Kurkumin merupakan salah satu
isolat yang diperoleh dari tanaman Curcuma
sp. (Masuda et al., 1993; van der Goot, 1997) yang pertama kali
diisolasi oleh Vogel dan Pelletier pada tahun 1815 (van der Goot, 1997;
Aggarwal et al., 2006). Selanjutnya kurkumin dikristalisasi pertama
kali oleh Daube pada tahun 1870 dan elusidasi struktur kimia dilakukan oleh
Lampe pada tahun 1910. Sintesis kurkumin
dilakukan pada tahun 1913 oleh Lampe dan Milobedzka. Kurkumin [1,7-bis-(4'-hidroksi-3'-metoksifenil)hepta-1,6-diena-3,5-dion)
memiliki berat molekul 368,37 g/mol dengan struktur kimia seperti pada gambar 1
(Aggarwal et al., 2006).
Gambar
1. Struktur Kurkumin (Aggarwal et al., 2006)
Kurkumin merupakan molekul
lipofilik yang secara luas dimetabolisme dalam saluran pencernaan dan hati setelah
pemberian oral. Metabolisme fase I melalui reaksi reduksi
membentuk tetrahidrokurkumin, heksahidrokurkumin, dan
heksahidrokurkuminol. Metabolisme fase
II terdiri dari glukuronidasi dan sulfatasi oleh O-conjugation membentuk kurkumin glukuronida dan kurkumin sulfat
yang dengan cepat diekskresikan (Basu et.
al., 2004; Johnson & Mukhtar, 2007).
Kurkumin glukuronida diidentifikasi dalam mikrosom saluran pencernaan
dan hati, sedangkan kurkumin sulfat, tetrahidrokurkumin, dan heksahidrokurkumin
ditemukan sebagai metabolit dalam sitosol saluran pencernaan dan hati pada
manusia dan tikus (Ireson et al.,
2002; Pan et al., 1998).
Kurkumin tidak stabil pada pH
netral dan basa, dan terdegradasi menjadi asam ferulat (4-hidroksi-3-asam metoksisinamat)
dan metana feruloil (4-hidroksi-3-metoksisinamol-metana). Lebih dari 90%
kurkumin terdekomposisi dengan cepat dalam sistem buffer pada kondisi pH
basa. Kurkumin harus stabil dalam perut
dan usus kecil karena pH-nya antara 1 dan 6, dan degradasi kurkumin berlangsung
sangat lambat dalam kondisi ini (Wang et
al., 1997; Pan et al., 1998).
Pemakaian rimpang dari Curcuma sp. secara tradisional pada
awalnya digunakan untuk pengobatan anorexia, flu, diabetes, kerusakan hepar,
reumatik, dan sinusitis (van der Goot, 1997).
Penelitian selanjutnya
diarahkan pada aktivitas kurkumin untuk antiinflamasi, trombosis rematik, dan
sebagai antikanker (Rao et al., 1995).
Kurkumin dilaporkan dapat
menghambat aktivitas lipooksigenase dan penghambat spesifik ekspresi
siklooksigenase-2 (COX-2). Kurkumin juga
menghambat pada tahap inisiasi dan promosi/progresi dari karsinogenesis. Pada tahap inisiasi dari karsinogenesis,
kurkumin dilaporkan menghambat aktivitas enzim sitokrom P-450 dan meningkatkan
glutation-S-transferase. Efek antitumor kurkumin berperan pada cell cycle arrest pada fase S, fase G2/M
dan memicu apoptosis. Kurkumin
menghambat proliferasi sel kanker kolon dengan cara memperbaiki DNA yang rusak. Antikanker kurkumin telah ditunjukkan secara in
vitro pada cell cultur dan in vivo pada hewan uji (Chauhan, 2002;
Hatcher et al., 2008; Cen et al., 2009; Bhaumik et al.,
1999). Sharma et al. (2001a) memperlihatkan bahwa mekanisme kemoprevensi kurkumin in vivo pada kanker kolorektal
melalui aktivitasnya dalam meningkatkan glutathione S-transferase (GST), dan menurunkan malondialdehid
(MDA), serta ekspresi siklooksigenase-2 (COX-2). Malondialdehid merupakan produk alami lipid
peroksidasi, yang juga terbentuk selama biosintesis prostaglandin melalui COX,
dua proses enzimatik yang terlibat dalam patogenesis kanker, khususnya kanker
kolon. Prostaglandin E2 (PGE2)
merupakan produk COX-2, isoenzim COX diinduksi selama infeksi, inflamasi, dan
transformasi malignan. Penghambatan
COX-2 merupakan mekanisme penting kemoprevensi, dan ditunjukkan dalam obat-obat
antiinflamasi non-steroid seperti kurkumin.
Metabolit
kurkumin terdeteksi dalam plasma setelah 2 minggu pemberian intragastrik dengan
dosis 1,2 g/kg BB pada tikus F344.
Pemberian intragastrik dengan dosis yang sama, kurkumin dapat terdeteksi
pada mukosa kolon, hati, dan feses dengan masing-masing konsentrasi sebagai
berikut 1,8 ± 0,3 mmol/g; 0,8 ±
0,3 nmol/g; dan 8,6 ± 0,6 mmol/g (Sharma et al., 2001a). Penelitian yang dilakukan oleh Wahlstrom
& Blennow (1978) melaporkan juga bahwa pemberian oral kurkumin 1 g/kg BB
pada tikus galur Sprague-Dawley
diekskresikan 75% dalam feses. Sharma et
al. (2001a) melaporkan bahwa kurkumin glukuronida dan kurkumin sulfat tidak
terdeteksi dalam plasma, jaringan atau feses.
Garcea et al. (2004)
melaporkan bahwa kurkumin sulfat dan kurkumin glukuronida teridentifikasi pada
jaringan kolorektal dari pasien kanker kolorektal bermetastasi di hati yang
mengkonsumsi kapsul kurkumin dengan dosis 450 – 3600 mg. Aplikasi intravena atau intraperitoneal akan
menghasilkan metabolit tetrahidrokurkumin dengan konsentrasi 1% ditemukan dalam
plasma (Anand et al., 2007; Sharma et al., 2001a).
Kurkumin
dilaporkan meningkatkan kadar GST dalam
hati, mengurangi kadar malondialdehid yang terikat dengan DNA (malondialdehid-deoksiguanosin
adduct = M1G) dalam mukosa
kolon, dan menurunkan kadar M1G yang ditimbulkan oleh stimulus yang
kuat dari lipid peroksidasi pada hati dan mukosa kolon. Hal ini membuktikan bahwa kurkumin dapat
meningkatkan aktivitas GST dan kadar M1G
adduct in vivo (Sharma et al.,
2001a; Pan et al., 1998). Somasundaram et al. (2002), melaporkan bahwa kurkumin dapat menghambat
apoptosis sel kanker payudara yang diinduksi kemoterapi secara in vitro dan in vivo. Kurkumin mempunyai
kandungan keton a,b tidak jenuh yang berikatan secara kovalen dengan NF-kB dengan mengganggu degradasi Ik-Ba dan berikatan dengan p50 dalam kompleks NF-kB (Brennan & O’Neill, 1998; Moos et
al., 2004). Karbon reaktif b dalam beberapa bahan kimia dilaporkan juga dapat menghambat secara tidak
langsung tumor supresor p53 (Moos et al.,
2000). Berdasarkan hal-hal tersebut di
atas perlu kiranya dipertimbangkan penggunaan kurkumin bersama-sama dengan agen
kemoterapi yang lainnya.
b.
Gamavuton-0 (GVT-0)
Senyawa gamavuton-0 (GVT-0)
adalah senyawa analog kurkumin yang disintesis dengan mengubah gugus b-diketon pada kurkumin menjadi gugus
keton. Gamavuton 0 memiliki struktur
dasar dienon yang simetris pada bagian tengah yang menghubungkan dua cincin
aromatis dan merupakan derivat aseton yang telah diuji aktivitasnya dalam
menghambat proliferasi sel endothelial yaitu pada kadar 3 mg/mL menunjukkan persen inhibisi 96,6% dan
kadar 6 mg/mL menunjukkan persen inhibisi 97,7% (Robinson et al., 2003).
Gamavuton-0 merupakan derivat
1,5-difenil-1,4-pentadien-3-on mempunyai aktivitas sebagai antioksidan,
antiinflamasi, antibakteri terhadap bakteri Gram-positif, antifungi, dan
menghambat aktivitas COX yang sama dengan kurkumin (Sardjiman, 2000). Selain itu, GVT-0 memiliki aktivitas antioksidan yang lebih kuat
dibandingkan kurkumin (Masuda et al., 1993). Senyawa ini juga dilaporkan memiliki
aktivitas antitumor (Youssef & El-Sherbeny, 2005).
Senyawa enon aromatik dan
dienon aromatik yang merupakan analog kurkumin yang memiliki aktivitas yang sama
sebagai antiangiogenesis atau bahkan lebih baik dibanding senyawa induknya di
alam (Robinson et al., 2003).
Gambar
2. Struktur GVT-0 (Sardjiman, 2000)
c.
Pentagamavunon-0 (PGV-0)
Pentagamavunon-0 (PGV-0)
dikenal dengan nama kimia 2,5-bis-(4'-hidroksi-3'-metoksibenzilidin)-siklopentanon
yang strukturnya terlihat pada gambar 3, merupakan salah satu modifikasi
struktur pada rantai tengah senyawa kurkumin: gugus astil-aseton diganti dengan
siklopentanon (Sardjiman, 1993). Senyawa
ini merupakan hasil sintesis antara vanilin dengan siklopentanon dengan
katalisator HCl pekat (Sardjiman et al., 1997).
Gambar 3. Struktur PGV-0 (Sardjiman,
1993)
Pentagamavunon-0 diharapkan masih tetap memberikan
aktivitas dengan spektrum yang sama dengan aktivitas kurkumin dengan modifikasi
tersebut, tetapi dengan kualitas yang lebih baik, yaitu berefek lebih besar dan
aman.
Hasil penelitian-penelitian yang telah dilakukan
menunjukkan bahwa PGV-0 memiliki aktivitas antioksidan (Sardjiman et al.,
1997 dan 1997a; Rianto, 1998), antiinflamasi melalui penghambatan siklooksigenase
pada tikus jantan Wistar (Sardjiman, 2000), dan sitotoksik pada sel mieloma
(Nurrochmad, 2001). Berdasarkan gambaran
tersebut, terlihat bahwa PGV-0 memiliki potensi yang besar untuk dikembangkan
sebagai senyawa obat baru.
d. Heksagamavunon-0 (HGV-0)
Senyawa analog kurkumin yaitu siklovalon [2,6-bis(4'-hidroksi-3'-metoksilbenzilidin)sikloheksanon]
atau HGV-0 (gambar 4). Perbedaannya
dengan kurkumin hanya pada bagian tengah strukturnya. Kurkumin mengandung b-diketon sedangkan HGV-0 memiliki
posisi yang sama sebagian aseton yang tergabung dalam cincin sikloheksanon. Studi sebelumnya telah dilakukan pada aktivitas
biologis HGV-0 terutama pada efek koleretiknya terhadap tikus dan marmut (Hayun, 1995; Sardjiman, 2000).
Pemberian per oral HGV-0 dosis 300 – 500 mg per hari
dapat memperbaiki fungsi hepar.
Kombinasi obat ini dengan bakterisida terbukti bermanfaat mengobati
penyakit kandung empedu, ikterus, dan pasca hepatitis dan kolesistektomi. Namun obat ini tidak diindikasikan untuk
mengeluarkan batu empedu dari saluran empedu karena aktivitas koleretik HGV-0
relatif lemah (Hayun, 1995).
Heksagamavunon-0 juga memiliki aktivitas antiinflamasi
melalui penghambatan siklooksigenase (Nurrochmad et al., 1998; Gafner et al.,
2004). Aktivitas antiinflamasi yang diarahkan pada penghambatan biosintesis
prostaglandin dengan menghambat siklooksigenase dengan Inhibition Concentration
50% (IC50) sebesar 8,15 mM (Wibowo, 1998) dan 8,02 mM (Sardjiman, 2000).
Gambar 4. Struktur HGV-0 (Sardjiman, 1993)
e. Hubungan Antara Struktur dan
Aktivitas Kurkumin serta Analognya
Keberadaan gugus hidroksi pada
posisi para dan gugus b-diketon
memberikan sumbangan aktivitas yang besar pada kurkumin sebagai
penginduksi enzim-enzim fase dua seperti epoksida hidrolase, glutation
S-transferase (GST), NAD(P)H quinon reduktase (QR) yang berfungsi untuk
proteksi terjadinya karsinogenesis (Dinkova-Kostova & Talalay, 1999). Hubungan struktur dan aktivitas kurkumin
sebelumnya dikemukakan oleh Majeed et al. (2007) terkait dengan
gugus-gugus fungsional senyawa tersebut yaitu gugus parahidroksil memiliki efek
sebagai antioksidan, sedangkan gugus keto dan ikatan rangkap pada rantai
tengah sebagai antiinflamasi,
antikanker, dan antimutagen. Modifikasi
gugus pada cincin aromatik terminal
kurkumin menunjukkan bahwa gugus donor elektron meningkatkan aktivitas
antiinflamasi (Nurfina et al., 1997).
Ikatan hidrogen dalam struktur kurkumin
terbentuk antara 4'-hidroksi dan 3'-metoksi menurunkan polaritas
molekulernya. Hal ini menunjukkan bahwa
3'-metoksi dan analog sikloheksanon berperan penting sebagai antiinflamasi yang
lebih tinggi dibanding analog aseton dan siklopentanon (Liang et al., 2008). Substitusi ortho oleh gugus donor elektron seperti gugus ortho metoksi, meningkatkan kestabilan radikal bebas fenoksi,
meningkatkan efek penangkal radikal bebas dan antitumor (Youssef &
El-Sherbeny, 2005).
Kurkumin stabil pada pH di
bawah 6,5. Ketidakstabilan kurkumin pada pH di atas 6,5
disebabkan oleh gugus metilen aktif.
Hilangnya gugus metilen aktif dan satu gugus karbonil pada
1,4-pentadien-3-on dapat menghasilkan senyawa yang lebih stabil dan masih memiliki
aktivitas antioksidan. Seri analog
sikloheksanon dan siklopentanon menunjukkan aktivitas antioksidan, ditunjukkan
dengan adanya faktor sterik pada gugus
hidroksi fenolik (Sardjiman et al.,
1997a). Adanya gugus keto dan ikatan
rangkap pada rantai tengah kurkumin dan analognya (GVT-0, PGV-0, dan HGV-0)
diduga berperan dalam aktivitasnya sebagai kemoprevensi terhadap kanker
kolorektal.
f.
Kanker Kolorektal
Kanker pada dasarnya merupakan
penyakit sel yang ditandai oleh pergeseran mekanisme kontrol yang menentukan
proliferasi dan diferensiasi sel. Sel tersebut
berproliferasi berlebihan dan membentuk tumor lokal yang dapat menekan atau
menginvasi struktur normal berdekatan.
Sub populasi kecil dari sel-sel dalam tumor ini dapat disebut sebagai induk sel tumor yang
mempertahankan kesanggupan menjalani siklus proliferasi berulang-ulang maupun
berimigrasi ke tempat yang jauh dalam
tubuh untuk mengkolonisasi berbagai organ dalam proses yang dinamai metastasis (Katzung,
1982). Sel-sel demikian ini disebut
kanker karena tumbuhnya bercabang-cabang menginvasi jaringan sehat di
sekitarnya, menyerupai kepiting (kanker) (Yuswanto & Sinaradi, 2000). Kanker atau tumor ganas dibedakan dari tumor
jinak karena kecepatan pertumbuhan sel
kanker tinggi, aktivitas mitotiknya tinggi, pertumbuhan bersifat infiltratif
dan mampu membentuk metastasis, biasanya tidak teratur dan diferensiasinya
rendah (Bosman et al., 1999).
Sel kanker memperlihatkan ciri
yang berbeda dengan sel normal, yaitu:
1. Sel normal memerlukan kontak dengan
permukaan lingkungan ekstraseluler agar dapat tumbuh, sedangkan sel kanker
tumbuh dengan bebas.
2. Sel normal memberikan tanggapan terhadap
adanya sel-sel lain dan dalam biakan akan membentuk lapisan pelindung terhadap
kontak dengan penghambat, sedangkan sel kanker tidak.
3. Sel kanker bersifat kurang melekat
dibanding sel normal, artinya pertautan antar sel pada sel-sel penyusun kanker
kurang terikat erat satu dengan yang lain dibanding sel normal.
4. Sel normal menghentikan perkembangannya
pada saat mencapai kerapatan tertentu, tetapi sel kanker terus berkembang biak
(Yuswanto & Sinaradi, 2000).
5. Sel kanker mempunyai kemampuan invasi ke
jaringan lain dan masuk ke peredaran darah karena didukung oleh kemampuan
melepaskan diri dari sel lain dan menempel pada jaringan lain, sehingga dapat
membentuk koloni di jaringan tersebut (Hanahan & Weinberg, 2000).
6. Sel kanker kehilangan kemampuan melakukan
apoptosis (program bunuh diri sel), sehingga sel tersebut terus bertambah. Kehilangan kemampuan ini dihubungkan dengan
mutasi gen p53 (Sofyan, 2000).
7. Sel kanker memiliki kemampuan untuk
membentuk saluran darah sendiri (angiogenesis), sehingga suplai oksigen dan
nutriea tetap terpenuhi. Kemampuan ini
dihubungkan dengan adanya sinyal inisiasi Vascular Endothelial Factor
(VEGF) (Hanahan & Weinberg, 2000).
Kanker kolorektal yang juga
dikenal dengan nama kanker kolon merupakan kanker yang tumbuh di kolon, rektum
dan usus buntu. Kanker kolon merupakan
bentuk kanker yang ketiga dan penyebab kematian kedua di antara penyakit kanker
lainnya di dunia bagian barat. Kanker
kolon menyebabkan 655.000 kematian di dunia per tahun (WHO, 2006). Kanker
kolorektal umumnya terjadi pada individu usia 50 tahun atau lebih. Etiologi
untuk kebanyakan kasus kanker usus besar tampaknya berhubungan dengan faktor
lingkungan. Penyakit terjadi lebih
sering pada populasi dengan sosial ekonomi yang tinggi yang hidup di daerah
perkotaan (Isselbacher et al., 1999).
Kira-kira 60% kejadian dari
semua kanker usus terjadi pada bagian rektosigmoid, sehingga tidak dapat teraba
pada pemeriksaan rektum atau terlihat pada sigmoidoskopi. Sekum dan kolon asendens merupakan tempat
berikutnya yang paling sering diserang.
Kolon transversa dan fleksura merupakan bagian yang memiliki kemungkinan
terserang yang paling kecil (Price & Wilson, 1995).
Kanker kolorektal ditemukan
dua pertiga pada kolon kiri dan sepertiganya pada kolon kanan (gambar 5). Sebagian besar kanker kolorektal ditemukan
pada rektum sebesar 51,6%, selanjutnya diikuti oleh kolon sigmoid 18,8%, kolon
descendens 8,6%, kolon transversum 8,06%, kolon ascendens 7,8%, dan multifokal
0,28%. Berdasarkan data kanker statistik
Amerika Serikat menunjukkan bahwa sekitar 60% dari kanker kolorektal ditemukan
pada rektum, hal ini juga terlihat di Cina sekitar 80% kanker kolorektal
terdeteksi di rektum (Fahlevi, 2008).
Gambar 5. Letak Kanker Kolorektal (Fahlevi, 2008)
Kanker kolon banyak timbul
dari polip adenomatus di dalam kolon.
Polip ini tumbuh ke dalam lumen dan dengan cepat meluas ke sekitar usus
sebagai cincin anular. Lesi anular lebih
sering terjadi pada bagian rektosigmoid, sedangkan polip/polipoid atau lesi
yang datar sering terdapat pada sekum dan kolon asendens. Secara histologis, hampir semua kanker usus
besar adalah adenokarsinoma (terdiri atas epitel kelenjar) dan dapat mensekresi
mukus yang jumlahnya berbeda-beda. Tumor
dapat menyebar secara infiltratif langsung ke struktur yang berdekatan, seperti
ke dalam kandung kemih, melalui pembuluh limfe ke kelenjar limfe perikolon dan
mesokolon dan melalui aliran darah, biasanya ke hati karena kolon mengalirkan
darah ke sistem portal. Prognosis
relatif baik bila lesi terbatas pada mukosa dan submukosa pada saat reseksi
dilakukan, dan jauh lebih jelek bila terjadi metastasis ke kelenjar limfe
(Price & Wilson, 1995; King, 2000).
Gejala-gejala paling sering kanker
usus besar adalah perubahan kebiasaan defekasi, perdarahan, nyeri, anemia,
anoreksia, dan penurunan berat badan.
Tanda dan gejalanya berbeda-beda menurut tempat kanker dan sering dibagi
menjadi kanker yang mengenai bagian kanan dan kiri usus besar (Price &
Wilson, 1995).
Penyakit inflamasi segmen
kolon (kolitis, divertikulitis) atau tumor kolon menyebabkan nyeri yang bisa
dirasakan pada bagian bawah abdomen di antara umbilikus dan pubis, pada daerah
midlumbal, atau pada keduanya. Jika
sangat hebat, nyeri bisa mempunyai suatu distribusi seperti sabuk mengelilingi
tubuh. Suatu lesi kolon transversum atau
bagian pertama kolon desendens bisa sentral atau di sisi kiri, dan batas
penjalarannya ke bagian belakang tubuh adalah pada vertebra lumbal kedua sampai
ketiga. Jika kolon sigmoid terkena,
nyeri terasa lebih rendah, pada daerah sakral atas dan pada bagian depan pada
garis tengah daerah suprapubik atau kuadran kiri bawah abdomen (Isselbacher et
al., 1999).
Karsinoma kolon kiri dan
rektum cenderung menyebabkan perubahan defekasi sebagai akibat iritasi dan
respon refleks. Diare, nyeri kejang, dan
kembung sering terjadi karena lesi kolon kiri cenderung melingkar, sering
timbul gangguan obstruksi. Feses dapat
kecil dan berbentuk seperti pita. Baik
mukus maupun darah segar sering terlihat pada feses, dapat terjadi anemia
akibat kehilangan darah kronik.
Pertumbuhan pada sigmoid atau rektum dapat mengenai radiks saraf,
pembuluh limfe, atau vena, menimbulkan gejala-gejala pada tungkai atau
perineum. Hemoroid, nyeri pinggang
bagian bawah, keinginan defekasi, atau sering berkemih dapat timbul sebagai
akibat tekanan pada alat-alat tersebut (Price & Wilson, 1995).
Karsinoma kolon kanan, isi
kolon berupa cairan, cenderung tetap tersamar hingga lanjut. Sedikit kecenderungan menimbulkan obstruksi,
karena lumen usus lebih besar dan feses masih encer. Anemia akibat perdarahan sering terjadi, dan darah bersifat samar dan hanya dapat dideteksi dengan tes
guaiak. Mukus jarang terlihat karena
tercampur dalam feses (Price &Wilson, 1995).
Sebanyak 25% pasien dengan
kanker kolorektal dapat mempunyai riwayat keluarga penyakit tersebut
menunjukkan predisposisi herediter.
Kanker usus besar yang diturunkan ini dapat dibagi dalam dua kelompok
utama: sindroma poliposis dan sindroma nonpoliposis (Isselbacher et al.,
1999).
Poliposis koli (yaitu
poliposis kolon familial) merupakan keadaan yang jarang yang ditandai dengan
munculnya ribuan polip adenomatosa di seluruh usus besar. Keadaan ini diturunkan dengan cara dominan
autosomal; pasien tertentu tanpa riwayat keluarga diperkirakan mengembangkan
poliposis akibat mutasi spontan.
Penelitian molekuler telah menghubungkan poliposis koli dengan delesi
lengan panjang kromosom 5 (gen APC). Hilangnya materi genetik ini (yaitu kehilangan
alele) menyebabkan tidak adanya gen penekan tumor yang memproduksi protein yang
secara normal akan menghambat
pertumbuhan neoplastik (Isselbacher et al., 1999). Demikian pula dengan sindroma nonpoliposis
yang berhubungan dengan mutasi gen dalam memperbaiki gen DNA seperti hMSH2
dan hMLH1 (McPhee et al., 2000).
Gambar 6. Familial Adenomatus Polyposis (FAP) pada
wanita 18 tahun dengan permukaan mukosa dipenuhi oleh polip adenoma yang sangat
banyak (Fahlevi, 2008)
1. Perubahan Genetik dari
Karsinogenesis Kolorektal
Perubahan gen dihubungkan
dengan karsinogenesis kolon termasuk satu gen yang disebut deleted in colon
cancer (DCC), kadang-kadang
disebut mutated in colon cancer (MCC). Awalnya digambarkan sebagai penanda untuk
suatu molekul sel adhesi (N-CAM) dan kemudian suatu reseptor membran
polipeptida (netrins) bertanggung jawab untuk mengarahkan perpindahan sel. Kesalahan penempatan lokasi kromosom DCC
jelas terlihat, kesalahan yang nyata adalah gen terdekat, SMAD4, yang terlibat
dalam jalur penanda untuk pembentukan faktor pertumbuhan b(TGF-b). Tumour Growth Factor b (TGF-b) merupakan
suatu penghambat pertumbuhan, menyebabkan perbedaan sitokin jadi hilangnya
signal transduksi dari faktor ini dapat menyebabkan promosi tumor. Pada tikus APC deletion dengan satu
allele dihilangkan, menyebabkan efek invasi adenoma, sedangkan DCC deletions
tidak memiliki efek invasi adenoma (King, 2000).
2. Model Kanker Kolorektal
Usus dari
tikus yang dibagi ke bagian sebagai berikut yaitu duodenum, jejunum dan ileum,
yang disebut usus kecil; dan sekum, asendens, transversum, kolon desendens, dan
rektum merupakan bagian dari usus besar.
Duodenum memiliki mesenterium pendek dan diatur sebagai loop berbentuk
S. Panjang jejunum dan ileum tikus
adalah 70 – 90 cm. Mukosa usus kecil seperti
beludru dan tidak pernah membentuk lipatan Kerckring. Usus kecil memiliki panjang mesenterium 2 – 6
cm dan membentuk loop pada berbagai bentuk dan ukuran. Panjang sekum 6 – 9 cm, dan kolon 16 – 20 cm. Vili mukosa tikus terletak sepanjang usus
kecil. Seperti hewan lainnya, epitel
usus tikus terdiri dari dua tipe sel yaitu sel border dan sel goblet. Pada usus kecil juga terdapat sel Paneth dan
Kultchitsky, yang terdiri dari sel Paneth diisolasi pada bagian bawah crypt, yang dilapisi sel border dengan
sitoplasma basofilik. Sel Goblet yang
memproduksi mukus dapat dilihat tersebar diantara sel border (Pozharisski,
1973).
Model
hewan merupakan langkah penting dalam kemajuan evaluasi bahan
kemoprevensi. Bahan kimia
karsinogenesis pada epitel usus tikus bertindak sebagai inisiator atau kombinasi
dua bahan kimia bertindak sebagai inisiator-promotor. Model ini telah banyak digunakan dalam tahap
pra-klinik in vivo untuk menguji
keberhasilan dari bahan kemoprevensi.
Dalam beberapa tahun terakhir model eksperimental hewan telah
dikembangkan untuk mempelajari karsinogenesis kolon dengan induksi
1,2-dimetilhidrazin (DMH), azoxymethane (AOM), metoksimetan (MAM) dan N-metil-N'-nitro-N-nitrosoguanidin (MNNG) (Reddy et al., 1975; Gustin & Brenner, 2002). Induksi 1,2-dimetilhidrazin (DMH) dan 2-asetilaminofluran
selama 6 bulan dapat memunculkan tumor pada kolon desendens. Tumor pada usus kecil terjadi pada
sebagian hewan; tumor pada sekum jarang terjadi. Cycasin dan 3,2'-dimetil-4-aminodifenil
berefek pada usus besar (Pozharisski, 1973). Kebanyakan senyawa-senyawa tersebut beraksi
melalui metilasi nukleotida DNA terutama guanin yang akhirnya menghasilkan
mutasi DNA (Gustin & Brenner, 2002).
Terdapat
beberapa keuntungan penggunaan DMH/AOM pada model karsinogenesis kolon untuk
studi kemoprevensi. Pertama, percobaan
sampai saat ini menunjukkan bahwa efek promosi dan perlindungan eksperimental
dapat dibedakan dalam model. Kedua, evolusi tumor kolon dalam model DMH/AOM mirip yang terjadi pada manusia, termasuk progresi Abberant Crypt Foci (ACF) ke adenoma (polip), dan akhirnya terbentuk karsinoma. Ketiga, gambaran histopatologi pada tumor kolon yang diinduksi dengan DMH/AOM mirip yang terjadi pada manusia, dan 30 – 60% induksi tumor kolon dengan DMH/AOM memiliki mutasi K-ras seperti yang terlihat pada tumor kolon manusia. Selain itu, tidak seperti tumor kolon manusia, induksi tumor dengan DMH/AOM jarang memperlihatkan mutasi pada Apc (kira-kira 8%) atau p53. Induksi kanker kolon dengan DMH/AOM menyebabkan mutasi pada b-catenin (Wong et al., 2007).
sampai saat ini menunjukkan bahwa efek promosi dan perlindungan eksperimental
dapat dibedakan dalam model. Kedua, evolusi tumor kolon dalam model DMH/AOM mirip yang terjadi pada manusia, termasuk progresi Abberant Crypt Foci (ACF) ke adenoma (polip), dan akhirnya terbentuk karsinoma. Ketiga, gambaran histopatologi pada tumor kolon yang diinduksi dengan DMH/AOM mirip yang terjadi pada manusia, dan 30 – 60% induksi tumor kolon dengan DMH/AOM memiliki mutasi K-ras seperti yang terlihat pada tumor kolon manusia. Selain itu, tidak seperti tumor kolon manusia, induksi tumor dengan DMH/AOM jarang memperlihatkan mutasi pada Apc (kira-kira 8%) atau p53. Induksi kanker kolon dengan DMH/AOM menyebabkan mutasi pada b-catenin (Wong et al., 2007).
Secara
morfologis dan perilaku, induksi tumor usus pada tikus menyerupai tumor yang
terjadi pada manusia. Hampir semua jenis
tumor yang terjadi pada manusia dapat direproduksi secara eksperimen. Studi menggunakan mikroskop elektron dari
polip dan karsinoma pada kolon yang diinduksi 3-2¢-dimetil-4-aminodifenill pada
tikus menunjukkan kemiripan antara tumor kolon pada
manusia dengan tikus (Spjut & Smith, 1967).
Demikian pula karakteristik histologis dari neoplasma epitel yang
diinduksi secara kimia pada tikus, mirip dengan manusia dan anjing (Lingeman
& Garner, 1972). Perkembangan tumor
dalam duodenum dan usus kecil jarang terjadi pada manusia, tetapi pada hewan
menunjukkan frekuensi kejadian tinggi pada bagian ini (Pozharisski, 1973).
3. Karsinogenesis
Kolorektal
Pertumbuhan kanker merupakan
proses mikroevolusioner yang dapat berlangsung beberapa bulan atau beberapa
tahun (Albert et al.,
1994). Proses pertumbuhan ini dinamakan
karsinogenesis, dimulai dari satu sel kanker yang memperbanyak diri dan membentuk
satu koloni kecil dalam jaringan yang sama.
Selanjutnya perubahan genetik (misalnya aktivasi onkogen) terjadi dalam
koloni sel yang abnormal dan menjadi tumor ganas (Schneider, 1997).
Proses karsinogenesis terjadi
melalui beberapa fase yang meliputi fase inisiasi, fase promosi, fase progresi,
dan metastasis. Inisiasi merupakan fase pertama dan merupakan akibat adanya perubahan genetik yang
menyebabkan adanya proliferasi abnormal dari satu sel. Promosi merupakan kelanjutan inisiasi, yaitu
adanya pacuan dari faktor promosi tumor yang menyebabkan pertumbuhan yang cepat
dan pembentukan tumor benigna. Progresi
merupakan perubahan genetik semakin bertambah banyak sehingga akan menambah
koloni sel tumor. Tumor pada stadium ini
bersifat invasif dan seringkali diikuti dengan proses pembentukan pembuluh
darah baru yang dinamakan angiogenesis.
Fase berikutnya adalah metastasis, yaitu perkembangan tumor yang
bersifat malignan dan terjadinya pelepasan sel-sel tumor ganas dari koloni
primernya. Sel-sel tumor ganas ini dapat
memasuki saluran limfatik, sehingga dapat menyebar ke seluruh tubuh dan
berkembang di tempat yang jauh (Schneider, 1997). Kemampuan invasi sel kanker dihubungkan
dengan banyaknya produksi protease pada sel kanker ini. Protease akan mempengaruhi interaksi sel dan
memfasilitasi pergerakan sel kanker melalui matriks ekstraseluler. Tahap metastasis merupakan tahap yang paling
kritis yang menyebabkan gejala klinis dan bahkan kematian (King, 2000).
Karsinogenesis kolorektal
memerlukan sel normal sebelumnya untuk mengakumulasikan genetik ganda dan
menentukan klonnya berturut-turut.
Kebanyakan kanker membutuhkan antara 6 – 10 klon untuk mencapai akhir
fenotip malignan, yang membutuhkan tambahan sifat metastasis juga (Rajagopalan
& Lengauer, 2004). Proses ini
menunjukkan ketidakstabilan genomik, strategi mutasi berikutnya adalah
terjadinya peningkatan mutasi.
Ketidakstabilan genomik merupakan tujuan karsinogenesis yang paling
kritis (Loeb, 1991). Tanpa
ketidakstabilan genomik pencapaian mutasi baru akan terjadi sangat lambat untuk
perkembangan kanker pada manusia. Siklus
sel dan kumparan checkpoint mitosis
adalah kritikal dalam proses ini untuk memastikan bahwa proliferasi sel hanya
mengikuti replikasi yang tepat dan mengatur materi genetik (Worthley et al., 2007).
Terdapat dua kategori utama
dari ketidakstabilan genomik dalam kanker kolorektal. Ketidakstabilan kromosomal [chromosomal instability (CIN)] yang
banyak terjadi pada kanker kolorektal, perubahan genetik ini terjadi melalui
akumulasi jumlah atau struktur ketidaknormalan kromosomal (aneuploid)
(Rajagopalan & Lengauer, 2004). Tipe
ketidakstabilan genomik lainnya adalah ketidakstabilan mikrosatelit [microsatellite instability (MSI)], yang
mengakibatkan kerusakan pengenalan dan perbaikan kesalahan basa dalam daughter strand DNA selama replikasi DNA
(Jass et al., 2002). Mikrosatelit merupakan nukleotida yang
mengulang seluruh urutan genom dan MSI menunjukkan ketidaksesuaian dalam
pengulangan jumlah nukleotida yang ditemukan dalam daerah mikrosatelit tumor
terhadap germline DNA. Jalur yang berhubungan dengan CIN atau MSI
menunjukkan bahwa ketidakstabilan genomik diperlukan dan jalur tersebut juga
berpengaruh terhadap karsinogenesis kolorektal (Rajagopalan & Lengauer,
2004; Worthley et al., 2007).
Umumnya sekitar 70 – 85%
kanker kolorektal berkembang melalui jalur ’tradisional’, yaitu CIN, atau jalur
’penekan’ (Grady, 2004). Identifikasi
lesi tercepat pada jalur ini adalah displasia aberrant crypt focus (ACF).
Mikroskopik dan ACF ditandai dengan lesi mukosa yang diawali oleh
perkembangan polip makroskopik (Takayama et al., 2001). Jalur CIN dihubungkan dengan mutasi adenomatous polyposis coli (APC) atau kehilangan 5q (gen APC), mutasi K-ras, hilangnya 18q, dan akhirnya penghilangan 17p yang mengandung
gen penekan tumor penting p53 (Grady, 2004). Perkembangan kanker kolorektal melalui jalur
CIN dapat dilihat pada gambar 7.
Gambar 7. Tradisional sporadic/CIN/jalur penekan: perubahan
patologis dan molekuler (Worthley, 2007)
4. Ekspresi Gen pada Kanker
Kolorektal
a. APC (5q21)
Gen adenomatus polyposis coli (APC)
adalah besar, mengadung 15 ekson dan merupakan target utama mutagenesis. Mutasi patogen gen APC sering memotong protein
APC, yang menghambat dengan mengikat b-katenin untuk menurunkan jalur signal Wnt.
Secara normal signal Wnt
membantu dalam mengatur pertumbuhan, apoptosis, dan diferensiasi. (Kuhnert et al., 2004). Jadi mutasi
APC yang menghambat ikatan APC-b-katenin merusak degradasi normal b-katenin dan mengakibatkan jalur signal Wnt
aktif. Kadang-kadang mutasi -b-katenin membuat protein APC resisten terhadap degradasi, sehingga dapat
bertindak sebagai alternatif mutasi APC, sehingga jalur signal Wnt berperan penting dalam perkembangan
kanker kolorektal (Gregorieff & Clevers, 2005).
Kehilangan fungsi APC dapat
pula mengganggu pengaturan normal mitosis.
Selama metafase, pengaturan kromatid
saudara untuk memastikan kesuksesan distribusi untuk sel anakan (daughter cells). Beberapa komponen seluler termasuk kinetokor
mengatur kromatin untuk memastikan pengiriman yang tepat selama pembagian
sel. Adenomatus polyposis coli (APC) adalah kinetokor terikat protein mikrotubuli,
dan bersama dengan EB1 mempromosikan urutan kromosom yang tepat dan selanjutnya
pemisahan kromosom (Green et al.,
2005). Sel APC tidak mampu mendeteksi
kelainan kromosom selama metafase, namun masih dapat dilanjutkan ke anafase
(pemisahan pada fase mitosis) untuk menghasilkan CIN (Draviam et al., 2006). Mutasi APC ditemukan sekitar 60%
pada kanker di kolon dan 82% pada kanker rektum (Jass et al., 2002).
b. K-ras (12p)
Proto-onkogen K-ras mengkode protein GTP dan ketika
bermutasi dapat menyebabkan hilangnya aktivitas GTPase. Dengan demikian, hidrolisis GTP aktif menjadi
GDP tidak aktif terhambat, menyebabkan signal konstitutif melalui jalur downstream. Aktivasi mutasi K-ras ditemukan 35 – 42% pada kanker
kolorektal manusia dan terjadi melalui jalur RAS-RAF-MAPK yang penting dalam
transisi adenoma/karsinoma (Leslie et al.,
2002). Namun demikian, aktivasi ras pada model tikus tidak menyebabkan
kanker kolorektal (Watson, 2008).
c. p53 (17p)
Kehilangan p53, biasanya melalui kehilangan alelik
dari 17p dan membawa transisi dari pre-invasif ke invasif. Beberapa studi menunjukkan bahwa frekuensi
ketidaknormalan p53, baik mutasi
maupun hilangnya heterozigositas, relatif meningkat ke tahap histologis dari
lesi adenokarsinoma kolorektal. Dengan
demikian, kelainan yang ditemukan pada 4
– 26% adenoma, 50% adenoma dengan foki invasif, dan 50 – 75% pada kanker kolorektal
(Leslie et al., 2002). Mills (2005), menyatakan bahwa protein p53
fungsional menstabilkan kerusakan DNA yang merupakan faktor transkripsi pada
kanker kolorektal. Hal ini bertindak untuk meningkatkan ekspresi gen penghambat siklus
sel, memperlambat siklus sel dan memberi waktu yang cukup untuk perbaikan
DNA. Ketika kerusakan genetik terlalu
besar untuk diperbaiki, p53 menginduksi gen pro-apoptosis.
d. Siklooksigenase (COX)
Dua jenis COX yang merupakan isoform yang ditemukan
hingga saat ini yaitu COX-1 dan COX-2 yang keduanya memiliki aktivitas yang sama sebagai katalase sintesis
prostanoid dari asam arakidonat. COX-1
secara konstitutif diekspresi secara nyata oleh hampir seluruh jaringan tubuh
mamalia, sedangkan COX-2 hanya sebagian saja dan dalam level yang rendah atau
tidak terdeteksi. Level ekspresi COX-1
pada umumnya konstan dan hanya akan ada kenaikan sedikit bila ada stimulasi
dari faktor pertumbuhan atau selama masa deferensiasi. Ekspresi COX-2 biasanya akan lebih banyak
karena adanya rangsangan dari mitogen, sitokin, dan tumor promoter yang bisa
diakibatkan oleh adanya kerusakan sel atau bentuk stres sel lainnya (DeWitt,
1991; Dubois et al., 1998).
Perbedaan fungsi COX-1 dan COX-2 dapat dilihat pada gambar 8.
COX-1 memiliki peranan yang sangat
penting dalam menjaga proses-proses fisiologis pada berbagai jaringan atau
organ. Misalnya pada ginjal, COX-1
berfungsi untuk menjaga elastisitas pembuluh darah sehingga proses filtrasi
dapat berlangsung dengan baik, sedangkan pada lambung berfungsi untuk merawat
integritas mukosa lambung dengan cara mengatur vasodilatasi pembuluh
darah. COX-2 yang diekspresi karena
adanya rangsangan tertentu berfungsi sebagai pendukung fungsi COX-1 atau sesuai
dengan kebutuhan (Dubois et al., 1998).
Ekspresi COX-2 menunjukkan adanya peningkatan yang nyata pada beberapa
sel kanker (Crofford, 1997), bahkan pada kanker kolon ekspresi COX-2
menunjukkan adanya peningkatan yang sangat tinggi dibanding pada keadaan
normalnya (Kutchera et al., 1996; Sano et al. , 1995).
Penelitian Sano et al.
(1995) memperlihatkan bahwa ekspresi COX-2 terlihat di dalam sel-sel kanker,
sel-sel inflamasi, endotelium vaskular, dan fibroblast dari jaringan yang luka,
dibandingkan dengan jaringan yang tidak luka dan jaringan kolon yang normal. Tingkat
dan intensitas dari immunoreaktif COX-2
dalam sel kanker lebih baik dibanding tipe-tipe sel lainnya. Sebaliknya, ekspresi COX-1 lemah dalam
spesimen normal dan kanker. Oleh karena
itu, peningkatan ekpresi COX-2 dalam jaringan kanker kolon kemungkinan juga
meningkatkan sintesis prostaglandin E2. Peningkatan ekspresi COX-2 berperan dalam
patogenesis kanker kolon. Selanjutnya,
inhibisi selektif dari COX-2 kemungkinan lebih berkhasiat dalam menghambat
perkembangan kanker kolon.
Pada sel-sel kanker
overekspresi COX-2 yang berakibat pada overproduksi prostanoid akan menyebabkan
peningkatan proliferasi (Kinoshita et al., 1999) dan mencegah apoptosis
(Battum et al., 1998).
Peningkatan proliferasi sel terjadi karena adanya aktivasi beberapa
onkogen yang terlibat dalam signal
mitogenik seperti Ras, sedangkan inhibisi terhadap proses apoptosis
merupakan akibat dari adanya overekspresi bcl2 (Sheng et al.,
1998), di samping itu overekspresi COX-2 pada sel-sel kanker kolon juga ikut
memacu proses angiogenesis sehingga akan mempermudah berkembangnya kanker
(King, 2000). Peristiwa ini disebabkan
karena produk katalisis COX -2 akan memacu aktivasi faktor angiogenik (Chan et
al., 1998).
Gambar 8. Perbedaan Fungsi COX-1 dan COX-2 (Surh &
Kundu, 2005)
Percobaan menggunakan tikus betina
defisiensi gen APC menyebabkan
terjadinya polip kolon. Hilangnya gen COX-2 mengurangi ukuran dan jumlah polip
tersebut (Tuynman et al., 2004). Penghambat COX memiliki efek yang serupa pada
kanker kolon yang diinduksi secara kimiawi.
Pada kultur sel kanker kolon, transfeksi dari gen COX-2 meningkatkan
sintesis prostaglandin, menigkatkan adhesi sel, dan menurunkan apoptosis,
selanjutnya efek ini diblok oleh penghambat COX (King, 2000; Isselbacher et al., 1999).
g. Landasan Teori
Kurkumin merupakan antioksidan yang poten sebagai
penangkal berbagai radikal terhadap
radikal hidroksil, nitrogen, superoksida, dan oksigen dari proses biologis yang
terjadi di dalam tubuh, serta inhibitor lipid peroksidasi yang terinduksi
berbagai agen selular atau asing (Rao,
1997). Selain itu, kurkumin juga
memiliki aktivitas antiinflamasi dan berpotensi sebagai antikanker karena
kemampuannya menghambat COX. Reaktivitas
molekul kurkumin dan analognya akan menentukan kemampuannya berinteraksi dengan
komponen selular (DNA, protein, lipid membran, dan sebagainya), sehingga akan
mempengaruhi proses biologi sel seperti daur sel, metabolisme, dan lain
sebagainya yang berakhir pada kematian sel (apoptosis). Kurkumin diketahui hanya stabil pada pH di bawah
6,5, hal ini disebabkan oleh adanya gugus metilen aktif. Penghilangan gugus metilen aktif dan satu
gugus karbonil menjadi 1,4-pentadien-3-on dapat menghasilkan molekul yang lebih
stabil dengan masih memiliki aktivitas antioksidannya (Sardjiman, 2000).
Berdasarkan informasi tersebut, maka pada kesempatan ini
akan dilakukan penelitian tentang pengaruh gugus–gugus penting kurkumin dengan
cara menguji aktivitas kemoprevensi hasil modifikasi struktur kurkumin terhadap
kanker kolorektal. Modifikasi dengan
penghilangan metilen dan perubahan gugus b-diketon menjadi monoketon dalam bentuk siklopentanon dan
sikloheksanon secara teoritis akan meningkatkan reaktivitas molekul yang juga
akan meningkatkan aktivitas kemoprevensinya terhadap kanker kolorektal. Dengan demikian perubahan gugus b-diketon
kurkumin menjadi siklopentanon dan sikloheksanon pada GVT-0, PGV-0, dan HGV-0
kemungkinan akan meningkatkan reaktivitas molekul, sehingga akan meningkatkan
potensi kemoprevensinya terhadap kanker kolorektal.
Sebagai analog kurkumin, GVT-0, PGV-0, dan HGV-0, diduga
memiliki bioaktivitas yang mirip atau bahkan lebih baik dari kurkumin. Senyawa yang memiliki struktur kimia yang
mirip biasanya juga memiliki bioaktivias yang hampir sama. Oleh karena itu, GVT-0, PGV-0, dan HGV-0
sangat perlu diteliti dan dikembangkan guna mengetahui potensi dan mekanisme
molekuler senyawa tersebut sebagai kemoprevensi kanker kolorektal.
Penggunaan bahan penginduksi kimia kanker kolorektal
yaitu 1,2-dimetilhidrazin.2HCl (DMH).
Penggunaan DMH ini didasarkan pada evolusi tumor pada model kanker
kolorektal mirip yang terjadi pada manusia.
Penggunaan hewan coba tikus sebagai model kanker
kolorektal karena secara morfologis dan
prilaku, induksi tumor kolorektal pada tikus menyerupai tumor yang terjadi pada
manusia.
h. Hipotesis
Berdasarkan uraian rumusan masalah dan landasan teori
yang dikembangkan, maka dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut :
- Analog kurkumin (GVT-0, PGV-0, dan HGV-0) dapat digunakan sebagai bahan kemoprevensi terhadap model kanker kolorektal secara in vivo yang dibandingkan dengan kurkumin.
- Adanya pengaruh dosis dari analog kurkumin (GVT-0, PGV-0, dan HGV-0) terhadap aktivitas kemoprevensi kanker kolorektal secara in vivo yang dibandingkan dengan kurkumin.
- Mekanisme kemoprevensi dari analog kurkumin (GVT-0, PGV-0, dan HGV-0) terhadap kanker kolorektal secara in vivo.