ASUHAN KEPERAWATAN (ASKEP)
KONSTIPASI
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Konstipasi atau sembelit adalah
terhambatnya defekasi (buang air besar) dari kebiasaan normal. Dapat diartikan
sebagai defekasi yang jarang, jumlah feses (kotoran) kurang, atau fesesnya
keras dan kering. Semua orang dapat mengalami konstipasi, terlebih pada lanjut
usia (lansia) akibat gerakan peristaltik (gerakan semacam memompa pada usus,
red) lebih lambat dan kemungkinan sebab lain. Kebanyakan terjadi jika makan
kurang berserat, kurang minum, dan kurang olahraga. Kondisi ini bertambah parah
jika sudah lebih dari tiga hari berturut-turut.
Kasus konstipasi umumnya diderita
masyarakat umum sekitar 4-30 persen pada kelompok usia 60 tahun ke atas.
Ternyata, wanita lebih sering mengeluh konstipasi dibanding pria dengan
perbandingan 3:1 hingga 2:1. Insiden konstipasi meningkat seiring bertambahnya
umur, terutama usia 65 tahun ke atas. Pada suatu penelitian pada orang berusia
usia 65 tahun ke atas, terdapat penderita konstipasi sekitar 34 persen wanita
dan pria 26 persen.
Konstipasi bisa terjadi di mana
saja, dapat terjadi saat bepergian, misalnya karena jijik dengan WC-nya,
bingung caranya buang air besar seperti sewaktu naik pesawat dan kendaraan umum
lainnya. Penyebab konstipasi bisa karena faktor sistemik, efek samping obat,
faktor neurogenik saraf sentral atau saraf perifer. Bisa juga karena faktor
kelainan organ di kolon seperti obstruksi organik atau fungsi otot kolon yang
tidak normal atau kelainan pada rektum, anak dan dasar pelvis dan dapat
disebabkan faktor idiopatik kronik.
Mencegah konstipasi secara umum
ternyata tidaklah sulit. Lagi-lagi, kuncinya adalah mengonsumsi serat yang
cukup. Serat yang paling mudah diperoleh adalah pada buah dan sayur. Jika
penderita konstipasi ini mengalami kesulitan mengunyah, misalnya karena ompong,
haluskan sayur atau buah tersebut dengan blender.
1.2 Rumusan Masalah
Apa konsep teori dari konstipasi dan
bagaimana asuhan keperawatan dalam menangani kasus konstipasi?
1.3 Tujuan
Tujuan umum :
Mengetahui dan memahami konsep teori
konstipasi dan asuhan keperawatan dalam menangani kasus konstipasi
Tujuan khusus :
1.
Memahami
definisi konstipasi
2.
Memahami
patofisiologis konstipasi
3.
Memahami
faktor- faktor risiko konstipasi pada usia lanjut
4.
Memahami
manifestasi klinis konstipasi
5.
Memahami
komplikasi konstipasi pada usia lanjut
6.
Memahami
penatalaksanaan konstipasi
7.
Memahami
web of causes konstipasi
8.
Memahami
asuhan keperawatan pada konstipasi
1.4 Manfaaat
Memberikan konsep dasar teori
tentang gangguan sistem gastrointestinal, yaitu diare dan konstipasi pada
lansia berdasarkan pertimbangan gerontik, beserta asuhan keperawatannya.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Pada umumnya konstipasi sulit
didefinisikan secara tegas karena sebagai suatu keluhan terdapat variasi yang
berlainan antara individu. Penggunaan istilah konstipasi secara keliru dan
belum adanya definisi yang universal menyebabkan lebih kaburnya hal ini.
Biasanya konstipasi berdasarkan laporan pasien sendiri atau konstipasi
anamnestik dipakai sebagai data pada penelitian-penelitian. Batasan dari
konstipasi klinis yang sesungguhnya adalah ditemukannya sejumlah besar feses
memenuhi ampul rektum pada colok dubur, dan atau timbunan feses pada kolon,
rektum, atau keduanya yang tampak pada foto polos perut.
Studi epidemiologis menunjukkan
kenaikan pesat dari konstipasi terkait dengan usia terutama berdasarkan keluhan
pasien dan bukan karena konstipasi klinis. Banyak orang mengira dirinya
konstipasi bila tidak buang air besar (BAB) tiap hari sehingga sering terdapat
perbedaan pandang antara dokter dan pasien tentang arti konstipasi itu sendiri.
Tabel 1. Definisi Konstipasi
sesuai international workshop on constipation
|
||
No
|
Tipe
|
Kriteria
|
1.
|
Konstipasi Fungsional
|
Dua atau lebih dari keluhan ini
ada paling sedikit dalam 12 bulan :
1.
mengedan
keras 25% dari BAB
2.
feses
yang keras 25% dari BAB
3.
rasa
tidak tuntas 25% dari BAB
4.
BAB
kurang dari 2 kali per minggu
|
2.
|
Penundaan pada muara rektum
|
1.
hambatan
pada anus lebih dari 25% BAB
2.
waktu
untuk BAB lebih lama
3.
perlu
bantuan jari-jari untuk mengeluarkan feses
|
Model tinja atau feses 1 (konstipasi
kronis), 2 (konstipasi sedang) dan 3 (konstipasi ringan) dari Bristol Stool
Chart yang menunjukkan tingkat konstipasi atau sembelit.
2.2 Patofisiologi
Defekasi seperti juga pada berkemih
adalah suatu proses fisiologis yang menyertakan kerja otot-otot polos dan serat
lintang, persarafan sentral dan perifer, koordinasi dari sistem refleks,
kesadaran yang baik dan kemampuan fisis untuk mencapai tempat BAB. Kesukaran
diagnosis dan pengelolaan dari konstipasi adalah karena banyaknya mekanisme
yang terlibat pada proses BAB normal. Gangguan dari salah satu mekanisme ini
dapat berakibat konstipasi.
Defekasi dimulai dari gerakan
peristaltik usus besar yang menghantakan feses ke rektum untuk dikeluarkan.
Feses masuk dan meregangkan ampula dari rektum diikuti relaksasi dari sfingter
anus interna. Untuk meghindarkan pengeluaran feses yang spontan, terjadi
refleks kontraksi dari sfingter anus eksterna dan kontraksi otot dasar pelvis
yang depersarafi oleh saraf pudendus. Otak menerima rangsang keinginan untuk
BAB dan sfingter anus eksterna diperintahkan untuk relaksasi, sehingga rektum
mengeluarkan isinya dengan bantuan kontraksi otot dinding perut. kontraksi ini
akan menaikkan tekanan dalam perut, relaksasi sfingter dan otot elevator ani.
Baik persarafan simpatis maupun parasimpatis terlibat dalam proses BAB.
Patogenesis dari konstipasi
bervariasi, penyebabnya multipel, mencakup beberapa faktor yang tumpang tindih.
Walaupun konstipasi merupakan keluhan yang banyak pada usia lanjut, motilitas
kolon tidak terpengaruh oleh bertambahnya usia. Proses menua yang normal tidak
mengakibatkan perlambatan dari perjalanan saluran cerna. perubahan
patofisiologi yang menyebabkan konstipasi bukanlah karena bertambahnya usia
tapi memang khusus terjadi pada mereka dengan konstipasi.
Penelitian dengan petanda radioopak
yang ditelan oleh orang usia lanjut yang sehat tidak mendapatkan adanya
perubahan dari total waktu gerakan usus, termasuk aktivitas motorik dari kolon.
Tentang waktu pergerakan usus dengan mengikuti petanda radioopak yang ditelan,
normalnya kurang dari 3 hari sudah dikeluarkan. Sebaliknya, penelitian pada
orang usia lanjut yang menderita konstipasi menunjukkan perpanjangan waktu
gerakan usus dari 4-9 hari. Pada mereka yang dirawat atau terbaring di tempat
tidur, dapat lebih panjang lagi sampai 14 hari. Petanda radioaktif yang dipakai
terutama lambat jalannya pada kolon sebelah kiri dan paling lambat saat
pengeluaran dari kolon sigmoid.
Pemeriksaan elektrofisiologis untuk
mengukur aktivitas motorik dari kolon pasien dengan konstipasi menunjukkan
berkurangnya respons motorik dari sigmoid akibat berkurangnya inervasi
intrinsic karena degenerasi plexus mienterikus. Ditemukan juga berkurangnya
rangsang saraf pada otot polos sirkuler yang dapat menyebabkan memanjangnya
waktu gerakan usus.
Individu di atas usia 60 tahun jug
aterbukti mempunyai kadar plasma beta-endorfin yang meningkat, disertai
peningkatan ikatan pada reseptor opiate endogen di usus. Hal ini dibuktikan
dengan efek konstipatif dari sediaan opiate yang dapat menyebabkan relaksasi
tonus kolon, motilitas berkurang, dan menghambat refleks gaster-kolon.
Selain itu, terdapat kecenderungan
menurunnya tonus sfingter dan kekuatan otot-otot polos berkaitan dengan usia,
khususnya pada perempuan. pasien dengan konstipasi mempunyai kesulitan lebih
besar untuk mengeluarkan feses yang kecil dan keras sehingga upaya mengejan
lebih keras dan lebih lama. Hal ini dapat berakibat penekanan pada saraf
pudendus sehingga menimbulkan kelemahan lebih lanjut.
Sensasi dan tonus dari rektum tidak
banyak berubah pada usia lanjut. Sebaliknya, pada mereka yang mengalami
konstipasi dapat mengalami 3 perubahan patologis pada rektum :
1.
Diskesia
Rektum
Ditandai dengan penurunan tonus
rektum, dilatasi rektum, gangguan sensasi rektum, dan peningkatan ambang
kapasitas. Dibutuhkan lebih besar regangan rektum untuk menginduksi refleks
relaksasi dari sfingter eksterna dan interna. Pada colok dubur pasien dengan
diskesia rektum sering didapatkan impaksi feses yang tidak