Sejarah Perkembangan Farmasi
Penggunaan obat
dapat ditelusuri sejak tahun 2000 S.M. pada zaman kebudayaan Mesir dan
Babilonia telah dikenal obat dalam bentuk tablet tanah liat (granul), dan
bentuk sediaan obat lain. Saat itu juga sudah dikenal ratusan jenis bahan alam
yang digunakan sebagai obat. Pengetahuan tentang obat dan pengobatan
selanjutnya berkembang lebih rasional pada zaman Yunani, ketika Hippocrates
(460 S.M.) memperkenalkan metode dasar ilmiah dalam pengobatan. Dalam zaman
Yunani itu dikenal pula Asklepios atau Aesculapius (7 S.M.) dan puterinya
Hygeia. Lambang tongkat Asklepios yang dililiti ular saat ini dijadikan lambang
penyembuhan (kedokteran), sedangkan cawan atau mangkok Hygeia yang dililiti
ular dijadikan lambang kefarmasian.
Perkembangan
profesi kefarmasian pada abad selanjutnya dilakukan dalam biara, yang telah
menghasilkan berbagai tulisan tentang obat dan pengobatan dalam bahasa latin
yang hampir punah itu, sampai saat ini dijadikan tradisi dalam penulisan
istilah di bidang kesehatan. Perkembangan kefarmasian yang pesat pula telah
terjadi dalam zaman kultur Arab dengan terkenalnya seorang ahli yang bernama
al-Saidalani pada abad ke-9.
Namun
demikian tonggak sejarah yang penting bagi farmasi ialah tahun 1240 di Sisilia,
Eropa, ketika dikeluarkan surat perintah raja (edict) yang secara legal
(menurut undang-undang) mengatur pemisahan farmasi dari pengobatan. Surat perintah
yang kemudian dinamakan ”Magna Charta” dalam bidang farmasi itu juga mewajibkan
seorang Farmasis melalui pengucapan sumpah, untuk menghasilkan obat yang dapat
diandalkan sesuai keterampilan dan seni meracik, dalam kualitas yang sesuai dan
seragam. ”Magna Charta” kefarmasian ini dikembangkan sampai saat ini dalam
bentuk Kode Etik Apoteker Indonesia dan Sumpah Apoteker.
PENGETAHUAN, ILMU DAN
PROFESI
Semua ilmu adalah pengetahuan, tetapi tidak semua pengetahuan dapat
disebut ilmu. Manusia mempunyai perasaan, pikiran, pengalaman, panca indera, intuisi,
dan mampu menangkap gejala alam lalu mengabstraksikannya dalam bentuk ketahuan
atau pengetahuan; misalnya kebiasaan, akal sehat, seni, sejarah dan filsafat.
Apa yang diperoleh dalam proses mengetahui itu dilakukan tanpa memperhatikan
obyek, cara (ways of knowing) dan kegunaannya, maka ini dikategorikan dalam
ketahuan atau pengetahuan, dalam bahasa Inggris disebut ”knowledge”. Ilmu
atau ”Science” ialah pengetahuan yang diperoleh melalui ”metode ilmiah”, yaitu
suatu cara yang menggunakan syarat-syarat tertentu, melalui serangkaian langkah
yang dilakukan dengan penuh disiplin.
Farmasi Sebagai Sains
Semua bentuk
pengetahuan dapat dibeda-bedakan atau dikelompokkan dalam berbagai kategori
atau bidang, sehingga terjadi diversifikasi bidang ilmu pengetahuan atau
disiplin ilmu, yang berakar dari kajian filsafat, yaitu Seni (Arts), Etika
(Ethics), dan Sains (Science). Di satu pihak Farmasi tergolong seni
teknis (technical arts) apabila ditinjau dari segi pelayanan dalam penggunaan
obat (medicine); di lain pihak Farmasi dapat pula digolongkan dalam ilmu-ilmu
pengetahuan alam (natural science).
Dalam tinjauan
pengelompokan bidang ilmu
atau kategori di
atas digunakan kriteria :
1.
Obyek ontologis. Di sini ditinjau obyek apa yang
ditelaah sehingga menghasilkan pengetahuan tersebut. Sebagai contoh, obyek
ontologis dalam bidang Ekonomi ialah hubungan manusia dan benda atau jasa dalam
rangka memenuhi kebutuhan hidup; obyek telaah pada Manajemen ialah kerja sama
manusia dalam mencapai tujuan yang telah disetujui bersama; obyek ontologis
pada Farmasi ialah obat dari segi kimia dan fisis, segi terapetik, pengadaan,
pengolahan sampai pada penyerahannya kepada yang memerlukan.
2.
Landasan epistemologis, yaitu cara atau metode
apa yang digunakan untuk memperoleh pengetahuan tersebut. Contoh landasan
Epistemologis Matematika ialah logika deduktif; landasan epistemologis
kebiasaan sehari-hari ialah pengalaman dan akal sehat; landasan epitemologis Farmasi
ialah logika deduktif dan logika induktif dengan pengajuan hipotesis, yang
dinamakan pula metode logiko-hipotetiko-verifikatif.
3. Landasan
aksiologis, yaitu mempertanyakan apa nilai kegunaan pengetahuan tersebut.
Nilai kegunaan pencak silat, matematika dan farmasi sudah jelas berbeda. Dalam
hal ini nilai kegunaan atau landasan aksiologis Farmasi dan Kedokteran itu sama
karena kedua-duanya bertujuan untuk kesehatan manusia. [8]
Sebagai ilmu,
Farmasi menelaah obat sebagai ”materi”, baik yang berasal dari alam maupun
sintesis (sama dengan bidang Kimia dan Fisika) dan menggunakan metode
logiko-hipotetiko-verifikatif sebagai metode telaah yang sama seperti digunakan
pada bidang Ilmu Pengetahuan Alam. Oleh karena itu, Farmasi merupakan ilmu yang
dapat dikelompokkan dalam bidang Sains.
IV.2
Farmasi Sebagai Profesi
Dari kajian
filsafati di atas terlihat bahwa di samping sebagai Ilmu atau Sains, Farmasi
meliputi pula pelayanan obat secara profesional. Istilah Profesi dan
Profesional saat ini semakin dikaburkan karena banyak digunakan secara salah
kaprah. Semua pekerjaan (job, vacation, occupation) dan keahlian (skill)
dikategorikan sebagai profesi. Demikian pula istilah profesional sering
digunakan sebagai lawan kata amatir.
Menurut Hughes,
E.C. [4] :
…..Profesion
profess to know better than other the nature of certain matters, and to know
better than their clients what ails them or
their affairs.
Definisi ini
menggambarkan suatu hubungan pelayanan antar-manusia, sehingga tidak semua
pekerjaan atau keahlian dapat dikategorikan sebagai profesi.
Menurut Schein,
F.H. [4] :
…The
profession are a set of occupation that have developed a very special set or
norms deriving from their special role in society .
Kelompok
profesional dapat dibedakan dari yang bukan profesional menurut kriteria
berikut :
1.
Memiliki Pengetahuan Khusus, yang berhubungan
dengan kepentingan sosial. Pengetahuan khusus ini dipelajari dalam waktu yang
cukup lama untuk kepentingan masyarakat umum.
2.
Sikap dan Prilaku Profesional. Seorang profesional
memiliki seperangkat sikap yang mempengaruhi prilakunya. Komponen dasar sikap
ini ialah mendahulukan kepentingan orang lain (altruisme) di atas
kepentingan diri sendiri. Menurut Marshall, seorang profesional bukan bekerja
untuk dibayar, tetapi ia dibayar agar supaya ia dapat bekerja.
3.
Sanksi Sosial. Pengakuan atas suatu profesi
tergantung pada masyarakat untuk menerimanya. Bentuk penerimaan masyarakat ini
ialah dengan pemberian hak atau lisensi (lincense) oleh negara untuk
melaksanakan praktek suatu profesi. Lisensi ini dimaksudkan untuk menghindarkan
masyarakat dari oknum yang tidak berkompetensi untuk melakukan praktek
profesional.
Apabila kriteria
di atas diperinci lebih lanjut maka diperoleh sikap dan sifat sebagai berikut :
1.
Profesi itu sendiri yang menentukan standar pendidikan
dan pelatihannya.
2.
Mahasiswa yang mengikuti pendidikan profesi tertentu
harus memperoleh pengalaman sosialisasi menuju kedewasaan yang lebih intensif
dibanding mahasiswa pada bidang pekerjaan lain.
3.
Praktek profesional secara legal (menurut hukum) diakui
dengan pemberian lisensi.
4.
Pemberian lisensi dan dewan penilai dikendalikan oleh
anggota profesi.
5.
Umumnya peraturan yang berkaitan dengan profesi
dibentuk dan dirumuskan oleh profesi itu sendiri.
6.
Okupasi ini akan berkembang dari segi pendapatannya,
kekuasaan, dan tingkat prestise, sehingga dapat menetapkan persyaratan yang
lebih tinggi bagi calon mahasiswanya.
7.
Praktisi profesi secara relatif tidak dievaluasi dan
dikontrol oleh orang awam.
8.
Norma-norma praktek yang dikeluarkan profesi itu lebih
mengikat dibanding kontrol legal.
9.
Anggota profesi sangat erat terikat dan terafiliasi
dengan profesinya dibanding dengan anggota okupasi lain.
10.
Profesi ini biasanya merupakan terminal, dalam arti
tidak ada yang akan beralih ke profesi lain
Vokasi dan Karir dalam bidang farmasi
Perhatian utama para dokter, dokter gigi dan dokter hewan yang menulis resep ialah pada efek obat pada penderita, nilai terapetika, dan toksiologinya. Para perawat bertugas untuk memberikan obat, tanggap terhadap bentuk sediaan obat, dan terhadap manifestasi toksisnya. Maka ahli Farmasi (Farmasis) itulah satu-satunya ahli mengenai obat. Ia diberikan tanggung jawab legal untuk menangani obat dan pengetahuan segala sesuatu mengenai obat itu adalah tanggung jawab profesinya. Tidak ada program studi lain selain Farmasi yang memberikan dasar-dasar pengetahuan lengkap mengenai segala sesuatu yang perlu diketahui tentang obat. Jadi hanya seorang Farmasis yang mempunya kompetensi keahlian obat secara lengkap.
Farmasis
Komunitas (Community Pharmacist)
Farmasis
atau Apoteker memberikan kesan umum bahwa tempat kerja seorang farmasi hanyalah
di Apotik, yaitu salah satu tempat pengabdian profesi seorang Apoteker.
Seorang Farmasis di Apotik langsung berhadapan dengan masyarakat sehingga
fungsi tersebut dikelompokkan dalam Farmasi Masyarakat (Community Pharmacy).
Fungsi Farmasis Masyarakat di Apotik merupakan kombinasi seorang profesional
dan wiraswastawan. Dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah No. 25/80 tentang
Apotik, bahwa Apotik adalah tempat pengabdian profesi seorang Apoteker, maka
makin besar harapan yang diberikan pemerintah kepada para Farmasis, baik dari
segi jumlah tenaga farmasi maupun dari segi kemampuan profesionalnya.
Farmasi
Rumah Sakit (Hospital Pharmacy)
Farmasi Rumah
Sakit ialah pekerjaan kefarmasiaan yang dilakukan di rumah sakit pemerintah
maupun swasta. Fungsi kefarmasian ini yang sudah sangat berkembang di negara
maju, juga sudah mulai dirintis di Indonesia dengan pembukaan program spesialisasi
Farmasi Rumah Sakit. Jumlah kebutuhan Farmasis di rumah sakit di masa depan
akan semakin meningkat karena 3 hal :
1.
Faktor pertambahan penduduk.
2.
Meningkatnya kebutuhan untuk perawatan yang lebih baik
di rumah sakit.
3.
Fungsi dan peranan Farmasis Rumah Sakit akan lebih
meningkat dalam berbagai aspek mengenai penggunaan dan pemantauan obat.
Pedagang
Besar Farmasi (PBF)
Mata
rantai sebagai perantara industri farmasi dan masyarakat dalam hal penyaluran
obat ialah Pedagang Besar Farmasi (PBF). Di luar negeri PBF ini mempunyai
tenaga Farmasis terdaftar sebagai supervisor disebabkan oleh sifat khas produk
yang ditanganinya itu sehubungan dengan peraturan perundang-undangan. Di
Indonesia hanya dipersyaratkan tenaga menengah farmasi (Asisten Apoteker = AA)
sebagai penanggungjawab, mengingat belum cukup tersedianya tenaga ahli
berpendidikan tinggi.
PBF
sangat berperanan sebagai sumber penyalur obat dari berbagai industri farmasi
yang secara cepat dapat melayani kebutuhan Farmasis Komunitas (Apoteker) untuk
secara cepat pula melayani kebutuhan penderita akan obat. PBF juga mengurangi
beban finansial Apoteker dalam hal menyimpan stok obat dalam jumlah besar dan
menjembatani kerumitan negosiasi dengan ratusan industri farmasi sebagai
produsen obat.
Industri Farmasi
Farmasis
di industri farmasi terlibat pula dalam fungsi pemasaran produk, riset dan
pengembangan produk, pengendalian kualitas, produksi dan administrasi atau
manajemen. Fungsi perwakilan pelayanan medis (medical service representative)
atau ”detailman” yang bertugas dan langsung berhubungan dengan Dokter dan
Apoteker untuk memperkenalkan produk yang dihasilkan industri farmasi mungkin
juga dijabat seorang Farmasis atau tenaga ahli lain. Namun paling ideal apabila
fungsi itu dipegang seorang Farmasis atau tenaga ahli lain. Namun paling ideal
apabila fungsi itu dipegang seorang Farmasis karena latar belakang
pengetahuannya. Saat ini memang tidak banyak Farmasis yang mengisi jabatan ini
karena jumlahnya belum mencukupi, dan lebih dibutuhkan di tempat pengabdian profesi
yang lain. Peningkatan karir jabatan ini dapat mencapai tingkat supervisor
dalam pemasaran produk, dan direktur pemasaran produk dalam organisasi industri
farmasi.
Pada
unit produksi dan pengendalian kualitas (quality control) industri dipersyaratkan
seorang Apoteker. Untuk bidang riset dan pengembangan (R & D = Research and
Development) biasanya diperlukan lulusan pendidikan pascasarjana, meskipun
bukan merupakan persyaratan.
Instansi Pemerintah
Departemen
Kesehatan adalah instansi pemerintah yang paling banyak menyerap tenaga
Farmasis, terutama Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Minuman (DitJen POM)
dan jajaran Pusat Pemeriksaan Obat (PPOM) dan Balai Pemeriksaan Obat dan
Makanan (Balai POM) di daerah. Demikian pula Bidang Pengendalian Farmasi dan
Makanan pada setiap Kantor Wilayah Departemen Kesehatan (sekarang dihapus,
hanya ada Dinas Kesehatan Propinsi) dan jajaran Dinas Kesehatan sampai ke
Daerah Tingkat II dan Gudang Farmasi. Fungsi utama Farmasis pada instansi
pemerintah ialah administrastif, pemeriksaan, bimbingan dan pengendalian. Sejak
tahun 2001, telah terjadi perubahan struktur, Direktorat Jendral POM tidak lagi
bernaung di bawah Departemen Kesehatan, tetapi menjadi Badan Pengawas Obat dan
Makanan (Badan POM) yang bertanggungjawab langsung kepada Presiden RI. Demikian
pula struktur Balai (besar,kecil) POM di daerah tingkat I, yang langsung berada
di bawah Badan POM, tidak berada di dalam Dinas Kesehatan Propinsi.
Departemen
HANKAM, juga memerlukan Farmasis yang terutama berfungsi pada bagian logistik
dan penyaluran obat dan alat kesehatan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
merekrut Farmasis untuk jabatan dosen di perguruan tinggi. Sesuai Tri Dharma
Perguruan Tinggi, maka fungsi seorang Farmasis ialah dalam bidang pendidikan
dan pengajaran, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat. Persyaratan untuk
diterima menjadi dosen akan ditingkatkan menjadi lulusan Pascasarjana, atau
mempunyai Sertifikat Mengajar Program PEKERTI/AA (Pengembangan Keterampilan
Dasar Teknik Instruksional/Applied Approach), yaitu program penataran dosen
dalam aktivitas instruksional atau proses belajar mengajar.
Sebagai
tenaga kesehatan, seorang Farmasis atau Apoteker diwajibkan untuk mengabdi pada
negara selama 3 tahun setelah lulus ujian Apoteker sebelum dapat berpraktek
swasta perorangan. Wajib kerja sarjana ini dikenal sebagai Masa Bakti Apoteker
(MBA) yang dapat dilaksanakan pada instansi pemerintah seperti tersebut di atas
atau penugasan khusus dari Kepala Kantor Wilayah Departemen Kesehatan sebagai
wakil Menteri Kesehatan di daerah. Dengan dihapuskannya Kantor Wilayah, tugas
ini diambil alih Kepala Dinas Kesehatan Propinsi.
Wartawan
Farmasi (Pharmaceutical Journalism)
Profesi
ini mulai berkembang di luar negeri bagi Farmasis yang memperoleh latihan khusus
dalam kewartawanan dan mempunyai bakat menulis dan mengedit. Pekerjaan ini
diperlukan oleh instansi pemerintah atau industri farmasi untuk publikasi,
mengedit atau menulis tulisan yang berlatar belakang kefarmasian.
Manajemen Perusahaan
Khususnya
instansi swasta banyak memerlukan tenaga ahli berlatar belakang kefarmasian
dengan berkembangnya organisasi pelayanan kesehatan kepada masyarakat. Untuk
ini diperlukan pendidikan tambahan, misalnya Magister Manajemen (MBA = Master
of Business Administration).
Pendidikan kefarmasian
Pendidikan Farmasi, khususnya pendidikan tinggi sering berubah dengan perubahan tuntutan zaman. Pendidikan tinggi secara umum dituntut untuk menghasilkan lulusan yang lebih berkualitas dan lebih relevan terhadap kebutuhan masyarakat. Khususnya bidang Farmasi di era reformasi ini semakin banyak didirikan perguruan tinggi swasta yang menyelenggarakan pendidikan Farmasi. Demikian pula terjadi pada pendidikan program profesional di bidang kesehatan, yang semakin dituntut mutu lulusan yang tinggi, sehingga Sekolah Perawat, Sekolah Menengah Farmasi, dan lain-lain ditingkatkan menjadi setingkat Akademi (Program D-3 atau D-4), yang dikelola oleh Dinas Kesehatan Propinsi, dan dikelompokkan dalam Politeknik Kesehatan (POLTEKKES).
VI.1 Sejarah Perkembangan Pendidikan Farmasi di
Indonesia. [6]
Perkembangan pendidikan tinggi kefarmasian di Indonesia dapat dibagi
dalam era pra Perang Dunia II, Zaman Pendudukan Jepang dan pasca Proklamasi
Kemerdekaan R.I. Sebelum Perang Dunia II, selama penjajahan Belanda hanya
terdapat beberapa Apoteker yang berasal dari Denmark, Austria, Jerman dan
Belanda. Tenaga kefarmasian yang dididik di Indonesia hanya setingkat Asisten
Apoteker (AA), yang mulai dihasilkan tahun 1906. Pelaksanaan pendidikan A.A. ini
dilakukan secara magang ada Apotik yang ada Apotekernya dan setelah periode
tertentu seorang calon menjalani ujian negara. Pada tahun 1918 dibuka sekolah
Asisten Apoteker yang pertama dengan penerimaan murid lulusan MULO Bagian B
(Setingkat SMP). Pada tahun 1937 jumlah Apotik di seluruh Indonesia hanya 37.
Pada awal Perang Dunia ke-2 (1941) banyak Apoteker warga negara asing
meninggalkan Indonesia sehingga terdapat kekosongan Apotik. Untuk mengisi
kekosongan itu diberi izin kepada dokter untuk mengisi jabatan di Apotik, juga
diberi izin kepada dokter untuk membuka Apotik-Dokter (Dokters-Apotheek) di
daerah yang belum ada Apotiknya.
Pada zaman pendudukan Jepang mulai dirintis pendidikan tinggi Farmasi
dengan nama Yukagaku sebagai bagian dari Jakarta Ika Daigaku. Pada tahun 1944
Yakugaku diubah menjadi Yaku Daigaku.
Pada tahun 1946 dibuka Perguruan Tinggi Ahli Obat di Klaten yang kemudian
pindah dan berubah menjadi Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada di
Yogyakarta. Tahun 1947 diresmikan Jurusan Farmasi di Fakultas Ilmu Pengetahuan
dan Ilmu Alam (FIPIA), Bandung sebagai bagian dari Universitas Indonesia,
Jakarta, yang kemudian berubah menjadi Jurusan Farmasi, Institut Teknologi
Bandung pada tanggal 2 Mei 1959.
Lulusan
Apoteker pertama di UGM sebanyak 2 orang dihasilkan pada tahun 1953. Saat ini
di Indonesia terdapat 8 perguruan tinggi farmasi negeri dan belasan perguruan
tinggi swasta
Sekolah Menengah Farmasi
Dari
sejarah perkembangan kefarmasiaan di Indonesia tampak besarnya peranan pendidikan menengah farmasi (Sekolah Asisten
Apoteker), khususnya pada saat langkanya tenaga kefarmasian berpendidikan
tinggi. Pada saat peralihan sampai dikeluarkannya PP 25 tahun 1980, masih
dimungkinkan adanya ”Apotik Darurat” yaitu Apotik yang dikelola oleh Asisten
Apoteker yang sudah berpengalaman kerja. Tenaga menengah farmasi ini masih
sangat diperlukan dan
berperanan,
khususnya pada Farmasi Komunitas, baik di Apotik maupun di Rumah Sakit. Dengan
bertambahnya tenaga farmasi berpendidikan tinggi, peranan ini akan semakin
kecil, sehingga perlu dipikirkan untuk meningkatkan pendidikan AA ini setingkat
akademi (lulusan SMA). Mulai tahun 2000, pendidikan menengah ini mulai “phasing
out”, ditingkatkan menjadi Akademi Farmasi.
VI.3 Program Diploma Farmasi
Sejak 1991 telah dirintis pembukaan pendidikan tenaga farmasi ahli
madya dalam bentuk Program Diploma (D-III) oleh Departemen Kesehatan, yaitu
Program Studi Analis Farmasi. Kebutuhan ini merupakan konsekuensi perkembangan
di bidang kesehatan yang semakin memerluka tenaga ahli, baik dalam jumlah
maupun kualitas, dan semakin memerlukan diversifikasi tenaga keahlian. Tujuan
utama program studi ini ialah menghasilkan tenaga ahli madya farmasi yang
berkompetensi untuk pelaksanaan pekerjaan di bidang pengendalian kualitas
(quality control). Adapun peranan yang diharapkan dari lulusan program
Studi Analis Farmasi ialah: Melaksanakan analisis farmasi dalam laboratorium:
obat, obat tradisional, kosmetika, makanan-minuman, bahan berbahaya dan alat
kesehatan; di industri farmasi, instalasi farmasi rumah sakit, instansi
pengawasan mutu obat dan makanan-minuman atau laboratorium sejenisnya, di
sektor pemerintah maupun swasta, dengan fungsi :
Pelaksanaan
analisis, pengujian mutu, pengembangan metode analisis dan peserta aktif dalam
pendidikan dan penelitian di bidang analisis farmasi.
Program
ini diharapkan dapat dikelola oleh perguruan tinggi negeri yang mempunyai
fakultas atau Jurusan Farmasi dengan status Program Diploma (D-III).
Kemungkinan besar Sekolah Menengah Farmasi di masa yang akan datang dapat
ditingkatkan menjadi Program Diploma seperti yang diuraikan di atas. [3]
Ramalan kami lebih dari 10 tahun yang lalu, sekarang ini sudah menjadi
kenyataan melalui ketentuan yang mengharuskan pendidikan menengah ditingkatkan
menjadi Akademi.
VI.4 Pendidikan Tinggi Farmasi [6]
Perkembangan
pendidikan tinggi Farmasi di Indonesia sejak berdirinya perguruan tinggi
farmasi yang pertama di Klaten dan Bandung, sampai saat ini terdapat 8
pendidikan tinggi Farmasi negeri dan belasan perguruan tinggi swasta. Menurut
catatan tahun 1983 jumlah lulusan Farmasis (Apoteker) di Indonesia 3552 orang,
yang merupakan peningkatan sebesar 350% dari jumlah Apoteker di tahun 1966.
Proyeksi jumlah Apoteker pada tahun 2000 adalah 6666 orang berdasarkan rasio 1
Apoteker untuk 30.000 jiwa, hanya untuk bidang pelayanan saja. (Rasio yang
ideal untuk perbandingan kebutuhan minimum yang lazim diproyeksikan untuk
profesi ini di bidang kesehatan ialah 1 : 15.000). Saat ini jumlah Apoteker
diperkirakan sebanyak 10.000 orang.
Tantangan
pembangunan di bidang kesehatan, khususnya dalam bidang yang merupakan
tantangan bagi Pendidikan Tinggi Farmasi di Indonesia ialah menghasilkan produk
pendidikan tinggi yang memenui Standar Profesi Apoteker (Standard Operating Procedure
= SOP) sebagai berikut :
- turut mengupayakan obat yang bekerja spesifik, relatif aman yang dapat meringankan penderitaan akibat penyakit.
- memberikan sumbangan untuk mengungkapkan mekanisme terinci dari fungsi normal dan fungsi abnormal organisme.
- mengupayakan obat yang bekerja spesifik, relatif aman yang dapat memodifikasi penyakit; memulihkan kesehatan; mencegah penyakit.
- mengupayakan obat yang dapat membantu kebehrasilan intervensi dengan cara lain (bukan obat) dalam upaya kesehatan.
- menciptakan metode untuk mendeteksi sedini mungkin kelainan fungsional pada manusia.
- menggali dan mengembangkan sumber alam Indonesia yang dapat diperbaharui atau pun tidak dapat diperbaharui untuk tujuan kefarmasian.
- menciptakan cara baru untuk penyampaian obat ke sasaran yang harus dipengaruhinya dalam organisme.
- mengembangkan metode untuk menguji, menciptakan norma dan kriteria untuk meningkatkan secara menyeluruh daya guna dan keamanan obat dan komoditi farmasi, maupun keamanan lingkungan dan bahan lain yang digunakan manusia untuk kepentingan kehidupannya.
- membangun sistem farmasi Indonesia dan sistem pengejawantahan profesi farmasi yang efisien dan efektif selaras dengan konstelasi budaya, geografi dan lingkungan Indonesia.
DAFTAR
PUSTAKA
1.
American
Pharmaceutical Association, The National Professional Society of Pharmacicts,
“The Final Report of the Task Force on Pharmacy education, Washington DC.
2.
College
Handbook (Nov.1992), MONASH University, The Office of University Development for
the Victorian College
of Pharmacy, Melbourne, Victoria.
3.
Forum
Komunikasi Perguruan Tinggi Farmasi Negeri se Indonesia, Hasil Rapat Tahunan
(1992).
4.
Gennaro,
A.R. [Ed.] (1990) “ Remington’s
Pharmaceutical Sciences”, Mack Publishing Co, Easton, Pennsylvania.
5.
Ikatan
Sarjana Farmasi Indonesia, Keputusan Kongres Nasional XIII, N0.XIII/Kongres
XIII/ISFI/1989 tentang Standar Profesi Apoteker dalam Pengabdian Profesi di
Apotik.
6.
Ketut
Patra dkk. (1988) “ 60
Tahun Dr. Midian Sirait, Pilar-Pilar Penopang
Pembangunan di Bidang Obat”, Penerbit P.T.Priastu, Jakarta.
7.
Smith,
A.K. (1980) “ Principles and Methods of Pharmacy Management”, Second Edition,
Lea Febiger, Philadelphia.
8.
Suryasumantri,
Y.S (1985) “ Filsafat Ilmu, Suatu
Pengantar Populer”, Penerbit Sinar Harapan, Jakarta.
Wattimena, J.R. dkk. (1986) makalah dalam
Ekspose Perkembangan Ilmu Kesehatan