Hipertermia Maligna (MH) merupakan salah satu mimpi buruk para pelaku anestesia yang jarang terjadi namun fatal. Namun ini bukanlah kesalahan prosedur anestesia atau alergi obat anestetik. Kumpulan gejala klinis yang diakibatkan oleh peningkatan tonus dan metabolisme otot rangka terjadi sangat cepat dan hebat, oleh karena itu sering mengakibatkan mortalitas. Dantrolen (dantrolene) disebut telah menurunkan mortalitas akibat MH dari 80% menjadi 5% saja. Sejak pertama kali kejadian MH dilaporkan th 1960 hingga kini, belum ada alternatif terapi selain dantrolen. Oleh karena itu, sangat beralasan jika ketersediaan dantrolen di semua negara adalah krusial, hingga nanti jika ditemukan alternatif lain.
Istilah “Malignant Hyperthermia” pertama kali
diperkenalkan oleh Denborough & Lovell dalam sebuah artikel (Anaesthetic Deaths in a Family, Lancet
1960). Diagnosis “MH” pada waktu itu didasarkan atas observasi seksama
tanda-tanda klinis, tanpa peralatan pemantau canggih. Saat ini ketika MH sudah
lebih dikenal, istilah “hipertermia” menjadi kurang relevan karena seringkali
peningkatan suhu timbul lambat.
EPIDEMIOLOGI
Insiden terjadinya MH
berkisar antara 1: 5000 hingga 1:50.000-100.000 kasus dewasa dan 1:3000-1:5000
pada kasus pediatrik. Prevalensi kelainan ini mungkin 1 dalam 3000 – 4000
individu, mengenai semua kelompok etnik dan golongan umur, terbanyak adalah
dewasa muda dengan kekerapan 2:1 untuk pria dibandingkan wanita.
Angka kejadian MH di Indonesia tidak
diketahui karena belum ada sistem pencatatan dan pelaporan. Hal yang sama
tampaknya terjadi juga di negara-negara Asia yang lain, dengan perkecualian di
Jepang dan Taiwan. Diketahui berbagai laporan kasus anekdotal tentang kejadian
yang sangat dicurigai MH di Indonesia. Kasus-kasus tersebut banyak di antaranya
fatal, terutama karena tidak tersedianya dantrolen di Indonesia.
PATOFISIOLOGI
MH bukan merupakan penyakit
alergi terhadap zat anestetik atau zat lainnya. MH adalah kelainan genetik autosomal dominan. Jadi MH bukan
penyakit akibat anestesia. Meskipun tidak mengalami krisis MH, penyandangnya
tetaplah penyandang MH. Autosomal dominan berarti cukup satu orangtua yang
menyandangnya, maka kemungkinan besar anak-anak mereka juga menyandang MH.
Penyandang MH sebagian terbukti mengalami mutasi kromosom no.19q 12.1-13.2.
Mutasi ini menyebabkan perilaku menyimpang pada reseptor ryanodin (RyR) di
dalam sel otot skeletal.
Pada setiap manusia normal, RyR “menempel”
pada retikulum sarkoplasmik dalam sel, yang merupakan gudang penyimpanan
terbesar Ca2+ intraselular. Aktivasi RyR akan menyebabkan
penglepasan Ca2+ ke sitosol. Apa yang mengaktivasi RyR? Potensial
aksi. Potensial aksi akan mengaktivasi RyR, “membuka” retikulum sarkoplasmik
sehingga memungkinkan Ca2+ yang tersimpan keluar ke sitoplasma. Ca2+
inilah yang memicu eksitasi sel dengan hasil kontraksi sel otot. Jadi, yang
berperan besar dalam eksitasi sel adalah Ca2+ intraselular yang
tersimpan di retikulum sarkoplasmik, bukan arus masuk Ca2+ dari
ekstrasel ke intrasel. (Karena itu tidak ada gunanya memberikan obat penghambat
kanal Ca ketika serangan MH terjadi.)
Pada penyandang MH, mekanisme di atas
terjadi berlebihan. Aktivasi RyR yang tidak lazim menyebabkan penglepasan
berlebihan dan akumulasi Ca2+ di sitosol, yang berakibat
hiperkontraktur sel otot rangka. RyR yang abnormali ini “bertingkah” setiap
kali terpajan dengan zat pemicunya. Apa saja? Yang paling terkenal adalah anestetika volatil. Pemicu lain yang
juga terkenal adalah kafein,
suksinilkolin dan suatu zat kimia bernama klorokresol. Ketika penyandang MH terpajan dengan zat pemicunya,
terjadilah reaksi malapetaka ini. Otot skeletal pasien akan mengalami
hiperkontraktur dengan segala akibatnya.
GAMBARAN
KLINIS
Sehari-hari, penyandang MH
tidak berbeda sama sekali dengan manusia normal lain. Itulah sebabnya tidak ada
penyandang MH yang didiagnosis MH, sebelum terjadinya kejadian “malapetaka”
tadi. Kejadian itu, yang dikenal dengan MH crisis, paling sering terjadi
ketika pasien menjalani anestesia inhalasi. Sebelum patofisiologi MH ini
terkuak, orang akan dengan mudah menyatakan kondisi ini sebagai “komplikasi
anestesia”. Pernyataan ini tidak benar. Krisis MH bukan komplikasi anestesia.
Terbukti kemudian, ada juga dilaporkan kematian penyandang MH di luar kamar
bedah, yaitu ketika sedang bermain bola. Pajanan dengan panas (heat) dan aktivitas
skeletal yang tinggi merupakan salah satu yang dapat pula memicu krisis MH.
Ketika terjadi krisis MH, inilah sekuens
yang sebenarnya. Hiperkontraktur otot-otot skeletal terjadi menyeluruh.
Sebagian besar dimulai dari otot masseter (masseter
spasm), tapi segera diikuti otot skeletal yang lain. Pasien akan tampak
kaku. Hasil kontraksi berlebihan ini adalah peningkatan produksi panas, CO2
dan asam laktat. Selanjutnya, akan terjadi kerusakan sel otot skeletal dengan
hasil peningkatan kreatinin kinase (CK) dan myoglobinuria serta peningkatan
kalium darah. Peningkatan aktivitas simpatis dapat bermanifestasi sebagai
gangguan hiperdinamik kardiovaskular (takikardia/aritmia, hipertensi dsb).
Secara klinis, selain masseter spasm,
tanda yang paling dini dapat terdeteksi adalah peningkatan ETCO2.
Sedangkan panas yang meningkat tidak selalu langsung terdeteksi. Itulah
sebabnya, istilah yang tepat sebenarnya bukan hipertermia tetapi
hipermetabolisme.
DIAGNOSIS
Gejala klinis krisis MH
tidak sepenting diagnosisnya. Proses ini berlangsung sangat cepat dan tentu
lebih penting menyelamatkan pasien daripada berpikir mengenai diagnosis pasti.
Baku emas diagnosis pasti MH hingga saat
ini masih CHCT (Caffeine-Halothane
Contracture Test). Otot tersangka penyandang MH dipajankan dengan halotan
dan kafein, kemudian dilihat adakah hiperkontraksi akibat pajanan ini.
Sayangnya di dunia baru ada sedikit sekali laboratorium yang melakukan tes ini,
sebagian besar di USA. Terlebih lagi, spesimen otot harus segar. Artinya,
tersangka penyandang MH harus pergi ke pusat tersebut. Sekali hasil CHCT
positif MH, semua saudara kandung dan orangtuanya harus diperiksa kromosomnya,
untuk mengetahui dari garis mana MH ini didapat.
Karena CHCT sangat terbatas, saat ini
mulai digalakkan pemeriksaan alternatif, yaitu langsung dilakukan pemeriksaan
kromosom untuk melihat mutasi yang sesuai. Namun dikatakan, hanya sekitar 30%
pasien yang positif CHCT juga terbukti mengalami mutasi genetik sesuai MH.
DIAGNOSIS
DIFERENSIAL
Beberapa kondisi menunjukkan
gambaran klinis mirip dengan krisis MH. Di antaranya adalah:
1. Neuroleptic
Malignant Syndrome
(NMS). Ini adalah reaksi sebagian pasien yang mendapat antipsikosis tertentu.
Terjadi penurunan aktivitas dopamin, baik akibat blokade maupun akibat withdrawal terapi dengan obat
dopaminergik. Selain suhu yang meningkat, pasien akan menunjukkan agitasi atau
penurunan kesadaran, rigiditas otot, diaforesis dan disfungsi otonom. Terapinya
simtomatik, namun dantrolen dan bromokriptin dapat meredakan dengan cepat.
2. Serotonin
Syndrome
atau tepatnya toksisitas serotonin. Banyak obat dapat memicu reaksi ini,
terutama jika digunakan bersama-sama. Agonis 5HT (golongan triptan), antagonis
5HT (ondansetron, granisetron), obat antikolinergik (metoklopramid), antidepresan (misalnya inhibitor MAO),
opioid, stimulan otak (amfetamin, metamfetamin, kokain), bahkan obat-obat
herbal (misalnya ginseng) dilaporkan dapat memicu toksisitas serotonin.
Hipermetabolisme yang terjadi di sini tidak disertai rigiditas otot. Biasanya
yang terjadi adalah tremor, hiperefleksia atau twitching. Terapinya adalah antagonis serotonin (siproheptadin atau
klorpromazin) dan simtomatik.
3. MH-like
Syndrome.
Kondisi mirip dengan krisis MH juga dapat terjadi pada pasien dengan kelainan
muskuloskeletal yang dibius dengan anestetika inhalasi, terutama jika
prosedurnya melibatkan manipulasi otot (misalnya operasi koreksi strabismus).
Gejala klinis yang timbul tidak sehebat krisis MH dan diterapi simtomatik.
Pasien yang mengalami kondisi ini bukan penyandang MH.
PANDUAN
TATALAKSANA KRISIS HIPERTERMIA MALIGNA INTRA-ANESTESIA
(dimodifikasi dari berbagai
panduan di dunia)
- Segera hentikan semua zat anestetik volatil.
- Aktifkan situasi kegawatdaruratan.
- Naikkan ventilasi semenit untuk menurunkan ETCO2. Gunakan oksigen tinggi dengan melihat SpO2.
- Berikan dantrolen sodium. Dosis inisial 2,5 mg/kg BB, dilakukan secara bolus intravena.
- Dinginkan pasien. Gunakan ice packs di inguinal, aksila dan leher.
- Lavase lambung dengan cairan dingin.
- Hentikan pendinginan jika suhu badan telah mencapai 38,5 °C.
- Ganti CO2 absorber tiap kali telah jenuh.
- Atasi aritmia sesuai algoritma. Jangan gunakan Ca channel blocker
- Dosis lanjutan dantrolen dititrasi sesuai perubahan ETCO2 dan laju jantung.
- Batas dosis total (bolus dan rumatan) dantrolen adalah 10 mg/kg BB,namun boleh ditambah bilamana sangat perlu.
- Periksa AGD, elektrolit, kreatinin kinase urin. Hiperkalemia diatasi dengan insulin dan glukosa, ditambah hiperventilasi.
- Periksa koagulasi lengkap setelah 6-12 jam.
- Pastikan semua proses tercatat dan segera dilaporkan
- ke Indonesian
- MH Registry.