Pembahasan Disolusi Obat

BAB V
PEMBAHASAN
               Disolusi obat adalah suatu proses pelarutan senyawa aktif dari bentuk  sediaan padat ke dalam media pelarut. Pelarutan suatu zat aktif sangat penting artinya karena ketersediaan suatu obat sangat tergantung dari kemampuan zat tersebut melarut  ke dalam media pelarut sebelum diserap ke dalam tubuh.

              Suatu bahan obat yang diberikan dengan cara apapun dia harus memiliki daya larut dalam air untuk kemanjuran terapeutiknya. Senyawa-senyawa yang relatif tidak dapat dilarutkan mungkin memperlihatkan absorpsi yang tidak sempurna, atau tidak menentu sehingga menghasilkan respon terapeutik yang minimum. Daya larut yang ditingkatkan dari senyawa-senyawa ini mungkin dicapai dengan menyiapkan lebih banyak turunan yang larut, seperti garam dan ester dengan teknik seperti mikronisasi obat atau kompleksasi.
                        Sifat-sifat kimia, fisika, bentuk obat dan juga fisiologis dari sistem biologis mempengaruhi kecepatan absorbsi suatu obat dalm tubuh. Oleh karena itu konsentrasi obat, bagaimana kelarutannya dalam air, ukuran molekulnya, pKa dan ikatan proteinnya adalah faktor-faktor kimia dan fisika yang harus dipahami untuk mendesain suatu sediaan. Hal ini meliputi faktor difusi dan disolusi obat.
Pada saat suatu sediaan obat masuk ke dalam tubuh, selanjutnya terjadi proses absorbsi ke dalam sirkulasi darah dan akan didistribusikan ke seluruh cairan dan jaringan tubuh. Apabila zat aktif pada sediaan obat tersebut memiliki pelarut yang cepat, berarti efek yang ditimbulkan juga akan semakin cepat, begitu juga sebaliknya.
Pada percobaan ini ingin ditentukan konstanta kecepatan disolusi suatu zat. Zat yang akan diukur kecepatan atau laju disolusinya adalah tablet amoksisilin yang melarut ke dalam media disolusi, dimana medium disolusi yang digunakan adalah air suling. Kemudian ditentukan kadarnya dengan menggunakan titrasi alkalimetri dimana titran yang digunakan adalah NaOH dengan penambahan indikator fenolftalein.

Pelepasan dari bentuk-bentuk sediaan kemudian diabsorbsi dalam tubuh dan dikontrol oleh sifat fisika, kimia obat dan bentuk obat yang diberikan dan juga fisiologis dari sistem biologis. Konsentrasi obat, kelarutan dalam air, ukuran molekul, bentuk kristal, pKa dan ikatan protein adalah faktor-faktor fisika dan kimia yang harus dipahami untuk mendesain pemberian yang menunjukkan suatu karakteristik terkontrol. Lepasnya suatu obat dari sistem pemberian meliputi faktor disolusi dan difusi.

Proses pelarutan tablet melalui proses disolusi yaitu melarutnya senyawa aktif dari bentuk sediaannya (padat) ke dalam media pelarut. Setelah obat dalam larutan, selanjutnya terjadi proses absorbsi ke dalam darah dan di bawa ke seluruh cairan dan jaringan tubuh. Apabila zat aktif memiliki kecepatan pelarut yang cepat, berarti efek yang ditimbulkan juga semakin cepat, begitu pula sebaliknya.
Dalam metode ini digunakan metode alkalimetri karena sampel yang digunakan dalam hal ini yaitu amoksisilin bersifat asam sehingga dinetralisasi dengan menggunakan basa (NaOH).
              Pada percobaan ini, digunakan air suling sebagai media disolusi karena air merupakan komponen paling besar yang berada di dalam tubuh manusia, jadi obat seakan-akan berdisolusi di dalam tubuh, selain itu karena mengingat kelarutan dari obat yang digunakan. Adapun volume dari labu disolusi  yang digunakan adalah 900 ml. Hal ini dianalogikan terhadap suatu gelembung udara, maka gelembung udara tersebut akan masuk ke pori-pori dan bekerja sebagai barier pada interfase sehingga mengganggu disolusi obat. Adapun suhu yang digunakan, dipertahankan 37° C, dengan maksud agar sesuai dengan suhu fisiologis suhu tubuh manusia. Hal ini sebagai pembanding jika obat tersebut berada dalam tubuh manusia. Selain itu alat disolusi juga diatur kecepatan putarannya sebesar 50 rpm karena ini diumpamakan sebagai kecepatan gerak peristaltik lambung. .
Pada percobaan ini, mula-mula diisi bak disolusi dengan air suling hingga ¾ volumenya. Kemudian diatur suhunya 37ºC dan setelah tercapai suhu tersebut maka dimasukkan air suling yang suhunya 37ºC ke dalam labu disolusi dan obat (tablet amoksisilin) dimasukkan dalam keranjang. Diambil 10 ml pada menit ke 5, 10 dan 15. Setiap pengambilan, volume air suling dalam labu disolusi dicukupkan 900 ml. Pengambilan dilakukan dengan pipet volume yang telah diikat dengan kertas saring. Ia bertujuan untuk mengelakkan molekul-molekul amoksisilin yang tidak larut turut sama diambil.Kemudian larutan yang diambil tersebut dititrasi dengan NaOH dan menggunakan indikator fenolftalein. Dari titrasi tersebut, dicatat volume titrasinya.
Dari hasil perhitungan diperoleh % kelarutan dari amoksisilin, yaitu: pada t = 5’ adalah 17,251 %; pada t = 10’ adalah 26,330 %; pada t = 15’ adalah 41,764. Dari percobaan dapat diketahui konstanta kecepatan atau laju disolusi adalah 0,1796.
Faktor-faktor kesalahan yang mungkin mempengaruhi hasil yang diperoleh antara lain :
  • Suhu larutan disolusi yang tidak konstan.
  • Ketidaktepatan jumlah dari medium disolusi, setelah dipipet beberapa ml.
  • Terjadi kesalahan pengukuran pada waktu pengambilan sampel menggunakan pipet volume.
  • Kekeliruan praktikan dalam menentukan volume titrasi dan titik akhir titrasi.
  • Kekeliruan prosedur penentuan kadar
  • Indikator yang digunakan sudah rusak.
o  Suhu yang dipakai tidak tepat.
BAB VI

PENUTUP


VI.1  Kesimpulan
     Dari hasil percobaan didapatkan bahwa % kelarutan dari amoksisilin, yaitu: pada t = 5’ adalah 17,251 %; pada t = 10’ adalah 26,330 %; pada t = 15’ adalah 41,764%. Dari percobaan dapat diketahui konstanta kecepatan atau laju disolusi adalah 0,1796

VI.2  Saran
         Perjelas lagi suaranya kak agar praktikan bisa dengarkan penjelasannya.


 DAFTAR PUSTAKA
  1. Tim asisten (2008), “Penuntun Praktikum Farmasi Fisika”, Fakultas Farmasi UNHAS, Makassar, 35.
  2. Ansel, Howard C., (1985), “Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi”, UI Press, Jakarta, 91,92.
  3. Martin, A., et.all., (1993), “ Farmasi Fisika “, Edisi III, Bagian II, Penerbit UI Jakarta, 827.
  4. Gennaro, A. R., et all., (1990), “ Remingto’s Pharmaceutical Sciensces “, Edisi 18th, Marck Publishing Company, Easton, Pensylvania, 591.
  5. Ditjen POM, (1995), “ Farmakope Indonesia”, Edisi III, Departemen Kesehatan RI, Jakarta, 90, 96, 412, 675.

 

Link Kesehatan Copyright © 2011-2012 | Powered by Blogger