Pendahuluan
Secara ringkas ilmu hayat/biologi didefinisikan
sebagai ilmu yang mempelajari kehidupan
organisme hidup (tumbuhan dan hewan termasuk manusia). Ilmu hayat atau ilmu
kehidupan meliputi studi tentang sifat-sifat, klasifikasi dan tingkah laku
organisme, bagaimana spesies terlahir dan bagaimana mereka saling berinteraksi
dengan lingkungannya, tingkah laku sosial diantara komunitas dan sebagainya.
Dilihat dari
sifatnya, ilmu hayat adalah sekumpulan hasil observasi fenomena yang terkait
dengan kondisi hidup, hipotesis-hipotesis dan teori-teori mengenai sistem dan
kondisi hidup. Arti hidup atau kondisi hidup adalah kondisi yang membedakan
antara hewan dan tumbuhan dengan objek anorganik dan organisme yang mati.
Artinya tumbuhan dan hewan yang hidup adalah zat organik hidup yang berbeda
dengan zat organik hewan dan tumbuhan yang mati.
Keadaan hidup atau hidup yang dipelajari adalah apa-apa dan
kondisi dari tumbuhan dan hewan ketika hewan dan tumbuhan tersebut dalam
keadaan tidak mati. Ciri-ciri hidup
meliputi terjadinya pertukaran dan perputaran zat, perkembangbiakan,
pertumbuhan dan perkembangan, respons terhadap stumulus, dan pergerakan. Kajian terhadap ciri-ciri hidup
tersebut akan mengarahkan kepada pemahaman apa yang dimaksud dengan hidup
menurut ilmu hayat/biologi.
2. Ilmu Hayat
Pada tataran organisme, ilmu hayat menjelaskan fenomena
proses kelahiran, pertumbuhan, proses penuaan, proses kematian dan membusuknya
organisme. Selanjutnya dikaji juga tentang kesamaan sifat-sifat di antara anak
(filial) dengan tetuanya (induk, parent), dan proses pembungaan
tumbuhan. Fenomena lainnya meliputi laktasi penyusuan anak, metamorfosis,
penetasan telur, proses penyembuhan dan juga dilengkapi dengan sifat-sifat
tropisme. Pada skala yang lebih luas, ilmu hayat juga menelaah domestikasi
binatang dan tanaman, juga menelaah keanekaragaman organisme binatang dan tumbuhan
(Biodiversitas), perubahan (evolusi) dan kepunahan.
Objek kajian hayati/biologis
meliputi klasifikasi dan sistematik, morfologi atau struktur, fisiologi atau
operasional hidup, anatomi dan sitologi atau struktur mikroskopik, proses yang
khas seperti pertumbuhan dan aspek metabolisme serta kajian aspek aplikasi
hayati/biologi seperti rekayasa genetika, transgenik/cloning, kultur jaringan,
breeding, hibridisasi dan rekayasa hayati lainnya.
Apabila definisi dan objek kajian
hayati hanya yang bersifat wujud empiris rasional saja, maka kajian tersebut
bersifat sekuler (menyisihkan wujud
yang dimaksud pengetahuan dalam islam)
karena objek kajian biologis atau sains yang diisyaratkan atau diberitakan
(diperintahkan untuk diperhatikan/dilihat/dipikirkan) oleh wahyu bukan hanya
materi alam yang wujudnya tampak (‘alam al-syahadah) tetapi juga alam yang
tidak tampak (‘alam al-ghayb). Sebagai sains yang dipandu wahyu, memandang
sains islam bersifat holistik dengan tauhid sebagai paradigma makro. Iman dan rasio berpadu dalam sains Islam.
Struktur
ilmu hayat/biologi meliputi sub bidang :
1. Botani : ilmu yang membahas dan menelaah tentang
tumbuh-tumbuhan.
2. Zoologi : ilmu yang membahas dan menelaah tentang
binatang.
3. Antropologi fisik : mempelajari kelahiran primata,
perkembangan manusia (Evolusi “ilmu sekuler barat”), forensik dan genetika
populasi. (Antropologi budaya dipelajari pada sains sosial)
Struktur ilmu hayat ditinjau dari sub
disiplin meliputi :
A. Berdasarkan dimensi/ukuran /skala wujud objek
telaahan meliputi :
1.
a. Biologi molekuler : mempelajari struktur/ sifat molekul organisme
b. Genetika molekuler dan,
c. Biokimia
2. Biologi Sel : mempelajari sel.
3. Fisiologi, Anatomi dan Histologi :
mempelajari objek yang besar (multiseluler)
B. Berdasarkan jenis bidang kajian meliputi.
1.
Biologi perkembangan (Embriologi) : mempelajari perkembangan/pertumbuhan
organisme individu /ontogeni)
2.
Genetika : mempelajari sifat-sifat keturunan yang diturunkan dari tetua kepada
keturunannya.
3.
Etologi : menelaah tingkah laku kelompok-kelompok organisme
4.
Sistematika : mempelajari hubungan tingkatan spesies.
5.
Ekologi : mempelajari saling ketergantungan antara populasi dan lingkungan
hidupnya.
6.
Astrologi/Xenobiologi : mempelajari kemungkinan kehidupan yang ada di luar
bumi.
- Penciptaan Yang Sempurna dan Seimbang
Wahyu Allah dalam surat al-A’laa ayat 1: dapat
dijadikan salah satu ayat landasan
tauhid yang munasabah dengan pemikiran tentang sains makhluk ciptaan Allah.
ﻰﻟﻋﻷﺍ ﻚﺑﺭ ﻡﺴﺍ ﺢﺒﺴ
“Ucapkan
kesucian atas nama tuhan engkau yang maha tinggi.
Tafsir Al-Azhar menjelaskan “maha tinggi berarti yang maha
tunggal” tidak ada yang lebih tinggi yang menjadi sekutu bagi Allah.
Ayat kedua : “Yang telah menciptakan, lalu membentuk
dengan seimbang”.
Observasi empiris dan rasional terhadap fenomena alam
membuktikan demikian seimbang dan harmonisnya kondisi wujud organisme di alam
ini.: Terwujud kondisi ekuilibrium/keseimbangan “balance of nature” di alam
ini. Telaah terhadap organ tubuh hewan,
keseimbangan alam dan kehidupan tumbuhan,
sampai keseimbangan komponen gas yang ada di atmosfir.
Al-Qur’an surat
Yasin ayat 80 memberikan isyarat/panduan
akan terbentuknya energi zat organik (karbohidrat) dan energi gas pembakar
(oksigen: gas O2). Gas
sumber kehidupan biologis hewan dan tumbuhan di udara yaitu gas O2
dan karbon dioksida (CO2) selamanya dikendalikan oleh mekanisme
biologis tumbuh-tumbuhan dan hewan..
Tumbuhan memerlukan/menyerap gas CO2 sebagai
bahan baku dalam proses fotosintesis dan mengeluarkan/dihasilkan gas oksigen (O2)
dalam proses penyusunan tersebut. Allah menciptakan manusia dengan aktivitasnya
aktivitas dan gerak fisiknya bergantung
pada suplai energi nutrisi dari makanan dan suplai oksigen dari aktivitas bernafas. Pada saat menarik nafas, dimasukkan oksigen,
dan pada saat mengeluarkan nafas, dikeluarkan gas CO2, Demikian juga, aktivitas kehidupan manusia
yang banyak mengemisi/mengeluarkan gas racun.
Gas CO2 adalah zat
yang bersifat racun bagi hewan dan manusia, tetapi tumbuhan justru memerlukan
CO2 tersebut untuk bahan baku proses fotosintesis.
Tidak ada yang percuma apa yang diciptakan Allah. (...ﻼﻃﺎﺒ
ﺍﺫﻫ ﺕﻗﻠﺧ ﺎﻣ ﺎﻧﺒﺮ...)
Quraish Shihab dalam Rustam Effendi (2003:71) menyebutkan
bahwa ada sekitar 750 ayat al-Quran yang
memberitakan alam semesta dan fenomenanya yang memerintahkan manusia untuk
mengetahui dan memanfaatkannya.
Sebagaimana Al-Qur’an surat
al-Baqarah ayat 29 “ ﺎﻌﻴﻤﺠ ﺽﺭﻷﺍ ﻰﻔ ﺎﻣ ﻢﻜﻟ ﻖﻟﺧ ﻯﺫﻟﺍ ﻮﻫ”.
4. Nilai Islami dalam Ilmu Hayat
Naquib Al-Attas dalam Adi Setia
(2005 : 54) menyebutkan ilmu yang datang dari Allah diperoleh melalui cara atau
saluran:
1.
Pancaindera (sound senses/hawass salimah) yang meliputi pancaindera eksternal (peraba, perasa,
pencium, pendengaran dan penglihatan) dan pancaindera internal (common sense, representation, estimation,
recollection/retention dan imagination)
2.
Khabar yang benar (khabar shadiq) berdasarkan autoritas (naql) yang meliputi : otoritas multak
(otoritas ketuhanan (al-Qur’an) dan kenabian (hadist rosulullah saw.); otoritas
nisbi (kesepakatan alim ulama/tawatur dan khabar orang terpercaya secara umum.
3.
Intelek (intellect/’aql) yang meliputi: ‘akal sehat /sound reason dan ilham/intuition/hads/wildan.
Akal merupakan faktor utama dalam
proses mendapatkan ilmu. Faktor akal ini yang membedakan manusia dari hewan,
maka dapat diterima dalam menemukan ilmu
biologi Islam, penggunaan pancaindera yang sehat dan akal yang sehat untuk
memahami kebenaran hakekat dari fenomena hayati organisme tumbuhan dan
hewan/manusia yang hidup.
Saintis/biologiwan mencari hakekat
atau realitas dibalik alam fenomenal yang dlahir yang mampu merangkum berbagai
performens hayati. Akan tetapi pencarian ilmu biologis kurang atau sedikit
sekali menggunakan daya ilhami, karena ontologi biologi yang mensifatkan
demikian, yang berbeda dengan sains sosial atau psikologi. Fenomena biologi umumnya bersifat fisik yang
mudah ditangkap oleh indera. Oleh karena
itu biologiwan sedikit mendapat penjelasan secara ilhami. Meskipun demikian , dalam perjalanannya
sering kita dengar berita dari para penemu sains terjadinya “lucky discovery”. Penemuan yang muncul
tiba-tiba. Ilham/intuisi yang mengakhiri kemandegan saintis dalam pencarian
ilmunya.
Aristoteles 300 SM menyatakan
pemikirannya, bahwa binatang mahluk kecil itu munculnya begitu saja dari benda
yang mati. Pemikiran itu dianut juga
oleh Needham, pendeta orang Irlandia
yang pada tahun 1745-1750 mengadakan percobaan dan penelitian dengan variasi
emulsi dan cairan biji-bijian, daging dan substrat lainnya. Air rebusan yang disediakan disimpan
rapat-rapat dalam wadah tertutup, namun mikroorganisme dapat muncul dan hidup
pada media tersebut. Kesimpulannya, kehidupan baru dapat muncul dari benda yang
mati. Pendapat ini terkenal dengan teori
abiogenesis (mahluk muncul begitu
saja dari barang mati) atau juga disebut teori generatio spontanea (mahluk itu terjadi begitu saja muncul secara
spontan). Tetapi kemudian, pendapat
Aristoteles dan Needhan tersebut dibantah oleh Spallanzani (1729-1799) yang
membuktikan bahwa perebusan dan penutupan botol
yang dilakukan Needhan tidak akurat.
Percobaan Schultze 1836 dan
Schroeder dan Dusch pada 1854 serta Louis Pasteur tahun 1865 membuktikan bahwa tidak ada
kehidupan baru dari benda mati. Pendapat
ini dikenal dengan semboyan Omne vivum ex
ovo, omne ovum ex vivo (kehidupan itu berasal dari telur, dan telur itu
berasal dari sesuatu yang hidup).
Penelitian saintis barat tersebut belum dapat menjawab dari mana asal
mahluk kecil (bakteri) bermula. Mereka berhenti disana, tidak ada panduan atau
petunjuk yang mengarahkan pada suatu keyakinan yang berada di luar rasio mereka.
Rasio mereka bergerak pada sesuatu yang tidak empiris. Mereka mulai berpikir analisis-historis
(sesuatu yang tidak dialami). Mahluk
hidup atau bakteri itu adalah entitas mikroorganisme yang wujudnya tersusun
dari makro-molekul protein (daging), sedangkan protein tersusun dari molekul
asam amino (NH2). Memang rasional, elemen/unsur zat lemas atau
nitrogen (N) dan hidrogen H2 dan sulfida H2S berlimpah dialam ini. Atmosfir (udara) bebas mengandung +78% gas
nitrogen dan H2 dapat terlisis dari air (H2O), maka
mereka menggunakan teori evolusi bahwa bakteri tersebut muncul melalui evolusi
atau perubahan dari anasir yang ada di bumi yaitu dari zat nitrogen dan
hidrogen. Memang sekarang orang sudah
dapat menyusun molekul protein sintetis dengan alat mesin yang sangat canggih,
tetapi satu hal yang tidak dapat dibuat adalah “hidup”. Bakteri adalah mahluk hidup yang dapat
bergerak dan berbiak, bukan hanya molekul protein (daging) yang tidak bernyawa.
Hanyalah wahyu yang dapat menjawab pertanyaan dari mana dan
bagaimana substansi protein itu menjadi hidup.
Al-Quran dalam surat al-Mu’minun ayat.14 memberikan panduan bagaimana
fase-fase peristiwa (urutan-urutan) penciptaan makhluk (embriologi). Pada fase akhir, Allah menyatakan
“…ﺭﺧﺁ
ﺎﻗﻟﺨ ﻩﺎﻧﺄﺷﻧﺃ ﻢﺜ”.
Dengan ditiupkan roh ke dalam tubuhnya, maka jadilah makhluk.
Tugas saintis
ahli embriologi untuk mengelaborasi fase-fase perkembangan embrio tersebut
sehingga dikenali lebih jelas bagaimana agar embrio berkembang normal
berdasarkan perhitungan kesehatan. Adapun permasalahan ruh pada mahluk hidup
sulit dijelaskan, karena memang manusia hanya diberi sedikit ilmu tentang ruh
itu ( Al-Quran surat Bani Israil)
Wujud alam nyata ini relatif, yang
wujudnya bergantung kepada tuhan,
menjadi ghayb bagi manusia karena dimensi jarak, diisyaratkan dalam wahyu seperti yang
tersurat dalah surat Ar-Rahman 33 :
...ﺍﻮﺫﻔﻧﺎﻔ ﺽﺭﻷﺍﻮ ﺕﺍﻮﻣﺳﻟﺍ ﺭﺎﻃﻗﺃ ﻦﻤ ﺍﻮﺫﻓﻧﺘ ﻥﺃ ﻢﺘﻌﻂﺗﺴ ﻥﺇ
ﺲﻧﻹﺍﻭ ﻦﺠﻟﺍ ﺭﺸﻌﻣ ﺎﯿ
Wujud
yang jauh di sana, yang ghayb tidak tampak dengan mata menjadi objek kajian
sains Islam
Menjadi
tidak tampak dengan mata telanjang , seperti wujud materi mikroorganisme
(organisme super-mikroskopik : virus) yang dimensi besarnya hanya ukuran mili mikron dan hanya dapat dilihat dengan
bantuan mikroskop elektron yang memiliki magnifikasi >100.000 kali. Organisme ini tidak tampak dengan mata
telanjang karena sangat kecil dimensi wujudnya. Dalam surat al-Baqarah, wahyu
Allah “...ﻰﯾﺤﺘﺴﯾ ﻻ ﷲﺍ ﻥﺇ” telah mengisyaratkat
adanya wujud atau objek yang sangat kecil.
Sering terjadi proses metabolisme
kuratif yang diluar kendali rasio dan ilmu manusia. Ketika diagnosis dokter atau analisis
praktisi biologi menyimpulkan bahwa perkembangan fatogen/penyakit dalam organ
tubuh mahluk tidak dapat dihentikan (penyakit tidak dapat disembuhkan),
tetapi Allah pencipta kehidupan
menentukan lain.
Naquib Al-Attas dalam Adi Setia (2005 :57) menyebutkan
bahwa akal atau intelek merupakan jembatan yang menghubungkan antara alam
inderawi yang lebih rendah tahap wujudnya
dengan alam ruhani yang lebih tinggi tahap wujudnya serta yang menjadi
sumber kepada alam inderawi. Melalui akal, manusia mampu mengalami tahap
wujudi yang lebih tinggi itu. Melalui
akal juga manusia mampu memadukan aspek jasmaninya dengan aspek ruhaninya. Dengan demikian manusia mampu mencapai
pemahaman atau ilmu tentang fenomena dan naumena sekaligus.
Sebagai biologiwan Islam akan menyakini, dibalik metabolisme hayati yang bekerja secara
rasional yang relatif pasti itu, terdapat kepastian yang mutlak dari kekuasaan
penggerak kehidupan. Setelah Allah menciptakan, Allah pun memeliharanya dan
memberikan arahannya (ﻯﺪﻬﻔ ﺭﺪﻗ ﻯﺬﻠﺍ ﻭ , surat al-A’laa)
Biologiwan yang mengkaji sains empiris atau alam hidup yang wujudnya tampak sekarang
semakin mendekat ke arah pemikiran alam yang tidak tampak, tetapi harus diyakini kewujudannya/eksistensinya,
seperti wujud gelombang suara dan gelombang magnetik, wujud tenaga
listrik. Ilmu tersebut adalah ilmu
empiris, tetapi hakekatnya melampaui alam yang tampak. Kajian dalam mikrobiologi tanah, wujud fisik seonggok
tanah, tanah yang tampak pejal, masif,
padat dan pasip tidak bergerak, akan terlihat oleh seorang mikrobiologiwan
sebagai sebuah bangunan kandang peternakan yang lengkap dengan fasilitas untuk
perkembangbiakan, sehingga suatu saat ia akan memanen ternaknya dengan
memperoleh keuntungan yang berlimpah.
Biologiwan memandang tanah tersebut sebagai materi yang dinamis dan
hidup. Demikian juga saintis fisika,
dalam kajian solid material (zat padat). Apa yang tampak kepadanya dari
sebatang besi tidak sama dengan apa yang sedang terwujud di dalam
rasionya. Apabila batang besi itu
dialiri arus listrik, maka akan terdapat wujud aliran listrik yang deras pada
zat besi yang padat tersebut, dan jika
batang besi tersebut ditempelkan pada ujung/lidah api, maka akan
terbayang molekul-molekul zat besi itu sedang bergerak (hakikat panas) seolah-oleh wujud zat cair padahal dia sedang menghadapi
sebatang besi yang padat dan sangat keras.
Epistemologis
sains “empiris-ghoyb” tersebut akan mempengaruhi ontologi yang selama ini
dianut oleh sains empiris logis.
Nasim Butt (1996 : 72) mengatakan
sedemikian terbatasnya kemampuan sainstis dalam mengobservasi dan mendeskripsi
realita , kemampuan akal dan kapasitas pancainderanya terbatas, maka wahyu
memandu dengan mengingatkan agar manusia sadar,
tidak terpesona dengan keberhasilan penemuan-penemuan sains dan hasil
penelitian ilmiah. Peringatan tersebut
diantaranya pada ayat-ayat terakhir surat Yasin ayat 77-83.
Langkah penyusunan dan pencarian (enquiry)
pengetahuan/ilmu hayat secara sistematis meliputi upaya observasi fenomena atau
fakta empiris alami dan melalui pengamatan perlakuan (eksperimen).
Observasi langsung di lapangan (in situ), pada
beberapa kasus yang mungkin, dapat dilanjutkan dengan pengamatan di tempat
dengan kondisi terkendali atau terkontrol
(in vitro ) melalui pekerjaan isolasi, dilanjutkan dengan
pekerjaan kultur/kultivasi di habitat buatan. Contoh pengamatan terhadap
mikroorganisme.
Langkah
pengamatannya :
-1. Mikroorganisme yang dicurigai sebagai
penyebab (penyakit/simtom atau gejala) akan selalu ada pada organisme yang sakit.
-2.
Mikroorganisme tersebut diambil dari
tempat asal hidupnya (in situ) untuk ditumbuhkan/dilakukan piaraan dalam biakan
murni.
-3.
Jika mikroorganisme itu ditularkan kembali pada organisme (binatang yang sehat)
harus menyebabkan sakit/gejala penyakit yang sama.
-4.
Biakan yang sudah diisolasi harus dibuktikan bahwa penyakit disebabkan oleh
mikroorganisme tersebut.
4.
Mikroorganisme yang diobservasi
dapat diidentifikasi dan dideskripsi.
Langkah
penelitian eksperimen biologi (sains alami yang relatif eksak)
1.Perumusan masalah : Permasalahan empiris
(ayat kauniyah) atau isyarat ilmiah dari ayat Qauliyah.
2. Perumusan hipotesis : prediksi dan
asumsi-asumsi.
3.
Penyusunan perancangan penelitian (experiment design). Prosedur atau langkah
dalam perancangan penelitian adalah sebagai berikut :
a. Perancangan perlakuan (treatment
design). Faktor perlakuan yang akan diteliti dapat sederhana/tunggal atau
faktorial/majemuk. Perlakuan faktorial dilakukan untuk efisiensi dan dapat
mengamati pengaruh interaksi diantara berbagai level perlakuan sekaligus.
b. Perancangan lingkungan
(environmental design). Rancangan bergantung pada sifat dan jenis perlakuan.
Perlakuan di laboratorium (lingkungan terkendali) atau di lapangan.
c. Rancangan respons. Penentuan jenis dan jumlah variabel
pengamatan /observasi.
d. Rancangan Analisis (statistika) dan
pengujian hipotesis.
6. Ilmu yang
Tidak Netral/Sarat Nilai
Kegunaan mempelajari ilmu hayat adalah agar dapat memahami
fenomena, gejala dan fakta alam hayati dan menggunakan pemahaman
itu untuk tindakan perbaikan dan upaya pelestarian alam hayati dan meningkatkan
kesejahteraan manusia dan mahluk lainnya serta
untuk dapat memahami dan menyakini alam makhluk hidup sebagai ciptaan Allah.
Klimaksnya manusia akan tunduk mengucapkan subhanallah bahwa Allah menciptakan alam dan makhluk
hidup itu secara terencana, tertib dan
tidak bathil. Ilmu hayat sebagai
ilmu yang menelaah ayat-ayat kauniyah
tidak bebas nilai (netral) tetapi sarat/penuh dengan nilai-nilai, dalam hal ini
nilai islami.
Bagaimana
kegunaan dan pentingnya sains Islami dilaksanakan, Nasim Butt (1996) telah
membuat perbandingan antara sains barat dan sains yang dipandu dengan ajaran
Islam sebagai berikut :
Sains
Barat
|
Sains
Islam
|
1. Percaya pada rasionalitas.
|
1. Percaya pada wahyu
|
2. Sains untuk sains
|
2. Sains adalah sarana
untuk mendapatkan ridlo Allah, bentuk ibadah spritual dan sosial.
|
3. Satu-satunya metode untuk mengetahui realitas
|
3.Banyak cara berlandaskan
akal dan wahyu untuk mengetahui realitas
|
.4. Netralitas emosional sebagai prasyarat menggapai rasionalitas
|
.4. komitmen emosional
sangat penting untuk mengangkat usaha-usaha sains spiritual maupun sosial.
|
5. Tidak memihak, ilmuwan harus peduli hanya pada produk
pengetahuan baru dan akibat penggunaannya
|
5. Pemihakan pada
kebenaran, yaitu apabila sains merupakan salah satu bentuk ibadah, maka
seorang ilmuwan harus peduli pada akibat-akibat penemuannya sebagaimana
terhadap hasilnya, maka harus baik secara moral dan mencegai ilmuwan agar
tidak jadi agen tidak bermoral.
|
6. Tidak ada bias, vaditas pernyataan sains hanya
bergantung pada bukti penerapannya dan bukan pada ilmuwan yang
menjalankannya.
|
6. Adanya subjektivitas.
Arah sains dibentuk oleh kriteria subjektif, validitas sebuah pernyataan sains bergantung baik
pada bukti-bukti pelaksanaannya maupun pada tujuan dan pandangan orang
|
7. Penggantungan pendapat, pernyataan sains hanya dibuat
atas dasar bukti yang menyakinkan.
|
7. menguji pendapat,
pernyataan sains selalu dibuat atas dasar bukti yang tidak menyakinkan,
ketika bukti yang menyakinkan
dikumpulkan biasanya terlambat.
|
8. Reduksionisme, cara dominan untuk mencapai kemajuan
sains.
|
8. Sintesis, cara doninan
meningkatkan kemajuan sains, termasuk sintesis sains dan nilai-nilai.
|
9. Fragmentasi, sains adalah sebuah aktivitas yang rumit,
maka harus dibagi ke dalam disiplin-disiplin dan subdisiplin
|
9. Holistik, pemahaman
interdisipliner
|
10. Universalisme, meskipun sains itu universal, namun
buahnya hanya untuk mereka yang mampu membelinya. Dengan demikian bersifat
memihak
|
10, Universalisme, buah
sains adalah untuk seluruh ummat manusia, ilmu pengetahuan ,
kebijaksanaantidak dapat diukur atau dijual
|
11. Individualisme yang menyakini bahwa ilmuwan harus
menjaga jarak dengan permasalahan sosial, politik dan ideologis.
|
11. Orientasi masyarakat,
Pencarian sains adalah kewajiban masyarakat
|
12. Netralitas, sains adalah netral, baik atau buruk.
|
12. Orientasi nilai,
sebagai mana aktivitas manusia yang sarat nilai. Sains yang menjadi benih perang adalah
jahat.
|
13. Loyalitas kelompok, hasil pengetahuan baru melalui
penelitian adalah aktivitas penting dan pelu dijungjung tinggi.
|
13. Loyalitas pada tuhan
dan makhluknya. Hasil pengetahuan baru adalah cara memahami ayat-ayat Allah.
|
14. Kebebasan absolut, setiap pengekangan atau penguasaan
penelitian sains harus dilawan
|
14. Manajemen sains
merupakan sumber yang tidak ternilai, harus digunakan untuk kebaikan
|
15. Tujuan memebenarkan sarana, karena penelitian ilmiah
adalah mulia dan penting bagi kesejahteraan ummat manusia, maka setiap sarana
termasuk manfaat hewan hidup, kehidupan manusia, dan janin dibenarkan untuk
sarana penelitian.
|
15 Tujuan tidak
membenarkan sarana, tidak ada perbedaan antara tujuan dan sarana, keduanya
harus halal yakni memenuhi batas-batas etika dan moral.
|
Demikian idealnya moralitas sains yang dipandu wahyu , sebagai contoh metode percobaan untuk menentukan efikasi
(kemujaraban) konsentrasi atau dosis zat
kimia pestisida yang diukur dengan satuan LD50 (lethal dosage) perlu
dilakukan untuk mengendalikan efek pengrusakan yang liar (drift effect). Apabila suatu populasi spesies dapat mati
dengan pestisida yang berkatagori LD50 rendah (angka LD50
lebih besar), maka tidak bijaksana jika digunakan pestisida berkatagori LD50 tinggi.
Tantangan
globalisasi dan kecanggihan informatika serta teknik komunikasi telah
memalingkan arah para pengelola ilmu.
Ilmu dianggap komoditi yang harus diperjualbelikan. Dampaknya Universitas tertarik pada pelayanan
program studi yang mudah dijual, sehingga konsep ilmu berubah dari mengenal
kholiq menjadi fokus pada kemahiran.
Universitas berubah menjadi pabrik penghasil tenaga kerja, bukan menjadi
pusat perkecambahan ide-ide murni dan besar.
Dengan
demikian, UIN/IAIN/STAIN tidak boleh latah terbawa arus meterialistis dan berpikir
fragmatis sesaat, tetapi sebagai perguruan tinggi islam yang dibangun untuk
mencari keridlaan Allah harus menyongsong ide-ide suci dan besar yaitu menjadi pesemaian
ilmuwan pemikir dan pencetus ide pembangun ummat, pengawal tauhid., menjadi
universitas yang melahirkan benih-benih penemu dan penggali sumber kehidupan
hakiki bukan semata pencetak pekerja.
Wallahu a’lam.
* DR.
Ir. M. Subandi, Drs.,MP
Dekan
Fakultas Sains dan Teknologi
Doktor
Ilmu Pertanian alumnus Univ. Padjadjaran
Pustaka :
-Adi Setia.
2005. Epistemologi Islam Menurut Al-Attas. Satu Uraian Singkat. Islamia. Thn II. No 6. 2005. Jakarta h. 53-58
- Nasim Butt. 1996. Sains dan Masyarakat Islam. Pustaka
Hidayah. Bandung
-Rustam Effendi. 2003. Produksi
Dalam Islam. Magistra Insani Press. MSI UII Yogyakarta.