Sejarah
munculnya Farmasi Klinik
Istilah
farmasi klinik mulai muncul pada tahun 1960an di Amerika, dengan penekanan pada
fungsi farmasis yang bekerja langsung bersentuhan dengan pasien. Saat itu
farmasi klinik merupakan suatu disiplin ilmu dan profesi yang relatif baru, di
mana munculnya disiplin ini berawal dari ketidakpuasan atas norma praktek
pelayanan kesehatan pada saat itu dan adanya kebutuhan yang meningkat terhadap
tenaga kesehatan profesional yang memiliki pengetahuan komprehensif mengenai
pengobatan. Gerakan munculnya farmasi klinik dimulai dari University of
Michigan dan University of Kentucky pada tahun
1960-an (Miller,1981).
Pada
era itu, praktek kefarmasian di Amerika bersifat stagnan. Pelayanan kesehatan
sangat terpusat pada dokter, di mana kontak apoteker dengan pasien sangat
minimal. Konsep farmasi klinik muncul dari sebuah konferensi tentang informasi
obat pada tahun 1965 yang diselenggarakan di Carnahan House, dan
didukung oleh American Society of Hospital Pharmacy (ASHP). Pada
saat itu disajikan proyek percontohan yang disebut “9th floor
project” yang diselenggarakan di University of California. “Perkawinan”
antara pemberian informasi obat dengan pemantauan terapi pasien oleh farmasis
di RS mengawali kelahiran suatu konsep baru dalam pelayanan farmasi yang oleh
para anggota delegasi konferensi disebut sebagai farmasi klinik (DiPiro,
2002). Hal ini membawa implikasi terhadap perubahan kurikulum pendidikan
farmasi di Amerika saat itu, menyesuaikan dengan kebutuhan akan adanya farmasis
yang memiliki keahlian klinik.
Perubahan
visi pada pelayanan farmasi ini mendapat dukungan signifikan ketika
Hepler dan Strand (Hepler dan Strands, 1990) pada tahun 1990
memperkenalkan istilah pharmaceutical care. Pada dekade
berikutnya, kata itu menjadi semacam kata “sakti” yang dipromosikan oleh
organisasi-organisasi farmasi di dunia. Istilahpharmaceutical care, yang
di-Indonesia-kan menjadi “asuhan kefarmasian”, adalah suatu pelayanan yang
berpusat pada pasien dan berorientasi terhadap outcomepasien. Pada
model praktek pelayanan semacam ini, farmasis menjadi salah satu anggota kunci
pada tim pelayanan kesehatan, dengan tanggung jawab pada outcomepengobatan.
Perkembangan
peran farmasi yang berorientasi pada pasien semakin diperkuat pada tahun 2000,
ketika organisasi profesi farmasis klinik Amerika American College of
Clinical Pharmacy (ACCP) mempublikasikan sebuah makalah berjudul, “A
vision of pharmacy’s future roles, responsibilities, and manpower needs in the
United States.” Untuk 10-15 tahun ke depan, ACCP
menetapkan suatu visi bahwa farmasis akan menjadi penyedia
pelayanan kesehatan yang akuntabel dalam terapi obat yang optimal untuk
pencegahan dan penyembuhan penyakit (ACCP, 2008). Untuk mencapai visi tersebut,
harus dipastikan adanya farmasis klinik yang terlatih dan mendapat pendidikan
memadai.
Dalam
sistem pelayanan kesehatan, farmasis klinik adalah ahli pengobatan dalam
terapi. Mereka bertugas melakukan evaluasi pengobatan dan memberikan
rekomendasi pengobatan, baik kepada pasien maupun tenaga kesehatan lain.
Farmasis klinik merupakan sumber utama informasi ilmiah yang dapat dipercaya
tentang obat dan penggunaannya, memberikan informasi terkait dengan penggunaan
obat yang aman, tepat, dan cost-effective.
Konsep
farmasi klinik pun kemudian berkembang di berbagai negara di dunia, termasuk
Indonesia, dengan penerapan yang bervariasi pada tiap negara berdasarkan
kondisi masing-masing.
Berikut
akan saya paparkan perkembangan farmasi klinik di bagian dunia yang lain, yaitu
Eropa, Australia, dan Indonesia sendiri sebagai perbandingan.
Farmasi
Klinik di Eropa
Gerakan
farmasi klinik di Eropa mulai menggeliat dengan didirikannya European
Society of Clinical Pharmacy (ESCP) pada tahun 1979 (Leufkens et
al, 1997). Sejak itu terjadi perdebatan yang terus menerus mengenai tujuan,
peran dan nilai tambah farmasi klinik terhadap pelayanan pasien. Pada tahun
1983, ESCP mengkompilasi dokumen pendidikan berisi persyaratan dan standar
untuk keahlian dan ketrampilan seorang farmasis klinik (ESCP, 1983). Pada
tahun itu, Federation Internationale Pharmaceutique (FIP) mempublikasikan
prosiding simposium bertemakan ‘Roles and Responsibilities of the
Pharmacists in Primary Health Care’ di mana berhasil disimpulkan peran
klinis seorang farmasis (Breimer et al, 1983). Sejak itu, World Health
Organisation (WHO) dan berbagai institusi lain mulai mengenal dan
memperjuangkan farmasis sebagai tenaga pelayanan kesehatan yang strategis
(Lunde dan Dukes, 1989). Pada tahun 1992, ESCP mempublikasikan “The Future
of Clinical Pharmacy in Europe” yang merefleksikan perubahan
cepat tentang peran farmasi di dalam sistem pelayanan kesehatan (Bonal et
al, 1993). Perubahan tersebut terjadi secara universal di berbagai negara,
dan itu terkait dengan perkembangan teknologi kesehatan, ekonomi kesehatan,
informatika, sosial ekonomi, dan hubungan profesional (Waldo et al,
1991).
Menurut
ESCP, farmasi klinik merupakan pelayanan yang diberikan oleh apoteker di RS,
apotek, perawatan di rumah, klinik, dan di manapun, dimana terjadi peresepan
dan penggunaan obat. Adapun tujuan secara menyeluruh aktivitas farmasi klinik
adalah meningkatkan penggunaan obat yang tepat dan rasional, dan hal ini
berarti:
- Memaksimalkan efek pengobatan yaitu penggunaan obat yang paling efektif untuk setiap kondisi tertentu pasien.
- Meminimalkan risiko terjadinya adverse effect, yaitu dengan cara memantau terapi dan kepatuhan pasien terhadap terapi.
- Meminimalkan biaya pengobatan yang harus dikeluarkan oleh pasien atau pemerintah (ESCP, 2009).
- Walaupun demikian, perkembangan pelayanan farmasi klinik tidaklah sama di semua negara Eropa. Inggris merupakan negara di Eropa yang paling lama menerapkan farmasi klinik. Sebagian besar penelitian tentang peran penting farmasi klinik dalam pelayanan kesehatan sebagian besar diperoleh dari pengalaman di Amerika dan Inggris.
Farmasi
Klinik di Australia
Di
Australia, 90% rumah sakit swasta dan 100% rumah sakit pemerintah memberikan
pelayanan farmasi klinik. Organisasi profesi utama yang mewadahi farmasis yang
bekerja di RS di Australia adalah The Society of Hospital Pharmacists
of Australia (SHPA), yang didirikan pada tahun 1941. Pada tahun 1996,
SHPA mempublikasikan Standar Pelayanan Farmasi Klinik yang menjadi referensi
utama pemberian pelayanan farmasi klinik di Australia.
Komponen
fundamental dari standar ini adalah pernyataan tentang tujuan farmasi klinik
dan dokumentasi dari aktivitas farmasi klinik terpilih. Standar ini juga
digunakan dalam pengembangan kebijakan pemerintah dalam akreditasi pelayanan
farmasi klinik di Australia, dan juga sebagai standar untuk pendidikan farmasi,
baik di tingkat S1 maupun pasca sarjana (DiPiro, 2002)
Hadirin
yang terhormat,
Macam aktivitas farmasi klinik
Walaupun ada sedikit variasi di berbagai negara, pada prinsipnya aktivitas farmasi klinik meliputi :
Macam aktivitas farmasi klinik
Walaupun ada sedikit variasi di berbagai negara, pada prinsipnya aktivitas farmasi klinik meliputi :
- Pemantauan pengobatan. Hal ini dilakukan dengan menganalisis terapi, memberikan advis kepada praktisi kesehatan tentang kebenaran pengobatan, dan memberikan pelayanan kefarmasian pada pasien secara langsung
- Seleksi obat. Aktivitas ini dilakukan dengan bekerja sama dengan dokter dan pemegang kebijakan di bidang obat dalam penyusunan formularium obat atau daftar obat yang digunakan.
- Pemberian informasi obat. Farmasis bertanggug-jawab mencari informasi dan melakukan evaluasi literatur ilmiah secara kritis, dan kemudian mengatur pelayanan informasi obat untuk praktisi pelayanan kesehatan dan pasien
- Penyiapan dan peracikan obat. Farmasis bertugas menyiapkan dan meracik obat sesuai dengan standar dan kebutuhan pasien
- Penelitian dan studi penggunaan obat. Kegiatan farmasi klinik antara lain meliputi studi penggunaan obat, farmakoepidemio- logi, farmakovigilansi, dan farmakoekonomi.
- Therapeutic drug monitoring (TDM). Farmasi klinik bertugas menjalankan pemantauan kadar obat dalam darah pada pasien dan melihat profil farmakokinetik untuk optimasi regimen dosis obat.
- Uji klinik. Farmasis juga terlibat dalam perencanaan dan evaluasi obat, serta berpartisipasi dalam uji klinik.
- Pendidikan dan pelatihan, terkait dengan pelayanan kefarmasian.
Semua yang dipaparkan di atas adalah gambaran perkembangan profesi farmasi, khususnya farmasi klinik, yang terjadi di beberapa belahan dunia. Bagaimana dengan Indonesia?
Farmasi
Klinik di Indonesia
Praktek
pelayanan farmasi klinik di Indonesia relatif baru berkembang pada tahun
2000-an, dimulai dengan adanya beberapa sejawat farmasis yang belajar farmasi
klinik di berbagai institusi pendidikan di luar negeri. Belum sepenuhnya
penerimaan konsep farmasi klinik oleh tenaga kesehatan di RS merupakan salah
satu faktor lambatnya perkembangan pelayanan farmasi klinik di Indonesia. Masih
dianggap atau merupakan keganjilan jika apoteker yang semula berfungsi
menyiapkan obat di Instalasi Farmasi RS, kemudian ikut masuk ke bangsal
perawatan dan memantau perkembangan pengobatan pasien, apalagi jika turut
memberikan rekomendasi pengobatan, seperti yang lazim terjadi di negara maju.
Farmasis sendiri selama ini terkesan kurang menyakinkan untuk bisa memainkan
peran dalam pengobatan. Hal ini kemungkinan besar disebabkan oleh sejarah
pendidikan farmasi yang bersifat monovalen dengan muatan sains yang masih cukup
besar (sebelum tahun 2001), sementara pendidikan ke arah klinik masih sangat
terbatas, sehingga menyebabkan farmasis merasa gamang berbicara tentang
penyakit dan pengobatan.
Sebagai
informasi, sejak tahun 2001, pendidikan farmasi di Indonesia, khususnya di UGM,
telah mengakomodasi ilmu-ilmu yang diperlukan dalam pelayanan farmasi klinik,
seperti patofisiologi, farmakoterapi, dll. dengan adanya minat studi Farmasi
Klinik dan Komunitas.
Bersamaan
dengan itu, mulai tahun 2001, berhembus angin segar dalam pelayanan
kefarmasian di Indonesia. Saat itu terjadi restrukturisasi pada organisasi
Departemen Kesehatan di mana dibentuk Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan
Alat Kesehatan, dengan Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik di
bawahnya, yang mengakomodasi pekerjaan kefarmasian sebagai salah satu pelayanan
kesehatan utama, tidak sekedar sebagai penunjang. Menangkap peluang itu,
Fakultas Farmasi UGM termasuk menjadi salah satu pioner dalam pendidikan
Farmasi Klinik dengan dibukanya Program Magister Farmasi Klinik. Di sisi lain,
beberapa sejawat farmasis rumah sakit di Indonesia mulai melakukan kegiatan
pelayanan farmasi klinik, walaupun masih terbatas. Namun demikian, bukan
berarti perkembangan farmasi klinik serta merta meningkat pesat, bahkan
perkembangannya masih jauh dari harapan. Kasus Prita di sebuah RS di Tangerang
yang cukup menghebohkan beberapa saat lalu merupakan salah satu cermin bahwa
pelayanan kesehatan di Indonesia masih harus ditingkatkan, dan farmasis klinik
mestinya bisa mengambil peran mencegah kejadian serupa. Kiranya ke depan,
perlu dilakukan upaya-upaya strategis untuk membuktikan kepada pemegang
kebijakan dan masyarakat luas bahwa adanya pelayanan farmasi langsung kepada
pasien akan benar-benar meningkatkan outcome terapi bagi
pasien, seperti yang diharapkan ketika gerakan farmasi klinik ini
dimulai.
Manfaat farmasi
klinik dalam optimasi hasil terapi
Banyak
penelitian telah membuktikan peran farmasi klinik terhadap berbagai outcometerapi
pada pasien, baik dari sisi humanistik (kualitas hidup, kepuasan), sisi klinik
(kontrol yang lebih baik pada penyakit kronis), dan sisi ekonomis (pengurangan
biaya kesehatan). Hasil review publikasi antara tahun 1984-1995 oleh Inditz et
al (1999) menyimpulkan bahwa pelayanan farmasi klinik efektif untuk
mengurangi biaya pelayanan kesehatan, dan efektif dalam meningkatkan kualitas
pelayanan kesehatan. Hal ini terutama diperoleh dengan melakukan pemantauan
resep dan pelaporan efek samping obat.
Bond et
al (1999) juga melaporkan bahwa pelayanan farmasi klinik dapat
menurunkan angka kematian di RS secara signifikan. Terdapat perbedaan sampai
195 kematian/tahun/RS antara RS yang menjalankan aktivitas farmasi klinik
dengan yang tidak. Sebuah studi lain yang dilakukan di Massachusetts
General Hospital di Boston menjumpai bahwa partisipasi farmasis dalam visite (kunjungan)
ke bangsal perawatanintensive care unit (ICU) dapat mengurangi
sampai 66% kejadian efek samping obat yang bisa dicegah, yang disebabkan karena
kesalahan dalam perintah pengobatan (Leape et al, 1999).
Dalam
hal outcome klinis, misalnya pada terapi antikoagulan,
pengaturan penggunaan antikoagulan yang berlebihan dengan cara melakukan
pemantauan melalui telepon oleh farmasis klinik telah berhasil meningkatkan outcome klinis
pasien dibandingkan dengan cara pelayanan farmasi secara tradisional (Witt dan
Humphries, 2003).
Bagaimana
di Indonesia? Karena setiap negara memiliki situasi berbeda dalam hal pelayanan
farmasi klinik, perlu dilakukan juga pengamatan serupa terhadap dampak
pelayanan farmasi terhadap peningkatan hasil terapi maupun kualitas hidup
pasien. Adalah kenyataan yang tak dapat dipungkiri bahwa masih banyak terjadi
masalah terkait dengan penggunaan obat (drug-related problem, DRP)
di berbagai tempat pelayanan kesehatan.
Di
sebuah RS di Kalimantan Timur misalnya, dijumpai 88,6% pasien diabetes mellitus
mengalami DRP, dengan masalah terbanyak adalah adanya indikasi
penyakit yang tidak diterapi secara memadai (Utami, 2009). Dari 52 pasien
hemodialisis di sebuah RS di Jawa Timur, 90,4% mengalami DRP,
dengan jenis terbanyak adalah pasien tidak menerima obat (Irawaty, 2009).
Kejadian serupa masih banyak dijumpai, misalnyaDRP pada
penatalaksanaan stroke (Rahajeng, 2006), penggunaan
antibiotika profilaksis (Blegur, 2007), penatalaksanaan nyeri kanker (Guswita,
2007), dengan berbagai jenis DRP lainnya.
Karena
itu, pelayanan farmasi klinik sebenarnya dapat mengurangi kejadian DRPtersebut,
dan lebih jauh dapat meningkatkan hasil terapi pasien. Intervensi farmasis
dalam hal pemberian konseling pada pasien diabetes mellitus berhasil
meningkatkan hasil terapi dan kualitas hidup pasien (Ikawati et al,
2008; Hermawan, 2009). Demikian pula pada pasien hipertensi di sebuah RS di
Jawa Tengah, konseling farmasis dapat meningkatkan pencapaian target tekanan
darah yang diinginkan (Kusumaningjati, 2008).
Hadirin
yang berbahagia,
3.
Pelayanan Informasi Obat dan Konseling pada Pasien
Aktivitas
ini mestinya merupakan aktivitas awal seorang farmasis sebagai tenaga yang
berkompeten di bidang obat. Saya ingin menekankan bahwa pada era genomik,
penjelasan bagaimana aksi obat dan bagaimana proses patologis terjadi, sudah
mencapai ke tingkat molekuler, terutama pada tingkat protein. Karena itu,
pengetahuan tentang mekanisme molekuler penyakit dan obat-obat baru yang makin
selektif terhadap target aksi spesifik di tingkat molekuler perlu dikuasai,
dengan selalu meng-update pengetahuan terkini. Hal ini akan
memberikan nilai tambah bagi farmasis ketika harus memberikan pelayanan
informasi obat, terutama pada sejawat tenaga kesehatan lain.
Di
sisi lain, pengetahuan teknis farmasetis yang merupakan kompetensi khas
farmasis harus pula dikuasai untuk bisa memberikan saran dan rekomendasi pada
sejawat dalam hal penyiapan obat pasien. Tak boleh dilupakan adalah ilmu-ilmu
dasar kefarmasian dalam penggunaan obat yang sangat diperlukan untuk pencerahan
kepada pasien, yang semuanya ini bertujuan meningkatkan hasil terapi. Konseling
tentang pengobatan kepada pasien perlu terus ditingkatkan untuk memastikan
bahwa pasien dapat menggunakan obatnya dengan cara yang benar sehingga dapat
dicapai hasil terapi yang optimal.
Di
akhir pidato ini saya ingin menggaris bawahi bahwa profesi farmasis klinik
terus berkembang dan menjadi kebutuhan, dan itu memerlukan kesiapan dan
komitmen farmasis untuk terus meningkatkan kompetensi dan mengikuti semua
perkembangan di bidang ilmu kesehatan hingga tingkat advanced. Hal
ini akan meningkatkan percaya diri dan kepercayaan dari sejawat tenaga
kesehatan, sehingga bisa memposisikan diri sebagai mitra penting dalam
memberikan pelayanan kesehatan yang terbaik pada pasien, dengan semangat empati
dan peduli.
Upaya-upaya
untuk membuktikan peran farmasis klinik dalam meningkatkan outcometerapi
bagi pasien harus terus dilakukan, sehingga akan semakin membuka peluang
diterimanya profesi farmasis di dalam tim pelayanan kesehatan yang langsung
berhubungan dengan pasien.
Saya
juga menghimbau kepada pemegang kebijakan di Departemen Kesehatan untuk lebih
mengakomodasi peran farmasis dalam pelayanan kesehatan sebagai anggota tim
pelayanan kesehatan yang lebih memiliki akses terhadap pemantauan pasien.
Pelaksanaan farmasi klinik di berbagai negara dapat menjadi acuan, tentunya
dengan tetap mendasarkan pada sistem pelayanan kesehatan yang berlaku di
Indonesia.
DAFTAR
PUSTAKA
American
College of Clinical Pharmacy, 2008, The Definition of Clinical Pharmacy,Pharmacother, 28(6):816–817
Anonim,
20091, International HapMap Project, http://www.genome. gov/10001688, (diakses pada
tanggal 10 Desember 2009)
Anonim,
20092, Metamizole, http://www.medic8.com/medicines/ Metamizole.html,
diakses pada tanggal 15 Desember 2009
APTFI,
2009, Daftar Akreditasi Perguruan Tinggi Farmasi Indonesia, http://aptfi.or.id/?cat=16 (diakses
tanggal 10 Desember 2009)
Birkett
DJ, 1997, Therapeutic Drug Monitoring, Aust Prescr, 20:9-11
Blegur
F, 2007, Evaluasi Penggunaan Antibiotika Profilaksis pada Luka Operasi Bersih
di RSUD Prof Dr WZ Johanes Kupang periode Oktober-Desember 2004, Thesis, Magister
Farmasi Klinik UGM, Yogyakarta
Bonal
J, Burden M, Delporte JP, eds. 1993, The Future of clinical pharmacy
in Europe.: European Society of Clinical Pharmacy, Noordwijk
Bond
CA, Raehl CL, Franke T., 1999, Clinical Pharmacy Services, Pharmacist Staffing,
and Drug Costs in United States Hospitals. Pharmacother, 19(12):1354–62
Breimer
DD, ed., 1983, Roles and Responsibilities of the Pharmacists in Primary Health
Care. Proceedings of the 42nd international congress of FIP,
Copenhagen 1982, The Hague.
Bukaveckas
BL, 2004, Adding Pharmacogenetics to the Clinical Laboratory: Narrow
Therapeutic Index Medications as a Place to Start, Arch Pathol Lab Med, 128
(12): 1330–1333
Clemerson,
JP., Payne, EK., Bissell, P., Anderson, C., 2006, Pharmacogenetics, the Next
Challenge for Pharmacy?, Pharm World Sci, 28:126–130
DiPiro,
TJ, 2002, Encyclopedia of Clinical Pharmacy, Dekker, hl 900
ESCP,
1983, The Clinical Pharmacist: education document,
Barcelona
ESCP,
2009, What is Clinical Pharmacy, http://www.escpweb.org/site/cms/contentViewArticle.asp?article=1712
Evans
WE, McLeod HL, 2003, Pharmacogenomics—Drug Disposition, Drug Targets, and Side
Effects. N Engl J Med, 348(6):538–549.
Frueh
FW, Amur S, Mummaneni P, 2008, Pharmacogenomic Biomarker Information in Drug
Labels Approved by the United States Food and Drug Administration: Prevalence
of Related Drug Use. Pharmacother, 28:992-8.
Guswita,
2007, Evaluasi Penggunaan Analgesik Opioid pada Penanganan Nyeri Kanker Pasien
Rawat Inap di RS Kanker Dharmais Jakarta selama September-November 2006,Thesis, Magister
Farmasi Klinik, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
Haga
S, Burke W, 2008, Pharmacogenetic testing: not as Simple as it Seems, Genet
Med, 10(6):391-395
Hepler
CD, Strand LM, 1990, Opportunities and Responsibilities in Pharmaceutical Care,Am
J Hosp Pharm, 47 (3):533-543
Hermawan,
A.R., 2009, Pengaruh Konseling Farmasis terhadap Hasil Terapi dan Kualitas
Hidup Pasien Diabetes Melitus Tipe 2 di Poli Penyakit Dalam RSUD Dr Abdul Rivai
Tanjung Redeb Kalimantan Timur, Thesis, Magister Farmasi
Klinik, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
Ikawati,
Z., Andayani, T.M., Dwipawestri, A.S., Kurnia, V.E., 2008, The Role of
Pharmacist Counseling to Improve Clinical Outcome and Quality of Life of
Diabetes Patients in Yogyakarta, presented on The 8th Asian Conference
on Clinical Pharmacy, Surabaya.
Inditz
MES, Artz MB, 1999, Value Added to Health by Pharmacists. Soc Sci Med,48:647-60.
Irawaty,
Y., 2009, Kajian Drug-related Problem pada Pelaksanaan Pasien Hemodialisis di
RSAL dr Ramelan Surabaya, Thesis, Magister Farmasi Klinik UGM,
Yogyakarta
Kusumaningjati,
Y., 2008, Pengaruh Konseling Farmasi terhadap Luaran Terapetik Pasien
Hipertensi di RSU Kardinah Tegal, Thesis, Magister Farmasi
Klinik, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
Leape
LL, Cullen DJ, Clapp MD, 1999, Pharmacist Participation on Physician Rounds and
Adverse Drug Events in the Intensive Care Unit, JAMA; 282(3):267-70
Leufkens
H, Hekster Y, Hudson S, 1997, Scenario Analysis of the Future of Clinical
Pharmacy, Pharm World Sci, 19(4): 182-185.
Lunde
I, Dukes MNG, 1989, The Role and Functions of the Community and Hospital Pharmacist
in the Health Care Systems in Europe. WHO Collaborating
Centre for Clinical Pharmacology and Drug Policy Science, Groningen
Miller
J, 1981, History of Clinical Pharmacy and Clinical Pharmacology, J Clin
Pharmacol. 21: 195-197
Oak
Ridge National Laboratory, 2009, Human Genome Project information, http: //http://www.ornl.gov/sci/techresources/
Human_Genome/home.shtml
(diakses pada tanggal 10 Desember 2009).
Pirmohamed
M, Park BK, 2001, Genetic Susceptibility to Adverse Drug Reactions,Trends Pharmacol
Sci, 22 (6): 298
Shin
J, Kayser SR, Langae TY, 2009, Pharmacogenetics: From Discovery to Patient
Care,Am J Health Syst Pharm, 66(7):625-637
Utami,
S., 2009, Kajian Drug-related Problem pada Pasien Diabetes
Melitus yang Dirawat Inap di RSU Dr Kanujoso Djatiwibowo Balikpapan pada Bulan
Oktober-Desember 2005, Thesis, Magister Farmasi Klinik,
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
Waldo
DR, Sonnefeld ST, Lemieux JA, McKusick DR, 1999, Health Spending through 2030:
Three Scenarios. Health Affair 231-42
WHO,
2002, The Importance of Pharmacovigilance: Safety Monitoring of
Medicinal Product, United Kingdom
Witt,
M.D., Humphries, TL., 2003, A Retrospective Evaluation of the Management
of Excessive Anticoagulation in an Established Clinical Pharmacy
Anticoagulation Service Compared to Traditional Care, J Thrombosis
Thrombolysis 15(2), 113–118
Touw
DJ, Neef C, Thomson AH, Vinks AA, 2007, Cost-effectiveness of Therapeutic Drug
Monitoring: an Update, EJHP Science, 13 (4): 83-91