Perkembangan dunia kesehatan di era genomik

Perkembangan dunia kesehatan di era genomik

Pada dua dekade terakhir kita menyaksikan kemajuan pemahaman baru tentang proses dasar fisiologis maupun patologis pada manusia sampai ke tingkat molekuler. Penelitian di bidang ini mendapatkan momentum dalam beberapa tahun terakhir, didorong dengan selesainya proyek genom manusia (human genome project) pada tahun 2001 (Oak Ridge National Laboratory, 2009) dan International HapMap Project(Anonim, 20091). Kemajuan teknologi telah memungkinkan identifikasi protein-protein regulator dan sistem signaling kompleks yang berperan penting dalam proses fisiologis normal maupun dalam kondisi patologis pada semua sistem organ utama. Elusidasi sekuens genom manusia dan kemajuan lain telah memberikan kesempatan untuk penemuan terobosan yang mengarahkan kepada pandangan fundamental terhadap fungsi sistem biologis, dan menciptakan kesempatan unik untuk mentranslasikan ilmu dasar menuju pengobatan secara klinis.

Kita juga menyaksikan kemajuan pemahaman ilmiah mengenai hubungan antara gen manusia dengan respon terhadap pengobatan, yang kemudian dikenal dengan istilah farmakogenetik/genomik. Istilah farmakogenetik pertama kali dikenalkan oleh Vogel pada tahun 1959 (Shin et al, 2009), dan digunakan untuk menggambarkan hasil observasi klinis mengenai perbedaan yang diwariskan dalam hal respon terhadap obat (Evan et al, 2003). Farmakogenomik merupakan aplikasi farmakogenetik, dan pada prakteknya istilah ini dapat saling dipertukarkan penggunaannya. Telah diketahui bahwa proteinlah yang beraksi sebagai enzim pemetabolisme obat, transporter, dan reseptor yang terdapat di seluruh tubuh, yang memperantarai respons tubuh terhadap obat. Variasi gen yang mengkode protein-protein ini seringkali hanya melibatkan perbedaan basa tunggal saja, yang disebut Single Nucleotide Polymorphisms (SNPs).Adanya SNP ini menyebabkan perbedaan respon tehadap obat antar-individu, dan menjelaskan mengapa obat tidak selalu efektif untuk semua pasien dan memiliki efek samping terhadap sekelompok orang tetapi tidak untuk kelompok orang lainnya (Clemerson et al, 2008).

Hingga saat ini di AS terdapat kurang lebih 50 macam obat yang telah memasukkan informasi farmakogenetik pada pelabelannya. Obat-obat ini antara lain antijamur (voriconazol), obat kardio-vaskuler dan hematologi (warfarin), antikonvulsan (karbamazepin), antikanker (azatioprin, irinotecan, trastuzumab, dancetuximab), dan antipsikotik (atomoxetin) (Frueh et al, 2008). Informasi farmakogenetik diharapkan dapat digunakan untuk pengembangan/penemuan obat dan dalam pelayanan klinis pasien.

Dalam lingkup pelayanan klinis, informasi farmakogenetik dapat digunakan untuk memprediksi penetapan dosis obat. Jika hasil tes farmakogenetik menunjukkan adanya polimorfisme genetik yang menyebabkan penurunan aktivitas enzim pemetabolisme, maka ketersediaan obat dalam darah dapat meningkat sehingga dosis perlu diturunkan untuk mencegah kemungkinan terjadinya efek toksik. Dan sebaliknya jika aktivitas enzim meningkat. Namun tentu perlu diketahui juga bahwa faktor genetik bukanlah satu-satunya penentu respon pasien terhadap obat. Perlu dipertimbangkan pula faktor lain yang berpengaruh terhadap efek obat.
Memang, praktek klinik yang menggunakan informasi farmakogenetik masih jauh dari pelaksanaan, bahkan di negara maju sekalipun. Namun demikian, terkadang kemajuan teknologi kesehatan dapat terjadi jauh lebih cepat dari yang diperkirakan, maka bukan tidak mungkin aplikasi serupa sudah ada di depan mata. Atau, kalaupun belum dapat diaplikasikan, pengetahuan ini sangat penting untuk dapat menjelaskan berbagai fenomena dalam masalah pengobatan. Hal ini diyakini akan memberikan nilai tambah bagi farmasis dalam dunia klinik. Dalam hal aplikasi farmakogenetik, farmasis, akan memegang peran penting di masa depan. Aplikasi penemuan farmakogenetik membutuhkan pengetahuan dan pemahaman mengenai farmakodinamik dan farmakokinetik obat. Karena farmasis memahami farmakokinetik dan farmakodinamik, maka mestinya ia akan memegang peran yang signifikan dalam aplikasi farmakogenetik. Bahkan para ahli menyarankan bahwa farmasis sebaiknya memiliki akses untuk mendapatkan informasi genetik pasien untuk bisa memberikan pelayanan kefarmasian secara individual sebelum mereka menyiapkan resep (Haga dan Burke, 2008).
Namun demikian, sebelum semua itu menjadi realita, ada satu langkah yang mestinya sudah bisa dilakukan oleh farmasis klinik dalam rangka meningkatkan pelayanan kefarmasian yaitu dengan lebih memfokuskan kepada ilmu-ilmu khas kefarmasian.

Peluang farmasis di era genomik
Pada era genomik yang mengedepankan faktor genetik sebagai salah satu kontributor terhadap respon pasien terhadap obat, maka dapat dikatakan bahwa terapi dan hasilnya bersifat individual. Dengan analogi yang sama, respon terapi pada satu etnis mungkin akan berbeda dengan etnis lain, termasuk kejadian efek samping obat atauadverse drug reactions. Karena itu pada era genomik di mana terapi mengarah kepada individualisasi terapi, ada beberapa hal yang perlu dikembangkan dan ditekankan pelaksanaannya oleh farmasis (farmasis klinik), antara lain:

1. Therapeutic drug monitoring (TDM)
Istilah ini merupakan istilah khusus untuk pemantauan kadar obat dalam darah. TDMperlu dilakukan terutama untuk obat-obat dengan kisar terapi sempit, di mana peningkatan kadar sedikit saja dalam darah dapat memberikan peningkatan efek terapi yang signifikan, termasuk efek toksiknya. Beberapa obat yang memiliki kisar terapi sempit dan idealnya menjalani TDM antara lain golongan antiepilepsi (fenitoin, karbamazepin, asam valproat), antibiotika golongan aminoglikosida (gentamicin, vancomicin, kanamicin), litium, dan obat-obat anti retroviral (obat HIV) (Birkett et al, 1997).
TDM juga sangat membantu pada terapi yang kompleks dan melibatkan interaksi berbagai obat dalam tubuh pasien. Sangat mungkin satu orang pasien menerima obat hingga 10-15 macam, yang satu dengan lainnya mungkin berinteraksi secara siginifikan. Suatu  obat dapat menurunkan atau meningkatkan ketersediaan hayati obat lain dalam tubuh, baik dengan mekanisme farmakokinetika maupun farmakodinamika, sehingga TDM akan sangat berguna untuk memastikan regimen dosis obat.
Lebih lanjut, mengkombinasikan TDM dengan informasi farmakogenetik tentu akan menguntungkan pasien untuk mendapatkan regimen dosis yang tepat dan aman. Contoh obat dengan kisar terapi sempit dan polimorfisme genetik yang relevan disajikan pada tabel.
Tabel. Obat dengan kisar terapi sempit dan polimorfisme genetik yang relevan  (Bukaveckas, 2004)

Nama obat
Polimorfisme genetik
Siklosporin
CYP3A5 dan MDR1
Asam valproat
CYP2C9 dan CYP2A6
Fenitoin
CYP2C9
Karbamazepin
CYP3A
Warfarin
CYP2C9
Digoksin
MDR1
Kuinidin
CYP2D6
Teofilin
CYP1A2

Kajian cost-effectiveness tentang TDM sudah banyak dilaporkan, bahwa TDM terbukticost-effeetive untuk penggunaan antibiotika golongan aminoglikosida, obat antiepilepsi, dan imunosupresan (Touw et al, 2007). Namun pelaksanaan TDM masih menjadi kendala di Indonesia karena berbagai alasan. Pemahaman tentang pentingnya TDMdan individualisasi dosis nampaknya masih beragam antar pelaku pelayanan kesehatan.
Sudah saatnya TDM diatur melalui kebijakan kesehatan nasional, sehingga dapat segera terealisasi, seperti yang sudah dilaksanakan di negara-negara maju. KombinasiTDM dengan test farmakogenetik nampaknya masih jauh dari realita, namun pengetahuan dan persiapan farmasis menuju era individualisasi terapi perlu terus dikembangkan.
2. Farmakovigilans (pharmacovigilance)
Khusus untuk keamanan obat, perlu dilakukan upaya-upaya identifikasi dan pencegahan ADR dengan cara lain, misalnya dengan farmakovigilans.
Farmakovigilans merupakan cabang ilmu farmakologi yang terkait dengan deteksi, penilaian, pemahaman, dan pencegahan efek yang tidak diinginkan (adverse effects),terutama efek samping jangka pendek maupun panjang obat, produk biologis, herba, maupun obat tradisional, dengan tujuan mengidentifikasi informasi baru tentang bahaya karena obat, dan mencegah bahaya itu pada pasien (WHO, 2002).
Polimorfisme genetik, sekali lagi, merupakan salah satu sumber variasi respon obat di dalam tubuh. Dalam kaitannya dengan ADR, perhatian lebih banyak ditujukan terhadap faktor farmakokinetik, khususnya metabolisme obat (Pirmohamed dan Park, 2001). Namun demikian, variasi genetik pada target aksi obat (faktor farmakodinamik) mungkin pula berperan. Oleh sebab itu, sangat penting kita memiliki informasi kejadianADR pada populasi khusus orang Indonesia. Pada umumnya kita selalu merujuk buku-buku teks untuk melihat signifikansi kejadian ADR, namun lupa bahwa informasi tersebut kebanyakan bersumber dari ras Kaukasia. Untuk itu perlu kiranya disusun database ADR atau efek samping khusus populasi Indonesia, mengingat Indonesia sangat kaya akan keragaman etnis, sehingga memungkinkan adanya variasi genetik dan hasil pengobatan.
Satu contoh menarik adalah penggunaan metamizol (antalgin) sebagai analgetik. Antalgin mudah dijumpai di berbagai tempat pelayanan kesehatan di Indonesia, meskipun sudah dilarang penggu­naannya di Amerika (1977), Swedia (1974), dan di beberapa negara lain termasuk Jepang, Australia, dan beberapa negara Eropa (Anonim, 20092), karena menyebabkan ADR fatal yaitu agranulositosis dan diskrasia darah (Bottiger dan Westerholm, 1973). Sementara itu di Mexico, India, Brazil, Rusia, dan di negara dunia ketiga lain, termasuk Indonesia, obat ini masih tersedia secara luas dan termasuk analgesik populer. Adanya kontroversi tentang angka prevalensi kejadian agranulositosis di berbagai negara, memunculkan dugaan kuat adanya faktor  genetik sebagai penyebab perbedaan tersebut. Karena itu perlu dilakukan kajian apakah memang terdapat perbedaan kerentanan antar berbagai ras terhadap adverse effect antalgin yang disebabkan faktor genetik, atau memang sistem pelaporan efek samping di Indonesia yang belum berjalan dengan baik sehingga belum bisa menjadi dasar penarikan suatu obat dari pasar oleh badan otoritas.
Karena itu selama pemantauan terapi, identifikasi dan pelaporan kejadian ADR menjadi penting, dan farmasis dapat mengambil peran kunci ketika menerapkan praktek farmasi klinik.


DAFTAR PUSTAKA 
American College of Clinical Pharmacy, 2008, The Definition of Clinical Pharmacy,Pharmacother, 28(6):816–817
Anonim, 20091, International HapMap Project, http://www.genome. gov/10001688, (diakses pada tanggal 10 Desember 2009)
Anonim, 20092, Metamizole, http://www.medic8.com/medicines/ Metamizole.html, diakses pada tanggal 15 Desember 2009
APTFI, 2009, Daftar Akreditasi Perguruan Tinggi Farmasi Indonesia, http://aptfi.or.id/?cat=16 (diakses  tanggal 10 Desember 2009)
Birkett DJ, 1997, Therapeutic Drug Monitoring, Aust Prescr, 20:9-11
Blegur F, 2007, Evaluasi Penggunaan Antibiotika Profilaksis pada Luka Operasi Bersih di RSUD Prof Dr WZ Johanes Kupang periode Oktober-Desember 2004, Thesis, Magister Farmasi Klinik UGM, Yogyakarta


 

Link Kesehatan Copyright © 2011-2012 | Powered by Blogger