se
Pegasparga-se
|
Pengo-songan
(deplesi) L-asparagina-se
Konjugasi
polietilen glikol dan L-asparagina-se
|
-
-
|
Sistem
retikuloendotelial
Sistem
retikuloendotelial
|
LLA
LLA
|
Reaksi alergi,
pankreatitis, hiper-glikemia, disfungsi trombosit dan koagulopati,
ensefalopati
Terindikasi
untuk penderita yang alergi terhadap L-asparaginase
|
Hormon
Prednison
|
Tidak
diketahui; modifikasi limfosit
|
Hati
|
Ginjal
|
LLA, peny.
Hodgkin, limfoma
|
Sindroma
Cushing, katarak, diabetes, hipertensi, miopati, osteoporosis, infeksi,
ulserasi peptikum, psikosis
|
Lain – lain
Karmustin
(nitrosurea)
Sisplatin
(platinol)
|
Karbamilasi
DNA, mengham-bat sintesis DNA
Mengham-bat
sintesis DNA
|
Hati;
fenobarbital mening-katkan metabolis-me, menurun-kan aktivitas
-
|
Ginjal
Ginjal
|
Tumor SSS,
limfoma, penyakit Hodgkin
Tumor gonad,
osteosarkoma, neuroblasto-ma, tumor sel benih (germ cell)
|
Mielosupresi
terlambat (4-6 minggu), fibrosis paru, karsinogen, stomatitis
Nefrotoksik,
aminoglikosida meningkatkan nefrotoksisitas, mielosupresi, ototoksik, tetani,
neurotoksik, sindroma hemolitik-uremik, anafilaksis
|
Resistensi Obat
Resistensi
terhadap obat masih merupakan rintangan utama dalam hal pengobatan tumor 3.
Baik faktor farmakologis maupun seluler mungkin menjadi penyebab resistensi
obat. Konsentrasi obat terutama tergantung pada dosis dan lamanya masa infus.
Pengaruh obat mungkin dibatasi oleh lokasi tumor (misalnya dalam susunan saraf
pusat) atau oleh jumlah darah yang terbatas di beberapa daerah tumor. Namun,
jikapun pengaruh terhadap sel tumor dapat dicapai secara optimal, sejumlah
faktor seluler mungkin merupakan penyebab resistensi obat. Berkurangnya aliran
obat ke dalam sel, metabolisme obat yang tidak sempurna ke arah senyawa
aktifnya, dan resistensi terhadap aneka obat (multidrug resistance).
Multidrug
resistance terjadi dengan timbulnya jenis – jenis sel kanker baru yang
menolak tidak saja obat – obat yang sebelumnya efektif tetapi juga obat – obat
antineoplastik yang secara kimiawi tidak berhubungan dengan sel yang sebelumnya
tidak terpengaruh obat antineoplasma 3. Obat – obat yang berkaitan
dengan multidrug resistance adalah obat dengan molekul hidrofobik yang
dihasilkan dari bahan alami, misalnya alakaloid vinka, daktinomisin. Pada
umumnya, obat – obat ini tidak memiliki sasaran sitotoksik yang sama dalam
sel.
Efek Samping
Pada
dosis terapeutik, mielosupresi, alopesia dan mukositis biasanya merupakan
toksisitas yang dapat diprediksi dari kebanyakan obat antineoplasma 3.
Mual dan muntah merupakan efek langsung terhadap jalur garstrointestinal dan /
atau stimulasi dalam zona pemicu
kemoreseptor (chemoreceptor trigger zone) pada ventrikel empat..
Penggunaan dari inhibitor dari reseptor 5HT3 telah sangat menurunkan
insidens efek samping akut dari obat antineoplasma.
1.
Toksisitas pada ginjal
Penurunan fungsi
ginjal bukan peristiwa yang jarang pada pasien yang diterapi kanker. Sisplatin
menyebabkan kerusakan pada tubulus yang reversibel dalam 3 – 4 minggu 3.
Hal ini dapat dicegah dengan pemberian cairan & diuretik. Metotreksat dosis
tinggi juga dapat menyebabkan terbentuknya presipitat di tubuli yang reversibel
dalam 2 – 3 minggu. Hal ini dicegah dengan pemberian cairan, alkalinisasi urin
dan menghindari pemberian obat salisilat dan sufametoksazol.
2.
Hepatotoksik
Metotreksat dosis
tinggi sering menyebabkan peningkatan enzim hati dan fibrosis hati 3.
Aktinomisisn-D menyebabkan hepatomegali, jaundice dan asites.
3.
Neurotoksik
Neuropati
merupakan toksisitas yang paling sering membatasi dosis vinkristin 3.
Keracunan meliputi susunan sensorik dan motorik, dan adanya rasa sakit. Sebagai
tambahan adanya rasa sakit, aa kemungkinan terjadi hilangnya refleks tendon dan
parestesia pada jari tangan dan kaki. Footdrop dan wristdrop adalah
gejala awal neuropati.
Ototoksik dari
sisplatin berhubungan dengan dosis kumulatif dan berakibat pada menurunnya
ketajaman pendengaran diatas 2000 Hz.
Meskipun sangat
jarang terjadi pada anak – anak efek samping yang serius dari kegagalan fungsi
otak dan serebelum dapat diamati pada pasien yang menerima dosis tinggi ara-C.
Gejalanya meliputi ataksia, disartria dan nistagmus. Toksisitas tampaknya
berhubungan erat dengan dosis dan risikonya meningkat pada dosis total yang
melampaui 24 gram/m2 3.
Metotreksat
intratekal bisa menyebabkan iritasi meningen dan araknoiditis dalam 2 – 34 jam
setelah pengobatan dan bisa berlangsung selama 12 – 72 jam. Gejalanya adalah
sakit kepala hebat, leher kaku, muntah, letargi, demam dan kadang pleiositosis
dari cairan serebrospinal. Gejalanya berhubungan dengan dosis kumulatif.
4.
Kardiotoksik
Timbulnya
insidens kardiomiopati meningkat pada dosis kumulatif 450 mg/m2
untuk adriamisin dan 600 mg/m2 untuk daunorubisin. Kegagalan jantung
biasanya timbul dalam waktu 1 tahun setelah terapi, namun dapat timbul 10 tahun
sejak pengobatan. Subklinis yang abnormal pada ventrikel kiri, termasuk
peningkatan afterload dan penurunan kontraktilitas jantung merupakan
kejadian yang umum dan seringkali progresif. Oleh karena itu, pemantauan
jantung yang berkelanjutan seumur hidup direkomendasikan pada pasien yang
berhasil selamat dengan pengobatan antrasiklin 3.
5.
Toksisitas pada paru
Bleomisin paling
sering menyebabkan toksisitas pada paru. Tapi penggunaannya pada anak adalah
jarang.
KESIMPULAN
1.
Kemoterapi sebagai salah satu
terapi pilihan untuk neoplasma, penggunaannya pada anak haruslah bijaksana
karena efek sampingnya yang beranekaragam juga karena indeks terapeutik yang
sempit.
2.
Penggunaan kemoterapi sesuai
dengan luas permukaan badan. Namun demikian, pada bayi dimana luas permukaan badannya lebih besar daripada
orang dewasa, penghitungan dosis dilakukan dengan berat badan.
3.
Cara pemberian kemoterapi bisa
sebagai kemoterapi ajuvan, kemoterapi pre-operatif dan juga sebagai kemoterapi
dosis tinggi.
4.
Resistensi obat merupakan
salah satu rintangan utama dalam pengobatan dengan kemoterapi. Sehingga dalam
hal ini, pemberian kemoterapi secara kombinasi menjadi pilihan yang bijaksana.
DAFTAR PUSTAKA
1.
Ganiswarna S. Setiabudy R. Suyatna
F. Purwatyastuti. Nafrialdi. Farmakologi dan Terapi. 1995; edisi ke-4 : (13)
702 – 713
2.
Behrman R. Kliegman R. Jenson H.
Nelson Textbook of Pediatrics. 2000; 16th edition : (501) 1537 – 1540
3.
Voute P. Kalifa C. Barrett A.
Cancer in Children Clinical Management. 1998; 4th edition : (4) 44 - 57
4.
Haskell C. Cancer Treatment. 1985;
2nd edition : (5) 43 – 98
5.
Berkery R. Cleri L. Skarin A.
Oncology Pocket Guide to Chemotherapy. 1997; 3rd edition : (3) 231 - 260