Farmakokinetika
klinik
Definisi
Pengaruh klinik atau terapeutik suatu
obat pada seorang pasien sebenarnya merupakan hasil dari daya farmakologi obat
tersebut, di mana hal yang terakhir ini akan sangat tergantung pada kadar yang
bisa dicapai pada tempat kerja obat (reseptor). Sayangnya, pengukuran kadar
obat pada reseptor hampir selalu tidak dimungkinkan. Namun demikian, karena
setiap perubahan kadar obat yang terukur dalam cairan darah secara praktis akan
mencerminkan perubahan pada reseptor, dengan pengukuran kadar obat dalam cairan
darah akan bisa diperhitungkan atau diramalkan tingkat aktifitas farmakologik yang
tercapai. Hal tersebut dapat kita lihat pada bagan di bawah ini
Bagan
1: Hubungan antara farmakokinetika obat terhadap pengaruh klinik/hasil terapeutik
Tinggi rendahnya kadar obat dalam cairan
darah merupakan hasil dari besarnya dosis yang diberikan, dan pengaruh-pengaruh
proses-proses alami dalam tubuh mulai dari absorpsi, distribusi, metabolisme
sampai ekskresi obat. Dengan melihat alur peristiwa yang tergambar pada bagan
di atas, sebenarnya farmakokinetika merupakan analisis matematika dari
proses-proses absorpsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi obat.Perlu
dicatat, walaupun perkembangan teknologi modern saat ini telah memungkinkan
kuantifikasi kadar sebagian besar obat dalam cairan biologik, misalnya saja
dengan teknik kromatografi gas, kromatografi cairan tekanan tinggi (high
pressure liquid chromatography; HPLC), spektrometri massa (mass
spectrometry) dan lain-lain, tetapi kuantifikasi aktifitas maupun pengaruh
klinik obat bukan merupakan pekerjaan yang gampang, kalau tidak bisa dikatakan
sangat sulit. Sehingga sampai saat ini farmakokinetika hampir selalu diartikan
sebagai studi kuantitatif dari proses absorpsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi
obat. Penerapan prinsip-prinsip farmakokinetika yang meliputi absorpsi,
distribusi, metabolisme dan ekskresi obat dalam penanganan penderita secara
langsung atau tidak dikenal sebagai farmakokinetika klinik.6
2.5.2 Manfaat
Studi
farmakokinetika klinik digunakan untuk memeriksa absorpsi, distribusi,
metabolisme dan ekskresi suatu obat yang masih dalam tahap investigasi pada
subyek yang sehat ataupun pada pasien. Data yang diperoleh pada studi ini
sangat berguna untuk desain uji klinis. Data yang diperoleh dari studi
farmakokinetika klinik ini pun dapat berguna untuk evaluasi keamanan obat dari
obat-obat baru. Saat ini, studi farmakokinetika banyak dilakukan untuk
pengembangan obat-obat baru.
Manfaat
penerapan farmakokinetika bagi kepentingan penanganan penderita adalah untuk
tuntunan penentuan aturan dosis (dosage regimen) yang menyangkut
besarnya dosis dan interval pemberian dosis, terutama untuk obat-obat dengan
lingkup terapeutik yang sempit seperti teofilina, digoksin, fenitoina,
fenobarbital, lidokain, prokainamida dan lain-lain.6,7 Manfaat lain
dari farmakokinetika adalah mempelajari faktor-faktor yang dapat menipengaruhi
proses-proses biologik yang dialami oleh obat dalam tubuh mulai dari absorpsi,
distribusi, metabolisme maupun ekskresi. Termasuk di sini misalnya faktor-faktor
genetik maupun lingkungan baik lingkungan internal maupun eksternal tubuh.
Misalnya dengan mengukur parameter kinetika eliminasi (khusus untuk
metabolisme) suatu obat dalam satu populasi, dapat diidentifikasi kemungkinan
adanya sub populasi yang lain dari umumnya anggota populasi dalam hal kemampuan
metabolisme obat tertentu. Pengukuran waktu paruh INH dalam suatu populasi akan
memberikan gambaran distribusi frekuensi yang polimodal, di mana individu-individu
dalam populasi terbagi secara genetik ke dalam kelompok -kelompok asetilator
cepat dan asetilator lambat. Contoh lain, peristiwa-peristiwa saling
mempengaruhi (antar aksi obat) dalam tingkat proses-proses biologik absorpsi,
distribusi, metabolisme maupun ekskresi dipelajari dan dievaluasi secara in
vivo, baik pada orang sakit ataupun penderita, dengan pendekatan farmakokinetika
yakni dengan pengukuran-pengukuran parameter-parameter kinetika peristiwa
-peristiwa di atas. Misalnya, hambatan metabolisme primidon oleh karena INH
dibuktikan secara klinik dengan adanya pemanjangan t½ primidon sesudah
pra-perlakuan INH dibandingkan tanpa
pra-perlakuan INH.6
Penelitian-penelitian dalam farmakokinetika
klinik menjadi suatu hal penting disebabkan karena adanya keragaman antar etnik
dan keragaman antar individu dalam suatu populasi sebagaimana telah diuraikan
di atas. Salah satu permasalahan yang sering menjadi bahan pertanyaan dalam
berbagai keadaan itu apakah data kinetika suatu obat dari satu kelompok etnik
(dalam hal ini umumnya didapat dari ras Kaukasoid) bisa dipakai sebagai dasar
untuk pembuatan pedoman aturan dosis dan pemberian pada kelompok etnik lain
(ras Negroid dan Mongoloid)? Jawabannya bisa dua kemungkinan, ya dan tidak. Ini
mungkin karena tidak ada perbedaan yang bermakna secara klinik dalam parameter–parameter
farmakokinetika antara masing -masing kelompok etnik. Kemungkinan lain, untuk
beberapa obat ternyata perbedaan-perbedaan antar kelompok etnik ini cukup
bermakna klinik sehingga memerlukan penyesuaian aturan-aturan dosis pada
kelompok etnik lain sesuai dengan parameter-parameter kinetik yang didapat pada
populasi yang bersangkutan.
Keaneka ragaman antar etnik ini mungkin
disebabkan karena adanya perbedaan dalam frekuensi gen dalam populasi yang
bersangkutan untuk variasi obat yang di bawah pengaruh gen monogenik
(polimorfisme genetik) atau oleh karena perbedaan-perbedaan dalam faktor-faktor
lingkungan internal maupun eksternal yang bisa berpengaruh terhadap
proses-proses kinetika (terutama metabolisme).
2.5.3 Parameter dalam
farmakokinetika klinik
Dalam membahas mengenai
sudi farmakokinetika klinik, terdapat empat hal yang penting yaitu meliputi
absorpsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi.
1.
Absorpsi
yaitu suatu proses dimana suatu obat
masuk ke dalam sirkulasi sistemik. Di dalam studi farmakokinetika klinik yang
menilai mengenai absorpsi, informasi mengenai kadar suatu obat dalam darah
menjadi penting, karena hal itu akan berkaitan dengan cara pemberian obat.
Kadar obat di dalam darah tentu akan berbeda jika obat diberikan secara oral
dibandingkan dengan pemberian obat secara intravena. Untuk menilai keefektifan
obat memasuki sirkulasi sistemik, tentu saja terdapat beberapa parameter yang
harus dinilai meliputi bioavailabilitas yaitu fraksi obat dalam bentuk yang
tidak berubah yang mencapai sirkulasi sistemik setelah pemberian melalui jalur
apa saja, laju absorpsi dan banyaknya absorpsi. Untuk dosis obat intravena, bioavailabilitas
diasumsikan sama dengan satu. Pada perbandingan cara pemberian oral dan
intravena, perhitungan bioavailabilitas dan rasio absorpsi menjadi penting untuk
mengklarifikasi pengaruh eliminasi lintas pertama (first-pass effect) yang terjadi pada pemberian oral. Untuk obat
yang diberikan secara oral, bioavailabilitasnya mungkin kurang dari 100%
berdasarkan dua alasan utama: banyaknya obat yang diabsorpsi tidak sempurna dan
adanya eliminasi lintas pertama.
2.
Distribusi
Satu parameter yang penting adalah
mengenai volume distribusi (Vd). Volume distribusi adalah suatu volume yang
mengandung sejumlah obat pada cairan-cairan tertentu di dalam tubuh (volume
hipotesis penyebaran obat dalam cairan tubuh). Volume distribusi menghubungkan
jumlah obat dalam tubuh dengan konsentrasi obat (C) dalam darah atau plasma.
Vd
Obat–obat
yang memiliki volume distribusi yang sangat tinggi mempunyai konsentrasi yang
lebih tinggi di dalam jaringan ekstravaskular daripada obat-obat yang berada
dalam bagian vaskular yang terpisah, yakni obat-obat tersebut tidak
didistribusikan secara homogen. Sebaliknya, obat-obat yang dapat bertahan
secara keseluruhan di dalam bagian vaskular yang terpisah, pada dasarnya
mempunyai kemungkinan minimum Vd yang sama dengan komponen darah di mana
komponen-komponen tersebut didistribusi.
3.
Metabolisme
Proses alternatif yang memiliki
kemungkinan menuju pada penghentian atau perubahan aktivitas biologis adalah
metabolisme. Peran metabolisme dalam inaktivasi obat-obat larut lemak cukup
luar biasa. Sebagai contoh, barbiturate lipofilik seperti thiopental dan
pentobarbital mempunyai waktu paruh yang sangat panjang kalau bahan tersebut
tidak dimetabolisme menjadi senyawa larut air. Dalam hal tertentu, sebagian
besar biotransformasi metabolik terjadi pada suatu tahap diantara penyerapan
obat ke dalam sirkulasi umum dan eliminasi melalui ginjalnya. Beberapa
transformasi terjadi di dalam lumen usus atau dinding usus. Secara umum, semua
reaksi ini dapat dimasukkan dalam satu dari dua kategori utama yang disebut
reaksi-reaksi fase I dan fase II. Metabolisme yang terjadi di usus halus harus
diperhitungkan pada saat pemberian obat secara oral oleh karena isoform enzim
sitokrom P450 ( CYP3A4) banyak dijumpai dalam usus halus. Dapat dikatakan bahwa
metabolime merupakan proses awal dari ekskresi.
4.
Ekskresi
Parameter yang penting adalah klirens (clearance), yaitu suatu faktor yang
memprediksi laju eliminasi yang berhubungan dengan konsentrasi obat.
Penting
untuk memperhatikan sifat aditif dari klirens. Eliminasi obat dari tubuh
meliputi proses-proses yang terjadi di dalam ginjal, paru, hati dan organ
lainnya. Dengan membagi laju eliminasi pada setiap organ dengan konsentrasi
obat yang menuju pada organ menghasilkan klirens pada masing-masing organ
tersebut. Kalau digabungkan, klirens-klirens yang terpisah ini sama dengan klirens
sistemik total. Dua lokasi utama eliminasi obat adalah kedua ginjal dan hati.
Klirens dari obat yang tidak berubah di dalam urine menunjukkan klirens ginjal.
Di dalam hati, eliminasi obat terjadi melalui biotransformasi obat induk pada
satu metabolit atau lebih, atau ekskresi obat yang tidak berubah ke dalam
empedu atau kedua-duanya.
2.5.4 Contoh Kasus
1.
Contoh kasus I
Misalnya: jika dalam suatu unit darurat
dihadapi seorang penderita status asmatikus berat, di mana sebagai tindak
lanjut diagnosis dan evaluasi klinik diputuskan untuk memberikan terapi
teofilina per infus. Dengan melihat beratnya serangan asma yang diderita,
klinikus menginginkan kadar teofilina dalam keadaan tunak (steady state = Css)
sebesar 12 ug/ml. Untuk menentukan berapa kecepatan infus yang perlu diberikan,
dan berapa besarnya bolus yang diberikan bisa diperhitungkan dari
perhitungan-perhitungan farmakokinetika yaitu
Kecepatan
infus = Cl x Css.............................................................................. (rumus 1)
Cl
adalah klirens tubuh total, yakni menggambarkan kemampuan individu untuk
mengeliminasi obat yang ditunjukkan dengan besarnya volume darah yang
dibersihkan dari obat per unit waktu.
Karena, Cl = Vd x K el ............................................................................... (rumus 2)
Maka,
Kecepatan infus = V d x K el x Css ........................................................
(rumus 3)
Ket:
Vd = volume distribusi yang merupakan
volume hipotetis penyebaran obat dalam cairan tubuh
K el = tetapan kecepatan eliminasi obat
per unit waktu
Persamaan
(3) juga bisa ditulis seperti berikut,
Kecepatan
infus = Vd x (0,693/t1/2) x Css............................................................
(rumus 4)
Ket:
t1/2 adalah waktu paruh obat yang menggambarkan waktu yang dibutuhkan untuk
mengubah jumlah obat di dalam tubuh menjadi separuh dari jumlah sebelumnya.
Karena jika infus diberikan dengan
kecepatan yang sudah diperhitungkan tadi, kadar obat dalam keadaan tunak
(steady state) baru akan tercapai 4 x, maka untuk kasus-kasus berat seperti di
atas perlu diberikan suatu dosis pengisi (loading) agar tercapai Css dalam
waktu cepat
Besarnya
dosis pengisi dapat diperhitungkan,
Dosis
pengisi (loading dose) = kecepatan infus /
K el .......................................... (rumus 5)
Atau = Vd x Css...............................................................
(rumus 6)
Pada contoh di atas, kadar terapeutik
bisa dicapai dengan memperhitungkan kecepatan infus jika bisa diketahui nilai
volume distribusi (Vd) maupun waktu paroh (t1/2) dan bioavailabilitas. Dari
contoh tersebut, kita dapat menentukan aturan dosis dan pemberiannya setelah
parameter-parameter kinetika yang diperlukan bisa diketemukan. Namun yang
menjadi persoalan adalah perlu atau tidaknya menentukan parameter kinetika
terlebih dahulu sebelum menentukan aturan dosis dan pemberiannya pada setiap
penderita. Dalam buku-buku standar farmakologi klinik
atau farmakokinetika, sebenarnya data mengenai parameter-parameter farmakokinetika
dari berbagai obat bisa dicari dan dijadikan pedoman untuk memperkirakan nilai
parameter kinetika yang diperlukan (approximate value). Namun
demikian perlu dicatat hal-hal sebagai berikut:
a.
Sebagian besar (hampir semua) data kinetika obat didapatkan pada orang-orang
Barat (ras Kaukasoid), dan makin banyak diketahui adanya variasi antar etnik
yang cukup bermakna untuk beberapa obat.
b.
Keaneka-ragaman antar individu dalam satu populasi dari satu kelompok etnik
untuk berbagai obat sering terlalu besar untuk bisa diambil suatu nilai
perkiraan rata-rata yang dapat diterapkan pada setiap individu.6,7
2.
Contoh kasus 2
Berikut ini adalah penelitian yang
menunjukkan mengenai keanekaragaman pada proses kinetika dalam hal ini
metabolisme. Misalnya, keaneka ragaman metabolisme isoniazid yang berupa reaksi
asetilasi menjadi asetil-isoniazid. Individu-individu dalam populasi terbagi
menjadi asetilator cepat dan asetilator lambat, di mana ciri genetik masing
-masing di bawah gen dominan (R) dan resesif (r). Frekuensi asetilator pada
masing masing kelompok etnik sangat berbeda. Pada ras Mongoloid sebagian besar
tergolong ke dalam asetilator cepat dengan nilai waktu paro (t½) kurang dari 2
jam, sedangkan pada ras Kaukasoid atau Negroid frekuensi asetilator cepat,
sedikit lebih rendah dari pada asetilator lambat. Pada gambaran histogram,
frekuensi distribusi waktu paro INH dalam kepustakaan nilai antimode yang
memisahkan asetilator cepat dan lambat disebutkan 2 jam, di mana nilai waktu
paro INH kurang dari 2 jam adalah asetilator cepat . Penelitian terhadap
orang-orang Indonesia suku Jawa menunjukkan; nilai antimode t½-INH yang
memisahkan asetilator cepat dan lambat tidak terletak pada nilai 2 jam, tetapi
antara 2½-3½ jam. Mengapa bisa terjadi pergeseran distribusi nilai t½-INH ini
sulit diterangkan. Tetapi analisis lebih lanjut dari data kinetika yang didapat
menunjukkan, nilai rata-rata volume distribusi (Vd) pada subyek -subyek
Indonesia Jawa tadi sebesar 89% ± SEM 3%berat badan. Nilai volume distribusi
pada kepustakaan rata-rata dilaporkan sebesar 61%. Jika dilihat rumus,
T1/2= (0,693. Vd)/ Cl
Maka kemungkinan pergeseran ke kanan
nilai antimode yang memisahkan asetilator cepat & lambat pada populasi
Indonesia-Jawa menjadi antara 2½-3½ jam dibandingkan dengan nilai 2 jam pada
ras Kaukasoid, disebabkan oleh karena tingginya nilai volume distribusi (Vd).
Hal tersebut dapat dilihat pada gambar di bawah ini:6,8
Masih banyak lagi contoh-contoh tentang
adanya perbedaan antar kelompok etnik dalam parameter-parameter kinetika dari
obat. Perbedaan ini mungkin relatif kecil, mungkin bisa juga besar dan
mempunyai makna klinik yang mengharuskan penyesuaian aturan dosis. Perlu
dicatat bahwa perlu tidaknya untuk melakukan penyesuaian aturan dosis pada
suatu populasi tidak hanya dengan melihat perbedaan parameter kinetika
(misalnya t½) tetapi juga mempertimbangkan lebar & sempitnya lingkup
terapeutik(therapeutic range) kadar obat. Untuk obat-obat dengan lingkup
terapeutik yang lebar, berarti jarak antara kadar efektif minimal dan kadar
toksik minimal lebar, perbedaan parameter kinetik tertentu tidak membawa
konsekuensi apa-apa. Tetapi untuk obat-obat dengan lingkup terapeutik yang
sempit, adanya variasi kinetika sedikit sudah membawa konsekuensi yang sangat
penting.
BAB III
KESIMPULAN
Farmakokinetika klinik adalah penerapan
prinsip-prinsip farmakokinetik yang meliputi absorpsi, distribusi, metabolisme
dan ekskresi dalam penanganan penderita baik secara langsung ataupun tidak.
Farmakokinetika klinik sangat berguna terutama untuk tuntunan penentuan aturan
dosis (dosage regimen) yang menyangkut besarnya dosis dan interval
pemberian dosis, terutama untuk obat-obat dengan lingkup terapeutik yang sempit
seperti teofilina, digoksin, fenitoina, fenobarbital, lidokain, prokainamida
dan lain-lain. Terdapat beberapa parameter yang sering diukur di dalam studi
farmakokinetika klinik untuk menilai tentang bagaimana kinetika obat di dalam
tubuh yaitu bioavailabilitas, volume distribusi, klirens, waktu paruh dll.
Studi farmakokinetika klinik menjadi suatu keharusan di dalam pengembangan
obat-obat baru terlebih setelah diketahui adanya keanekaragaman antar etnik dan
antar individu yang dikenal sebagai polimorfisme genetik dan adanya
faktor-faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi proses kinetika obat
(terutama metabolisme).