INFEKSI TORCH
Infeksi Sitomegalovirus
Sitomegalovirus (CMV) termasuk golongan virus herpes DNA. Hal ini
berdasarkari struktur dan cara virus CMV pada saat melakukan replikasi. Virus
ini menyebabkan pembengkakan sel yang karakteristik sehingga terlihat sel
membesar (sitomegali) dan tampak sebagai gambaran mata burung hantu. Di Amerika
CMV merapakan penyebab utama infeksi perinatal (diperkirakan 0,5 - 2 % dari
seluruh bayi neonatal). Yow dan Demmler (1992) dalam pengamatannya selama 20
tahun atas morbiditas yang disebab-kan CMV perinatal menjelaskan bahwa dari
800.000 janin yang terinfeksi oleh CMV diperoleh 50.000 bersifat sirnptomatis
derigan kelainan retardasi mental, kebutaan, dan tuli sedangkan 120 ribu janin
yang bersifat asimptomatis mempunyai keluhan neurologic 1-3.
Penularan/transmisi CMV ini berlangsung secara horisontal,
venikai, dari hubungan seksual. Transmisi horisontal terjadi melalui droplet
infection dan kontak dengan air ludah dan air seni. Sementara itu,
transmisi vertikal adalah penularan proses infeksi maternal ke janin. Infeksi
CMV kongenital umumnya terjadi karena transmisi trans-plasenta selama kehamilan
dan diperkirakan 0,5 % - 2,5 % dari populasi neonatal. Dimasa peripartum
infeksi CMV timbul akibat pemaparan terhadap sekresi serviks yang telah
terinfeksi melalui air susu ibu dan tindakan transfusi darah. Dengan cara ini
prevalensi diperkirakan 3-5 % 4,5,6.
Patogenesis
Infeksi CMV yang terjadi karena pemaparan pertama kali atas
individu disebut infeksi primer. Infeksi primer berlangsung simptomatis ataupun
asimptomatis serta virus akan menetap dalam jaringan hospes dalam waktu yang
tidak terbatas. Selanjutnya virus masuk ke dalam sel-sel dari befbagai macam
jaringan. Proses ini disebut infeksi laten 3,5,6.
Pada keadaan tertentu eksaserbasi terjadi dari infeksi laten
disertai multiplikasi virus. Keadaan tersebut misalnya terjadi pada individu
yang mengalami supresi imun karena infeksi HIV, atau obat-obatan yang
dikonsumsi penderita transplan-resipien ataupun penderita dengan keganasan 3,5.
Infeksi rekuren (reaktivasi/reinfeksi) yang dirnungkinkan karena
penyakit tertentn serta keadaan supresi imun yang bersifat iatrogenik. Dapat
diterangkan bahwa kedua keadaan tersebut menekan respons sel limfosit T
sehingga timbul stimulasi antigenik yang kronis. Dengan demikian, terjadi reaktivasi
virus dari periode laten disertai ber-bagai sindroma 1,3,5.
Epidemiologi
Di negara-negara maju sitomegalovirus (CMV) adalah penyebab
infeksi kongenital yang paling utama dengan angka kejadian 0,3 - 2 % dari
kelahiran hidup. Dilaporkan pula bahwa 10 - 15 % bayi lahir yang terinfeksi
secara kongenital adalah simptomaris yakni dengan manifestasi klinik akibat
terserangya susunan saraf pusat dan berbagii organ lainnya (multiple
organ). Hal ini menyebabkan kematian perinatal 20 - 30 % serta
timbulnya cacat neurologik berat lebih dari 90 % pada kelahiran. Manifestasi
klinik dapat berupa hepatosplenomegali, mikrosefali, retardasi mental, gangguan
psikomotor, ikterus, peteckiae, korioretinitis, dan
kalsifikasi serebral 1,4.
Sebanyak 10 - 15 % bayi yang terinfeksi bersifat tanpa gejala
(asimptomatis) serta tampak normal pada waktu lahir. Kemungkinan bayi ini akan
memperoleh cacat neurologik seperti retardasi mental atau gangguan pendengaran
dan penglihatan diperkirakan 1—2 tahun kemudian. Dengan alasan ini sebenarnya
infeksi CMV adalah penyebab utama kerusakan sistem susunan saraf pusat pada
anak-anak 1,2,4,7.
Infeksi CMV pada Kehamilan
Transmisi CMV dari ibu ke janin dapat terjadi selama kehamilan dan
infeksi pada umur kehamilan kurang dari 16 minggu menyebabkan kerusakan yang
serius.
Infeksi CMV kongenital berasal dari infeksi maternal eksogenus
ataupun endogenus. Infeksi eksogenus dapat bersifat primer yaitu terjadi pada
ibu hamil dengan pola imunologik seronegatif dan nonprimer bila ibu hamil dalam
keadaan seropositif.
Infeksi endogenus adalah hasil suatu reaktivasi virus yang
sebelumnya dalam keadaan paten. Infeksi maternal primer akan memberikan akibat
klinik yang jauh lebih buruk pada janin dibandingkan infeksi rekuren
(reinfeksi) 1,2,4.
Diagnosis
Infeksi primer pada kehamilan dapat ditegakkan baik dengan metode
serologik maupun virologik. Dengan metode serologik, diagnosis infeksi maternal
primer dapat ditunjukkan dengan adanya perubahan dari seronegatif menjadi
seropositif (tampak adanya IgM dan IgG anti CMV) sebagai hasil pemeriksaan
serial dengan interval kira-kira 3 minggu. Dalam metode serologik infeksi
primer dapat pula ditentukan dengan Low IgG Avidity, yaitu
antibodi klas IgG menunjukkan fungsional aviditasnya yang rendah serta
berlangsung selama kurang lebih 20 minggu setelah infeksi primer. Dalam hal ini
lebih dari 90 % kasus infeksi primer menunjukkan IgG aviditas rendah (Low
Avidity IgG) terhadap CMV 2,4,7,8.
Dengan metode virologik, viremia maternal dapat ditegakkan dengan
menggunakan uji imuno fluoresen. Uji ini menggunakan monoklonal antibodi yang
mengikat antigen Pp 65, suatu protein (polipeptida dengan berat molekul 65 kilo
dalton) dari CMV di dalam sel leukosit dalam darah ibu 2,4,8.
Diagnosis Pranatal
Diagnosis pranatal harus dikerjakan terhadap ibu dengan kehamilan
yang menunjukkan infeksi primer pada umur kehamilan sampai 20 minggu. Hal ini
karena diperkirakan 70 % dari kasus menunjukkan janin tidak terinfeksi. Dengan
demikian, diagnosis pranatal dapat mencegah terminasi kehamilan yang tidak
perlu terhadap janin yang sebenarnya tidak terinfeksi sehingga kehamilan
tersebut dapat berlangsung. Saat ini terminasi kehamilan merupakan satu-satunya
terapi intervensi karena pengobatan dengan antivirus(ganciclovir) tidak
memberi hasil yang efektif dan memuaskan 3,4,8.
Diagnosis pranatal dilakukan dengan mengerjakan metode PCR dan
isolasi virus pada cairan ketuban yang diperoleh setelah amniosentesis.
Amniosentesis dalam hubungan ini paling baik dikerjakan pada umur kehamilan
21-23 minggu karena tiga hal berikut 8.
· Mencegah hasil negatif
palsu sebab diuresis janin belum sempuma sebelum umur kehamilan 20 minggu
sehingga janin belum optimal mengekskresi virus sitomegalo meialui urin ke
dalam cairan ketuban.
· Dibutuhkan wakni 6-9
minggu setelah terjadinya infeksi maternal agar virus dapat ditemukan daiarn
cairan ketuban.
· Infeksi janin yang berat
karena transmisi CMV pada umumnya bila infeksi maternal terjadi pada umur
kehamilan 12 minggu.
Penelitian menunjukkan bahwa untuk diagnosis pranatal hasil
amniosentesis febsh baik jika dibandingkan dengan kordosentesis. Demikian pula
halnya biopsi vili korialis dikatakan ddak meningkatkan kemampuan mendiagnosis
infeksi CMV intrauicrin. Kedua prosedur ini kordosentesis dan biopsi membawa
risiko bagi janin, bahkan prosedur tersebut tidak dianjurkan 4,8.
Pemeriksaan ultra-sound yang merupakan bagian dan
perawatan antenatal sangat membantu dalam mengindentifikasi janin yang berisiko
tinggi/diduga terinfeksi CMV. Klinisi harus memikirkan adanya kemungkinan
infeksi CMV itrauterin bila didapat-kan hal-hal berikut ini pada janin.
Oligohidramnion, polihidramnion, hidrops nonimun, asites janin, gangguan
pertumbuhan janin, mikrosefali, ventrikulomegali serebral (hidro-sefalus),
kalsifikasi intrakranial, hepatosplenomegali, dan kalsifikasi intrahepatik 1,4,8.
Terapi dan Konseling
Tidak ada terapi. yang memuaskan dapat diterapkan, khususnya pada
feksi kongenitai. Dengan demikian, dalam konseling infeksi primer yang umur
kehamilan < 20 minggu setelah memperhatikan hasil diagnosis pranatal
kemungkinan dapat dipertimbangkan terminasi kehamilan. Terapi diberikan guna
infeksi CMV yang serius seperti retinitis, esofagitis pada penderita dengan Immunodeficiency
Syndrome (AIDS) serta tiridakan profilaksis untuk mencegah CMV setelah
transplantasi organ. Obat yang digunakan untuk anti CMV wntuk ini adalah Ganciclovir,
Foscarnet, Cidofivir dan Valacidovir, tetapi sampai
saat ini belum dilakukan evaluasi di samping obat tersebut dapat menimbulkan
intoksikasi serta resistensi. Pengembangan vaksin perlu dilakukan guna mencegah
morbiditas dan mortalitas akibat infeksi congenital 1,2,4,8.
ToksopSasmosls Kongenitai
Aspek Klinik dan Perilaku Biologik Toksoplasma Kongenitai
Transmisi toksoplasma kongenitai hanya terjadi bila infeksi
toksoplasrna akut terjadi selama kehamikn. Bila infeksi akut dialami ibu selama
kehamilan yang telah memiiiki antibodi antitoksopbsma karena sebelumnya telah
terpapar, risiko bayi lahir memperoleh infeksi kongenital adalah sebesar 4 -
7/1.000 ibu hamil. Risiko meningkat menjadi 50/1.000 ibu hamil bila ibu tidak
mempunyai antibodi spesifik 9,10.
Keadaan parasitemia yang ditimbulkan oleh infeksi maternal
menyebabkan parasit dapat mencapai plasmta. Selama invasi dan menetap di
plasenta parasit berkembang biak serta sebagian yang lain berhasil memperoleh
akses ke sirkulasi janin. Telah diketahui adanya korelasi antara isolasi
toksoplasma di jaringan plasenta dan infeksi neonatus, artinva bahwa hasil
isolasi positif dijaringan plasenta menunjukkan terjadinya infeksi pada
neonatus dan sebaliknya hasil isolasi negatif menegaskan infeksi neonatus tidak
ada 11,12,.
Berdasarkan hasil perneriksaaan otopsi neonatus yang meninggal
dengan toksoplasmosis kongenital ini disusun suatu konsep bahwa infeksi yang
diperoleh janin dalam uterus terjadi melalui aliran darah serta infeksi
plasenta akibat toksoplasmosis merupakan tahapan penting setelah fase infeksi
maternal dan sebelum terinfeksinya janin 10,12,14.
Selanjutnya konsepsi ini berkembang lebih jauh dengan hasil-hasil
penelitian sebagai berikut.
· Frekuensi infeksi
toksoplasmosis kongenital sama dengan frekuensi infeksi plasenta.
· Tiap-tiap kasus
bergantung pada usia kehamilan saat terjadinya infeksi maternal serta apakah
ibu memperoleh pengobatan selama kehamilan 2,4,12.
Diagnosis Pranatal
Menyadari besarnya dampak loksoplasmosis kongenital pada janin,
bayi, serta anak-anak disertai kebutuhan akan konfirmasi infeksi janin pranatal
pada ibu hamil, maka para klinisi/obstetrikus memperkenalkan metode baru yang
merupakan koreksi atas konsep dasar pengobatan toksoplasmosis kongenital yang
lampau. Konsep lama hanya bersifat empiris dan berpedoman pada hasil uji
serologik ibu hamil. Saat ini pemanfaatan tindakan kordosentesis dan
amnioslntesis dengan panduan ultrasonografi guna memperoleh darah janin ataupun
cairan ketuban sebagai pendekatan diagnostik merupakan ciri para obstetrikus
pada dekade 90-an2,9,11. Selanjutnya segera dilakukan pemeriksaan
spesifik dan rumit yang sifatnya biomolekular atas komponen janin tersebut
(darah atau cairan ketuban) dalam waktu relatil singkat dengan ketepatan yang
tinggi. Hasilnya sangat menentukan untuk pengobatan selanjutnya. Upaya ini
dikenal dengan diagnostik pra-natal 2,4,9.
Bahkan, diagnostik pranatal dipandang lebih efektif untuk
menghindari atau menekan risiko toksoplasmosis kongenital karena upaya prevensi
primer pada ibu hamil berupa nasihat menghindari makanan/minuman yang kurang
dimasak kurang berhasil. Oleh karena itu, upaya diagnostik pranatal disebut
sebagai prevensi sekunder.
Diagnosis pranatal umumnya dilakukan pada usia kehamilan 14-27
minggu (trimester II). Aktivitas diagnosis pranatal meliputi sebagai berikut 2,4,9,11.
· Kordosentesis
(pengambiian sampel darah janin melalui tali pusat) ataupun amniosemesis
(aspirasi cairan ketuban) dengan tuntunan ultrasonografi.
· Pembiakan
darah janin ataupun cairan ketuban dalam kultur sel fibroblas, ataupun
diinokulasi ke dalam ruang peritoneum tikus diikuti isolasi parasit,
ditunjukkan untuk mendeteksi adanya parasit. Pemeriksaan dengan teknik P.C.R.
guna mende-teksi D.N.A. T. gondii pada darah jariin atau
cairan ketuban. Pemeriksaan dengan teknik ELISA pada daral§jjanin guna: mendeteksj'antibodi
IgM janin spesifik (anti-toksopiasma),
· Pemeriksaan tambahan
berupa penetapan enzim liver, platelet, leukosit (monosit dan eosinofil)
dan limfosit khususnya rasio CD4 dan CDS. Daffos et al.(1988)
mengembangkan tindakan diagnosis pranatal untuk toksoplasmosis kongenital dengan
serial/berulang. Dikatakan prosedur ini retatif aman bila mulai dilakukan pada
umur kehamian 19 minggu dan seterusnya.
Diagnosis toksoplasma kongenital ditegakkan berdasarkan hasil
pemeriksaan yang menunjukkan adanya IgM janin spesifik (antitoksoplasma) dari
darah janin; Ditemukan parasit pada kultur ataupun inokulasi tikus dan D.N.A.
dari T. gondii dengan P.C.R. darah janin atanpun cairan
ketuban. ;
Beberapa faktor yang harus diperhatikan karena sangat menentukan
agar upaya diagnostik pranatal menjadi aman, terpercaya, dan efisien adalah
sebagai berikut 2,4,9,11..
· Didahului ofeh skrining
serologik maternal/ibu hamil, hasilnya harus memenuhi kriteria tertentu sebelum
dilanjutkan ke prosedur diagnostik pranatal. Jika satu dari 4 syarat di bawah
ini terpenuhi, akan dilakukan kordosintesis atau amniosintesis.
1. antibodi
IgM+
2. Serokonversi
dengan interval wakju 2 sampai 3 minggu, perubahan dari seronegatif menjadi
seropositif IgM dan IgG.
3. liter IgG
yang tinggi ≥1/1024 (ELISA)
4. Aviditas
IgG 5 ≤200.
· Keterampilan klinisi
melakukan kordosintesis atau amniosintesis dengan tuntunan ultrasonografi.
· Kecermatan dan
keterampilan yang terlatih dalam mengerjakan pekerjaan rumit dan khusus di
laboratorium di antaranya meliputi kultur, inokulasi, teknik ELISA, dan P.C.R..
Terapi dan Peaeegaban
Terapi diberikan terhadap 3 kelompok penderita berikut 9,10,11,13.
· Kehamilan dengan infeksi
akut
5. Spiramisin
Spiramisin, suatu antibiotika macrolide dengan
spektrum antibakteria; konsentrasi tertentu yang dibutuhkan untuk menghambat
pertumbuhan ataupun membunuh organisme belum diketahui. Di, jaringan obat ini
ditemukan kadar/konsemrasi yang tinggi terutama pada plasenta tanpa melewatinya
serta aktif membunuh takizoit sehingga menekan transmisi transplasental.
Spiramisin pada orang dewasa diberikan 2 -4 g/hari per oral dibagi dalam 4
dosis untuk 3 minggu, diulangi setelah 2 minggu sampai kehamilan aterm.
6. Piremitamin \
Piremitamin, adalah fenilpirimidin obat
antirhalaria, terbukti juga sebagai pengo-batan radikal pada hewah
eksperimental yang dikenakan infeksi toksorjlasmosis. Obat ini benahan lama
dalam darah dengan waktu paruh plasma 100 jam (4-5 hari). Guna menghindari efek
akumulatif pada jaringan, pemberian obat dianjur-kan setiap 3-4 hari.
Piremitamin dan sulfadiazin bekerja sinergik menghasilkan khasiat 8 kali lebih
besar-terhadap toksoplasma. Kedua obat ini bekerja memblokir jalur metabolisme
asam folat dan asam para aminobenzoat parasit karena menghambat kerja enzim
dihidrofolat reduktase dengan akibat terganggunya pertumbuhan stadium takizoit
parasit. Kombinasi kedua obat ini mengakibatkan efek toksisitas yang tinggi.
Sulfadiazin menimbulkan reaksi hematuria dan hipersensitivitas.
Piremitamin menyebabkan depresi sumsum tulang secara gradual dan reversibel
dengan akibat penurunan platelet, leukopenia, dan anemia yang menyebabkan
tendensi perdarahan. Untuk mengantisipasi hal ini perlu pemeriksaan sel darah
tepi dan platelet 2 kali seminggu serta penggunaan asam folinik dalam bentuk
kalsium leukovorin yang menghambat efek depresi sumsum tulang dari piremitamin.
Bersama asam folinik ditambahkan pula ragi yang tidak akan merugikan pengobatan
toksoplasmosis.
Dilaporkan pula piremitamin bersifat teratogenik. Thalhammer dan
Kraubig menganjurkan pcmakaian obat ini dimulai trimester II setelah umur
kehamilan 14 minggu guna menghindari efek teratogenik pada janin. Kombinasi
piremitamin sulfadiazin, clan asam folinik sebagai penggunaan simultan
diberikan selama 21 hari. Dosis piremitamin diberikan sebesar 1 mg/kg/hari
secara oral untuk 3-4 hari. Sulfadiazin 50-100 mg/kg/hari/oral dibagi 2 dosis
serta asam folinik 2 kali 5 mg injeksi intramuskular tiap minggu selama
pemakaian piremitamin. Klindamisin cukup efektif terhadap takizoit, tetapi
dapat menyebabkan kolitis ulseratif.
· Toksoplasma kongenital2,4,9
Sulfadiazin dengan dosis 50 - 100 mg/kg/hari dan piremitamin 0,5 -
1 mg/kg diberikan setiap 2-4 hari selama 20 hari. Disertakan juga injeksi
intramuskular asam folinik 5 mg setiap 2-4 hari untuk mengatasi efek toksik
piremitamin terhadap multiplikasi sel. Pengobatan dihentikan ketika anak
berumur 1 tahun karena diharapkan imunitas, selulernya telah memadai untuk
melawan penyakit pada masa tersebut.
· Penderita
imunodefisiensi2-4'9
Kondisi penderita akan cepat memburuk menjadi fatal bila tidak
diobati. Pengobatan di sini sama halnya dengan toksoplasmosis kongenital yaitu
menggunakan piremitamin, sulfadiazin, dan asam folinik dalam jangka panjang.
Piremitamin dan sulfadiazin dapat melalui barier otak.
Profilaksis adalah tindakan yang paling efektif berupa
perlindungan atas populasi yang berisiko sepeni ibu hamil dengan seronegatif.
Upaya tersebut adalah sebagai berikut12,15
· Dianjurkan memakan semua
sayur-sayuran dan daging yang dimasak. Ookista mati dengan pemanasan 90° C
selama 30 detik, 80° C untuk 1 menu dan 70° C untuk 2 menir. Makanan yang
dibekukan bukan merupakan sumber kontaminasi.
· Skrining serologik
pramarital yang dilanjutkan skrining bulanan selama kehamilan bagi ibu hamil
dengan seronegatif.
Keadaan toksoplasmosis di suatu daerah dipengaruhi oleh banyak
faktor, seperti kebiasaan makan daging kurang matang, adanya kucing yang
terutama dipelihara sebagai binatang kesayangan, adanya tikus dan burung
sebagai hosper perantara yang merupakan binatang buruan kucing, adanya
sejumlah vektor seperti lipas atau lalat yang dapat memlndahkan ookista dari
tinja kucing ke makanan. Cacing tanah juga berperan untuk memindahkan ookista
dari lapisan dalam ke permukaan tanah.
Walaupun makan daging kurang matang merupakan cara transmisi yang
penting untuk T. gondii,transmisi melalui ookista tidak dapat
diabaikan. Seekor kucing dapat rnengeluarkan sampai 10 juta butir ookista
sehari selama 2 minggu. Ookista menjadi, matang dalam waktu 1-5 hari dan dapat
hidup lebih dari setahun di tanah yang panas dan lembab. Ookista mati pada suhu
45° - 55° C, juga mati bila dikeringkan atau bila bercampur formalin, amonia,
atau larutan iodium. Transmisi melalui bentuk ookista menunjukkan infeksi T
gondii pzdz orang yang tidak senang makan daging atau terjadi pada
binatang herbivora12,15.
Untuk mencegah infeksi T gondii (terutama pada
ibu hamil) harus dihindari makan daging kurang matang yang mungkin mengandung
kista jaringan dan menelan ookista matang yang terdapat dalam tinja kucing.
Kista jaringan dalam daging tidak infektif lagi bila sudah dipanaskan sampai
66° C atau diasap. Setelah memegang daging mentah (jagal, tukang masak),
sebaiknya tangan dicuci bersih dengan sabun. Makanan harus ditutup rapat supaya
tidak dijamah lalat atau lipas. Sayur-mayur sebagai lalap harus dicuci bersih
atau dimasak. Kucing peliharaan sebaiknya diberi makanan matang dan dicegah
berburu tikus dan burung15,16.
Pada prinsipnya penggunaaan vaksin belum dimulai untuk
toksoplasmosis pada manusia. Akan tetapi, menyadari bahaya toksoplasma terhadap
individu-individu imunodefisiesi, ibu hamil, dan meningkatnya kerugian ekonomis
akibat toksoplasmosis pada hewan, maka pengembangan vaksin mulai dipikirkan.
Aroujo (1994) melaksanakan ideuya dalam studi awal dengan model tikus untuk
pengembangan vaksin.
Prinsipnya adalah menginduksi respons imun dalam usus karena
infeksi dengan T. gxmdii utama terjadi pada kelenjar getah
bening mesenterik. Di sini tidak digunakan adjuvan tetapi fungsinya diganti
olehimmunostimulating complexes (ISCOMS), yaitu suatu formulasi
proton dalam matriks yang terdiri atas lipid dan Quikl A (saponin yang
dimurmikan). Kemudian ke dalamnya ditumpangkan membran antigen (P30 dan P22)2,4,9,16.
Rubela
Infeksi Rubela atau dikenal sebagai German measles menyerupai
campak, hanya saja bercaknya sedikit lebih kasar. Infeksi Rubela pada trimester
pertama memberikan dampak buruk untuk kemungkinan besar terjadinya kelainan
bawaan (sindroma rubela kongenital). Kelainan bawaan yang banyak ialah defek
pada jantung, katarak, retinitis, dan ketulian. Oleh karena itu, infeksi pada
trimester pertama memberi pilihan untuk aborsi. Kepastian infeksi dinyatakan
pada konversi dan IgM negatif menjadi positif dan meningkatnya IgG secara
bermakna. Kadar IgM ini dapat pula dibuktikan dalam darah tali pusat.
Dengan upaya vaksinasi pada remaja, prevalensi infeksi virus ini
menjadi sangat jarang (1 : 1.000).
Herpes Simplex Virus
Pada suatu survei di India kejadian IgM pada kelompok pasien
dengan riwayat obstetri buruk (lahir mati, kematian neonatal) ditemukan hanya
3,6 %17. Infeksi yang terjadi pada bayi reiatif jarang, berupa
infeksi paru, mata, dan kulit. Kini terbukti bahwa jika ibu sudah mempunyai
infeksi (vesikel yang nyeri pada vulva secara kronik), kemungkinan infeksi
pada bayi hampir tidak terbukti, jadi diperbolehkan persalinan pervaginam.
Tetapi, sebaliknya infeksi yang baru terjadi pada kehamilan akan mempunyai
risiko, sehingga dianjurkan persalinan dengan seksio sesarea.
Infeksi Lain
Yang dimaksud dengan kelompok infeksi lain (others) pada
TORCH ialah: sifilis, hepatitis, virus Ebstein-Barr, hPV yang dibahas di bab
lain.
Penapisan
Penapisan atau tes TORCH merupakan kontroversi, bergantung pada
infeksi pada suatu daerah. Apabila ternyata infeksi pada bayi jarang, maka
penapisan agaknya tidak layak dilakukan. Terlebih lagi pengobatan pada penyakit
ini tidak memberi manfaat nyata.