Pendahuluan
Trauma
hidung banyak terjadi akibat kecelakaan yang bersifat tumpul, sehingga beresiko
mengakibatkan berbagai macam komplikasi misalnya infeksi, obstruksi hidung,
jaringan parut dan fibrosis, deformitas sekunder, sinekia, hidung pelana,
obstruksi duktus nasoolakrimalis, dan perforasi hidung. Berdasarkan waktu,
trauma hidung terbagi atas trauma baru, dimana kalus belum terbentuk sempurna;
dan trauma lama, bila kalus sudah mengeras. Berdasarkan hubungan dengan telinga
luar, ada yang disebut trauma terbuka dan trauma tertutup. Arah trauma
menentukan kerusakan yang terjadi, misalnya bila trauma datang dari lateral,
akan terjadi fraktur tulang hidung ipsilateral jika ringan, sedangkan trauma
yang berat akan menyebabkan deviasi septum nasi dan fraktur tulang hidung
kontralateral.
Septum
hidung merupakan bagian dari hidung yang membatasi rongga hidung kanan dan
kiri. Septum nasi berfungsi sebagai penopang batang hidung (dorsum nasi).
Septum nasi dibagi atas dua daerah anatomi antara lain bagian anterior, yang
tersusun dari tulang rawan quadrangularis; dan bagian posterior, yang tersusun
dari lamina perpendikularis os ethmoidalis dan vomer.
Dalam
keadaan normal, septum nasi berada lurus di tengah tetapi pada orang dewasa
biasanya septum nasi tidak lurus sempurna di garis tengah. Deviasi septum dapat
menyebabkan obstruksi hidung jika deviasi yang terjadi berat. Kecelakaan pada
wajah merupakan faktor penyebab deviasi septum terbesar pada orang dewasa.
Gejala
yang paling sering timbul dari deviasi septum ialah kesulitan bernapas melalui
hidung. Kesulitan bernapas biasanya pada satu hidung, kadang juga pada hidung
yang berlawanan. Pada beberapa kasus, deviasi septum juga dapat mengakibatkan
drainase sekret sinus terhambat sehingga dapat menyebabkan sinusitis.
Pada kasus
di bawah ini, deviasi septum yang terjadi akibat trauma tumpul dan gejala yang
dialami pasien masih ringan sehingga pengobatan yang diberikan hanya berupa
simptomatik.
Definisi
Deviasi
septum ialah suatu keadaan dimana terjadi peralihan posisi dari septum nasi
dari letaknya yang berada di garis medial tubuh.
Deviasi
septum dibagi atas beberapa klasifikasi berdasarkan letak deviasi, yaitu:
Tipe I;
benjolan unilateral yang belum mengganggu aliran udara.
Tipe II; benjolan unilateral yang sudah mengganggu aliran udara, namun masih belum menunjukkan gejala klinis yang bermakna.
Tipe III; deviasi pada konka media (area osteomeatal dan turbinasi tengah).
Tipe IV, “S” septum (posterior ke sisi lain, dan anterior ke sisi lainnya).
Tipe V; tonjolan besar unilateral pada dasar septum, sementara di sisi lain masih normal.
Tipe VI; tipe V ditambah sulkus unilateral dari kaudal-ventral, sehingga menunjukkan rongga yang asimetri.
Tipe VII; kombinasi lebih dari satu tipe, yaitu tipe I-tipe VI.
Tipe II; benjolan unilateral yang sudah mengganggu aliran udara, namun masih belum menunjukkan gejala klinis yang bermakna.
Tipe III; deviasi pada konka media (area osteomeatal dan turbinasi tengah).
Tipe IV, “S” septum (posterior ke sisi lain, dan anterior ke sisi lainnya).
Tipe V; tonjolan besar unilateral pada dasar septum, sementara di sisi lain masih normal.
Tipe VI; tipe V ditambah sulkus unilateral dari kaudal-ventral, sehingga menunjukkan rongga yang asimetri.
Tipe VII; kombinasi lebih dari satu tipe, yaitu tipe I-tipe VI.
Bentuk-bentuk
dari deformitas hidung ialah deviasi, biasanya berbentuk C atau S; dislokasi,
bagian bawah kartilago septum ke luar dari krista maksila dan masuk ke dalam
rongga hidung; penonjolan tulang atau tulang rawan septum, bila memanjang dari
depan ke belakang disebut krista, dan bila sangat runcing dan pipih disebut
spina; sinekia, bila deviasi atau krista septum bertemu dan melekat dengan
konka dihadapannya.
Etiologi
Penyebab
deviasi septum nasi antara lain trauma langsung, Birth Moulding Theory (posisi
yang abnormal ketika dalam rahim), kelainan kongenital, trauma sesudah lahir,
trauma waktu lahir, dan perbedaan pertumbuhan antara septum dan palatum.
Faktor
resiko deviasi septum lebih besar ketika persalinan. Setelah lahir, resiko
terbesar ialah dari olahraga, misalnya olahraga kontak langsung (tinju, karate,
judo) dan tidak menggunakan helm atau sabuk pengaman ketika berkendara.
Diagnosis
Deviasi
septum biasanya sudah dapat dilihat melalui inspeksi langsung pada batang
hidungnya. Namun, diperlukan juga pemeriksaan radiologi untuk memastikan
diagnosisnya. Dari pemeriksaan rinoskopi anterior, dapat dilihat penonjolan
septum ke arah deviasi jika terdapat deviasi berat, tapi pada deviasi ringan,
hasil pemeriksaan bisa normal.
Deviasi
septum yang ringan tidak akan mengganggu, akan tetapi bila deviasi itu cukup
berat, menyebabkan penyempitan pada satu sisi hidung. Dengan demikian, dapat
mengganggu fungsi hidung dan menyebabkan komplikasi.
Gejala
Gejala
yang sering timbul biasanya adalah sumbatan hidung yang unilateral atau juga
bilateral. Keluhan lain ialah rasa nyeri di kepala dan di sekitar mata. Selain
itu, penciuman juga bisa terganggu apabila terdapat deviasi pada bagian atas
septum.
Penatalaksanaan
- Analgesik. Digunakan untuk mengurangi rasa sakit.
- Dekongestan, digunakan untuk mengurangi sekresi cairan hidung.
- Pembedahan.
- Septoplasti.
- SMR (Sub-Mucous Resection).
Komplikasi
Deviasi
septum dapat menyumbat ostium sinus, sehingga merupakan faktor predisposisi
terjadinya sinusitis. Selain itu, deviasi septum juga menyebabkan ruang hidung
sempit, yang dapat membentuk polip.
Daftar Pustaka
- Balasubramanian, T. 2006. Deviated Nasal Septum. Accessed: http://drtbalu.com/dns.html.
- Anonim. 2006. http://www.obstructednose.com/nasal_treatment_deviated_septum.html.
- Novak, V .J. 1995. Pathogenesis and surgical treatment of neurovascular primary headaches. The italian journal of Neurological Sciens. Accessed: http://www.vj-novak.ch/images/novak1-1.jpg.
- Mangunkusumo, Endang. Nizar, N.W. 2006. Kelainan Septum. Dalam: Buku Ajar Ilmu Telinga-Hidung-Tenggorokan, hal.99. Balai Penerbit FKUI. Jakarta.
- Kartika, Henny.2007. Anatomi Hidung dan Sinus Paranasal. Accessed: http://hennykartika.wordpress.com/2007/12/29/anatomi-hidung-dan-sinus-paranasal.
- Chmielik, LechosÅ‚aw P. 2006. Nasal septum deviation and conductivity hearing loss in children. Borgis – New Medicine 3/2006, p. 82-86. accessed