UJI KEAMANAN DAN TOKSISITAS PRAKLINIK
Berbagai
obat kandidat yang telah melewati prosedur skrining dan penetapan profil awal
harus dievaluasi secara hati-hati akan adanya berbagai risiko potensial sebelum
dan selama dilakukannya uji klinis. Bergantung pada tujuan penggunaan obat, uji
toksisitas pra klinik mencakup sebagian besar atau seluruh prosedur yang
tercantum dalam tabel I. Walaupun tidak ada zat kimiawi yang dapat dikatakan
sepenuhnya ‘aman’ (bebas dari risiko), tujuan uji ini adalah untuk
memperkirakan risiko yang berhubungan dengan keterpajanan terhadap kandidat
obat dan untuk mempertimbangkan hal ini dalam hubungannya dengan penggunaan
terapeutik dan lama penggunaan suatu obat
Semua obat bersifat toksik pada dosis
tertentu. Menetapkan batas toksisitas dan indeks terapeutik antara manfaat
dan risiko (risk and benefit) suatu obat secara tepat mungkin merupakan bagian
terpenting dari proses pengembangan suatu obat baru. Sebagian besar kandidat
obat gagal dipasarkan, tetapi seni pengembangan dan penemuan obat terletak pada
kajian dan manajemen resiko yang efektif, bukan pada penghindaran risiko secara
total. 7
Berbagai
tujuan penelitian terhadap toksisitas pra klinik antara lain adalah untuk
mengidentifikasi potensi terjadinya toksisitas pada manusia; merancang berbagai
uji untuk menetapkan mekanisme toksis lebih jauh; dan memperkirakan toksisitas
yang spesifik dan paling relevan untuk dipantau dalam uji-uji klinis. Sebagai
tambahan berbagai penelitian yang tercantum dalam tabel I, diperlukan pula
beberapa perkiraan kuantitatif seperti ‘no
effect’ dose – dosis maksimum tidak terlihatnya suatu efek toksik tertentu;
dosis letal minimum – dosis terkecil
yang dapat mematikan hewan percobaan; dan, bila perlu, dosis letal median (LD50) – dosis yang mematikan sekitar
50% hewan. Saat ini nilai LD50,diperkirakan dengan menggunakan hewan
percobaan dalam jumlah yang sekecil mungkin. Berbagai dosis ini digunakan dalam
perhitungan dosis awal yang akan diujikan pada manusia, biasanya diambil
seperseratus atau sepersepuluh dari nilai no-effect
dose pada hewan. 7
Terdapat
berbagai keterbatasan dalam uji praklinis yang penting untuk diketahui antara
lain sebagai berikut:
1. Uji
toksisitas merupakan uji yang menyita waktu dan mahal. Diperlukan waktu sekitar
2 sampai 6 tahun untuk mengumpulkan dan menganalisa data serta memperkirakan
indeks terapeutik (suatu perbandingan antara jumlah senyawa yang memberikan
efek terapeutik dan yang menyebabkan efek toksik) obat sebelum dianggap layak
uji pada manusia.
2. Diperlukan
sejumlah besar hewan percobaan untuk mendapatkan data praklinis yang sahih (valid). Para ilmuwan menaruh perhatian
besar akan hal ini, dan berbagai kemajuan telah dicapai untuk menurunkan jumlah
hewan yang digunakan dengan tetap mempertahankan kesahihan data. Kultur sel dan
jaringan dengan berbagai metode in vitro makin banyak digunakan, namun nilai
perkiraan yang dihasilkan masih sangat terbatas. Walaupun demikian, beberapa
golongan masyarakat berusaha untuk menghentikan semua uji menggunakan hewan
percobaan dengan alasan yang tidak berdasar bahwa hal ini tidak diperlukan
lagi.
3. Ekstrapolasi
indeks terapeutik dan data toksisitas dari hewan ke manusia dapat memberikan
perkiraan untuk sebagian besar toksisitas tetapi tidak seluruhnya. Untuk
menemukan suatu proses yang lebih maju, dibentuklah Predictive Safety Testing Consortium, yakni suatu badan yang
merupakan gabungan lima perusahaan farmasi terbesar di Amerika Serikat dengan Food and Drug Administration (FDA) sebagai badan penasehat, untuk
memperkirakan keamanan suatu pengobatan sebelum diujikan pada manusia. Hal ini
dicapai dengan cara menggabungkan berbagai metode laboratorium yang
dikembangkan secara internal dalam tiap perusahaan farmasi.
4. untuk
kepentingan statistik, berbagai efek samping yang jarang ditemui tidak mungkin
dideteksi.
Tabel I. Berbagai
uji keamanan
Tipe Uji
|
Pendekatan
|
Toksisitas akut
|
Dosis akut yang mematikan sekitar
50% hewan percobaan dan dosis maksimum yang dapat ditoleransi. Biasanya dua
spesies, dua rute pemberian, dosis tunggal
|
Toksisitas subakut
|
Tiga dosis, dua spesies. Mungkin
diperlukan sekitar 4 minggu sampai 3 bulan sebelum uji klinis. Makin lama
durasi perencanaan penggunaan klinis, makin lama pula waktu uji subakut
|
Toksisitas kronik
|
Spesies hewan pengerat dan bukan
pengerat. 6 bulan atau lebih. Diperlukan jika obat dimaksudkan untuk
digunakan pada manusia dalam jangka waktu yang lama. Biasanya berjalan
bersamaan dengan uji klinis.
|
Efek terhadap perilaku reproduksi
|
Efek terhadap perilaku kawin,
reproduksi, persalinan, keturunan, cacat saat lahir, dan perkembangan
pascanatal pada hewan.
|
Potensi karsinogenik
|
Dua tahun, dua spesies. Diperlukan
jika obat dimaksudkan untuk digunakan pada manusia dalam jangka waktu yang
lama.
|
Potensi mutagenik
|
Efek terhadap stabilitas dan mutasi
genetik bakteri (Tes Ames) atau sel-sel mamalia dalam kultur; tes letal
dominan dan klastogenisitas pada mencit.
|
Penelitian toksikologi
(Investigative toxicology)
|
Menentukan rangkaian dan mekanisme
efek-efek toksik. Menemukan berbagai gen, protein, dan jalur yang terlibat.
Mengembangkan metode baru untuk mengkaji toksisitas.
|
Setelah diperoleh bahan calon obat, maka selanjutnya calon obat tersebut
akan melalui serangkaian uji yang memakan waktu yang panjang dan biaya yang
tidak sedikit sebelum diresmikan sebagai obat oleh badan pemberi izin. Biaya
yang diperlukan dari mulai isolasi atau sintesis senyawa kimia sampai diperoleh
obat baru lebih kurang US$ 500 juta per obat. Uji yang harus ditempuh oleh
calon obat adalah uji praklinik dan uji klinik. 4
Uji praklinik merupakan persyaratan uji untuk calon obat, dari uji
ini diperoleh informasi tentang efikasi (efek farmakologi), profil
farmakokinetik dan toksisitas calon obat. Pada mulanya yang dilakukan pada uji
praklinik adalah pengujian ikatan obat pada reseptor dengan kultur sel
terisolasi atau organ terisolasi, selanjutnya dipandang perlu menguji pada
hewan utuh. Hewan yang baku digunakan adalah galur tertentu dari mencit, tikus,
kelinci, marmot, hamster, anjing atau beberapa uji menggunakan primata,
hewan-hewan ini sangat berjasa bagi pengembangan obat. Hanya dengan menggunakan
hewan utuh dapat diketahui apakah obat menimbulkan efek toksik pada dosis
pengobatan atau aman. 4
Penelitian toksisitas merupakan cara potensial untuk mengevaluasi :
• Toksisitas yang berhubungan dengan pemberian obat akut atau kronis
• Kerusakan genetik (genotoksisitas, mutagenisitas)
• Pertumbuhan tumor (onkogenisitas atau karsinogenisitas)
• Kejadian cacat waktu lahir (teratogenisitas)
Selain toksisitasnya, uji pada hewan dapat mempelajari sifat
farmakokinetik obat meliputi absorpsi, distribusi, metabolisme dan eliminasi
obat. Semua hasil pengamatan pada hewan menentukan apakah dapat diteruskan
dengan uji pada manusia. Ahli farmakologi bekerja sama dengan ahli teknologi
farmasi dalam pembuatan formula obat, menghasilkan bentuk-bentuk sediaan obat
yang akan diuji pada manusia. 4
Di samping uji pada hewan, untuk mengurangi penggunaan hewan percobaan
telah dikembangkan pula berbagai uji in vitro untuk menentukan khasiat
obat contohnya uji aktivitas enzim, uji antikanker menggunakan cell line,
uji anti mikroba pada perbenihan mikroba, uji antioksidan, uji antiinflamasi
dan lain-lain untuk menggantikan uji khasiat pada hewan tetapi belum semua uji
dapat dilakukan secara in vitro. Uji toksisitas sampai saat ini masih
tetap dilakukan pada hewan percobaan, belum ada metode lain yang menjamin hasil
yang menggambarkan toksisitas pada manusia, untuk masa yang akan datang perlu
dikembangkan uji toksisitas secara in vitro. 4
Setelah calon obat dinyatakan mempunyai kemanfaatan dan aman pada hewan
percobaan maka selanjutnya diuji pada manusia (uji klinik). Uji pada manusia
harus diteliti dulu kelayakannya oleh komite etik mengikuti Deklarasi Helsinki.
4
Uji klinik terdiri
dari 4 fase yaitu :
1. Fase I ,
calon obat diuji pada sukarelawan sehat (25-50) untuk mengetahui apakah sifat
yang diamati pada hewan percobaan juga terlihat pada manusia. Pada fase ini
ditentukan hubungan dosis dengan efek yang ditimbulkannya dan profil farmakokinetik
obat pada manusia. Meskipun tujuan dari fase I ini adalah untuk mendapatkan
dosis maksimum yang dapat ditoleransi, namun studi fase I ini diatur untuk
mencegah keracunan berat. Jika obat yang hendak diuji memiliki toksisitas yang
signifikan, seperti pada kasus terapi kanker dan AIDS, pasien sukarelawan
dengan penyakit yang berkaitanlah yang digunakan pada fase I dibanding
menggunakan sukarelawan normal. Percobaan fase I dilakukan untuk menentukan
apakah manusia dan hewan memperlihatkan respon yang berbeda secara signifikan
terhadap obat dan untuk menentukan batas rentang dosis klinis aman yang
memungkinkan. Percobaan ini “terbuka”; dimana penguji dan subyek mengetahui apa
yang diberikan selama percobaan. Banyak dugaan keracunan terdeteksi pada fase
ini. Pengukuran farmakokinetik penyerapan, waktu paruh, dan metabolisme
biasanya dilakukan pada fase I. Studi fase I biasanya dilakukan pada
pusat-pusat penelitian dengan ahli farmakologi klinis yang telah dilatih
khusus. 4,7
2. Fase II,
calon obat diuji pada pasien tertentu (100-200), diamati efikasi pada
penyakit yang diobati. Yang diharapkan dari obat adalah mempunyai efek yang
potensial dengan efek samping rendah atau tidak toksik. Pada fase ini mulai
dilakukan pengembangan dan uji stabilitas bentuk sediaan obat. Rentang
toksisitas yang lebih luas mungkin saja terdeteksi pada fase ini, dimana uji
fase II biasanya dilakukan pada pusat-pusat klinis khusus (misal rumah sakit
universitas). 4,7
3. Fase III
melibatkan kelompok besar pasien (mencapai ribuan), di sini obat baru
dibandingkan efek dan keamanannya terhadap obat pembanding yang sudah
diketahui. Selama uji klinik banyak senyawa calon obat dinyatakan tidak dapat
digunakan. Akhirnya obat baru hanya lolos 1 dari lebih kurang 10.000 senyawa
yang disintesis karena risikonya lebih besar dari manfaatnya atau
kemanfaatannya lebih kecil dari obat yang sudah ada. Sejumlah efek toksik,
khususnya yang disebabkan oleh proses imunologis, pertama kali terlihat nyata
pada fase III. 4,7
Keputusan
untuk mengakui obat baru dilakukan oleh badan pengatur nasional, di Indonesia
oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan, di Amerika Serikat oleh FDA (Food and
Drug Administration), di Kanada oleh Health Canada, di Inggris oleh MHRA
(Medicine and Healthcare Product Regulatory Agency), di negara Eropa lain oleh
EMEA ( European Agency for the Evaluation of Medicinal Product) dan di
Australia oleh TGA (Therapeutics Good Administration). 7
Untuk dapat dinilai oleh badan tersebut, industri pengusul harus
menyerahkan data dokumen uji praklinik dan klinik yang sesuai dengan indikasi
yang diajukan, efikasi dan keamanannya harus sudah ditentukan dari bentuk
produknya (tablet, kapsul dll.) yang telah memenuhi persyaratan produk melalui
kontrol kualitas. 7
Pengembangan obat tidak terbatas pada pembuatan produk dengan zat baru,
tetapi dapat juga dengan memodifikasi bentuk sediaan obat yang sudah ada atau
meneliti indikasi baru sebagai tambahan dari indikasi yang sudah ada. Baik
bentuk sediaan baru maupun tambahan indikasi atau perubahan dosis dalam sediaan
harus didaftarkan ke Badan POM dan dinilai oleh Komisi Nasional Penilai Obat
Jadi. Pengembangan ilmu teknologi farmasi dan biofarmasi melahirkan new drug
delivery system terutama bentuk sediaan seperti tablet lepas lambat,
sediaan liposom, tablet salut enterik, mikroenkapsulasi dll. Kemajuan dalam
teknik rekombinasi DNA, kultur sel dan kultur jaringan telah memicu kemajuan
dalam produksi bahan baku obat seperti produksi insulin dll. 7
Setelah calon obat dapat dibuktikan berkhasiat sekurang-kurangnya sama
dengan obat yang sudah ada dan menunjukkan keamanan bagi si pemakai maka obat
baru diizinkan untuk diproduksi oleh industri sebagai legal drug dan
dipasarkan dengan nama dagang tertentu serta dapat diresepkan oleh dokter. 7
4. Fase IV,
setelah obat dipasarkan masih dilakukan studi pasca pemasaran (post
marketing surveillance) yang diamati pada pasien dengan berbagai kondisi,
berbagai usia dan ras, studi ini dilakukan dalam jangka waktu lama untuk
melihat nilai terapeutik dan pengalaman jangka panjang dalam menggunakan obat.
Setelah hasil studi fase IV dievaluasi masih memungkinkan obat ditarik dari
perdagangan jika membahayakan, sebagai contoh Cerivastatin suatu obat
antihiperkolesterolemia yang dapat merusak ginjal, Entero-vioform (kliokuinol)
suatu obat antidisentri amuba yang pada orang Jepang menyebabkan kelumpuhan
pada otot mata (SMON disease), fenilpropanolamin yang sering terdapat pada obat
flu harus diturunkan dosisnya dari 25 mg menjadi tidak lebih dari 15 mg karena
dapat meningkatkan tekanan darah dan kontraksi jantung yang membahayakan pada
pasien yang sebelumnya sudah mengidap penyakit jantung atau tekanan darah
tinggi, talidomid dinyatakan tidak aman untuk wanita hamil karena dapat
menyebabkan kecacatan pada janin, troglitazon suatu obat antidiabetes di
Amerika Serikat ditarik karena merusak hati. 4,7
Efek Obat
yang Merugikan
Reaksi
merugikan dari sebuah obat adalah respon membahayakan dan tidak diinginkan.
Sejumlah reaksi merugikan seperti overdosis, efek berlebihan, dan interaksi
obat, bisa terjadi pada siapa saja. Reaksi merugikan biasanya terjadi hanya
pada pasien yang rentan termasuk intoleransi, idiosinkrasi, dan alergi. Selama
masa uji pra klinis dan uji klinis, semua kejadian merugikan harus dilaporkan.
DAFTAR
PUSTAKA
1.
Tjay, T.H. dan Rahardja, K.
Obat-Obat Penting: khasiat, penggunaan dan efek sampingnya. Farmakologi Umum.
PT Elex Media Komputindo. Jakarta, 2007. hal: 3 – 4
2.
Lullman, H et al. Color Atlas of
Pharmacology 2nd edition. General Pharmacology. Thieme, 2000. hal: 2
– 3
3.
Wirasuta, I.M.A.G., Tren
Perkembangan Dunia Farmasi, 18 Desember 2009, Artikel tersedia dari: http://gelgel-wirasuta.blogspot.com/2009/12/tren-perkembangan-dunia-farmasi-tempat.html.
Diakses 20 Januari 2012
4.
Sukandar, E. Y.,
Tren Dan Paradigma Dunia Farmasi: Industri-Klinik-Teknologi Kesehatan, Pidato
ilmiah pada acara dies natalis ITB yang ke 45, Departemen Farmasi, FMIPA,
Institut Teknologi Bandung. Artikel tersedia dari: http://www.itb.ac.id/focus/focus_file/orasi-ilmiah-dies-45.pdf
5.
Tan, S.Y., Medicine in Stamps;
Hippocrates: Father of Medicine, Singapore Med Journals, 2002 Vol 43(1) : 005 –
006, Available from : http://www.sma.org.sg/smj/4301/4301ms1.pdf.
diakses pada 20 Januari 2012
6.
Tan,
S.Y., Yeow, M.E., Medicine in Stamps; Paracelsus (1493-1541): The Man Who Dared,
Singapore Med Journals, 2003 Vol 44(1) : 005 – 007, Available from: http://www.sma.org.sg/smj/4401/4401ms1.pdf.
diakses pada 20 Januari 2012
7.
Katzung, B.G., Basic and Clinical
Pharmacology 10th edition, Development and Regulation of Drugs,
LANGE McGraw Hill, September 2006