AKARTA –
Berbahagialah ibu hamil yang tinggal di kota besar, sebab cukup banyak bidyangberoperasi di sana. Asal tahu saja, 90 persen kelahiran di kota-kota besar
lebih banyak ditanganibidan daripada dokter kandungan. Sebab, di samping
tarifnya lebih murah, pendekatan yang dilakukan para bidan terhadap pasien
biasanya lebih bersifat kekeluargaan ketimbang dokter.
Namun jangan
salah, di daerah pedesaan, di mana peran bidan sangat dibutuhkan, jumlah mereka
justru minim sekali. ”Di Papua misalnya, dalam empat desa hanya ada satu bidan.
Padahal idealnya setiap desa harus ada satu bidan,” papar Wastidar Musbir,
Ketua Umum Pengurus Pusat Ikatan Bidan Indonesia (PP IBI) kepada SH di Jakarta,
Selasa(2/9).
Tidak heran kalau di sana para ibu hamil malas memeriksakan kandungan ke bidan. Bukan karena biayanya mahal atau bagaimana, namun transportasi menjadi kendala utama. ”Tarif periksa bidan di Puskesmas cuma Rp1.000, tapi ongkos transpornya bisa Rp20.000,” tambah Wastidar.
Padahal 80 persen penduduk Indonesia bermukim di sekitar 69.061 desa (Profil Kesehatan Indonesia 2000). Yang memprihatinkan, jumlah tenaga bidan di desa kian lama kian berkurang. Sejak diadakan program Bidan di Desa (BDD) tahun 1989, jumlah BDD justru terus menyusut. Dari 62.812 BDD di tahun 2000 menjadi 39.906 di tahun 2003. Hari ini ada sekitar 22.906 desa yang tidak lagi memiliki bidan.
Dengan kondisi ini dikhawatirkan masyarakat pedesaan harus merogoh kocek lebih dalam untuk mendapat akses pelayanan kesehatan. Namun yang jelas mereka akan kembali pada dukun bayi, pihak yang sejak dulu dipercaya sebagai penanganan prosedur kelahiran. Repotnya, masih banyak dukun bayi yang belum mahfum betul soal kebersihan, sehingga tak jarang kelahiran berakhir dengan kematian atau gangguan kesehatan pada bayi.
Salah satu upaya adalah dengan mengadakan pendampingan dukun bayi oleh para bidan agar mereka paham aspek-aspek kebersihan dan kesehatan.
Dengan fakta sedemikian minimnya tenaga bidan di pedesaan, tak heran kalau Angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia cukup tinggi. Bahkan AKI di Indonesia merupakan yang tertinggi di antara negara ASEAN, yakni 373 setiap 100.000 pada tahun 1997 dan terus meningkat menjadi 391 setiap 100.000 kelahitan pada 2002. Sementara berdasar Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 1997 menunjukkan Angka Kematian Bayi (AKB) adalah 52,2 per 1.000 kelahiran hidup.
Penyebab utama dari AKI dan AKB adalah pendarahan, eklamsia dan infeksi yang sebenarnya dapat cepat tertangani. Tentu saja angka-angka tersebut tidak akan sebanyak itu kalau saja jumlah bidan di pedesaan tercukupi. Walau di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, Medan atau Surabaya mayoritas kelahiran bisa ditangani oleh bidan, tidak demikian halnya di daerah pedesaan. Ini terlihat dari data yang dirangkum Survei Ekonomi dan Sosial Nasional (Susenas) tahun 2001 yang memperlihatkan bahwa di pedesaan hanya 45,83 persen saja yang ditolong bidan. Sisanya persalinan lebih banyak dibantu oleh dukun atau bahkan tanpa bantuan siapa pun yang tentu saja akan sangat memungkinkan terjadinya AKI atau AKB.
Tidak heran kalau di sana para ibu hamil malas memeriksakan kandungan ke bidan. Bukan karena biayanya mahal atau bagaimana, namun transportasi menjadi kendala utama. ”Tarif periksa bidan di Puskesmas cuma Rp1.000, tapi ongkos transpornya bisa Rp20.000,” tambah Wastidar.
Padahal 80 persen penduduk Indonesia bermukim di sekitar 69.061 desa (Profil Kesehatan Indonesia 2000). Yang memprihatinkan, jumlah tenaga bidan di desa kian lama kian berkurang. Sejak diadakan program Bidan di Desa (BDD) tahun 1989, jumlah BDD justru terus menyusut. Dari 62.812 BDD di tahun 2000 menjadi 39.906 di tahun 2003. Hari ini ada sekitar 22.906 desa yang tidak lagi memiliki bidan.
Dengan kondisi ini dikhawatirkan masyarakat pedesaan harus merogoh kocek lebih dalam untuk mendapat akses pelayanan kesehatan. Namun yang jelas mereka akan kembali pada dukun bayi, pihak yang sejak dulu dipercaya sebagai penanganan prosedur kelahiran. Repotnya, masih banyak dukun bayi yang belum mahfum betul soal kebersihan, sehingga tak jarang kelahiran berakhir dengan kematian atau gangguan kesehatan pada bayi.
Salah satu upaya adalah dengan mengadakan pendampingan dukun bayi oleh para bidan agar mereka paham aspek-aspek kebersihan dan kesehatan.
Dengan fakta sedemikian minimnya tenaga bidan di pedesaan, tak heran kalau Angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia cukup tinggi. Bahkan AKI di Indonesia merupakan yang tertinggi di antara negara ASEAN, yakni 373 setiap 100.000 pada tahun 1997 dan terus meningkat menjadi 391 setiap 100.000 kelahitan pada 2002. Sementara berdasar Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 1997 menunjukkan Angka Kematian Bayi (AKB) adalah 52,2 per 1.000 kelahiran hidup.
Penyebab utama dari AKI dan AKB adalah pendarahan, eklamsia dan infeksi yang sebenarnya dapat cepat tertangani. Tentu saja angka-angka tersebut tidak akan sebanyak itu kalau saja jumlah bidan di pedesaan tercukupi. Walau di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, Medan atau Surabaya mayoritas kelahiran bisa ditangani oleh bidan, tidak demikian halnya di daerah pedesaan. Ini terlihat dari data yang dirangkum Survei Ekonomi dan Sosial Nasional (Susenas) tahun 2001 yang memperlihatkan bahwa di pedesaan hanya 45,83 persen saja yang ditolong bidan. Sisanya persalinan lebih banyak dibantu oleh dukun atau bahkan tanpa bantuan siapa pun yang tentu saja akan sangat memungkinkan terjadinya AKI atau AKB.
Minim Fasilitas
Bagaimana Indonesia tidak kekurangan tenaga bidan kalau memang fasilitas yang diberikan pemerintah bagi profesi ini sangat minim sekali. Lulusan akademi kebidanan tidak bisa begitu saja diangkat menjadi pegawai negeri sehingga mereka harus melanjutkan kuliah lagi.
”Para bidan yang sudah lulus akademi sekarang lebih suka mengambil kuliah lagi, sebab dengan begitu bisa diterima menjadi pegawai negeri dengan gaji memuaskan,” tutur Wastidar. Maka itu sangat sedikit bidan yang selulus akademi sudi ditempatkan di desa terpencil. Selain mereka sering mengalami keterlambatan gaji, seringkali kesejahteraan warga desa juga tak mencukupi untuk membayar tarif bidan. Alhasil, bidan di desa terpencil harus ekstraprihatin. Apalagi sudah sejak tahun 2000 pemerintah menghapus program pemilihan bidan teladan. Otomatis tenaga bidan sekarang tidak lagi terlalu ”bersemangat” untuk berlaku teladan seperti masa lalu.
Wastidar juga menekankan, kendala lain yang membuat profesi bidan kurang diminati awam. Jenjang pendidikan untuk para bidan kini amat terbatas. Sampai sekarang strata pendidikan bidan belum ada yang mencapai S1. Pilihan bagi bidan hanya mencakup D3 atau D4. Sementara untuk meneruskan pendidikan ke luar negeri tentu butuh biaya besar. Jumlah Akademi kebidanan di seluruh Indonesia hanya 120 buah untuk jenjang D3 dan hanya empat untuk D4. Wastidar sangat berharap pemerintah mau sedikit memberi perhatian pada masalah pendidikan bidan ini demi meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan.
Bukan hanya masalah pendidikan saja yang membuat orang urung menjadi bidan. Mendung juga menerpa profesi ini setelah ditiadakannya penerimaan pegawai negeri sipil (PNS). Namun itu semua tidak menyurutkan semangat para bidan yang kini ada untuk terus mengemban tugasnya. Ini terbukti dari akan diselenggarakannya Kongres IBI yang ke-13 pada 7-11 September mendatang di Jakarta. Kongres ini akan diikuti oleh 1.600 perwakilan IBI di seantero Indonesia yang beranggotakan 76.000 orang di 30 provinsi. Kongres ini antara lain akan mensosialisasikan program Bidan Delima kepada anggotanya dan masyarakat luas.
Wastidar menjelaskan bahwa program ini merupakan upaya peningkatan kualitas para bidan. Program Bidan Delima mempunyai standar kualitas tersendiri yang proses manajemennya bertumpu pada kemandirian dan kemampuan sendiri. Ini bukan sekadar program biasa di mana para bidan yang mencalonkan diri akan mendapat fasilitas khusus dari IBI.(mer)
Bagaimana Indonesia tidak kekurangan tenaga bidan kalau memang fasilitas yang diberikan pemerintah bagi profesi ini sangat minim sekali. Lulusan akademi kebidanan tidak bisa begitu saja diangkat menjadi pegawai negeri sehingga mereka harus melanjutkan kuliah lagi.
”Para bidan yang sudah lulus akademi sekarang lebih suka mengambil kuliah lagi, sebab dengan begitu bisa diterima menjadi pegawai negeri dengan gaji memuaskan,” tutur Wastidar. Maka itu sangat sedikit bidan yang selulus akademi sudi ditempatkan di desa terpencil. Selain mereka sering mengalami keterlambatan gaji, seringkali kesejahteraan warga desa juga tak mencukupi untuk membayar tarif bidan. Alhasil, bidan di desa terpencil harus ekstraprihatin. Apalagi sudah sejak tahun 2000 pemerintah menghapus program pemilihan bidan teladan. Otomatis tenaga bidan sekarang tidak lagi terlalu ”bersemangat” untuk berlaku teladan seperti masa lalu.
Wastidar juga menekankan, kendala lain yang membuat profesi bidan kurang diminati awam. Jenjang pendidikan untuk para bidan kini amat terbatas. Sampai sekarang strata pendidikan bidan belum ada yang mencapai S1. Pilihan bagi bidan hanya mencakup D3 atau D4. Sementara untuk meneruskan pendidikan ke luar negeri tentu butuh biaya besar. Jumlah Akademi kebidanan di seluruh Indonesia hanya 120 buah untuk jenjang D3 dan hanya empat untuk D4. Wastidar sangat berharap pemerintah mau sedikit memberi perhatian pada masalah pendidikan bidan ini demi meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan.
Bukan hanya masalah pendidikan saja yang membuat orang urung menjadi bidan. Mendung juga menerpa profesi ini setelah ditiadakannya penerimaan pegawai negeri sipil (PNS). Namun itu semua tidak menyurutkan semangat para bidan yang kini ada untuk terus mengemban tugasnya. Ini terbukti dari akan diselenggarakannya Kongres IBI yang ke-13 pada 7-11 September mendatang di Jakarta. Kongres ini akan diikuti oleh 1.600 perwakilan IBI di seantero Indonesia yang beranggotakan 76.000 orang di 30 provinsi. Kongres ini antara lain akan mensosialisasikan program Bidan Delima kepada anggotanya dan masyarakat luas.
Wastidar menjelaskan bahwa program ini merupakan upaya peningkatan kualitas para bidan. Program Bidan Delima mempunyai standar kualitas tersendiri yang proses manajemennya bertumpu pada kemandirian dan kemampuan sendiri. Ini bukan sekadar program biasa di mana para bidan yang mencalonkan diri akan mendapat fasilitas khusus dari IBI.(mer)