Asesmen Perilaku


Asesmen perilaku merupakan alat dalam modifikasi perilaku yang digunakan untuk mengukur perilaku individu apakah perilaku yang dimunculkan itu meningkat atau berkurang.
Secara khusus Martin dan Pear (2003) mengemukakan bahwa asesmen perilaku meliputi proses pengumpulan dan analisis terhadap data atau informasi untuk tujuan-tujuan sebagai berikut:
  1. mengidentifikasi perilaku target, yaitu perilaku yang menjadi sasaran.
  2. mengidentifikasi penyebab-penyebab munculnya perilaku tertentu
  3. menentukan metode intervensi yang dilakukan.
  4. mengevaluasi hasil tritmen.

Komponen utama dalam asesmen yaitu :
  1. Parameter/ ukuran yang digunakan untuk membandingkan fakta/data
  2. Fakta/data yang diukur
  3. Pengukur
  4. Mekanisme/ prosedur pengukuran

Teknik asesmen yang sangat populer digunakan dalam modifikasi perilaku adalah
Analisis Fungsional.

Proses modifikasi perilaku yang berhasil paling tidak melalui fase-fase berikut:
(a) skrining atau intake phase,
(b) baseline,
(c) tritmen, dan
(d) tindak lanjut.

Untuk memperjelas pemahaman mengenai asesmen ini baik kiranya diamati terlebih dahulu aktivitas yang dilakukan pada setiap fase dari program modifikasi perilaku.

1.          Skrining atau intake phase.
Istilah fase intake biasanya dikenakan pada tahap awal dari proses pertemuan seorang klien dan terapis. Pada fase ini terapis memberi kesempatan pada klien untuk mengisi formulir yang disediakan ataupun hanya wawancara umum dengan maksud agar terapis memperoleh informasi mengenai nama, alamat, usia, status perkawinan dll. Pada fase ini, terapis juga dapat mengumpulkan informasi awal mengenai hal-hal atau peristiwa-peristiwa yang mendorong klien datang menemui terapis.
    Fase ini sering juga disebut skrining karena fase ini berfungsi untuk memberi kesempatan pada terapis untuk menimbang apakah klien telah datang kepada terapis atau biro yang tepat untuk masalah yang dialaminya. Fungsi kedua, terapis atau biro tersebut dapat menginformasikan layanan-layanan yang diberikan, serta kode etik profesi. Fungsi ketiga, mendeteksi apakah klien yang datang masuk kategori krisis (misalnya dorongan bunuh diri atau penyalah gunaan obat) sehingga membutuhkan tindakan segera atau tidak. Bagi terapis tertentu, skrining ini memiliki fungsi keempat yaitu mengumpulkan data melalui tes-tes psikologi yang dapat digunakan untuk memperkuat diagnosa. Fungsi kelima dari fase skrining ini adalah untuk menentukan perilaku mana yang perlu diukur baseline nya.

2.          Fase Baseline
Fase baseline adalah fase penilaian awal terhadap perilaku klien, yang merupakan sampel dari perilaku target. Fase ini dilakukan dengan beberapa kali pengukuran terhadap sampel perilaku tersebut pada situasi-situasi yang berbeda. Pengukuran dihentikan apabila hasil pengukuran sudah menunjukkan hasil yang konsisten.  
Selama fase baseline, terapis menilai seberapa jauh gap antara sampel perilaku yang ditunjukkan klien dengan perilaku perilaku target untuk menentukan level perilaku yang saat ini dimiliki klien. Pada fase ini, terapis juga melakukan pengamatan dan penilaian terhadap lingkungan tempat di mana klien hidup sehari-hari sehingga dapat mengumpulkan informasi mengenai faktor-faktor apa saja yang mungkin potensial mendukung atau menghambat proses modifikasi perilaku terhadap klien. Setelah diamati, terapis dapat memprediksi variabel apa saja yang perlu dikontrol untuk mencapai tujuan program modifikasi perilaku.

3.          Fase Tritmen
Setelah baseline dilakukan, terapis memperoleh data yang lebih lengkap mengenai klien. Idealnya, pada saat ini terapis mulai merancang program modifikasi perilaku yang tepat bagi klien. Pada masalah-masalah kesulitan belajar, umumnya program dalam bentuk pelatihan atau program pengajaran. Untuk masalah-masalah klinis atau komunitas, program yang lebih sering diusulkan adalah terapi atau intervensi komunitas.
Dalam modifikasi perilaku, beberapa metode dapat disarankan pada beberapa klien dengan masalah-masalah tertentu. Namun demikian selama metode ini diterapkan, sebagaimana pendekatan perilaku lainnya asesmen tetap terus menerus dilakukan.

4.          Fase Tindak Lanjut
Fase tindak lanjut dilakukan untuk mengevaluasi mengenai keberlangsungan suatu perubahan perilaku tertentu. Bila perubahan tersebut dapat bertahan selama periode tertentu mengikuti perubahan perilaku yang terjadi setelah klien dikenai metode modifikasi perilaku, maka dapat disimpulkan bahwa metode tersebut efektif. Sebaliknya, bila perubahan itu tidak permanen maka dapat dikatakan bahwa problem yang sesungguhnya tidak terpecahkan secara tuntas.

Sumber-sumber Informasi untuk Asesmen
            Pentingnya data yang dikumpulkan melalui fase-fase dalam modifikasi perilaku merupakan ciri yang menonjol dari pendekatan perilakku. Data akurat dan lengkap merupakan kunci keberhasilan suatu proses modifikasi perilaku, terutama dalam menentukan perilaku target. Dengan demikian perlu ditentukan prosedur yang tepat untuk mengumpulkan data ini.
Beberapa prosedur yang biasa dilakukan untuk pengumpulan data, dapat dikelompokkan ke dalam tiga prosedur.
  1. Prosedur pertama adalah penilaian tidak langsung. Penilaian tidak langsung dapat dilakukan dengan cara mewawancarai orang-orang terdekat dengan klien, misalnya orang tua, saudara-saudara klien, teman-teman, guru, dan orang-orang yang banyak berhubungan dengannya. Sumber informasi lain yang dapat diminta datanya adalah konselor profesional dari sekolah. Cara lain yang masuk kategori asesmen yang tidak langsung ini adalah kuesioner yang didesain khusus seperti misalnya life history, self report problem checklist, dan role play.
  2. Prosedur kedua adalah penilaian langsung pada klien, dilakukan dengan cara melakukan observasi terhadap sampel perilaku yang diperlihatkan klien. Prosedur penilaian langsung ini memberikan data yang akurat karena ditampilkan langsung oleh klien, tetapi tentu saja kelemahannya adalah dari segi waktu yang harus disediakan lebih banyak. Dalam prosedur penilaian langsung ini beberapa hal yang menjadi sasaran untuk dinilai, adalah frekuensi dimunculkannya perilaku tertentu, bagaimana pula dengan durasi munculnya perilaku tersebut, intensitas, dan kualitas.   
  3. Prosedur penilaian eksperimen dilakukan dengan cara melakukan kontrol pada situasi yang ada pada klien (antecedent) untuk kemudian diamati perilaku apa yang akan dimunculkan (consequence).  Prosedur ini disebut juga dengan analisis fungsional.


            Hal – hal yang direkam dalam prosedur pengambilan data ini adalah :
  1. Topographyrespon tertentu terhadap satu stimulus
  2. Frekuensiseberapa sering perilaku itu ditunjukkan atau dilakukan klien
  3. IntensityPengukuran intensitas atau kekuatan sutu respon
  4. Stimulus kontrolVariabel perilaku yang mendasari dan mengontrol munculnya suatu perilaku, sehingga digunakan untuk menentukan perilaku tertentu yang terjadi pada suatu situasi tapi tidak pada situasi lain.
  5. Latencywaktu antara stimulus yang diberikan dengan respon yang dilakukan
  6. Qualitykecenderungan apakah perilaku tersebut mempunyai nilai fungsional atau tidak

            
Analisis Fungsional
            Istilah analisis fungsional seringkali disamakan dengan asesmen fungsional. Beberapa buku memang menyebut dua istilah ini secara bergantian. Namun demikian Martin dan Pear (2003) demikian pula halnya dengan Cone (1997) membedakan definisi keduanya. Martin dan Pear (2003) mengemukakan bahwa asesmen fungsional adalah beberapa pendekatan yang digunakan untuk mengidentifikasi antecedents dan consequences dari suatu perilaku tertentu. Sementara itu, analisis fungsional adalah manipulasi yang sistematis dari suatu situasi untuk menguji perannya sebagai antecedents yang mengontrol suatu perilaku tertentu, atau sebagai consequences yang memperkuat terbentuknya perilaku tertentu.


DAFTAR BACAAN

Kazdin, Alan E (1994). Behavior Modification in Applied Setting. California : Brooks/ Cole Publishing Company
Martin, Garry. Joseph Pear. (2003). Behavior Modification : What It Is and How to Do It. Seventh Edition. New Jersey : Prentice Hall. Inc
 

Link Kesehatan Copyright © 2011-2012 | Powered by Blogger