askep pasca anastesi

askep pasca anastesi



Pendahuluan
           
Penggunaan mikroskop pada operasi dan pemahaman kelainan abnormalitas serebrovaskular meningkatkan kesempatan kandidat operasi lebih luas. Komplikasi serius dapat terjadi di unit perawatan paska anestesi yang disebabkan oleh penyakit system syaraf pusat dan intervensi durante operasi dan efek depresi obat-obat anestesi.
            Dengan deteksi dini komplikasi diatas dapat dicegah dan diatasi dengan sukses. Perawatan yang sangat cermat di area perawatan membutuhkan staf yang memahami pembedahan syaraf. Keberhasilan atau kualitas pemulihan system syaraf tergantung pada manajemen awal post operatif.
            Perawatan awal post operatif harus memperhatikan tiga sistem respirasi, kardiovaskular dan system syaraf. 

Transfer ke unit perawatan paska anestesia
           
Sebelum transfer ke unit perawatan paska anesthesia pasien operasi elektif yang sadar baik paska operatif dan bernafas adekuat dengan refleks jalan nafas yang utuh dilakukan ekstubasi sebelum dikirim dari kamar operasi.
            Penurunan kondisi setelah operasi merupakan hal yang patut dan segera diketahui oleh dokter anestesi dan bedah dengan cara / teknik tertentu untuk mendeteksi keadaan tersebut, apakah telah terjadi vasospasm, edema, atau hematoma. Selain itu peningkatan tekanan intra cranial disebabkan oleh karena rangsangan atau batuk terkait ETT harus disingkirkan.
            Bila nafas tidak adekuat akan terjadi hipoksi, hiperkarbi, dan aspirasi yang akan memperberat kondisi pasien. Oleh karena itu walaupun ekstubasi segera pada pasien bedah syaraf adalah paling ideal, akan tetapi dapat sangat berbahaya pada pasien dengan dekompensasi airway dan pernafasan yang sebelumnya telah diketahui sebelumnya. Bila pada pasien ini direncanakan untuk ekstubasi maka perhatian khusus dan persiapan serta penilaian kemampuan pasien dalam membantu pernafasan pribadi sangat penting.
            Selama transportasi pasien dalam posisi head up 300 kecuali bila ada kontra indikasi (pada VP-shunt), diberikan oksigen suplemen, monitor terhadap fungsi vital dasar (suara jantung, respirasi, dan saturasi oksigen, tekanan darah, bila memungkinkan dipasang arterial line). Kapnografi perlu untuk melihat kemampuan ventilasi yang adekuat secara berkelanjutan.


Evaluasi awal
            Di unit perawatan paska anesthesia, tanda vital segera diukur. Pemeriksaan serum elektrolit, kadar hemoglobin, analisa gas darah, foto skul. Penilaian neurologis dasar termasuk tingkat kesadaran, motorik, pupil (ukuran, kualitas, releks cahaya). Dan juga menilai sisa obat anestesi. Penilaian GCS postoperatif disertai refleks pupil, laju respirasi, dan lateralisasi gerakan dan kekuatan otot.
            Evaluasi pupil sangat penting terutama pada pasien yang tidak sadar, sebagaimana refleks cahaya penting untuk menilai integritas intrakranial. Peningkatan tekanan intrakranial secara regional dan herniasi di sekitar uncus atau menyebabkan dilatasi bilateral. Lesi pada midbrain menyebabkan pupil miosis. Atropine, trimethapane, dan epinefrin menyebabkan pupil midriasis. Pasien dengan narkotik terjadi miosis dapat diberikan nalokson. Anisokor dan strabismus, yang dapat dilihat sebagai efek sisa obat anestesi inhalasi akan menghilang bersamaan dengan pulihnya kesadaran.
            Tanda neurologis lokal akibat disfungsi supratentorial dan batang otak dapat terjadi preoperative atau terjadi segera setelah operasi, hal ini menunjukkan adanya hematom, vasospasme, atau edema regional. Evaluasi segera sangat penting, bila ada kelemahan otot lokal menunjukkan lesi supratentorial.
Paska operasi bedah syaraf pasien dilakukan head up 30 derajat kecuali bila ada kontra indikasi (VP shunt, lumbar laminectomi, carotid endarterectomi, hipotensi, dan trauma batang otak). Posisi ini memberikan drainase vena yang baik dari otak, dan meningkatkan oksigenasi dengan meningkatkan FRC.

Review system
           
Dinamika intrakranial
Pemeliharaan perfusi otak sangat penting. Persamaan yang memenuhi :
                        CPP = SABP – ICP
SABP = Systemic Arterial Blood Pressure (Normal : 70 – 110 mmHg)
                       
Hipotensi
Komplikasi yang jarang terjadi setelah pembedahan syaraf dan biasa disebabkan oleh kurangnya penggantian volume cairan atau penyulit durante operasi. TIK  normalnya kurang 15 mmHg. TIK dapat meningkat selama 12 jam setelah pembedahan dan akan terjadi lagi 24 sampai 48 jam. Hebatnya edema otak tergantung dari reseksi, diseksi, dan retraksi jaringan otak.

Hematoma
Terbentuk pada tempat operasi atau berkaitan dengan aspirin, dilantin, dekstran.

Tension pneumocephalus
Terbentuk karena efek gravitasi oleh karena posisi duduk, iatrogenik karena pengurangan ukuran otak, intracranial hipertensi. Dapat diketahui dari CT-scan kepala.

Vasospasme arteri
Komplikasi serius setelah obliterasi malformasi aneurisma atau arteriovena dapat menyebabkan iskemi, edema, dan infark. Spasm dapat menyebar dari arteri utama sampai ke cabang-cabang dalam waktu jam sampai dengan hari. Serotonin juga memicu terjadinya spasme. Spasme arteri terjadi pada saat pengangkatan adenoma hipofisis. Diagnosisnya dapat ditegakkan secara klinis melalui adanya lateralisasi otot atau penururnan kesadaran. Angiografi dapat membantu konfirmasi diagnostic. Terapi akut dapat dilakukan dengan cara pemberian sodium niropuside atau nimodipin.

Walaupun perubahan hemodinamik otak dapat diketahui dari perubahan klinis hubungan langsungnya jarang dapat dikenali. Trias klasik peningkatan TIK, hipertensi sistemik dan bradikardi sebagaimana digambarkan oleh Harvey Cushing pada 1901.
Terapi peningkatan TIK di ruang pulih sadar dapat diketahui dengan segera dan diagnosa yang akurat dengan foto skul, perubahan analisa gas  darah, dan CT scan. Bila terjadi hematom diperlukan evakuasi bedah dan pemeriksaan faal hemostasis. Pneumocephalus tergantung dari ukuran dapat dievakuasi dengan burr hole craniotomy, dan penggantian cairan. Edema otak diterapi dengan hiperventilasi, diuresis, steroid, anti kejang dan barbiturate.
           
            Sistem kardiovaskular
Ketidakseimbangan kardiovaskuler paska operasi adalah komplikasi yang paling sering terjadi baik hipertensi atau hipotensi.

Hipotensi paling sering disebabkan oleh :
Hipovolemi
Hipotermi
Sisa efek anestesi
Hipoventilasi
Kerusakan otot jantung
Gangguan elektrolit
Kegagalan adrenal
Penyulit durante operasi.

Hipertensi paling sering disebabkan oleh kelainan non neurologik paska operasi yang diperberat oleh :
Kelebihan cairan
Hipertermi, vasokonstriktor
Emergensi dari anestesi dengan nyeri dan menggigil
Hipoventilasi, hiperkapnea
Cushing refleks, peningkatan TIK
Rebound hipertensi akut atau kronis
Obat-obatan
Perubahan dinamika intrakranial.

Tekanan darah yang meningkat lebih dari 20-25% dari preoperatif membutuhkan terapi, penyebabnya mungkin adalah cushing response sebagai menkanisme protektif untuk meningkatkan perfusi otak, sehingga diperlukan diagnosis yang adekuat.
Terapi yang tepat adalah adekuat ventilasi, hidralazine (5-10 mg), propanolol (1-2 mg), diazoxide (50 mg). Labetalol, injeksi bolus sampai dengan 2.5 mg/kg selama 40 menit dapat dikombinasi dengan sodium nitropruside.

Kelainan ECG yang sering terjadi adalah bradikardi dan supra ventrikuler aritmia, yang terkait penyakit intracranial, hipokalemi yang diperberat oleh diuresis dan alkalosis atau keberadaan penyakit jantung. Tingginya kadar epinefrin dapat menyebabkan iskemi miokard, nekrosis miokard.

            Sistem Respirasi
Penyebab paling sering dari gangguan respirasi adalah :
Sisa obat anestesi
Intervensi bedah
Obstruksi jalan nafas
Patologi paru akut atau kronis
Neurogenik pulmonary edema
Kelebihan cairan

Menggigil akan meningkatkan kebutuhan oksigen sampai dengan 400% dan ini terjadi pada 20% kasus dan berlangsung hanya beberapa menit saja membaik dengan pemberian methylphenidate (Ritalin).

Perubahan iregularitas pada respirasi adalah tanda lambat dari disfungsi batang otak, walaupun hiperventilasi sebagai satu tanda perdarahan fosa posterior atau pembentukan edema.

Diagnosis insufisiensi pernafasan
Bila satu atau lebih dari kriteria di bawah ini ada maka terjadi gangguan pernafasan
O2 saturasi
<90%
Laju pernafasan
>40 x/m , <8x/m
Tidal volume
<3.5 ml/kg
Kapasitas vital
<15 ml/kg
VD/VT
>0.5
Maximal Inspiratory Force
<-25 cm H2O
% shunting paru-paru
>15 %
Pa CO2
>45 mmHg
Tipe pernafasan
Irregular


  VD/VT = rasio dead space fisiologis terhadap tidal volume







            Kriteria ekstubasi
           
Bila satu atau lebih dari kriteria di bawah ini ada maka ekstubasi dapat dilakukan
Riwayat
Sadar preoperative
Intraoperatif baik
Laju pernafasan       
12-35x/m
Tipe nafas
Regular
Kapasitas vital
30 ml/kg


Pa O2
> 75 mmHg (FiO2 = 0.3)
VD/VT
<0.5
Maximal Inspiratory Force
<-20 cm H2O
% shunting paru-paru
>12 %
PaCO2
35-45 mmHg
O2 saturasi
> 93%


  VD/VT = rasio dead space fisiologis terhadap tidal volume




Sistem Termoregulasi

Hipotermia yang tidak disengaja disebabkan oleh hilangnya panas tubuh dari konveksi, konduksi, dan radiasi selama prosedur operasi yang lama dan diperberat dengan pemberian cairan intravena dingin.
Sedangkan teknik hipotermia yang disengaja memperlambat kardiak siklus dan proteksi serebral selama tindakan kliping dari aneurisma.
Hipotermi akan menggeser kurva disosiasi oksigen ke kiri dan meningkatkan potensiasi general anestesi dan relaksan.
Hipertermi oleh karena neurogenik terkait dengan kerusakan batang otak dan hipotalamus dan biasanya sebagai konsekuensi dari cedera otak berat, atau setelah pengangkatan tumor hipofisis atau kraniofaringioma. Dan biasanya terkait dengan adanya darah pada ventrikel atau ruang subarakhnoid.


Sistem gastrointestinal

Penurunan motilitas usus terkait dengan peningkatan TIK. Oleh karena itu diperlukan pengosongan lambung sebelum dilakukan ekstubasi dengan menggunakan nasogastrik.  Perdarahan saluran cerna terjadi sekitar 2% dari pasien bedah syaraf dan komplikasi ini paling sering oleh karena kerusakan lobus frontal dan permukaan orbita, hipotalamus, atau area tegmental pons daripada oleh karena penggunaan steroid.

Komplikasi neurologis
            Kejang

Terjadi pada 13% pasien yang tidak pernah terserang sebelumnya. Sebagian dari pasien ini akan terjadi dalam 24 jam pertama. Bila ada riwayat kejang sebelumnya akan terjadi kejang sebesar 35%  selama paska operasi. Bahkan pada pasien dengan epilepsi akan tetap terjadi kejang walaupun pemberian anti kejang tetap diberikan. Dan kejang akan lebih mudah terjadi pada saat pembedahan dilakukan pada area motorik dan hemisfer korteks.
Pemberian profilaksis anti kejang akan mengurangi kejang paska operasi baik disebabkan oleh epilepsi atau hipoksia, dan pneumonia aspirasi. Terapi kejang dapat diberikan dengan phenytoin sebagai obat pilihan dengan dosis sedasi minimal. Efek terapi diperoleh dengan 18 mg/kg diencerkan dengan normal saline (sekitar 50 ml), dengan laju 50 mg/menit. Dengan dosis ini menjaga kadar obat dalam plasma sekitar 10 micro/ml selama 24 jam. Efek samping berupa hipotensi dan aritmia membutuhkan monitor EKG dan tekanan darah. Terapi status epileptikus termasuk pemberian pentothal, succinylcholine, intubasi, dan bantuan pernafasan perlu dilakukan segera.

Keseimbangan cairan & elektrolit
Sawar darah otak melindungi system saraf pusat terhadap deficit atau kelebihan natrium dan air dalam proporsi yang isotonis. Bila terjadi kerusakan akibat tindakan bedah maka mekanisme pertahanan ini akan rusak dan akan terjadi perubahan osmolalitas cairan tubuh.
Gangguan fungsi sistem neurohipofisis dapat terjadi karena SAH, pembedahan aneurisma, patah tulang kepala, trauma kraniofasial, dan pembedahan melibatkan hipofisis dan area hipotalamus. Frank diabetes insipidus temporer atau permanent dapat terjadi. Walaupun gejala muncul 12 sampai dengan 24 jam, tetapi munculnya poliuria cukup cepat dengan diagnosis dikonfirmasi dengan volume urine (1-2 liter/hari), urin spesifik gravitasi (sekitar 1,001), hemokonsentrasi,  dan perbaikan bila dilakukan restriksi cairan.
Terapi melibatkan diagram input-output, serum elektrolit serial, atau penentuan osmolalitas dan penggantian kehilangan cairan 2,5% sampai dengan 5% D5. Walaupun gejala ini hilang/sembuh dengan sendiri tetapi terapi awal pemberian vasopressin untuk mencegah terjadinya hiperglikemi nonketotik sangat penting. Penyebab poliuria yang lain adalah pemberian obat diuresis, hiperglikemi, dan defisiensi mineralokortikoid.

Disfungsi saraf
Dapat terjadi kelemahan syaraf oleh karena malposisi. Pleksus brakhialis, peroneus yang sering terjadi pada pasien dengan posisi duduk. Kelemahan syaraf hipoglosus karena prosedur end-arterectomi dapat terjadi dan terapinya bersifat suportif. Operasi pengangkatan tumor cerebro pontin berkaitan dengan kelemahan syaraf-syaraf cranial (IX, X, XI dan XII). Disfungsi syaraf juga terjadi pada operasi daerah ventrikel atau syringomyelia. Kerusakan syaraf glossofaring akan terjadi gangguan menelan yang bersifat sementara. Sehingga diperlukan pemasangan nasogastrik untuk melindungi jalan nafas, mungkin juga diperlukan tindakan intubasi. Keadaan ini akan membaik dalam 2 – 3 hari.                     

Kondisi khusus
            Pembedahan elektif intrakranial
Penilaian paska operasi pada pasien ini lebih sederhana oleh karena lebih sedikit faktor komplikasi. Tidak ada splin pada diafragma oleh karena nyeri dan insisi tinggi pada abdomen. Kebutuhan narkotik minimal, dan teknik anestesi pada pasien ini menghindari pemberian relaksan otot yang berlebihan dan kedalaman anestesi yang cukup.
Bila pasien sebelumnya sadar dan bernafas adekuat maka keadaan ini harus dipertahankan saat setelah operasi dan akan ditransfer ke ruang pulih sadar.
Paska operasi bila pasien sadar baik segera dilakukan mobilisasi untuk mencegah terjadinya emboli paru dan atelektasis.

Bedah syaraf pediatri
Anak-anak dengan hidrosefalus dengan shunt biasanya mudah terjadi obstruksi jalan nafas oleh karena hidung kecil, rhonki biasanya terdengar. Biasanya juga didapatkan kultur pada sekret dan biasanya anak-anak tersebut tidak febris.
Denyut jantung pada anak-anak dengan shunt harus selalu dimonitor secara berkelanjutan. Takikardi dapat terjadi dan napat terjadi gagal jantung kongestif oleh karena kelebihan cairan maka dilakukan diskoneksi shunt dan dilakukan eksternal drainase.
Obstruksi pernafasan disebabkan oleh karena stridor yang terjadi pada bayi dengan hidrosefalus dan myelomeningocele, dan mungkin terjadi Karena distorsi dan traksi dari batang otak bagian bawah dan syaraf kranialis.
Anak-anak dengan cerebral palsy yang sering dilakukan pembedahan berulang biasanya mengalami tirah baring lama dan dengan balans nitrogen yang negatif serta mudah terjadi infeksi paru-paru dan aspirasi. Sehingga pasaka operasi perlu diperhatikan hal-hal khusus untuk menilai status paru-paru dan keseimbangan cairan dan elektrolit.
Dagu yang hipoplasti dan lidah yang lebar adalah dua ciri uatama sindroma Pierre-Robin yang terjadi gabungan kedua obstruksi akut dan kronis. Bedah syaraf dan anestesi harus berhati-hati terhadap keadaan patologi ini.  Sehingga mudah terjadi obstruksi ketika pasien diekstubasi dalam keadaan belum sadar baik dari anesthesia.

Pembedahan Kolumna vertebralis /spinal
Tingkat dimana pembedahan dilakukan pada vertebra menentukan kebutuhan perawatan dan komplikasi yang terjadi pada masa pulih sadar.
Lumbar laminectomy biasanya dilakukan pada pasien muda dan sehat dan jarang terjadi permasalahan selama di ruang pulih sadar. Oleh karena minimal bahaya yang terjadi pada depresi sistem pernafasan, dan rasa nyeri dapat diatasi dengan pemberian narkotik dengan dosis yang tepat. Hematom jarang dijumpai dan bisa muncul karena adanya kelemahan mendadak fungsi ekstremitas inferior hal ini karena penekanan dari medulla spinalis. Sehingga reeksplorasi harus segera dilakukan.
Sedangkan pada laminectomy di daerah thorakal biasa dilakukan pada penderita muda atau sehat. Indikasi yang sering adalah karena massa tumor, AVM atau skoliosis. Tumor yang seringa adalah meningioma dan paska operasi perlu diperhatikan adalah pembentukan hematom pada tumor bed.
AVM membutuhkan operasi dengan mikroskop dan pada prosedur ini perdarahan yang terjadi membutuhkan penggantian cairan dan sering dengan transfusi darah. Durante operasi perlu diperhatikan penggantian cairan stabilitas kardiovaskular dan parameter pembekuan darah, koreksi hipotermi, dan pemeriksaan neurologist yang sering. Bila intervensi bedah di bawah torakal 6 maka lebih sedikit bahaya terjadi depresi nafas akibat pemberian narkotik sebagai anti nyeri.
Pada skoliosis sering paska operasi timbul masalah pernafasan yang membutuhkan pemberian oksigen suplemen konsentrasi tinggi, kerusakan medulla spinalis yang menyebabkan kelumpuhan atau kelemahan motorik. Untuk memeriksa motorik pada lower motor nuron adalah dengan mencari klonus pergelangan kaki bilateral.
Pada keganasan bisa terjadi metastase spinal yang berkaitan dengan masalah pernafasan, kardiovaskular yang melibatkan simpatis torakolumbal, dengan hipotensi ortostatis, otonomik disrefleksia, dan kepekaan yang tidak sesuai terhadap pemberian cairan.





           
Kondisi yang memperberat cedera pada tingkat cervical dan torakal pada kolumna spinalis
Komplikasi
Sekuele


Distress nafas
Pneumonia
atelektasis
Penurunan sensoris
Ketidakseimbangan kardiovaskuler
Ortostatis hipotensi
Bradikardi
Hiperefleksia otonom
Distensi gaster
Reguritasi
Aspirasi
Defisit sensoris
Lecet karena tekanan
Sepsis
Distensi buli
Infeksi
Gangguan suhu
Hipotermi
Gangguan psikiatri
Halusinasi
Penyangkalan terhadap cedera




 

Link Kesehatan Copyright © 2011-2012 | Powered by Blogger