ETIKA PROFESI DAN HUKUM KEBIDANAN
KATA PENGANTAR
Syukur alhamdulillah penulis ucapkan ke hadirat Illahi Rabbi, yang telah memberikan berjuta-juta kenikmatan, baik rohani maupun jasmani, sehingga penulis dapat mengemban tugas dengan sebaik-baiknya.
Shalawat serta salam semoga tetap terlimpahkan kepada sang revolusioner sejati, Nabi Muhammad SAW. yang telah memberikan suri tauladan bagi umatnya untuk selalu menjalani kehidupan ini dengan menjunjung tinggi norma dan etika.
Ucapan terima kasih tak lupa penulis sampaikan kepada semua pihak yang telah mendorong dan membantu penyusunan makalah ini, baik bantuan berupa moril maupun materil, sehingga penyusunan ini bisa kami selesaikan, walaupun masih banyak kekurangan di dalamnya. Terlebih kepada Bapak …… (nama dosen) yang telah memberikan bimbingan kepada penulis dalam menjalani perkuliahan ini dengan sebaik-baiknya. Kami hanya bisa mendo'akan: jazaakumullahu ahsanal jaza'. Mudah-mudahan amal perbuatan Anda dibalas oleh Allah SWT. dengan sebaik-baik balasan. Amin
Semoga makalah yang telah penulis susun ini, bermanfaat bagi siapa saja yang haus akan ilmu, dan kehadirannya memberikan kontribusi intelektual yang berarti bagi pembentukan dan pembangunan mahasiswa Indonesia seutuhnya, cerdas dan berkompetitif.
Kritik dan saran konstruktif selalu penulis harapkan, dengan harapan apa yang akan penulis susun di kemudian hari bisa lebih maksimal dan sesuai dengan harapan bersama.
Semoga Allah SWT. meridhoi setiap langkah kita. Aamiin.
Malang, 30 Maret 20011
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
Membahas masalah etika profesi dan hukum kebidanan sangat penting bagi mahasiswa kebidanan untuk mengetahui tentang apa itu etika, apa itu moral dan bagaimana menerapkannya dalam praktik kebidanan. Sehingga dengan hal tersebut seorang bidan akan terlindung dari kegiatan pelanggaran etik/moral ataupun pelanggaran dalam hukum yang sedang berkembang di hadapan publik dan erat kaitannya dengan pelayanan kebidanan sehingga seorang bidan sebagai provider kesehatan harus kompeten dalam menyikapi dan mengambil keputusan yang tepat untuk bahan tindakan selanjutnya sesuai standar asuhan dan kewenangan bidan.
Etika juga sering dinamakan filsafat moral yaitu cabang filsafat sistematis yang membahas dan mengkaji nilai baik buruknya tindakan manusia yang dilaksanakan dengan sadar serta menyoroti kewajiban-kewajiban yang seharusnya dilakukan oleh manusia. Perbuatan yang dilakukan sesuai dengan norma moral maka akan memperoleh pujian sebagai rewardnya, namun perbuatan yang melanggar norma moral, maka si pelaku akan memperoleh celaan sebagai punishmentnya.
Istilah etik yang kita gunakan sehari-hari pada hakikatnya berkaitan dengan falsafah moral yaitu mengenai apa yang dianggap baik atau buruk di masyarakat dalam kurun waktu tertentu, sesuai dengan perubahan/perkembangan norma/nilai. Pada zaman sekarang ini etik perlu dipertahankan karena tanpa etik dan tanpa diperkuat oleh hukum, manusia yang satu dapat dianggap sebagai saingan oleh sesama yang lain. Saingan yang dalam arti lain harus dihilangkan sebagai akibat timbulnya nafsu keserakahan manusia.
Kalau tidak ada etik yang mengekang maka pihak yang satu bisa tidak segan¬segan untuk melawannya dengan segala cara. Segala cara akan ditempuh untuk menjatuhkan dan mengalahkan lawannya sekadar dapat tercapai tujuan.
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN ETIKA (KODE ETIK)
Etika merupakan bagian filosofis yang berhubungan erat dengan nilai manusia dalam menghargai suatu tindakan, apakah benar atau salah, dan penyelesaiannya baik atau tidak.
Etika diartikan "sebagai ilmu yang mempelajari kebaikan dan keburukan dalam hidup manusia khususnya perbuatan manusia yang didorong oleh kehandak dengan didasari pikiran yang jernih dengan pertimbangan perasaan".
Etik ialah suatu cabang ilmu filsafat. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa etik adalah disiplin yang mempelajari tentang baik atau buruk sikap tindakan manusia.
Menurut bahasa, Etik diartikan sebagai: dalam bahasa Yunani yaitu Ethos, kebiasaan atau tingkah laku, sedangkan dalam bahsa Inggris berarti Ethis, tingkah laku/prilaku manusia yg baik – tindakan yg harus dilaksanakan manusia sesuai dengan moral pada umumnya.
Selain itu etik juga merupakan aplikasi dari proses & teori filsafat moral terhadap kenyataan yg sebenarnya. Hal ini berhubungan dengan prinsip-prinsip dasar & konsep yg membimbing makhluk hidup dalam berpikir & bertindak serta menekankan nilai-nilai mereka.
Bagi sosiolog, etika adalah adat, kebiasaan dan perilaku orang-orang dari lingkungan budaya tertentu. Bagi praktisi profesional termasuk dokter dan tenaga kesehatan lainnya etika berarti kewajiban dan tanggung jawab memenuhi harapan (ekspekatasi) profesi dan amsyarakat, serta bertindak dengan cara-cara yang profesional, etika adalah salah satu kaidah yang menjaga terjalinnya interaksi antara pemberi dan penerima jasa profesi secara wajar, jujur, adil, profesional dan terhormat.
1. Sistematika Etika
Sebagai suatu ilmu maka etika terdiri atas berbagai macam jenis dan ragamnya antara lain:
a. Etika deskriptif, yaitu memberikan gambaran atau ilustrasi tentang tingkah laku manusia ditinjau dari nilai baik/buruk serta hal-hal yang boleh dilakukan sesuai dengan norma etis yang dianut oleh masyarakat.
b. Etika Normatif, yaitu membahas dan mengkaji ukuran baik buruk tindakan manusia, etika normatif juga dikelompokkan menjadi beberapa kelompok , sbb:
1). Etika umum, yaitu membahas hal-hal yang berhubungan dengan kondisi manusia untuk bertindak etis dalam mengambil kebijakan berdasarkan teori-teori dan prinsip-prinsip moral.
2). Etika khusus; yaitu terdiri dari Etika sosial, Etika individu dan Etika Terapan.
a) Etika sosial menekankan tanggung jawab sosial dan hubungan antar sesama manusia dalam aktivitasnya.
b) Etika individu lebih menekankan pada kewajiban-kewajiban manusia sebagai pribadi.
c) Etika terapan adalah etika yang diterapkan pada profesi.
Pada tahun 2001 ditetapkan oleh MPR-RI dengan ketetapan MPR-RI No.VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Bangsa. Etika kehidupan bangsa bersumber pada agama yang universal dan nilai-nilai luhur budaya bangsa yaitu Pancasila.
Etika kehidupan berbangsa antara lain meliputi: Etika Sosial Budaya, Etika Politik dan Pemerintahan, Etika Ekonomi dan Bisnis, Etika Penegakkan Hukum yang Berkeadilan, Etika Keilmuan, Etika Lingkungan, Etika Kedokteran dan Etika Kebidanan.
2. Kode Etik Profesi
Kode etik suatu profesi adalah berupa norma-norma yang harus diindahkan oleh setiap anggota profesi yang bersangkutan didalam melaksanakan tugas profesinya dan dalam hidupnya di masyarakat. Pada dasarnya tujuan menciptakan atau merumuskan kode etik suatu profesi adalah untuk kepentingan anggota dan kepentingan organisasi.
Secara umum tujuan menciptakan kode etik adalah sebagai berikut:
a. Untuk menjunjung tinggi martabat dan citra profesi
Dalam hal ini yang dijaga adalah image dad pihak luar atau masyarakat mencegah orang luar memandang rendah atau remeh suatu profesi. Oleh karena itu, setiap kode etik suatu profesi akan melarang berbagai bentuk tindak tanduk atau kelakuan anggota profesi yang dapat mencemarkan nama baik profesi di dunia luar. Dari segi ini kode etik juga disebut kode kehormatan.
b. Untuk menjaga dan memelihara kesejahtraan para anggota
Yang dimaksud kesejahteraan ialah kesejahteraan material dan spiritual atau mental. Dalam hal kesejahteraan materil angota profesi kode etik umumnya menerapkan larangan-larangan bagi anggotanya untuk melakukan perbuatan yang merugikan kesejahteraan. Kode etik juga menciptakan peraturan-peraturan yang ditujukan kepada pembahasan tingkah laku yang tidak pantas atau tidak jujur para anggota profesi dalam interaksinya dengan sesama anggota profesi.
c. Untuk meningkatkan pengabdian para anggota profesi
Dalam hal ini kode etik juga berisi tujuan pengabdian profesi tertentu, sehingga para anggota profesi dapat dengan mudah mengetahui tugas dan tanggung jawab pengabdian profesinya. Oleh karena itu kode etik merumuskan ketentuan-ketentuan yang perlu dilakukan oleh para anggota profesi dalam menjalankan tugasnya.
d. Untuk meningkatkan mutu profesi
Kode etik juga memuat tentang norma-norma serta anjuran agar profesi selalu berusaha untuk meningkatkan mutu profesi sesuai dengan bidang pengabdiannya. Selain itu kode etik juga mengatur bagaimana cara memelihara dan meningkatkan mutu organisasi profesi.
B. ETIKA (KODE ETIK) PROFESI KEBIDANAN
Kode etik profesi merupakan "suatu pernyataan komprehensif dari profesi yang memberikan tuntunan bagi angotanya untuk melaksanakan praktik dalam bidang profesinya baik yang berhubungan dengan klien /pasien, keluarga, masyarakat, teman sejawat, profesi dan dirinya sendin".
1. Fungsi Etika dan Moralitas Dalam Pelayanan
a. Menjaga otonomi dari setiap individu khususnya Bidan dan Klien
b. Menjaga kita untuk melakukan tindakan kebaikan dan mencegah tindakan yg merugikan/membahayakan orang lain.
c. Menjaga privacy setiap individu
d. Mengatur manusia untuk berbuat adil dan bijaksana sesuai dengan porsinya
e. Dengan etik kita mengatahui apakah suatu tindakan itu dapat diterima dan apa alasannya
f. Mengarahkan pola pikir seseorang dalam bertindak atau dalam menganalisis suatu masalah
g. Menghasilkan tindakan yg benar
h. Mendapatkan informasi tenfang hal yg sebenarnya
i. Memberikan petunjuk terhadap tingkah laku/perilaku manusia antara baik, buruk, benar atau salah sesuai dengan moral yg berlaku pada umumnya
j. Berhubungan dengans pengaturan hal-hal yg bersifat abstrak
k. Memfasilitasi proses pemecahan masalah etik serta mengatur hal-hal yang bersifat praktik
l. Mengatur tata cara pergaulan baik di dalam tata tertib masyarakat maupun tata cara di dalam organisasi profesi
m. Mengatur sikap, tindak tanduk orang dalam menjalankan tugas profesinya yg biasa disebut kode etik profesi.
2. Hak Kewajiban dan Tanggungjawab Kebidanan
Hak dan kewajiban adalah hubungan timbal balik dalam kehidupan sosial sehari-hari. Pasien memiliki hak terhadap bidan atas pelayanan yang diterimanya. Hak pasti berhubungan dengan individu, yaitu pasien.
Sedangkan bidan mempunyai kewajiban/keharusan untuk pasien, jadi hak adalah sesuatu yang diterima oleh pasien. Sedang kewajiban adalah suatu yang diberikan oleh bidan. Seharusnya juga ada hak yang harus diterima oleh bidan dan kewajiban yang harus diberikan oleh pasien.
a. Hak Pasien
Hak pasien adalah hak-hak pribadi yang dimiliki manusia sebagai pasien/klien, seperti:
C. KODE ETIK HUKUM KEBIDANAN
Malpraktek merupakan istilah yang sangat umum sifatnya dan tidak selalu berkonotasi yuridis. Secara harfiah “mal” mempunyai arti “salah”, sedangkan “praktek” mempunyai arti “pelaksanaan” atau “tindakan”, sehingga malpraktek berarti “pelaksanaan atau tindakan yang salah”. Meskipun arti harfiahnya demikian tetapi kebanyakan istilah tersebut dipergunakan untuk menyatakan adanya tindakan yang salah dalam rangka pelaksanaan suatu profesi.
Sedangkan difinisi malpraktek profesi kesehatan adalah “kelalaian dari seseorang dokter atau tenaga keperawatan (perawat dan bidan) untuk mempergunakan tingkat kepandaian dan ilmu pengetahuan dalam mengobati dan merawat pasien, yang lazim dipergunakan terhadap pasien atau orang yang terluka menurut ukuran dilingkungan yang sama” (Valentin v. La Society de Bienfaisance Mutuelle de Los Angelos, California, 1956).
Di dalam setiap profesi termasuk profesi tenaga bidan berlaku norma etika dan norma hukum. Oleh sebab itu apabila timbul dugaan adanya kesalahan praktek sudah seharusnyalah diukur atau dilihat dari sudut pandang kedua norma tersebut. Kesalahan dari sudut pandang etika disebut ethical malpractice dan dari sudut pandang hukum disebut yuridical malpractice.
Hal ini perlu dipahami mengingat dalam profesi tenaga bidan berlaku norma etika dan norma hukum, sehingga apabila ada kesalahan praktek perlu dilihat domain apa yang dilanggar. Karena antara etika dan hukum ada perbedaan-perbedaan yang mendasar menyangkut substansi, otoritas, tujuan dan sangsi, maka ukuran normatif yang dipakai untuk menentukan adanya ethica malpractice atau yuridical malpractice dengan sendirinya juga berbeda. Yang jelas tidak setiap ethical malpractice merupakan yuridical malpractice akan tetapi semua bentuk yuridical malpractice pasti merupakan ethical malpractice (Lord Chief Justice, 1893).
1. Malpraktek Dibidang Hukum
Untuk malpraktek hukum (yuridical malpractice) dibagi dalam 3 kategori sesuai bidang hukum yang dilanggar, yakni Criminal malpractice, Civil malpractice dan Administrative malpractice.
a. Criminal malpractice
Criminal malpractice adalah seseorang yang melakukan perbuatan yang mana perbuatan tersebut memenuhi rumusan delik pidana yaitu seperti positive act / negative act yang merupakan perbuatan tercela dan dilakukan dengan sikap batin yang salah yang berupa kesengajaan (intensional), kecerobohan (reklessness) atau kealpaan (negligence).
1) Criminal malpractice yang bersifat sengaja (intensional)
a) Pasal 322 KUHP, tentang Pelanggaran Wajib Simpan Rahasia Kebidanan, yang berbunyi:
• Ayat (1) Barangsiapa dengan sengaja membuka rahasia yang wajib disimpannya karena jabatan atau pencahariannya, baik yang sekarang, maupun yang dahuluj diancam dengan pidana penjara paling lama sembi Ian bulan atau denda paling banyak enam ratu rupiah.
• Ayat (2) Jika kejahatan dilakukan terhadap seorang tertentu, maka perbuatan itu hanya dapat dituntut ata pengaduan orang itu.
b) Pasal 346 sampai dengan pasal 349 KUHP, tentang Abortus Provokatus. Pasal 346 KUHP Mengatakan: Seorang wanita yang sengaja menggugurkan atau mematikan kandungannya atau menyuruh orang lain untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun.
c) Pasal 348 KUHP menyatakan:
• Ayat (1) Barangsiapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan seorang wanita dengan persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun enam bulan.
• Ayat (2) Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya wanita tersebut, dikenakan pidana penjara paling lama tujuh tahun.
d) Pasal 349 KUHP menyatakan: Jika seorang dokter, bidan atau juru obat membantu melakukan kejahatan yang tersebut pasal 346, ataupun melakukan atau membantu melakukan salah satu kejahatan yang diterangkan dalam pasal 347 dan 348, maka pidana yang ditentukan dalam pasal itu dapat ditambah dengan sepertiga dan dapat dicabut hak untuk menjalankan pencaharian dalam mana kejahatan dilakukan.
e) Pasal 351 KUHP (tentang penganiayaan), yang berbunyi:
• Ayat (1) Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau denda paling banyak tiga ratus rupiah.
• Ayat (2) Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah dikenakan pidana penjara paling lama lima tahun.
• Ayat (3) Jika mengakibatkan mati, dikenakan pidana penjara paling lama tujuh tahun.
• Ayat (4) Dengan penganiayaan disamakan sengaja merusak kesehatan.
• Ayat (5) Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana.
2) Criminal malpractice yang bersifat ceroboh (recklessness)
Criminal malpractice yang bersifat ceroboh (recklessness) misalnya melakukan tindakan medis tanpa persetujuan pasien informed consent.
a) Pasal 347 KUHP menyatakan:
• Ayat (l) Barangsiapa dengan sengaja menggugurkan dan me¬matikan kandungan seorang wanita tanpa persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.
• Ayat (2) Jika perbuatan itu menyebabkan matinya wanita tersebut, dikenakart pidana penjara paling lama lima belas tahun.
b) Pasal 349 KUHP menyatakan: Jika seorang dokter, bidan atau juru obat membantu melakukan kejahatan yang tersebut pasal 346, ataupun melakukan atau membantu melakukan salah satu kejahatan yang diterangkan dalam pasal 347 dan 348, maka pidana yang ditentukan dalam pasal itu dapat ditambah dengan sepertiga dan dapat dicabut hak untuk menjalankan pencaharian dalam mana kejahatan dilakukan.
3) Criminal malpractice yang bersifat kealpaan/lalai (negligence) misalnya kurang hati-hati melakukan proses kelahiran.
a) Pasal-pasal 359 sampai dengan 361 KUHP, pasal-pasal karena lalai menyebabkan mati atau luka-luka berat.
• Pasal 359 KUHP, karena kelalaian menyebabkan orang mati : Barangsiapa karena kealpaannya menyebabkan mati-nya orang lain, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling lama satu tahun.
• Pasal 360 KUHP, karena kelalaian menyebakan luka berat:
Ayat (1) Barangsiapa karena kealpaannya menyebakan orang lain mendapat luka-luka berat, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling lamasatu tahun.
Ayat (2) Barangsiapa karena kealpaannya menyebabkan orang lain luka-luka sedemikian rupa sehinga menimbulkan penyakit atau alangan menjalankan pekerjaan, jabatan atau pencaharian selama waktu tertentu, diancam de¬ngan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau denda paling tinggi tiga ratus rupiah.
• Pasal 361 KUHP, karena kelalaian dalam melakukan jabatan atau pekerjaan (misalnya: dokter, bidan, apoteker, sopir, masinis dan Iain-lain) apabila melalaikan peraturan-peraturan pekerjaannya hingga mengakibatkan mati atau luka berat, maka mendapat hukuman yang lebih berat pula.
• Pasal 361 KUHP menyatakan: Jika kejahatan yang diterangkan dalam bab ini di-lakukan dalam menjalankan suatu jabatan atau pencaharian, maka pidana ditambah dengan pertiga, dan yang bersalah dapat dicabut haknya untuk menjalankan pencaharian dalam mana dilakukan kejahatan dan hakim dapat memerintahkan supaya putusnya di-umumkan.
Pertanggung jawaban didepan hukum pada criminal malpractice adalah bersifat individual/personal dan oleh sebab itu tidak dapat dialihkan kepada orang lain atau kepada rumah sakit/sarana kesehatan.
b. Civil Malpractice
Seorang bidan akan disebut melakukan civil malpractice apabila tidak melaksanakan kewajiban atau tidak memberikan prestasinya sebagaimana yang telah disepakati (ingkar janji). Tindakan bidan yang dapat dikategorikan civil malpractice antara lain:
1) Tidak melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan.
2) Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan tetapi terlambat melakukannya.
3) Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan tetapi tidak sempurna.
4) Melakukan apa yang menurut kesepakatannya tidak seharusnya dilakukan.
Pertanggung jawaban civil malpractice dapat bersifat individual atau korporasi dan dapat pula dialihkan pihak lain berdasarkan principle of vicarius liability. Dengan prinsip ini maka rumah sakit/sarana kesehatan dapat bertanggung gugat atas kesalahan yang dilakukan karyawannya (bidan) selama bidan tersebut dalam rangka melaksanakan tugas kewajibannya.
c. Administrative Malpractice
Bidan dikatakan telah melakukan administrative malpractice manakala bidan tersebut telah melanggar hukum administrasi. Perlu diketahui bahwa dalam melakukan police power, pemerintah mempunyai kewenangan menerbitkan berbagai ketentuan di bidang kesehatan, misalnya tentang persyaratan bagi bidan untuk menjalankan profesinya (Surat Ijin Kerja, Surat Ijin Praktek), batas kewenangan serta kewajiban bidan.
Apabila aturan tersebut dilanggar maka tenaga kesehatan yang bersangkutan dapat dipersalahkan melanggar hukum administrasi.
2. Landasan Hukum Wewenang Bidan
Bidan adalah salah satu tenaga kesehatan. Pengaturan tenaga kesehatan ditetapkan di dalam undang-undang dan Peraturan Pemerintah. Tugas dan kewenangan bidan serta ketentuan yang berkaitan dengan kegiatan praktik bidan diatur di dalam peraturan atau Keputusan Menteri Kesehatan.
Kegiatan praktik bidan dikontrol oleh peraturan tersebut. Bidan harus dapat mempertanggungjawabkan tugas dan kegiatan yang dilakukannya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Setiap bidan memiliki tanggung jawab memelihara kemampuan profesionalnya. Oleh karena itu bidan harus selalu meningkatkan pengetahuan dan ketrampilannya dengan cara mengikuti pelatihan, pendidikan berkelanjutan, seminar, dan pertemuan ilmiah lainnya.
a. Syarat Praktik Profesional Bidan
1) Harus memiliki Surat Ijin Praktek Bidan (SIPB) baik bagi bidan yang praktik pada sarana kesehatan dan/atau perorangan Bdan Praktek Swasta (BPS).
2) Bidan yang praktik perorangan harus memenuhi persyaratan yang meliputi tempat dan ruangan praktik, tempat tidur, peralatan, obat-obatan dan kelengkapan administrasi.
3) Dalam menjalankan praktik profesionalnya harus sesuai dengan kewenangan yang diberikan, berdasarkan pendidikan dan pengalaman serta berdasarkan standar profesi.
4) Dalam menjalankan praktik profesionalnya harus menghormati hak pasien, memperhatikan kewajiban bidan, merujuk kasus yang tidak dapat ditangani, meminta persetujuan tindakan yang akan dilakukan dan melakukan medical record dengan baik.
5) Dalam menjalankan praktik profesionalnya bidan wajib melakukan pencatatan dan pelaporan.
b. Wewenang Bidan dalam Menjalankan Praktik Profesionalnya
Dalam menangani kasus seorang bidan diberi kewenangan sesuai dengan Keputusan Menteri Kesehatan Indonesia No:900/Menkes/SK/VII/2002 tentang registrasi dan praktek bidan,yang disebut dalam BAB V praktik bidan antara lain:
1). Pasal 14 : bidan dalam menjalankan prakteknya berwenang untuk memberikan pelayanan yang meliputi : (a). Pelayanan kebidanan, (b). Pelayanan keluarga berencana, dan (c). Pelayanan kesehatan masyarakat.
2). Pasal 15 :
a). Pelayanan kebidanan sebagaimana dimaksud dalam pasal 14 huruf (pelayanan kebidanan) ditujukan pada ibu dan anak.
b). Pelayanan kepada ibu diberikan pada masa pra nikah, pra hamil, masa hamil, masa bersalin, masa nifas, menyusui dan masa antara (periode interval).
c). Pelayanan kebidanan pada anak diberikan pada masa bayi baru lahir,masa bayi,masa anak balita dan masa pra sekolah.
3). Pasal 16 :
a). Pelayanan kebidanan kepada meliputi :
• Penyuluhan dan konseling
• Pemeriksaan fisik
• Pelayanan antenatal pada kehamilan normal
• Pertolongan pada kehamilan abnormal yang mencakup ibu hamil dengan abortus iminens, hiperemesis grafidarum tingkat 1, pre eklamsi ringan dan anemia ringan.
• Pertolongan persalinan normal
• Pertolongan persalinan abnormal yang mencakup letak sungsang, partus macet kepala di dasar panggul, ketuban pecah dini (KPD) tanpa infeksi, perdarahan post partum, laserasi jalan lahir, distosia karena inersia uteri primer, post aterm dan preterm.
• Pelayanan ibu nifas normal
• Pelayanan ibu nifas abnormal yang mencakup retensio plasenta,renjatan dan infeksi ringan
• Pelayanan dan pengobatan pada kelainan ginekologi yang meliputi keputihan,perdarahan tidak teratur dan penundaan haid.
b). Pelayanan kebidanan kepada anak meliputi:
- Pemeriksaan bayi baru lahir
- Perawatan tali pusat
- Perawatan bayi
- Resusitasi pada bayi baru lahir
- Pemantauan tumbuh kembang anak
- Pemberian imunisasi
- Pemberian penyuluhan
4). Pasal 18 : Bidan dalam memberikan pelayanan sebagaimana dimaksud dalam pasal 16,berwenang untuk :
- Memberikan imunisasi
- Memberikan suntikan pada penyulit kehamilan dan nifas
- Mengeluarkan plasenta secara secara manual
- Bimbingan senam hamil
- Pengeluaran sisa jaringan konsepsi
- Episiotomi
- Penjahitan luka episiotomi dan luka jalan lahir sampai tingkat 2
- Amniotomi pada pembukaan serviks lebih dari 4 cm
- Pemberian infuse
- Pemberian suntikan intramuskuler uterotonika
- Kompresi bimanual
- Versi ekstrasi gemelli pada kelahiran bayi kedua dan seterusnya
- Vakum ekstraksi dengan kepala bayi di dasar panggul
- Pengendalian anemi
- Peningkatan pemeliharaan dan penggunaan air susu ibu
- Resusitasi bayi baru lahir dengan asfiksia
- Penanganan hipotermi
- Pemberian minum dengan sonde/pipet
- Pemberian obat-obatan terbatas melalui lembaran ,permintaan , obat sesuai dengan formulir IV terlampir
- Pemberian surat kelahiran dan kematian.
c. Standar Kompetensi Kebidanan
Standar kompetensi kebidanan yang berhubungan dengan anak dan imunisasi diatur dalam Undang-Undang Kesehatan No. 23 Th 1992, yaitu sbb:
1) Pasal 15
• Ayat (1): Dalam keadaan darurat sebagai upaya untuk menyclamatkan jiwaibu hamil dan atau janinnya, dapat ditakukan tindakan medis tertentu.
• Ayat (2): Tindakan medis tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat dilakukan :
a) berdasarkan indikasi medis yang mengharuskan diambilnya tindakan tersebut;
b) oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu dan dilakukan sesuai dengan tanggung jawab profesi serta berdasarkan pertimbangan tim ahli;
c) dengan persetujuan ibu hamil yang bersangkutan atau suami atau keluarganya;
d) pada sarana kesehatan tertentu.
2) Pasal 80
• Ayat (1): Barang siapa dengan sengaja melakukan tindakan medis tertentu terhadap ibu hamil yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) dan ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Dalam hal bidan didakwa telah melakukan ciminal malpractice, harus dibuktikan apakah perbuatan bidan tersebut telah memenuhi unsur tidak pidanya, yakni: apakah perbuatan (positif act atau negatif act) merupakan perbuatan yang tercela dan apakah perbuatan tersebut dilakukan dengan sikap batin (mens rea) yang salah (sengaja, ceroboh atau adanya kealpaan).
Selanjutnya apabila bidan dituduh telah melakukan kealpaan sehingga mengakibatkan pasien meninggal dunia, menderita luka, maka yang harus dibuktikan adalah adanya unsur perbuatan tercela (salah) yang dilakukan dengan sikap batin berupa alpa atau kurang hati-hati ataupun kurang praduga.
Dalam kasus atau gugatan adanya civil malpractice pembuktianya dapat dilakukan dengan dua cara yakni :
1. Cara langsung, kelalaian memakai tolok ukur adanya 4 D yakni :
a. Duty (kewajiban). Dalam hubungan perjanjian bidan dengan pasien, bidan haruslah bertindak berdasarkan:
1) Adanya indikasi medis
2) Bertindak secara hati-hati dan teliti
3) Bekerja sesuai standar profesi
4) Sudah ada informed consent.
b. Dereliction of Duty (penyimpangan dari kewajiban) Jika seorang bidan melakukan pekerjaan menyimpang dari apa yang seharusnya atau tidak melakukan apa yang seharusnya dilakukan menurut standard profesinya, maka bidan tersebut dapat dipersalahkan.
c. Direct Causation (penyebab langsung)
d. Damage (kerugian)
Bidan untuk dapat dipersalahkan haruslah ada hubungan kausal (langsung) antara penyebab (causal) dan kerugian (damage)yang diderita oleh karenanya dan tidak ada peristiwa atau tindakan sela diantaranya., dan hal ini haruslah dibuktikan dengan jelas. Hasil (outcome) negatif tidak dapat sebagai dasar menyalahkan bidan. Sebagai adagium dalam ilmu pengetahuan hukum, maka pembuktiannya adanya kesalahan dibebankan/harus diberikan oleh si penggugat (pasien).
2. Cara tidak langsung
Cara tidak langsung merupakan cara pembuktian yang mudah bagi pasien, yakni dengan mengajukan fakta-fakta yang diderita olehnya sebagai hasil layanan (doktrin res ipsa loquitur). Doktrin res ipsa loquitur dapat diterapkan apabila fakta-fakta yang ada memenuhi kriteria:
a. Fakta tidak mungkin ada/terjadi apabila bidan tidak lalai
b. Fakta itu terjadi memang berada dalam tanggung jawab bidan
c. Fakta itu terjadi tanpa ada kontribusi dari pasien dengan perkataan lain tidak ada contributory negligence.
Tidak setiap upaya kesehatan selalu dapat memberikan kepuasan kepada pasien baik berupa kecacatan atau bahkan kematian. Malapetaka seperti ini tidak mungkin dapat dihindari sama sekali. Yang perlu dikaji apakah malapetaka tersebut merupakan akibat kesalahan bidan atau merupakan resiko tindakan, untuk selanjutnya siapa yang harus bertanggung gugat apabila kerugian tersebut merupakan akibat kelalaian bidan.
Di dalam transaksi teraputik ada beberapa macam tanggung gugat, antara lain:
1). Contractual liability
Tanggung gugat ini timbul sebagai akibat tidak dipenuhinya kewajiban dari hubungan kontraktual yang sudah disepakati. Di lapangan kewajiban yang harus dilaksanakan adalah daya upaya maksimal, bukan keberhasilan, karena health care provider baik tenaga kesehatan maupun rumah sakit hanya bertanggung jawab atas pelayanan kesehatan yang tidak sesuai standar profesi/standar pelayanan.
2). Vicarius liability
Vicarius liability atau respondeat superior ialah tanggung gugat yang timbul atas kesalahan yang dibuat oleh tenaga kesehatan yang ada dalam tanggung jawabnya (sub ordinate), misalnya rumah sakit akan bertanggung gugat atas kerugian pasien yang diakibatkan kelalaian bidan sebagai karyawannya.
3). Liability in tort
Liability in tort adalah tanggung gugat atas perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad). Perbuatan melawan hukum tidak terbatas hanya perbuatan yang melawan hukum, kewajiban hukum baik terhadap diri sendiri maupun terhadap orang lain, akan tetapi termasuk juga yang berlawanan dengan kesusilaan atau berlawanan dengan ketelitian yang patut dilakukan dalam pergaulan hidup terhadap orang lain atau benda orang lain (Hogeraad 31 Januari 1919).
3. Upaya Pencegahan Malpraktek Dalam Pelayanan Kesehatan
Dengan adanya kecenderungan masyarakat untuk menggugat bidan karena adanya mal praktek diharapkan para bidan dalam menjalankan tugasnya selalu bertindak hati-hati, yakni:
1). Tidak menjanjikan atau memberi garansi akan keberhasilan upayanya, karena perjanjian berbentuk daya upaya (inspaning verbintenis) bukan perjanjian akan berhasil (resultaat verbintenis).
2). Sebelum melakukan intervensi agar selalu dilakukan informed consent.
3). Mencatat semua tindakan yang dilakukan dalam rekam medis.
4). Apabila terjadi keragu-raguan, konsultasikan kepada senior atau dokter.
5). Memperlakukan pasien secara manusiawi dengan memperhatikan segala kebutuhannya.
6).Menjalin komunikasi yang baik dengan pasien, keluarga dan masyarakat sekitarnya.
4. Upaya Menghadapi Tuntutan Hukum
Apabila upaya kesehatan yang dilakukan kepada pasien tidak memuaskan sehingga bidan menghadapi tuntutan hukum, maka bidan seharusnyalah bersifat pasif dan pasien atau keluarganyalah yang aktif membuktikan kelalaian bidan.
Apabila tuduhan kepada bidan merupakan criminal malpractice, maka bidan dapat melakukan :
1) Informal defence
Dengan mengajukan bukti untuk menangkis/menyangkal bahwa tuduhan yang diajukan tidak berdasar atau tidak menunjuk pada doktrin-doktrin yang ada, misalnya bidan mengajukan bukti bahwa yang terjadi bukan disengaja, akan tetapi merupakan risiko medik (risk of treatment), atau mengajukan alasan bahwa dirinya tidak mempunyai sikap batin (men rea) sebagaimana disyaratkan dalam perumusan delik yang dituduhkan.
2) Formal/legal defence
Yakni melakukan pembelaan dengan mengajukan atau menunjuk pada doktrin-doktrin hukum, yakni dengan menyangkal tuntutan dengan cara menolak unsur-unsur pertanggung jawaban atau melakukan pembelaan untuk membebaskan diri dari pertanggung jawaban, dengan mengajukan bukti bahwa yang dilakukan adalah pengaruh daya paksa.
Berbicara mengenai pembelaan, ada baiknya bidan menggunakan jasa penasehat hukum, sehingga yang sifatnya teknis pembelaan diserahkan kepadanya. Pada perkara perdata dalam tuduhan civil malpractice dimana bidan digugat membayar ganti rugi sejumlah uang, yang dilakukan adalah mementahkan dalil-dalil penggugat, karena dalam peradilan perdata, pihak yang mendalilkan harus membuktikan di pengadilan, dengan perkataan lain pasien atau pengacaranya harus membuktikan dalil sebagai dasar gugatan bahwa tergugat (bidan) bertanggung jawab atas derita (damage) yang dialami penggugat.
Untuk membuktikan adanya civil malpractice tidaklah mudah, utamanya tidak diketemukannya fakta yang dapat berbicara sendiri (res ipsa loquitur), apalagi untuk membuktikan adanya tindakan menterlantarkan kewajiban (dereliction of duty) dan adanya hubungan langsung antara menterlantarkan kewajiban dengan adanya rusaknya kesehatan (damage), sedangkan yang harus membuktikan adalah orang-orang awam dibidang kesehatan dan hal inilah yang menguntungkan bidan.
DAFTAR PUSTAKA
Ameln,F. 1991. Kapita Selekta Hukum Kedokteran. Grafikatama Jaya: Jakarta.
Dahlan, S. 2002. Hukum Kesehatan: Badan Penerbit Universitas Diponegoro. Semarang.
Guwandi, J. 1993. Malpraktek Medik: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.
www.panglimaw1.blogspot.com. Diakses 1 April 2011.
http://bidankita.com
Syukur alhamdulillah penulis ucapkan ke hadirat Illahi Rabbi, yang telah memberikan berjuta-juta kenikmatan, baik rohani maupun jasmani, sehingga penulis dapat mengemban tugas dengan sebaik-baiknya.
Shalawat serta salam semoga tetap terlimpahkan kepada sang revolusioner sejati, Nabi Muhammad SAW. yang telah memberikan suri tauladan bagi umatnya untuk selalu menjalani kehidupan ini dengan menjunjung tinggi norma dan etika.
Ucapan terima kasih tak lupa penulis sampaikan kepada semua pihak yang telah mendorong dan membantu penyusunan makalah ini, baik bantuan berupa moril maupun materil, sehingga penyusunan ini bisa kami selesaikan, walaupun masih banyak kekurangan di dalamnya. Terlebih kepada Bapak …… (nama dosen) yang telah memberikan bimbingan kepada penulis dalam menjalani perkuliahan ini dengan sebaik-baiknya. Kami hanya bisa mendo'akan: jazaakumullahu ahsanal jaza'. Mudah-mudahan amal perbuatan Anda dibalas oleh Allah SWT. dengan sebaik-baik balasan. Amin
Semoga makalah yang telah penulis susun ini, bermanfaat bagi siapa saja yang haus akan ilmu, dan kehadirannya memberikan kontribusi intelektual yang berarti bagi pembentukan dan pembangunan mahasiswa Indonesia seutuhnya, cerdas dan berkompetitif.
Kritik dan saran konstruktif selalu penulis harapkan, dengan harapan apa yang akan penulis susun di kemudian hari bisa lebih maksimal dan sesuai dengan harapan bersama.
Semoga Allah SWT. meridhoi setiap langkah kita. Aamiin.
Malang, 30 Maret 20011
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
Membahas masalah etika profesi dan hukum kebidanan sangat penting bagi mahasiswa kebidanan untuk mengetahui tentang apa itu etika, apa itu moral dan bagaimana menerapkannya dalam praktik kebidanan. Sehingga dengan hal tersebut seorang bidan akan terlindung dari kegiatan pelanggaran etik/moral ataupun pelanggaran dalam hukum yang sedang berkembang di hadapan publik dan erat kaitannya dengan pelayanan kebidanan sehingga seorang bidan sebagai provider kesehatan harus kompeten dalam menyikapi dan mengambil keputusan yang tepat untuk bahan tindakan selanjutnya sesuai standar asuhan dan kewenangan bidan.
Etika juga sering dinamakan filsafat moral yaitu cabang filsafat sistematis yang membahas dan mengkaji nilai baik buruknya tindakan manusia yang dilaksanakan dengan sadar serta menyoroti kewajiban-kewajiban yang seharusnya dilakukan oleh manusia. Perbuatan yang dilakukan sesuai dengan norma moral maka akan memperoleh pujian sebagai rewardnya, namun perbuatan yang melanggar norma moral, maka si pelaku akan memperoleh celaan sebagai punishmentnya.
Istilah etik yang kita gunakan sehari-hari pada hakikatnya berkaitan dengan falsafah moral yaitu mengenai apa yang dianggap baik atau buruk di masyarakat dalam kurun waktu tertentu, sesuai dengan perubahan/perkembangan norma/nilai. Pada zaman sekarang ini etik perlu dipertahankan karena tanpa etik dan tanpa diperkuat oleh hukum, manusia yang satu dapat dianggap sebagai saingan oleh sesama yang lain. Saingan yang dalam arti lain harus dihilangkan sebagai akibat timbulnya nafsu keserakahan manusia.
Kalau tidak ada etik yang mengekang maka pihak yang satu bisa tidak segan¬segan untuk melawannya dengan segala cara. Segala cara akan ditempuh untuk menjatuhkan dan mengalahkan lawannya sekadar dapat tercapai tujuan.
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN ETIKA (KODE ETIK)
Etika merupakan bagian filosofis yang berhubungan erat dengan nilai manusia dalam menghargai suatu tindakan, apakah benar atau salah, dan penyelesaiannya baik atau tidak.
Etika diartikan "sebagai ilmu yang mempelajari kebaikan dan keburukan dalam hidup manusia khususnya perbuatan manusia yang didorong oleh kehandak dengan didasari pikiran yang jernih dengan pertimbangan perasaan".
Etik ialah suatu cabang ilmu filsafat. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa etik adalah disiplin yang mempelajari tentang baik atau buruk sikap tindakan manusia.
Menurut bahasa, Etik diartikan sebagai: dalam bahasa Yunani yaitu Ethos, kebiasaan atau tingkah laku, sedangkan dalam bahsa Inggris berarti Ethis, tingkah laku/prilaku manusia yg baik – tindakan yg harus dilaksanakan manusia sesuai dengan moral pada umumnya.
Selain itu etik juga merupakan aplikasi dari proses & teori filsafat moral terhadap kenyataan yg sebenarnya. Hal ini berhubungan dengan prinsip-prinsip dasar & konsep yg membimbing makhluk hidup dalam berpikir & bertindak serta menekankan nilai-nilai mereka.
Bagi sosiolog, etika adalah adat, kebiasaan dan perilaku orang-orang dari lingkungan budaya tertentu. Bagi praktisi profesional termasuk dokter dan tenaga kesehatan lainnya etika berarti kewajiban dan tanggung jawab memenuhi harapan (ekspekatasi) profesi dan amsyarakat, serta bertindak dengan cara-cara yang profesional, etika adalah salah satu kaidah yang menjaga terjalinnya interaksi antara pemberi dan penerima jasa profesi secara wajar, jujur, adil, profesional dan terhormat.
1. Sistematika Etika
Sebagai suatu ilmu maka etika terdiri atas berbagai macam jenis dan ragamnya antara lain:
a. Etika deskriptif, yaitu memberikan gambaran atau ilustrasi tentang tingkah laku manusia ditinjau dari nilai baik/buruk serta hal-hal yang boleh dilakukan sesuai dengan norma etis yang dianut oleh masyarakat.
b. Etika Normatif, yaitu membahas dan mengkaji ukuran baik buruk tindakan manusia, etika normatif juga dikelompokkan menjadi beberapa kelompok , sbb:
1). Etika umum, yaitu membahas hal-hal yang berhubungan dengan kondisi manusia untuk bertindak etis dalam mengambil kebijakan berdasarkan teori-teori dan prinsip-prinsip moral.
2). Etika khusus; yaitu terdiri dari Etika sosial, Etika individu dan Etika Terapan.
a) Etika sosial menekankan tanggung jawab sosial dan hubungan antar sesama manusia dalam aktivitasnya.
b) Etika individu lebih menekankan pada kewajiban-kewajiban manusia sebagai pribadi.
c) Etika terapan adalah etika yang diterapkan pada profesi.
Pada tahun 2001 ditetapkan oleh MPR-RI dengan ketetapan MPR-RI No.VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Bangsa. Etika kehidupan bangsa bersumber pada agama yang universal dan nilai-nilai luhur budaya bangsa yaitu Pancasila.
Etika kehidupan berbangsa antara lain meliputi: Etika Sosial Budaya, Etika Politik dan Pemerintahan, Etika Ekonomi dan Bisnis, Etika Penegakkan Hukum yang Berkeadilan, Etika Keilmuan, Etika Lingkungan, Etika Kedokteran dan Etika Kebidanan.
2. Kode Etik Profesi
Kode etik suatu profesi adalah berupa norma-norma yang harus diindahkan oleh setiap anggota profesi yang bersangkutan didalam melaksanakan tugas profesinya dan dalam hidupnya di masyarakat. Pada dasarnya tujuan menciptakan atau merumuskan kode etik suatu profesi adalah untuk kepentingan anggota dan kepentingan organisasi.
Secara umum tujuan menciptakan kode etik adalah sebagai berikut:
a. Untuk menjunjung tinggi martabat dan citra profesi
Dalam hal ini yang dijaga adalah image dad pihak luar atau masyarakat mencegah orang luar memandang rendah atau remeh suatu profesi. Oleh karena itu, setiap kode etik suatu profesi akan melarang berbagai bentuk tindak tanduk atau kelakuan anggota profesi yang dapat mencemarkan nama baik profesi di dunia luar. Dari segi ini kode etik juga disebut kode kehormatan.
b. Untuk menjaga dan memelihara kesejahtraan para anggota
Yang dimaksud kesejahteraan ialah kesejahteraan material dan spiritual atau mental. Dalam hal kesejahteraan materil angota profesi kode etik umumnya menerapkan larangan-larangan bagi anggotanya untuk melakukan perbuatan yang merugikan kesejahteraan. Kode etik juga menciptakan peraturan-peraturan yang ditujukan kepada pembahasan tingkah laku yang tidak pantas atau tidak jujur para anggota profesi dalam interaksinya dengan sesama anggota profesi.
c. Untuk meningkatkan pengabdian para anggota profesi
Dalam hal ini kode etik juga berisi tujuan pengabdian profesi tertentu, sehingga para anggota profesi dapat dengan mudah mengetahui tugas dan tanggung jawab pengabdian profesinya. Oleh karena itu kode etik merumuskan ketentuan-ketentuan yang perlu dilakukan oleh para anggota profesi dalam menjalankan tugasnya.
d. Untuk meningkatkan mutu profesi
Kode etik juga memuat tentang norma-norma serta anjuran agar profesi selalu berusaha untuk meningkatkan mutu profesi sesuai dengan bidang pengabdiannya. Selain itu kode etik juga mengatur bagaimana cara memelihara dan meningkatkan mutu organisasi profesi.
B. ETIKA (KODE ETIK) PROFESI KEBIDANAN
Kode etik profesi merupakan "suatu pernyataan komprehensif dari profesi yang memberikan tuntunan bagi angotanya untuk melaksanakan praktik dalam bidang profesinya baik yang berhubungan dengan klien /pasien, keluarga, masyarakat, teman sejawat, profesi dan dirinya sendin".
1. Fungsi Etika dan Moralitas Dalam Pelayanan
a. Menjaga otonomi dari setiap individu khususnya Bidan dan Klien
b. Menjaga kita untuk melakukan tindakan kebaikan dan mencegah tindakan yg merugikan/membahayakan orang lain.
c. Menjaga privacy setiap individu
d. Mengatur manusia untuk berbuat adil dan bijaksana sesuai dengan porsinya
e. Dengan etik kita mengatahui apakah suatu tindakan itu dapat diterima dan apa alasannya
f. Mengarahkan pola pikir seseorang dalam bertindak atau dalam menganalisis suatu masalah
g. Menghasilkan tindakan yg benar
h. Mendapatkan informasi tenfang hal yg sebenarnya
i. Memberikan petunjuk terhadap tingkah laku/perilaku manusia antara baik, buruk, benar atau salah sesuai dengan moral yg berlaku pada umumnya
j. Berhubungan dengans pengaturan hal-hal yg bersifat abstrak
k. Memfasilitasi proses pemecahan masalah etik serta mengatur hal-hal yang bersifat praktik
l. Mengatur tata cara pergaulan baik di dalam tata tertib masyarakat maupun tata cara di dalam organisasi profesi
m. Mengatur sikap, tindak tanduk orang dalam menjalankan tugas profesinya yg biasa disebut kode etik profesi.
2. Hak Kewajiban dan Tanggungjawab Kebidanan
Hak dan kewajiban adalah hubungan timbal balik dalam kehidupan sosial sehari-hari. Pasien memiliki hak terhadap bidan atas pelayanan yang diterimanya. Hak pasti berhubungan dengan individu, yaitu pasien.
Sedangkan bidan mempunyai kewajiban/keharusan untuk pasien, jadi hak adalah sesuatu yang diterima oleh pasien. Sedang kewajiban adalah suatu yang diberikan oleh bidan. Seharusnya juga ada hak yang harus diterima oleh bidan dan kewajiban yang harus diberikan oleh pasien.
a. Hak Pasien
Hak pasien adalah hak-hak pribadi yang dimiliki manusia sebagai pasien/klien, seperti:
- Pasien berhak memperoleh informasi mengenai tata tertib dan peraturan yang berlaku di rumah sakit atau instusi pelayanan kesehatan.
- Pasien berhak atas pelayanan yang manusiawi, adil dan jujur.
- Pasien berhak memperoleh pelayanan kebidanan sesuai dengan profesi bidan tanpa diskriminasi.
- Pasien berhak memilih bidan yang akan menolongnya sesuai dengan keinginannya.
- Pasien berhak mendapatkan informasi yang meliputi kehamilan, persalinan, nifas dan bayinya yang baru dilahirkan.
- Pasien berhak mendapat pendampingan suami atau keluarga selama proses persalinan berlangsung.
- Pasien berhak memilih dokter dan kelas perawatan seuai dengan keinginannya dan sesuai dengan peraturan yang berlaku di rumah sakit.
- Pasien berhak dirawat oleh dokter yang secara bebas menentukan pendapat kritis dan pendapat etisnya tanpa campur tangan dari pihak luar.
- Pasien berhak meminta konsultasi kepada dokter lain yang terdaftar di rumah sakit tersebut (second opinion) terhadap penyakit yang dideritanya, sepengatahuan dokter yang merawat.
- Pasien berhak meminta atas privasi dan kerahasiaan penyakit yang diderita termasuk data-data medisnya.
- Pasien berhak mendapat informasi yang meliputi:
a. Penyakit yang diderita
b. Tindakan kebidanan yang akan dilakukan
c. Alternatif terapi lainnya
d. Prognosisnya
e. Perkiraan biaya pengobatan - Pasien berhak menyetujui/memberikan izin atas tindakan yang akan dilakukan oleh dokter sehubungan dengan penyakit yang dideritanya.
- Pasien berhak menolak tindakan yang hendak dilakukan terhadap dirinya dan mengakhiri pengobatan serta perawatan atas tanggungjawab sendiri sesudah memperoleh informasi yang jelas tentang penyakitnya.
- Pasien berhak didampingi keluarganya dalam keadaan kritis.
- Pasien berhak menjalankan ibadah sesuai agama/kepercayaan yang dianutnya selama hal itu tidak mengganggu pasien lainnya.
- Pasien berhak atas keamanan dan keselamatan dirinya selama dalam perawatan di rumah sakit.
- Pasien berhak menerima/menolak bimbingan moril maupun spiritual.
- Pasien berhak mendapatkan perlindungan hukum atas terjadinya kasus mal¬praktek.
- Pasien dan keluarganya berkewajiban untuk mentaati segala peraturan dan tata tertib rumah sakit atau institusi pelayanan kesehatan.
- Pasien berkewajiban untuk mematuhi segala instruksi dokter, bidan, perawat yang merawatnya.
- Pasien atau penanggungnya berkewajiban untuk melunasi semua imbalan atas jasa pelayanan rumah sakit atau institusi pelayanan kesehatan, dokter, bidan dan perawat.
- Pasien dan atau penangggungnya berkewajiban memenuhi hal-hal yang selalu disepakati/perjanjian yang telah dibuatnya.
- Bidan berhak mendapat perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas sesuai dengan profesinya.
- Bidan berhak untuk bekerja sesuai dengan standar profesi pada setiap tingkat jenjang pelayanan kesehatan.
- Bidan berhak menolak keinginan pasien/klien dan keluarga yang bertentangan dengan peraturan perundangan dan kode etik profesi.
- Bidan berhak atas privasi dan menuntut apabila nama baiknya dicemarkan baik oleh pasien, keluarga maupun profesi lain.
- Bidan berhak atas kesempatan untuk meningkatkan diri baik melalui pendidikan maupun pelatihan.
- Bidan berhak memperoleh kesempatan untuk meningkatkan jenjang karir dan jabatan yang sesuai.
- Bidan berhak mendapat kompensasi dan kesejahteraan yang sesuai.
- Bidan wajib mematuhi peraturan rumah sakit sesuai dengan hubungan hukum antara bidan tersebut dengan rumah sakit bersalin dan sarana pelayanan tempat dia bekerja.
- Bidan wajib memberikan pelayanan asuhan kebidanan sesuai dengan standar profesi dengan menghormati hak-hak pasien.
- Bidan wajib merujuk pasien dengan penyulit kepada dokter yang mempunyai kemampuan dan keahlian sesuai dengan kebutuhan pasien.
- Bidan wajib memberi kesempatan kepada pasien untuk didampingi suami atau keluarga.
- Bidan wajib memberikan kesempatan kepada pasien untuk menjalankan ibadah sesuai dengan keyakinannya.
- Bidan wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang seorang pasien.
- Bidan wajib memberikan informasi yang akurat tentang tindakan yang akan dilakukan serta risiko yang mungkiri dapat timbul.
- Bidan wajib meminta persetujuan tertulis (informed consent) atas tindakan yang akan dilakukan.
- Bidan wajib mendokumentasikan asuhan kebidanan yang diberikan.
- Bidan wajib mengikuti perkembangan IPTEK dan menambah ilmu pengetahuannya melalui pendidikan formal atau non formal.
- Bidan wajib bekerja sama dengan profesi lain dan pihak yang terkait secara timbal balik dalam memberikan asuhan kebidanan.
C. KODE ETIK HUKUM KEBIDANAN
Malpraktek merupakan istilah yang sangat umum sifatnya dan tidak selalu berkonotasi yuridis. Secara harfiah “mal” mempunyai arti “salah”, sedangkan “praktek” mempunyai arti “pelaksanaan” atau “tindakan”, sehingga malpraktek berarti “pelaksanaan atau tindakan yang salah”. Meskipun arti harfiahnya demikian tetapi kebanyakan istilah tersebut dipergunakan untuk menyatakan adanya tindakan yang salah dalam rangka pelaksanaan suatu profesi.
Sedangkan difinisi malpraktek profesi kesehatan adalah “kelalaian dari seseorang dokter atau tenaga keperawatan (perawat dan bidan) untuk mempergunakan tingkat kepandaian dan ilmu pengetahuan dalam mengobati dan merawat pasien, yang lazim dipergunakan terhadap pasien atau orang yang terluka menurut ukuran dilingkungan yang sama” (Valentin v. La Society de Bienfaisance Mutuelle de Los Angelos, California, 1956).
Di dalam setiap profesi termasuk profesi tenaga bidan berlaku norma etika dan norma hukum. Oleh sebab itu apabila timbul dugaan adanya kesalahan praktek sudah seharusnyalah diukur atau dilihat dari sudut pandang kedua norma tersebut. Kesalahan dari sudut pandang etika disebut ethical malpractice dan dari sudut pandang hukum disebut yuridical malpractice.
Hal ini perlu dipahami mengingat dalam profesi tenaga bidan berlaku norma etika dan norma hukum, sehingga apabila ada kesalahan praktek perlu dilihat domain apa yang dilanggar. Karena antara etika dan hukum ada perbedaan-perbedaan yang mendasar menyangkut substansi, otoritas, tujuan dan sangsi, maka ukuran normatif yang dipakai untuk menentukan adanya ethica malpractice atau yuridical malpractice dengan sendirinya juga berbeda. Yang jelas tidak setiap ethical malpractice merupakan yuridical malpractice akan tetapi semua bentuk yuridical malpractice pasti merupakan ethical malpractice (Lord Chief Justice, 1893).
1. Malpraktek Dibidang Hukum
Untuk malpraktek hukum (yuridical malpractice) dibagi dalam 3 kategori sesuai bidang hukum yang dilanggar, yakni Criminal malpractice, Civil malpractice dan Administrative malpractice.
a. Criminal malpractice
Criminal malpractice adalah seseorang yang melakukan perbuatan yang mana perbuatan tersebut memenuhi rumusan delik pidana yaitu seperti positive act / negative act yang merupakan perbuatan tercela dan dilakukan dengan sikap batin yang salah yang berupa kesengajaan (intensional), kecerobohan (reklessness) atau kealpaan (negligence).
1) Criminal malpractice yang bersifat sengaja (intensional)
a) Pasal 322 KUHP, tentang Pelanggaran Wajib Simpan Rahasia Kebidanan, yang berbunyi:
• Ayat (1) Barangsiapa dengan sengaja membuka rahasia yang wajib disimpannya karena jabatan atau pencahariannya, baik yang sekarang, maupun yang dahuluj diancam dengan pidana penjara paling lama sembi Ian bulan atau denda paling banyak enam ratu rupiah.
• Ayat (2) Jika kejahatan dilakukan terhadap seorang tertentu, maka perbuatan itu hanya dapat dituntut ata pengaduan orang itu.
b) Pasal 346 sampai dengan pasal 349 KUHP, tentang Abortus Provokatus. Pasal 346 KUHP Mengatakan: Seorang wanita yang sengaja menggugurkan atau mematikan kandungannya atau menyuruh orang lain untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun.
c) Pasal 348 KUHP menyatakan:
• Ayat (1) Barangsiapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan seorang wanita dengan persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun enam bulan.
• Ayat (2) Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya wanita tersebut, dikenakan pidana penjara paling lama tujuh tahun.
d) Pasal 349 KUHP menyatakan: Jika seorang dokter, bidan atau juru obat membantu melakukan kejahatan yang tersebut pasal 346, ataupun melakukan atau membantu melakukan salah satu kejahatan yang diterangkan dalam pasal 347 dan 348, maka pidana yang ditentukan dalam pasal itu dapat ditambah dengan sepertiga dan dapat dicabut hak untuk menjalankan pencaharian dalam mana kejahatan dilakukan.
e) Pasal 351 KUHP (tentang penganiayaan), yang berbunyi:
• Ayat (1) Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau denda paling banyak tiga ratus rupiah.
• Ayat (2) Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah dikenakan pidana penjara paling lama lima tahun.
• Ayat (3) Jika mengakibatkan mati, dikenakan pidana penjara paling lama tujuh tahun.
• Ayat (4) Dengan penganiayaan disamakan sengaja merusak kesehatan.
• Ayat (5) Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana.
2) Criminal malpractice yang bersifat ceroboh (recklessness)
Criminal malpractice yang bersifat ceroboh (recklessness) misalnya melakukan tindakan medis tanpa persetujuan pasien informed consent.
a) Pasal 347 KUHP menyatakan:
• Ayat (l) Barangsiapa dengan sengaja menggugurkan dan me¬matikan kandungan seorang wanita tanpa persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.
• Ayat (2) Jika perbuatan itu menyebabkan matinya wanita tersebut, dikenakart pidana penjara paling lama lima belas tahun.
b) Pasal 349 KUHP menyatakan: Jika seorang dokter, bidan atau juru obat membantu melakukan kejahatan yang tersebut pasal 346, ataupun melakukan atau membantu melakukan salah satu kejahatan yang diterangkan dalam pasal 347 dan 348, maka pidana yang ditentukan dalam pasal itu dapat ditambah dengan sepertiga dan dapat dicabut hak untuk menjalankan pencaharian dalam mana kejahatan dilakukan.
3) Criminal malpractice yang bersifat kealpaan/lalai (negligence) misalnya kurang hati-hati melakukan proses kelahiran.
a) Pasal-pasal 359 sampai dengan 361 KUHP, pasal-pasal karena lalai menyebabkan mati atau luka-luka berat.
• Pasal 359 KUHP, karena kelalaian menyebabkan orang mati : Barangsiapa karena kealpaannya menyebabkan mati-nya orang lain, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling lama satu tahun.
• Pasal 360 KUHP, karena kelalaian menyebakan luka berat:
Ayat (1) Barangsiapa karena kealpaannya menyebakan orang lain mendapat luka-luka berat, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling lamasatu tahun.
Ayat (2) Barangsiapa karena kealpaannya menyebabkan orang lain luka-luka sedemikian rupa sehinga menimbulkan penyakit atau alangan menjalankan pekerjaan, jabatan atau pencaharian selama waktu tertentu, diancam de¬ngan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau denda paling tinggi tiga ratus rupiah.
• Pasal 361 KUHP, karena kelalaian dalam melakukan jabatan atau pekerjaan (misalnya: dokter, bidan, apoteker, sopir, masinis dan Iain-lain) apabila melalaikan peraturan-peraturan pekerjaannya hingga mengakibatkan mati atau luka berat, maka mendapat hukuman yang lebih berat pula.
• Pasal 361 KUHP menyatakan: Jika kejahatan yang diterangkan dalam bab ini di-lakukan dalam menjalankan suatu jabatan atau pencaharian, maka pidana ditambah dengan pertiga, dan yang bersalah dapat dicabut haknya untuk menjalankan pencaharian dalam mana dilakukan kejahatan dan hakim dapat memerintahkan supaya putusnya di-umumkan.
Pertanggung jawaban didepan hukum pada criminal malpractice adalah bersifat individual/personal dan oleh sebab itu tidak dapat dialihkan kepada orang lain atau kepada rumah sakit/sarana kesehatan.
b. Civil Malpractice
Seorang bidan akan disebut melakukan civil malpractice apabila tidak melaksanakan kewajiban atau tidak memberikan prestasinya sebagaimana yang telah disepakati (ingkar janji). Tindakan bidan yang dapat dikategorikan civil malpractice antara lain:
1) Tidak melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan.
2) Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan tetapi terlambat melakukannya.
3) Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan tetapi tidak sempurna.
4) Melakukan apa yang menurut kesepakatannya tidak seharusnya dilakukan.
Pertanggung jawaban civil malpractice dapat bersifat individual atau korporasi dan dapat pula dialihkan pihak lain berdasarkan principle of vicarius liability. Dengan prinsip ini maka rumah sakit/sarana kesehatan dapat bertanggung gugat atas kesalahan yang dilakukan karyawannya (bidan) selama bidan tersebut dalam rangka melaksanakan tugas kewajibannya.
c. Administrative Malpractice
Bidan dikatakan telah melakukan administrative malpractice manakala bidan tersebut telah melanggar hukum administrasi. Perlu diketahui bahwa dalam melakukan police power, pemerintah mempunyai kewenangan menerbitkan berbagai ketentuan di bidang kesehatan, misalnya tentang persyaratan bagi bidan untuk menjalankan profesinya (Surat Ijin Kerja, Surat Ijin Praktek), batas kewenangan serta kewajiban bidan.
Apabila aturan tersebut dilanggar maka tenaga kesehatan yang bersangkutan dapat dipersalahkan melanggar hukum administrasi.
2. Landasan Hukum Wewenang Bidan
Bidan adalah salah satu tenaga kesehatan. Pengaturan tenaga kesehatan ditetapkan di dalam undang-undang dan Peraturan Pemerintah. Tugas dan kewenangan bidan serta ketentuan yang berkaitan dengan kegiatan praktik bidan diatur di dalam peraturan atau Keputusan Menteri Kesehatan.
Kegiatan praktik bidan dikontrol oleh peraturan tersebut. Bidan harus dapat mempertanggungjawabkan tugas dan kegiatan yang dilakukannya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Setiap bidan memiliki tanggung jawab memelihara kemampuan profesionalnya. Oleh karena itu bidan harus selalu meningkatkan pengetahuan dan ketrampilannya dengan cara mengikuti pelatihan, pendidikan berkelanjutan, seminar, dan pertemuan ilmiah lainnya.
a. Syarat Praktik Profesional Bidan
1) Harus memiliki Surat Ijin Praktek Bidan (SIPB) baik bagi bidan yang praktik pada sarana kesehatan dan/atau perorangan Bdan Praktek Swasta (BPS).
2) Bidan yang praktik perorangan harus memenuhi persyaratan yang meliputi tempat dan ruangan praktik, tempat tidur, peralatan, obat-obatan dan kelengkapan administrasi.
3) Dalam menjalankan praktik profesionalnya harus sesuai dengan kewenangan yang diberikan, berdasarkan pendidikan dan pengalaman serta berdasarkan standar profesi.
4) Dalam menjalankan praktik profesionalnya harus menghormati hak pasien, memperhatikan kewajiban bidan, merujuk kasus yang tidak dapat ditangani, meminta persetujuan tindakan yang akan dilakukan dan melakukan medical record dengan baik.
5) Dalam menjalankan praktik profesionalnya bidan wajib melakukan pencatatan dan pelaporan.
b. Wewenang Bidan dalam Menjalankan Praktik Profesionalnya
Dalam menangani kasus seorang bidan diberi kewenangan sesuai dengan Keputusan Menteri Kesehatan Indonesia No:900/Menkes/SK/VII/2002 tentang registrasi dan praktek bidan,yang disebut dalam BAB V praktik bidan antara lain:
1). Pasal 14 : bidan dalam menjalankan prakteknya berwenang untuk memberikan pelayanan yang meliputi : (a). Pelayanan kebidanan, (b). Pelayanan keluarga berencana, dan (c). Pelayanan kesehatan masyarakat.
2). Pasal 15 :
a). Pelayanan kebidanan sebagaimana dimaksud dalam pasal 14 huruf (pelayanan kebidanan) ditujukan pada ibu dan anak.
b). Pelayanan kepada ibu diberikan pada masa pra nikah, pra hamil, masa hamil, masa bersalin, masa nifas, menyusui dan masa antara (periode interval).
c). Pelayanan kebidanan pada anak diberikan pada masa bayi baru lahir,masa bayi,masa anak balita dan masa pra sekolah.
3). Pasal 16 :
a). Pelayanan kebidanan kepada meliputi :
• Penyuluhan dan konseling
• Pemeriksaan fisik
• Pelayanan antenatal pada kehamilan normal
• Pertolongan pada kehamilan abnormal yang mencakup ibu hamil dengan abortus iminens, hiperemesis grafidarum tingkat 1, pre eklamsi ringan dan anemia ringan.
• Pertolongan persalinan normal
• Pertolongan persalinan abnormal yang mencakup letak sungsang, partus macet kepala di dasar panggul, ketuban pecah dini (KPD) tanpa infeksi, perdarahan post partum, laserasi jalan lahir, distosia karena inersia uteri primer, post aterm dan preterm.
• Pelayanan ibu nifas normal
• Pelayanan ibu nifas abnormal yang mencakup retensio plasenta,renjatan dan infeksi ringan
• Pelayanan dan pengobatan pada kelainan ginekologi yang meliputi keputihan,perdarahan tidak teratur dan penundaan haid.
b). Pelayanan kebidanan kepada anak meliputi:
- Pemeriksaan bayi baru lahir
- Perawatan tali pusat
- Perawatan bayi
- Resusitasi pada bayi baru lahir
- Pemantauan tumbuh kembang anak
- Pemberian imunisasi
- Pemberian penyuluhan
4). Pasal 18 : Bidan dalam memberikan pelayanan sebagaimana dimaksud dalam pasal 16,berwenang untuk :
- Memberikan imunisasi
- Memberikan suntikan pada penyulit kehamilan dan nifas
- Mengeluarkan plasenta secara secara manual
- Bimbingan senam hamil
- Pengeluaran sisa jaringan konsepsi
- Episiotomi
- Penjahitan luka episiotomi dan luka jalan lahir sampai tingkat 2
- Amniotomi pada pembukaan serviks lebih dari 4 cm
- Pemberian infuse
- Pemberian suntikan intramuskuler uterotonika
- Kompresi bimanual
- Versi ekstrasi gemelli pada kelahiran bayi kedua dan seterusnya
- Vakum ekstraksi dengan kepala bayi di dasar panggul
- Pengendalian anemi
- Peningkatan pemeliharaan dan penggunaan air susu ibu
- Resusitasi bayi baru lahir dengan asfiksia
- Penanganan hipotermi
- Pemberian minum dengan sonde/pipet
- Pemberian obat-obatan terbatas melalui lembaran ,permintaan , obat sesuai dengan formulir IV terlampir
- Pemberian surat kelahiran dan kematian.
c. Standar Kompetensi Kebidanan
Standar kompetensi kebidanan yang berhubungan dengan anak dan imunisasi diatur dalam Undang-Undang Kesehatan No. 23 Th 1992, yaitu sbb:
1) Pasal 15
• Ayat (1): Dalam keadaan darurat sebagai upaya untuk menyclamatkan jiwaibu hamil dan atau janinnya, dapat ditakukan tindakan medis tertentu.
• Ayat (2): Tindakan medis tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat dilakukan :
a) berdasarkan indikasi medis yang mengharuskan diambilnya tindakan tersebut;
b) oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu dan dilakukan sesuai dengan tanggung jawab profesi serta berdasarkan pertimbangan tim ahli;
c) dengan persetujuan ibu hamil yang bersangkutan atau suami atau keluarganya;
d) pada sarana kesehatan tertentu.
2) Pasal 80
• Ayat (1): Barang siapa dengan sengaja melakukan tindakan medis tertentu terhadap ibu hamil yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) dan ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Dalam hal bidan didakwa telah melakukan ciminal malpractice, harus dibuktikan apakah perbuatan bidan tersebut telah memenuhi unsur tidak pidanya, yakni: apakah perbuatan (positif act atau negatif act) merupakan perbuatan yang tercela dan apakah perbuatan tersebut dilakukan dengan sikap batin (mens rea) yang salah (sengaja, ceroboh atau adanya kealpaan).
Selanjutnya apabila bidan dituduh telah melakukan kealpaan sehingga mengakibatkan pasien meninggal dunia, menderita luka, maka yang harus dibuktikan adalah adanya unsur perbuatan tercela (salah) yang dilakukan dengan sikap batin berupa alpa atau kurang hati-hati ataupun kurang praduga.
Dalam kasus atau gugatan adanya civil malpractice pembuktianya dapat dilakukan dengan dua cara yakni :
1. Cara langsung, kelalaian memakai tolok ukur adanya 4 D yakni :
a. Duty (kewajiban). Dalam hubungan perjanjian bidan dengan pasien, bidan haruslah bertindak berdasarkan:
1) Adanya indikasi medis
2) Bertindak secara hati-hati dan teliti
3) Bekerja sesuai standar profesi
4) Sudah ada informed consent.
b. Dereliction of Duty (penyimpangan dari kewajiban) Jika seorang bidan melakukan pekerjaan menyimpang dari apa yang seharusnya atau tidak melakukan apa yang seharusnya dilakukan menurut standard profesinya, maka bidan tersebut dapat dipersalahkan.
c. Direct Causation (penyebab langsung)
d. Damage (kerugian)
Bidan untuk dapat dipersalahkan haruslah ada hubungan kausal (langsung) antara penyebab (causal) dan kerugian (damage)yang diderita oleh karenanya dan tidak ada peristiwa atau tindakan sela diantaranya., dan hal ini haruslah dibuktikan dengan jelas. Hasil (outcome) negatif tidak dapat sebagai dasar menyalahkan bidan. Sebagai adagium dalam ilmu pengetahuan hukum, maka pembuktiannya adanya kesalahan dibebankan/harus diberikan oleh si penggugat (pasien).
2. Cara tidak langsung
Cara tidak langsung merupakan cara pembuktian yang mudah bagi pasien, yakni dengan mengajukan fakta-fakta yang diderita olehnya sebagai hasil layanan (doktrin res ipsa loquitur). Doktrin res ipsa loquitur dapat diterapkan apabila fakta-fakta yang ada memenuhi kriteria:
a. Fakta tidak mungkin ada/terjadi apabila bidan tidak lalai
b. Fakta itu terjadi memang berada dalam tanggung jawab bidan
c. Fakta itu terjadi tanpa ada kontribusi dari pasien dengan perkataan lain tidak ada contributory negligence.
Tidak setiap upaya kesehatan selalu dapat memberikan kepuasan kepada pasien baik berupa kecacatan atau bahkan kematian. Malapetaka seperti ini tidak mungkin dapat dihindari sama sekali. Yang perlu dikaji apakah malapetaka tersebut merupakan akibat kesalahan bidan atau merupakan resiko tindakan, untuk selanjutnya siapa yang harus bertanggung gugat apabila kerugian tersebut merupakan akibat kelalaian bidan.
Di dalam transaksi teraputik ada beberapa macam tanggung gugat, antara lain:
1). Contractual liability
Tanggung gugat ini timbul sebagai akibat tidak dipenuhinya kewajiban dari hubungan kontraktual yang sudah disepakati. Di lapangan kewajiban yang harus dilaksanakan adalah daya upaya maksimal, bukan keberhasilan, karena health care provider baik tenaga kesehatan maupun rumah sakit hanya bertanggung jawab atas pelayanan kesehatan yang tidak sesuai standar profesi/standar pelayanan.
2). Vicarius liability
Vicarius liability atau respondeat superior ialah tanggung gugat yang timbul atas kesalahan yang dibuat oleh tenaga kesehatan yang ada dalam tanggung jawabnya (sub ordinate), misalnya rumah sakit akan bertanggung gugat atas kerugian pasien yang diakibatkan kelalaian bidan sebagai karyawannya.
3). Liability in tort
Liability in tort adalah tanggung gugat atas perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad). Perbuatan melawan hukum tidak terbatas hanya perbuatan yang melawan hukum, kewajiban hukum baik terhadap diri sendiri maupun terhadap orang lain, akan tetapi termasuk juga yang berlawanan dengan kesusilaan atau berlawanan dengan ketelitian yang patut dilakukan dalam pergaulan hidup terhadap orang lain atau benda orang lain (Hogeraad 31 Januari 1919).
3. Upaya Pencegahan Malpraktek Dalam Pelayanan Kesehatan
Dengan adanya kecenderungan masyarakat untuk menggugat bidan karena adanya mal praktek diharapkan para bidan dalam menjalankan tugasnya selalu bertindak hati-hati, yakni:
1). Tidak menjanjikan atau memberi garansi akan keberhasilan upayanya, karena perjanjian berbentuk daya upaya (inspaning verbintenis) bukan perjanjian akan berhasil (resultaat verbintenis).
2). Sebelum melakukan intervensi agar selalu dilakukan informed consent.
3). Mencatat semua tindakan yang dilakukan dalam rekam medis.
4). Apabila terjadi keragu-raguan, konsultasikan kepada senior atau dokter.
5). Memperlakukan pasien secara manusiawi dengan memperhatikan segala kebutuhannya.
6).Menjalin komunikasi yang baik dengan pasien, keluarga dan masyarakat sekitarnya.
4. Upaya Menghadapi Tuntutan Hukum
Apabila upaya kesehatan yang dilakukan kepada pasien tidak memuaskan sehingga bidan menghadapi tuntutan hukum, maka bidan seharusnyalah bersifat pasif dan pasien atau keluarganyalah yang aktif membuktikan kelalaian bidan.
Apabila tuduhan kepada bidan merupakan criminal malpractice, maka bidan dapat melakukan :
1) Informal defence
Dengan mengajukan bukti untuk menangkis/menyangkal bahwa tuduhan yang diajukan tidak berdasar atau tidak menunjuk pada doktrin-doktrin yang ada, misalnya bidan mengajukan bukti bahwa yang terjadi bukan disengaja, akan tetapi merupakan risiko medik (risk of treatment), atau mengajukan alasan bahwa dirinya tidak mempunyai sikap batin (men rea) sebagaimana disyaratkan dalam perumusan delik yang dituduhkan.
2) Formal/legal defence
Yakni melakukan pembelaan dengan mengajukan atau menunjuk pada doktrin-doktrin hukum, yakni dengan menyangkal tuntutan dengan cara menolak unsur-unsur pertanggung jawaban atau melakukan pembelaan untuk membebaskan diri dari pertanggung jawaban, dengan mengajukan bukti bahwa yang dilakukan adalah pengaruh daya paksa.
Berbicara mengenai pembelaan, ada baiknya bidan menggunakan jasa penasehat hukum, sehingga yang sifatnya teknis pembelaan diserahkan kepadanya. Pada perkara perdata dalam tuduhan civil malpractice dimana bidan digugat membayar ganti rugi sejumlah uang, yang dilakukan adalah mementahkan dalil-dalil penggugat, karena dalam peradilan perdata, pihak yang mendalilkan harus membuktikan di pengadilan, dengan perkataan lain pasien atau pengacaranya harus membuktikan dalil sebagai dasar gugatan bahwa tergugat (bidan) bertanggung jawab atas derita (damage) yang dialami penggugat.
Untuk membuktikan adanya civil malpractice tidaklah mudah, utamanya tidak diketemukannya fakta yang dapat berbicara sendiri (res ipsa loquitur), apalagi untuk membuktikan adanya tindakan menterlantarkan kewajiban (dereliction of duty) dan adanya hubungan langsung antara menterlantarkan kewajiban dengan adanya rusaknya kesehatan (damage), sedangkan yang harus membuktikan adalah orang-orang awam dibidang kesehatan dan hal inilah yang menguntungkan bidan.
DAFTAR PUSTAKA
Ameln,F. 1991. Kapita Selekta Hukum Kedokteran. Grafikatama Jaya: Jakarta.
Dahlan, S. 2002. Hukum Kesehatan: Badan Penerbit Universitas Diponegoro. Semarang.
Guwandi, J. 1993. Malpraktek Medik: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.
www.panglimaw1.blogspot.com. Diakses 1 April 2011.
http://bidankita.com