BAB III
PEMBAHASAN KHUSUS
Diagnosis pada pasien ini ditegakkan
atas dasar anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang. Dari anamnesis diketahui
bahwa pasien Ny. F, 50 tahun datang dengan peranakan turun sejak dua belas tahun SMRS, setelah melahirkan anak ke
empat. Benjolan tersebut hilang timbul, timbul terutama saat batuk, BAB,
beraktivitas, berjalan dan berdiri, masuk kembali dengan sendirinya saat
berbaring. Namun, sejak 8 tahun yang lalu peranakan keluar seluruhnya dan tidak
dapat masuk sendiri. Gejala lain yang sesuai antara lain nyeri perut dan nyeri
di punggung bawah. BAB dalam batas normal, namun pasien mengeluh BAK sering dan tidak nyeri. Terdapat riwayat perdarahan
dan flek-flek dari kemaluan sebelumnya.
Pada pemeriksaaan fisik didapatkan kesan gizi lebih, dengan IMT 27.34 sedangkan
status generalis dalam batas normal, termasuk tak terdapat nyeri tekan
suprapubik. Pada status ginekologis ditemukan tampak massa uterus keluar sebagian dari introitus vagina, berbentuk bulat, warna
merah muda, discharge (-), erosif (+). Teraba massa ukuran 2 cmx2cmx3cm, konsistensi kenyal, nyeri
tekan (-). Pada vaginal touche massa dapat dimasukkan seluruhnya ke dalam
introitus vagina dan dapat keluar kembali dengan manuver valsava.
Pada
pemeriksaan penunjang, laboratorium darah dalam batas normal, namun pada
urinalisis didapatkan leukosit penuh, bakteri (+), nitrit (+), protein +2,
esterase leukosit +3
Adanya keluhan peranakan turun pada pasien
ini dipikirkan sebagai prolaps organ pelvis. Gejala lain yang mendukung adalah nyeri pada punggung bawah, nyeri perut yang diperkirakan karena
peregangan ligamen dan otot dalam pelvis akibat tarikan oleh organ yang
prolaps. Organ yang prolaps melalui vagina bisa merupakan uretra, vesika
urinaria, uterus, atau rektum. Pada pemeriksaan fisik, secara inspeksi terlihat
massa yang membonjol keluar dari introitus vagina, berbentuk bulat, berwarna
merah muda dan terdapat erosif pada
permukaannya. Massa berbentuk bulat tersebut merupakan protrusi uterus yang
keluar melalui introitus vagina. Keluhan perdarahan dan flek-flek dari kemaluan
diduga berasal dari erosif pada permukaan massa uterus. Dengan manuver valsava,
massa tersebut dapat keluar kembali melalui introitus vagina setelah dicoba
dimasukkan seluruhnya, menunjukkan bahwa peningkatan tekanan intraabdominal
berperan dalam menyebabkan prolaps.
Dari
anamnesis, ditemukan pasien berusia lanjut, keadaan gizi lebih (IMT 27.34),
menopause, multipara dengan seluruhnya persalinan per vaginam, kebiasaan
mengangkat benda berat (menimba air) dan riwayat asma. Maka, etiologi yang dipikirkan pada pasien antara lain trauma obstetrik,
penurunan kadar estrogen, dan peningkatan tekanan intraabdomen. Secara
epidemiologis >50% prolaps uteri terjadi pada multipara dan menopause. Proses persalinan per
vaginam berulang menyebabkan trauma obsterik dan peregangan pada dasar pelvis
sehingga memicu kelemahan pada jaringan penyokong pelvis. Hal tersebut merupakan
penyebab paling signifikan dari prolapsus uteri. Seiring proses penuaan dan
menopause, terdapat penurunan kadar estrogen sehingga jaringan pelvis
kehilangan elastisitas dan kekuatannya. Kebiasaan mengangkat benda berat dan
riwayat asma pada pasien menyebabkan peningkatan tekanan intraabdomen sehingga
menambah penekanan pada dasar pelvis dan memperberat prolaps organ di dalamnya.
Selain itu
ditemukan keluhan BAK sering pada pasien ini, dan pada pemeriksaan urinalisis
ditemukan leukosit penuh, bakteri (+), nitrit (+), esterase leukosit +3 yang
menunjang diagnosis infeksi saluran kemih (ISK). ISK pada pasien ini dipikirkan
sebagai komplikasi dari prolapsus uteri yang telah berlangsung lama. Sedangkan
proteinuria 2+ dipikirkan sebagai komplikasi lanjut dari ISK, sehingga terjadi
kerusakan ginjal. Walaupun kadar ureum darah dalam batas normal, komplikasi
gagal ginjal belum dapat disingkirkan.
POPQ
dilakukan untuk menilai derajat prolaps. Didapatkan hasil Aa +3, Ba +6, C +7,
gh 7, pb 2, tvl 8, Ap +2, Bp +5, dan D +5, sondase tertahan dan sisa urin 0 cc.
Dapat disimpulkan bahwa ujung terdepan prolaps anterior atau nilai Ba (+6) sama
dengan panjang vagina total (8 cm) dikurangi 2 cm, sehingga POPQ dapat
digolongkan sebagai stadium IV. Tidak adanya sisa urin menunjukkan tidak adanya
obstruksi saluran kemih pada pasien. Jadi pada pasien ini dapat ditegakkan
diagnosis prolaps uteri derajat IV dengan nama lain procidentia dan sistokel
derajat IV. Selain itu ujung terdepan prolaps pasterior atau nilai Bp (+5)
lebih dari +1 dan kurang dari panjang vagina total dikurang 2 cm, sehingga POPQ
dapat digolongkan sebagai rektokel derajat III.
Rencana terapi pada pasien ini sudah tepat yaitu
dilakukan operasi total vaginal histerektomi (TVH) dengan kolporafi anterior (KA)
dan kolpoperineorafi posterior (KP). TVH untuk mengatasi prolapsus uteri
derajat IV, KA untuk mengatasi sistokel derajat IV dan KP untuk mengatasi
rektokel derajat III. Tatalaksana pasca operasi pada pasien ini sudah baik,
yaitu diberikan antibiotik untuk mencegah terjadinya infeksi.
Pada pasien ini perlu dilakukan kultur urin untuk
menegakkan diagnosis ISK, sehingga tatalaksananya dapat disesuaikan dengan
etiologi bakteri penyebab ISK. Selain itu, perlu dicari etiologi proteinuria +2
pada pasien ini. Apakah sudah terjadi penurunan fungsi ginjal atau belum yaitu
dengan pemeriksaan urinalisis dan kadar ureum dan kreatinin darah ulang. Pada pasien ini
juga dapat dilakukan pemeriksaan Pap’s Smear sebagai skrining adanya kanker
serviks.
Edukasi sangat penting pada pasien ini.
Pada pasien perlu diberikan edukasi mengenai pengendalian faktor risiko, yaitu
mengurangi kebiasaan angkat berat (memompa air), menurukan berat badan dan
mengontrol penyakit asma dengan obat. Pengendalian terhadap faktor risiko ini
sangat membantu untuk menurunkan tekanan intraabdomen yang dianggap sebagai
salah satu etiologi terjadinya prolapsus organ pelvis pada pasien ini.
Prognosis
pada pasien ini, prognosis quo ad vitam adalah bonam karena prolaps uteri tidak
mengancam nyawa. Untuk prognosis quo ad functionam adalah malam, karena pasien
akan dilakukan histerektomi total. Dan prognosis quo ad sanactionam adalah
bonam, karena pasien akan dilakukan total vaginal histerektomi, kolporafi anterior dan
kolpoperineorafi posterior.
DAFTAR PUSTAKA
- Menefee SA, Wall LL.Incontinence, Prolapse, and Disorders of the Pelvic Floor. In: Berek JS. Novak's Gynecology. Lippincott Williams & Wilkins. 2002.
- Wiknjosastro H, Saifuddin AB, Rachimhadhi T. Ilmu Kandungan. Edisi kedua. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka. 2008. Hal.1-7
- Widjaja S. Anatomi Alat-Alat Rongga Panggul. Jakarta: Balai Pustaka Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2002. Hal 12
- Moeloek FA, Hudono ST. Penyakit dan Kelainan Alat Kandungan. Dalam: Wiknjosastro H, ed. Ilmu Kebidanan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka. 2005. hal.402-428
- DeLancey JOL. Strohbehn K. Pelvic Organ Prolapse. In: James R., Md. Scott, Ronald S., Md. Gibbs, Beth Y., Md. Karlan, Arthur F., Md. Haney, David N. Danforth's Obstetrics and Gynecology. 9th Ed. Lippincott Williams & Wilkins Publishers. 2003.
- Mailhot T. Uterine prolapse (online) 24 Mei 2006 (Diunduh tanggal 3 Mei 2009). Tersedia di URL: http://www.emedicine.com
- Wiknjosastro H, Saifuddin AB, Rachimhadhi T. Prolaps genital. Dalam Ilmu Kandungan. Edisi kedua. Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Jakarta;1994; ha.428-33.
- Lurain JR. in Menefee SA. Novak’s Gynecology. Chapter 20: Incontinence, Prolapse, and Disorder of the Pelvic Floor. Pelvic organ prolapse. Lippincott Williams & Wilkins 2002. P28
- Anonymous. Uterine prolapse. (online) (Diunduh tanggal 3 Mei 2009) Tersedia di URL: http://www.patient.co.uk/showdoc/40000115/
- Onwude JL. Genital prolapse in women (online). Diunduh tanggal 3 Mei 2009). Tersedia di URL: http://clinicalevidence.bmj.com