Pemeriksaan Villi Korialis



            Diagnosis prenatal yang dikerjakan pada trimester kedua mempunyai beberapa kekurangan antara lain, diagnosis baru dapat diketahui pada usia kehamilan yang lebih lanjut sehingga risiko untuk terminasi kehamilan lebih besar dan terminasi pada saat janin sudah mulai bergerak menimbulkan beban emosional yang berat bagi pasien, sehingga diusahakan untuk melakukan diagnosis prenatal pada trimester pertama.
            Teknik pemeriksaan villi korialis pertama kali diperkenalkan di Cina pada tahun 1975 yang bertujuan untuk menentukan jenins kelamin janin dengan cara memasukkan kateter halus ke dalam uterus dengan hanya dituntun perasaan taktil. Bila terasa ada hambatan, kemudian pengisap dipasang dan dilakukan aspirasi potongan villi.3
Pemeriksaan villi korialis biasanya dilakukan pada usia kehamilan antara 10-12 minggu, untuk pemeriksaan sitogenetik, molekuler (analisis DNA) dan atau metode biokimia yang dapat diaplikasikan pada jaringan villii. Pemeriksaan ini dapat mendeteksi anomali kromosom,  defek gen spesifik dan aktivitas enzym yang abnormal dalam kehamilan terutama pada penyakit turunan.2, 3
Jaringan villi dapat diambil dengan teknik transervikal maupun transabdominal. Sebelum tindakan, dilakukan pemeriksaan USG untuk konfirmasi denyut jantung janin dan letak plasenta. Tentukan posisi uterus dan serviks, bila uterus anteversi maka tambahan pengisian kandung kemih dapat membantu untuk meluruskan posisi uterus, namun hindari pengisian kandung kemih yang berlebihan karena dapat mendorong uterus keluar dari rongga pelvis sehingga memperpanjang jarak untuk mencapai tempat pengambilan sampel yang dapat mengurangi kelenturan yang diperlukan untuk manipulasi kateter.3, 6
Pasien dibaringkan dalam posisis litotomi, antisepsis vulva dan vagina kemudian masukkan spekulum dan lakukan hal yang sama pada serviks. Ujung distal kateter (3-5 cm) sedikit ditekuk untuk membentuk lengkungan dan kateter dimasukkan kedalam uterus dengan tuntunan USG sampai terasa  tahanan menghilang pada endoserviks. Operator menunggu sampai sonographer menvisualisasi ujung  kateter, kemudian kateter dimasukkan sejajar dengan selaput korion ke tepi distal plasenta. Keluarkan stylet dan pasang tabung pengisap 20 ml yang mengandung medium nutrien. Jaringan villi yang terisap ke dalam tabung dapat dilihat dengan mata telanjang sebagai struktur putih yang terapung dalam media. Kadang kala diperlukan pemeriksaan mikroskop untuk mengkonfirmasi jaringan villi. Sering jaringan desidua ibu ikut terambil namun mudah dikenali sebagai stuktur yang amorf (tak berbentuk). Bila tidak berhasil mendapat jaringan villi yang cukup maka dapat dilakukan insersi kedua.3, 6
Teknik transabdominal  pertama kali diperkenalkan oleh Smid –Jensen dan Hahnemann dari Denmark. Dengan tuntunan USG masukkan jarum spinal ukuran 19 atau 20 ke dalam sumbu panjang plasenta. Setelah stylet dikeluarkan, aspirasi villi ke dalam tabung  20 ml  yang berisi media kultur jaringan. Berhubung karena jarum yang dipakai lebih kecil dari kateter servikal maka perlu dilakukan tiga sampai empat kali gerakan maju mundur pada ujung jarum terhadap jaringan plasenta agar jaringan villi dapat terambil. Berbeda dengan teknik transervikal yang dilakukan sebelum usia kehamilan 14 minggu, teknik ini dapat dilakukan sepanjang kehamilan sehingga dapat menjadi alternatif untuk amniosintesis dan pemeriksaan darah janin.3, 6
Komplikasi yang dapat terjadi pada pemeriksaan villi korialis adalah abortus dan yang ditakuti akhi-akhir ini adalah hubungan antara tindakan ini dengan kejadian reduksi anggota gerak. CVS yang dilakukan pada kehamilan < 9 minggu mempunyai risiko untuk reduksi anggota gerak 10-20 kali lebih besar dibandingkan dengan CVS yang dilakukan setelah usia > 11 minggu.3
Kontaminasi jaringan desidua ibu pada sampel yang dikultur dapat memberikan hasil negatif palsu, dan hal ini sering terjadi bila hanya sedikit sampel yang terambil, namun di senter yang telah berpengalaman kejadian ini tidak ditemukan lagi.6 

PEMERIKSAAN DARAH JANIN

            Pada tahun 1983, Daffos dkk memperkenalkan metode pengambilan darah janin dengan tuntunan USG menggunakan jarum spinal ukuran 20-22 melalui perut ibu ke dalam tali pusat. Teknik ini disebut juga kordosentesis, PUBS (percutaneous umbilical blood sampling), fetal blood sampling atau furnipuncture. Kordosintesis adalah istilah yang sering digunakan.7
            Indikasi pemeriksaan ini dapat dibagi atas indikasi diagnostik dan terapeutik. Umumnya, pemeriksaan darah janin diindikasikan bila keuntungannya lebih banyak dari kerugiannya. Sebelumnya pemeriksaan darah janin dilakukan untuk karyotype cepat namun dengan teknik sitogenetik yang baru memakai metode FISH sampel dari villi korialis dan amniosit juga dapat diperiksa dengan cepat. Indikasi lain untuk pemeriksaan ini adalah bila ditemukan mosaik atau kegagalan kultur pada amniosintesis dan biopsi plasenta. Pemeriksaan darah janin juga dilakukan pada wanita yang datang terlambat (usia kehamilan lanjut) pada kunjungan antenatal dan menginginkan pemeriksaan karyotype atau untuk diagnosis prenatal retardasi mental fragile-X.3, 7
            Indikasi diagnostik yang lain adalah pemeriksaan hemoglobinopathi, koagulaopathi, penyakit granulomatous kronik dan beberapa kelainan metabolisme serta penentuan anemia  dan trombositopenia pada janin. Untuk indikasi terapeutik adalah : terapi anemia pada janin melalui transfusi darah dan pemberian obat antiaritmia pada janin dengan hidrops.7
            Dengan tuntunan USG tusukkan jarum melalui dinding perut ibu dan arahkan ke tempat insersi tali pusat di plasenta, tusukan pada bagian tali pusat yang melayang lebih sulit dilakukan. Bila menggunakan pengantar jarum pada tranduser USG maka ukuran jarumnya lebih kecil (22-26) sedang bila menggunakan teknik free hand jarum yang dipakai berukuran 20-22. Bila ujung jarum telah mencapai tali pusat, pasang tabung pengisap dan isap darah kurang lebih 5 ml. Penting untuk menentukan apakah sampel darah ini berasal dari janin atau terkontaminasi darah ibu, walaupun dengan teknik yang baik hal ini jarang terjadi namun lebih bijaksana bila dilakukan pemeriksaan laboratorium untuk memastikannya. Sel darah janin akan tampak lebih besar dengan MCV yang lebih besar. Pengambilan sampel darah janin juga dapat dilakukan pada vena intrahepatik maupun jantung janin3, 7
            Komplikasi yang dapat terjadi pada janin pasca kordosintesis adalah : terjadinya hematoma atau perdarahan pada tempat tusukan jarum, bradikardi, infeksi. Kemungkinan untuk terjadinya kematian janin berkisar 1% untuk itu perlu dilakukan pemantauan denyut jantung janin dengan kardiotokografi selama paling sedikit 30 menit. Pada ibu komplikasi yang dapat terjadi adalah isoimunisasi rhesus, sehingga harus diberikan anti-D immunoglobulin pada ibu dengan rhesus negatif.7 

BIOPSI JANIN

Indikasi pemeriksaan jaringan janin sampai saat ini masih terus berkembang.  Teknik yang invasif ini digunakan hanya untuk kelainan dengan morbiditas tinggi, dimana  diagnosis dengan pemeriksaan amniosintesis, villi khorialis atau darah janin tidak memuaskan. Jaringan yang diambil dari janin untuk prenatal diagnosis antara lain : kulit, otot, liver, ginjal dan otak.2, 3
            Indikasi yang paling sering digunakan untuk pemeriksaan jaringan janin adalah untuk diagnosis genodermatosis, yang merupakan penyakit berat turunan pada kulit  dengan angka morbiditas dan mortalitas tinggi.
            Pada awalnya biopsi janin dilakukan dengan fetoskopi, tetapi saat ini telah diganti dengan memakai USG. Prosedur ini dilakukan pada kehamilan 17-20 minggu dengan memakai forsep biopsi yang dimasukkan melalui jarum angiocath no 14. Biopsi jaringan janin untuk diagnosis genodermatosis hanya dapat dilakukan dengan biopsi kulit, hasil  biopsi ini dapat diperiksa dengan teknik morfologi, immunohistokimia, dan biokimia.2, 3
            Biopsi jaringan otot janin, jarang dilakukan tetapi pernah dilakukan untuk diagnosis prenatal mucular dystrophy yang disebabkan mutasi gen pada kromosom X, gen untuk distrofin. Sejak karakteristik gen distrofin diketahui  diagnosis prenatal untuk janin yang berisiko dapat dilakukan  dengan metode molekuler (polymerase chain reaction) yang diambil dari ekstrak DNA dari cairan ketuban atau vili korialis.2
            Seperti halnya biopsi otot, maka biopsi hati juga hanya dilakukan pada penyakit yang diturunkan yang tidak  dapat didiagnosis dengan pemeriksaan amniosit atau villi korialis. Sejumlah kecil penyakit gangguan metabolisme termasuk dalam kategori ini  dan dapat didiagnosis dengan pemeriksaan enzym yang diproduksi di hati, seperti ornitrin transcarbamilase (OTC) deficiency, carbamoyl phospstase synthetase (CPS) deficiency, glucosa 6 phospatase deficiency (G6PD).2




DIAGNOSIS  PRENATAL NONINVASIF

DIAGNOSIS PRAIMPLANTASI

Perkembangan polymerase chain reaction (PCR) telah membawa revolusi dalam molekuler genetik, teknik ini dapat menggandakan / mengkopi jutaan target segmen DNA.  Dimasa mendatang teknik ini bila dikombinasi dengan teknik fertilisasi invitro akan membantu diagnosis prenatal  terhadap pasangan dengan risiko penyakit keturunan, dimana dengan pemeriksaan amniosintesis atau villi korialis saja masih sulit untuk menetapkan keputusan diteruskan atau tidaknya suatu kehamilannya. Kebanyakan wanita hamil akan mengharapkan janinnya tumbuh lengkap dan tidak mempunyai karier, tetapi  untuk itu memerlukan beberapa  teknologi yang dapat melakukan skrining terhadap embrio sebelum terjadinya implantasi.2
            Teknologi untuk diagnosis genetik preimplantasi ini dimungkinkan karena adanya perkembangan didalam fertilisasi invitro, sebelum dilakukan transfer embryo kedalam kandungan sebagian sel zygot dibiopsi untuk analisa kromosom atau DNA. Sel-sel embrio ini dapat berasal dari polar body, blastomere atau trophectoderm, dengan demikian hanya embrio dengan material genetik  yang diprediksi tidak terdapat kelainan akan dilakukan implantasi.1, 2
            Setiap metode ini mempunyei keuntungan dan kerugian tergantung derajat kesulitan dan  kejadian  kelainan tersebut dalam kehamilan. Kesalahan dalam diagnosis akan membahayakan terutama karena  hanya satu sel yang dianalisa. Biopsi seperempat  dari embrio pada hari ke 3 setelah fertilisasi (sekitar stadium 12 sel) merupakan teknik diagnosis praimplantasi yang paling memungkinkan untuk dilakukan.2

SEL JANIN DALAM SIRKULASI MATERNAL

            Sejak tahun 1950 berbagai jenis sel janin telah ditemukan dalam dalam sirkulasi maternal. Dengan teknologi PCR, sekarang telah diketahui bahwa hampir semua wanita mempunyai sedikit sel –sel janin dalam aliran darahnya. Bila sel-sel janin ini dapat dianalisa untuk diagnosis prenatal maka prosedur yang invasif sudah tidak diperlukan lagi. 1
            Untuk mengidentifikasi sel-sel janin, telah dikembangkan antibodi monoclonal terhadap berbagai antigen sel janin meliputi antibodi terhadap trofoblas, antigen permukaan sel eritrosit janin dan antigen HLA paternal.2
Teknik analisa genetik yang juga dipakai untuk isolasi sel janin dari maternal sirkulasi adalah PCR dan insitu hibridisasi.  Terhadap sel-sel janin yang diisolasi telah dilakukan pemeriksaan untuk penyakit autosom resesif seperti b-thalasemia. Juga telah dilakukan karyotype sel janin dengan teknik FISH. Bianchii dkk (1997) melaporkan bahwa pada janin dengan aneuploidy ditemukan peningkatan jumlah sel-sel janin dalam sirkulasi maternal  sebesar 6 kali. Penelitian multisenter yang disponsori oleh National Institutes of Health diharapkan dapat menyempurnakan teknik untuk aplikasi yang lebih luas.1, 2

Ringkasan

Telah dibicarakan secara singkat mengenai beberapa teknik pemeriksaan untuk diagnosis prenatal yang dapat dipakai untuk mendeteksi kelainan pada janin sejak dalam rahim bahkan pada masa sebelum implantasi.

DAFTAR PUSTAKA
  1. Cunningham F, MacDonald P, Gant N, Leveno K, Gilstrap L, Hankins Gea. Prenatal diagnosis and therapy. In: Williams Obstetrics. 21 st ed. New York: McGraw Hill; 2001. p. 973-1003.
  2. Rossiter J, Blakemore K. Fetal genetic disorders. In: Winn H, Hobbins J, editors. Clinical maternal-fetal medicine. 1 st ed. New York: Parthenon Publishing Group; 2000. p. 783-98.
  3. Jenkins T, Wapner R. Prenatal diagnosis of congenital disorders. In: Creasy R, Resnik R, Iams J, editors. Maternal fetal medicine. 5 th ed. Philadelphia: WB. Saunders; 2004. p. 235-73.
  4. Rodeck C, Pandya P. Prenatal diagnosis of fetal abnormalities. In: Chamberlain G, Steer P, Breat G, Chang A, Johnson M, Neilson J, editors. Turnbull's obstetrics. 3 rd ed. London: Churchill Livingstone; 2001. p. 169 - 96.
  5. Overton T, Fisk N. Amniocentesis. In: James D, Steer P, Weiner C, Gonik B, editors. High risk pregnancy management option. 2 nd ed. New York: W.B Saunders; 2000. p. 215-23.
  6. Holzgreve W, Miny P. Chorionic villus sampling and placental biopsy. In: James D, Steer P, Weiner C, Gonik B, editors. High risk pregnancy management option. 2 nd ed. New York: W.B Saunders; 2000. p. 207-13.
  7. Soothill P. Fetal blood sampling before labor. In: James D, Steer P, Weiner C, Gonik B, editors. High risk pregnancy management option. 2 nd ed. New York: W.B Saunders; 2000. p. 225-33.

 

Link Kesehatan Copyright © 2011-2012 | Powered by Blogger