Klasifikasi
Retardasi Mental
Menurut nilai IQ-nya, maka
intelegensi seseorang dapat digolongkan sebagai berikut (dikutip dari Swaiman
1989):
Nilai IQ
- Sangatsuperior 130 atau lebih
- Superior 120-129
- Diatas rata-rata 110-119
- Rata-rata 90-110
- Dibawah rata-rata 80-89
- Retardasi mental borderline 70-79
- Retardasi mental ringan (mampu didik) 52-69
- Retardasi mental sedang (mampu latih ) 36-51
- Retardasi mental berat 20-35
- Retardasi mental sangat berat dibawah 20
- Sangatsuperior 130 atau lebih
- Superior 120-129
- Diatas rata-rata 110-119
- Rata-rata 90-110
- Dibawah rata-rata 80-89
- Retardasi mental borderline 70-79
- Retardasi mental ringan (mampu didik) 52-69
- Retardasi mental sedang (mampu latih ) 36-51
- Retardasi mental berat 20-35
- Retardasi mental sangat berat dibawah 20
Yang disebut retardasi mental
apabila IQ dibawah 70, retardasi mental tipe ringan masih mampu didik,
retardasi mental tipe sedang mampu latih, sedangkan retardasi mental tipe berat
dan sangat berat memerlukan pengawasan dan bimbingan seumur hidupnya. Bila
ditinjau dari gejalanya, maka Melly Budhiman membagi:
1. Tipe klinik
Pada retardasi mental tipe klinik
ini mudah dideteksi sejak dini, karena kelainan fisis maupun mentalnya cukup
berat. Penyebabnya sering kelainan organik. Kebanyakan anak ini perlu perawatan
yang terus menerus dan kelainan ini dapat terjadi pada kelas sosial tinggi
ataupun yang rendah. Orang tua dari anak yang menderita retardasi mental tipe
klinik ini cepat mencari pertolongan oleh karena mereka melihat sendiri
kelainan pada anaknya
2. Tipe sosio budaya
Biasanya baru diketahui setelah anak
masuk sekolah dan ternyata tidak dapat mengikuti pelajaran. Penampilannya
seperti anak normal, sehingga disebut juga retardasi enam jam. Karena begitu
rnereka keluar sekolah, mereka dapat bermain seperti anakanak yang normal
lainnya. Tipe ini kebanyakan berasal dari golongan sosial ekonomi rendah. Para
orang tua dari anak tipe ini tidak melihat adanya ketainan pada anaknya, mereka
mengetahui kalau anaknya retardasi dari gurunya atau dari psikolog, karena
anaknya gagal beberapa kali tidak naik kelas. Pada urnumnya anak tipe ini
mempunyai taraf IQ golongan borderline dan retardasi mental ringan.
Deteksi
Dini terhadap Penderita Retardasi Mental
Dewasa ini anak-anak penderita
retardasi mental mulai dapat dideteksi semenjak usia 3-4 tahun atau sesudah
dilakukan evaluasi dengan test Kecerdasan Intelektual (IQ). Adapun test IQ yang
ada saat ini hanya diperuntukkan bagi anak yang berusia di atas usia 3 tahun.
Sampai sekarang belum ditemukan metode pengukuran IQ bagi anak-anak berusia di
bawah 3 tahun. Jika anak-anak penderita retardasi mental dapat dideteksi
sebelum berusia 3 tahun, rehabilitasi dapat dilakukan sedini mungkin sebelum
otak berkembang sempurna Sehingga kemungkinan untuk pulih akan semakin besar
dan kemampuan anakpun akan dapat ditingkatkan. Riset ini bertujuan mendeteksi
anak-anak penderita retardasi mental pada usia 6 hingga 12 bulan dengan
menganalisa ekspresi wajah mereka setelah diperlihatkan foto-foto tertentu.
Metode dilakukan dengan menganalisa pada ekspresi wajah anak-anak, lalu
mengkategorikan anak-anak yang memiliki otak yang dapat bereaksi normal dan anak-anak
yang memiliki masalah dalam menangkap informasi tertentu yang datang ke otak.
Juga dilakukan evaluasi terhadap efektifitas otak anak dengan menghitung waktu
respon yang timbul setelah anak melihat gambar-gambar foto tertentu. Semakin
pendek waktu respon yang timbul semakin cepat kerja otak dalam mengolah
informasi yang masuk. Sebaliknya semakin panjang waktu respon yang ada terdapat
kemungkinan otak mempunyai masalah dalam mengolah suatu informasi.
Sebagai obyek, 20 orang anak-anak
Jepang yang terdiri dari 10 anak-anak laki-laki dan 10 anak-anak perempuan.
Usia berkisar antara 6 bulan hingga 12 bulan. Gambar Foto Wajah dipilih 12
gambar foto wajah tertentu yang berukuran 512 x 512 pixel. Ke-12 gambar foto
tersebut terdiri dari 4 foto dari ibu anak (Mother), 4 foto dari wanita yang
tidak dikenal anak (Unknown Woman), dan 4 foto lagi dari gabungan (Combination)
wajah ibu dan wanita yang tidak dikenal anak tersebut. Kategori ekspresi wajah
terdiri dari kategori positif yaitu wajah tanpa ekspresi (expressionless) dan
wajah dengan ekspresi senang (Smile Face). Adapun kategori negatif adalah wajah
dengan ekspresi marah (Anger Face) dan wajah dengan ekspresi terkejut (Surprise
Face). Metode Percobaan yang dilakukan adalah Pertama, mendudukan obyek pada pangkuan
ibunya yang duduk di depan layar monitor. Kemudian kami tampilkan gambar
feedback dari obyek (feedback image) agar obyek dapat memusatkan perhatiannya
pada layar monitor. Setelah perhatian obyek terpusat pada layar monitor, kami
akan menampilkan foto wajah (Face Picture Image) selama 3 detik. Setelah foto
wajah hilang dari layar monitor kembali akan tampak gambar feedback dari
obyek(Feedback Image). Percobaan ini diulang selama 24 kali.
Selama percobaan berlangsung obyek
terus di rekam dengan menggunakan kamera video yang mana rekaman ini akan
digunakan pada proses analisa. Pada percobaan ini dilakukan 2 analisa sebagai
berikut: Analisa pada ekspresi wajah berdasarkan pada gerakan dasar otot wajah
(aksi satuan unit) dengan sintesis pada gerakan yang timbul di alis, mata, pipi
dan mulut. Analisa pada perhitungan waktu yang timbul sejak melihat gambar
hingga timbul perubahan ekspresi pada wajah ( waktu respon).
Dari hasil analisa yang pertama,
dapat di dikategorikan dan dipisahkan anak-anak yang memiliki otak yang dapat
bekerja dengan normal dengan anak-anak yang memiliki masalah dalam mengamati
ekspresi wajah seseorang. Data-data yang ada pada analisa ini menunjukkan bahwa
dengan memperlihatkan gambar foto wajah yang bermacam-macam dan juga yang
memiliki ekspresi wajah yang berlainan ekspresi yang timbul pada wajah anak
juga berlainan. Kemudian dari analisa yang kedua, dapat dievaluasi efektifitas
dari otak dengan melakukan pengukuran pada waktu respon. Yang mana semakin
pendek waktu respon menunjukkan semakin baik otak bekerja dalam menerima
informasi. Adapun panjangnya waktu respon ini juga dipengaruhi oleh macam
gambar foto dan bentuk ekspresi wajah yang dilihat.
Dari hasil riset ini
disimpulkan bahwa anak-anak mudah menangkap pesan atau informasi yang tersirat
pada wajah dari sumber yang mereka kenal seperti dari ibu mereka dibandingkan
dari sumber yang asing bagi mereka. Juga disimpulkan bahwa perbedaan jenis
kelamin dan umur juga mempengaruhi ekspresi wajah yang muncul dan juga waktu
respon. Berdasarkan hasil riset ini. disarankan agar aksi satuan unit pada
gerakan dasar otot wajahdan waktu respon dapat dipakai sebagai acuan pengukuran
semacam parameter pada test IQ yang dapat digunakan untuk mengukur tingkat
kecerdasan intelektual anak. Akhirnya, dengan menginstal acuan pengukuran pada
jaringan komputer diharapkan agar setiap ibu memiliki kesempatan untuk mengukur
tingkat kecerdasan intelektual dari anak-anak mereka.