pembiayaan dana untuk kesehatan

BAB1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Kesehatan adalah unsur vital dan merupakan elemen konstitutif dalam proses kehidupan seseorang. Tanpa kesehatan, tidak mungkin bisa berlangsung aktivitas seperti biasa. Dalam kehidupan berbangsa, pembangunan kesehatan sesungguhnya bernilai sangat investatif. Nilai investasinya terletak pada tersedianya sumber daya yang senatiasa “siap pakai” dan tetap terhindar dari serangan berbagai penyakit. Namun, masih banyak orang menyepelekan hal ini. Negara, pada beberapa kasus, juga demikian.
Sebagai subsistem penting dalam penyelenggaraan pembanguan kesehatan, terdapat beberapa faktor penting dalam pembiayaan kesehatan yang mesti diperhatikan. Pertama, besaran (kuantitas) anggaran pembangunan kesehatan yang disediakan pemerintah maupun sumbangan sektor swasta. Kedua, tingkat efektifitas dan efisiensi penggunaan (fungsionalisasi) dari anggaran yang ada. Di Negara kita, proporsi anggaran pembangunan kesehatan tidak pernah mencapai angka dua digit dibanding dengan total APBN/APBD.
Padahal, Badan Kesehatan Dunia (WHO) jauh-jauh hari telah menstandarkan anggaran pembangunan kesehatan suatu Negara pada kisaran minimal 5% dari GDP (Gross Domestic Product/Pendapatan Domestik Bruto). Pada tahun 2003, pertemuan para Bupati/Walikota se-Indonesia di Blitar telah juga menyepakati komitmen besarnya anggaran pembangunan kesehatan di daerah-daerah sebesar 15% dari APBD. Kenyataannya, Indonesia hanya mampu mematok anggaran kesehatan sebesar 2,4% dari GDP, atau sekitar 2,2-2,5% dari APBN.

1.2 Tujuan
Mahasiswa diharapkan dapat mengerti dan memahami teori yang telah didapat selama proses belajar mengajar sehingga dapat menerapkan secara nyata sesuai tugas dan wewenang Bidan tentang penatalaksanaan masalah yg didapat sehingga dapat dijadikan bekal dalam memberikan wawasan yang bermanfaat kemudian hari.
BABII
PEMBAHASAN
2.1 Pembiayaan Kesehatan Berperan Penting Dalam Pembangunan Kesehatan
Pembiayaan kesehatan yang kuat, stabil dan berkesinambungan memegang peranan yang amat vital untuk penyelenggaraan pelayanan kesehatan dalam rangka mencapai berbagai tujuan penting dari pembangunan kesehatan di suatu negara diantaranya adalah pemerataan pelayanankesehatan dan akses (equitable access to health care) dan pelayanan yang berkualitas (assured quality) . Oleh karena itu reformasi kebijakan kesehatan di suatu negara seyogyanya memberikan fokus penting kepada kebijakan pembiayaan kesehatan untuk menjamin terselenggaranya kecukupan (adequacy), pemerataan (equity), efisiensi (efficiency) dan efektifitas (effectiveness) dari pembiayaan kesehatan itu sendiri. Perencanaan dan pengaturan pembiayaan kesehatan yang memadai (health care financing) akan menolong pemerintah di suatu negara untuk dapat memobilisasi sumber-sumber pembiayaan kesehatan, mengalokasikannya secara rasional serta menggunakannya secara efisien dan efektif. Kebijakan pembiayaan kesehatan yang mengutamakan pemerataan serta berpihak kepada masyarakat miskin (equitable and pro poor health policy) akan mendorong tercapainya akses yang universal. Pada aspek yang lebih luas diyakini bahwa pembiayaan kesehatan mempunyai kontribusi pada perkembangan sosial dan ekonomi. Pelayanan kesehatan itu sendiri pada akhir-akhir ini menjadi amat mahal baik pada negara maju maupun pada negara berkembang. Penggunaan yang berlebihan dari pelayanan kesehatan dengan teknologi tinggi adalah salah satu penyebab utamanya. Penyebab yang lain adalah dominasi pembiayaan pelayanan kesehatan dengan mekanisme pembayaran tunai (fee for service) dan lemahnya kemampuan dalam penatalaksanaan sumber-sumber dan pelayanan itu sendiri (poor management of resources and services).
Meskipun tiap-tiap negara mempunyai perbedaan dalam reformasi pembiayaan kesehatannya bergantung dari isu-isu dan tantangannya sendiri, akan tetapi pada dasarnya dalam banyak hal karakteristiknya sama karena kesemua hal itu diarahkan untuk mendukung pencapaian tujuan pembangunan kesehatan nasional, regional dan internasional. Organisasi kesehatan se-dunia (WHO) sendiri memberi fokus strategi pembiayaan kesehatan yang memuat isu-isu pokok, tantangan, tujuan utama kebijakan dan program aksi itu pada umumnya adalah dalam area sebagai berikut: 1) meningkatkan investasi dan pembelanjaan publik dalam bidang kesehatan, 2) mengupayakan pencapaian kepesertaan semesta dan penguatan permeliharaan kesehatan masyarakat miskin, 3) pengembangan skema pembiayaan praupaya termasuk didalamnya asuransi kesehatan sosial (SHI), 4) penggalian dukungan nasional dan internasional, 5) penguatan kerangka regulasi dan intervensi fungsional, 6) pengembangan kebijakan pembiayaan kesehatan yang didasarkan pada data dan fakta ilmiah, serta 7) pemantauan dan evaluasi.
Implementasi strategi pembiayaan kesehatan di suatu negara diarahkan kepada beberapa hal pokok yakni; kesinambungan pembiayaan program kesehatan prioritas, reduksi pembiayaan kesehatan secara tunai perorangan (out of pocket funding), menghilangkan hambatan biaya untuk mendapatkan pelayanan kesehatan, pemerataan dalam akses pelayanan, peningkatan efisiensi dan efektifitas alokasi sumber daya (resources) serta kualitas pelayanan yang memadai dan dapat diterima pengguna jasa.
Sejalan dengan itu, dalam rencana strategik Depkes 2005-2009 secara jelas disebutkan bahwa meningkatkan pembiayaan kesehatan merupakan salah satu dari empat strategi utama departemen kesehatan disamping menggerakkan dan memberdayakan masyarakat untuk hidup sehat, meningkatkan akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan yang berkualitas serta meningkatkan sistem surveilans, moitoring dan informasi kesehatan. Strategi utama itu dijabarkan dalam 17 sasaran pembangunan. Selanjutnya sasaran dari strategi utama meningkatkan pembiayaan kesehatan itu adalah; 1) pembangunan kesehatan mendapatkan penganggaran yang memadai oleh pemerintah pusat dan daerah (sararan 15), 2) anggaran kesehatan pemerintah lebih diutamakan untuk pencegahan dan promosi kesehatan (sasaran 16) dan 3) terciptanya sistem jaminan pembiayaan kesehatan terutama bagi masyarakat miskin (sasaran 17).
Tujuan pembiayaan kesehatan adalah tersedianya pembiayaan kesehatan dengan jumlah yang mencukupi, teralokasi secara adil dan termanfaatkan secara berhasil-guna dan berdaya-guna, untuk menjamin terselenggaranya pembangunan kesehatan guna meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya
Kecenderungan meningkatnya biaya pemeliharaan kesehatan menyulitkan akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan yang dibutuhkannya. Keadaan ini terjadi terutama pada keadaan dimana pembiayaannya harus ditanggung sendiri ("out of pocket") dalam sistim tunai ("fee for service"). Kenaikan biaya kesehatan terjadi akibat penerapan teknologi canggih, karakter ‘supply induced demand’ dalam pelayanan kesehatan, pola pembayaran tunai langsung ke pemberi pelayanan kesehatan, pola penyakit kronik dan degeneratif, serta inflasi. Kenaikan biaya pemeliharaan kesehatan itu semakin sulit diatasi oleh kemampuan penyediaan dana pemerintah maupun masyarakat. Peningkatan biaya itu mengancam akses dan mutu pelayanan kesehatan dan karenanya harus dicari solusi untuk mengatasi masalah pembiayaan kesehatan ini.
Solusi masalah pembiayaan kesehatan mengarah pada peningkatan pendanaan kesehatan agar melebihi 5% PDB sesuai rekomendasi WHO, dengan pendanaan pemerintah yang terarah untuk kegiatan public health seperti pemberantasan penyakit menular dan penyehatan lingkungan, promosi kesehatan serta pemeliharaan kesehatan penduduk miskin. Sedangkan pendanaan masyarakat harus diefisiensikan dengan pendanaan gotong-royong untuk berbagi risiko gangguan kesehatan, dalam bentuk jaminan kesehatan.
Pokok utama dalam pembiayaan kesehatan adalah:
a. Mengupayakan kecukupan/adekuasi dan kesinambungan pembiayaan kesehatan pada tingkat pusat dan daerah .
b. Mengupayakan pengurangan pembiayaan OOP dan meniadakan hambatan pembiayaan untuk mendapatkan pelayanan kesehatan terutama kelompok miskin dan rentan melalui pengembangan jaminan
c. Peningkatan efisiensi dan efektifitas pembiayaan kesehatan. Pengembangan jaminan kesehatan dilakukan dengan beberapa skema sebagai berikut:
1. Pengembangan jaminan pemeliharaan kesehatan keluarga miskin (JPK-Gakin).
2. Pengembangan Jaminan Kesehatan (JK) sebagai bagian dari Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN)
3. Pengembangan jaminan kesehatan berbasis sukarela:
a) Asuransi kesehatan komersial
b) Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat (JPKM) sukarela
4. Pengembangan jaminan kesehatan sektor informal:
a) Jaminan kesehatan mikro (dana sehat)
b) Dana sosial masyarakat
2.2 Berbagai Pilihan
Dengan memperhatikan model-model yang dianut banyak negara, misalnya, model asuransi kesehatan komersil (AS) atau National Health Service/NHS model Inggris, Indonesia sebenarnya pernah menetapkan pilihan, yaitu ketika tahun 1968 melancarkan program asuransi kesehatan bagi pegawai negeri dan penerima pensiun, diprakarsai Menteri Kesehatan saat itu – Prof GA Siwabessi- melalui Keputusan Presiden No 230/1968 itu (nantinya) diharapkan menjadi “embrio” asuransi kesehatan semesta/nasional yang diberlakukan bagi seluruh penduduk.
Model ini mirip “Bismarek model”, diberlakukan di Jerman tahun 1882, yang di dalam khasanah ekonomi kesehatan dikenal sebagai asuransi kesehatan sosial. Namun, setelah itu, sampai sekarang, perkembangannya sangat lamban. Berbagai upaya, dengan memperkenalkan berbagai konsep untuk memperluas cakupan program, sejauh ini belum menampakkan hasil yang menggembirakan, baik dalam bentuk konsep Dana Upaya Kesehatan Masyarakat (DUKM) atau Jaminan Pemeliharaan Kesehatan (JPK) yang diprakarsai Departemen Kesehatan ataupun Jaminan Pemeliharaan Tenaga Kerja (JPTK) yang merupakan bagian program Jamsostek. Cakupan seluruh program itu, baru mencapai sekitar 13 persen penduduk, dimana peserta yang terbesar adalah peserta PT Askes Indonesia (sekitar 14 juta orang).%0A.
Kini, dengan semakin meningkatnya biaya pelayanan kesehatan, ada kebutuhan makin mendesak, untuk segera memiliki suatu sistem jaminan pemeliharaan kesehatan, yang dapat mencakup seluruh penduduk Indonesia, meski pelaksanaannya harus bertahap. Hal ini perlu guna mengantisipasi era globalisasi, di mana keterbukaan kita atas pasar komoditas kesehatan juga makin terbuka, sehingga ada kebutuhan untuk melindungi rakyat dari praktik kedokteran yang mungkin hanya akan mengeruk kantung kita. Model apa yang layak dan dapat mempercepat cakupan program jaminan pemeliharaan kesehatan-kesehatan?
Dari berbagai model yang telah dikembangkan di berbagai negara, “Bismarek” model (asuransi kesehatan sosial), agaknya lebih mendekati kebutuhan untuk mengejar ketertinggalan kita di bidang ini, karena model ini ternyata mampu mencapai cakupan 100 persen penduduk di banyak negara. Hal ini juga mempertimbangkan kelayakan model ini, yang ternyata telah diberlakukan di banyak negara, khususnya di Eropa (selain Inggris), Asia (Jepang, Korea, Taiwan, dan lain sebagainya). Dalam kaitan ini, ada prinsip-prinsip universal yang perlu memperoleh perhatian.
2.3 Prinsip-prinsip Universal
Prinsip-prinsip Universal itu adalah : Pertama, kepesertaan bersifat wajib, terhadap penduduk sesuai perundangan. Jerman dan Jepang memulai dari kelompok tenaga kerja tertentu, untuk kemudian berkembang ke kelompok-kelompok lain sampai tenaga kerja nonformal dan mencapai 100 persen penduduk. Korea Selatan memulai dari sektor formal dengan jumlah tenaga kerja yang besar (500 tenaga kerja) untuk secara bertahap menurun, 400, 300, 200, 100 dan kahirnya mencakup kelompok nonformal. Korea mencapai cakupan kepesertaan 100 persen penduduk hanya dalam waktu beberapa tahun, karena kuatnya political will dari pemerintah (Dekrit Presiden, 1976).
Kedua, iuran ditanggung bersama, ditetapkan secara proporsional, sesuai tingkat pendapatan, antara pemberi kerja dan penerima kerja. Pendekatan seperti ini, sebenarnya mengantisipasi perkembangan masa-depan, di mana biaya pelayanan kesehatan akan menjadi amat mahal, sehingga tidak mampu ditanggung penerima kerja (sendiri) atau pemberi kerja (sendiri). “Kekeliruan” dalam sistem pembiayaan yang telah kita laksanakan adalah, di dalam pembiayaan kesehatan Askes seluruh iuran ditanggung penerima kerja, sedang pada Jamsostek seluruhnya ditanggung pemberi kerja. Untuk Askes, telah dilakukan perubahan, di mana pemberi kerja (pemerintah) harus ikut memberi iuran dan subsidi, namun belum terlaksana (UU No 43/1999).
Ketiga, jenis santunan/benefit package berupa pelayanan kesehatan, sesuai kebutuhan medis. Ruang lingkupnya ditetapkan berdasar peraturan (pemerintah). Badan penyelenggara akan membangun sebuah sistem pembiayaan dan pelayanan kesehatan, untuk dapat memperoleh tingkat efisiensi yang tinggi, yang kini sering dikenal sebagai Managed healtheare concept.
Keempat, kegotongroyongan di antara peserta, dengan demikian amat lengkap. Antara kaya miskin, tua muda, sehat sakit, bahkan yang memiliki resiko sakit tinggi dan rendah. Kegotongroyongan seperti ini sesuai dengan sifat pelayanan kesehatan itu sendiri, yang selayaknya bobot wajah sosial masih dapat dipertahankan.
Kelima, berdasar studi perbandingan di banyak negara, negara-negara yang menganut prinsip ini, ternyata juga membelanjakan biaya kesehatan yang lebih rendah dibanding negara yang menganut prinsip asuransi kesehatan komersial. Jepang hanya membelanjakan sekitar 50 persen biaya kesehatan dibanding AS. Demikian juga peningkatan pembiayaan kesehatan setiap tahunnya, AS lebih tinggi dibanding Jepang.
Keenam, badan penyelenggara juga harus bersifat not for profit, sehingga lebih menguntungkan peserta. Sisa hasil usaha diperuntukkan bagi peningkatan pelayanan kesehatan, misalnya, pembangunan sarana kesehatan. Dengan luasnya kepesertaan dalam sisetm ini, badan penyelenggara juga memperoleh peluang menikmati harga komoditas kesehatan, misalnya obat-obatan dengan harga lebih murah. Dampaknya, tentu amat luas pada ekonomi kesehatan.
Demikianlah, prinsip-prinsip universal dalam asuransi kesehatan sosial yang banyak dianut. Satu hal yang perlu ditegaskan, dalam prinsip asuransi sosial, sudah tentu pemerintah banyak berperanan, khususnya di dalam regulasi dan dorongan politis.
BABIII
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dengan meningkatkan biaya pelayanan kesehatan yang makin tidak terkendali serta mengantisipasi perkembangan industri RS yang cenderung mengikuti mekanisme pasar, maka pilihan yang tepat untuk pembiayaan kesehatan adalah asuransi kesehatan namun demikian mengingat kondisi ekonomi negara dan masyarakat, serta keterbatasan sumber daya yang ada, perlu dikembangkan pilihan asuransi kesehatan dengan suatu pendekatan yang efisien, efektif dan berkualitas agar dapat menjangkau masyarakat luas.
Untuk itu sudah saatnya di kembangkan asuransi kesehatan nasional dengan managed care sebagai bentuk operasionalnya. Dengan cakupan asuransi yang akan semakin luas maka akan diperlukan pula jaringan pelayanan (RS) yang semakin luas pula.
Tuntutan terhadap pelayanan yang berkualitas baik terhadap penyelenggara asuransi kesehatan maupun penyelenggaraa pelayanan kesehatan akan semakin meningkat, demikian pula dalam kerjasama bisnisnya, keduanya mempunyai keterikatan dan ketergantungan yang tinggi, maka keduanya harus senantiasa meningkatkan performansinya secara terus menerus, terlebih lagi dalam rangka menghadapi pesaing dari luar.
Upaya peningkatan yang berkesinambungan tidak hanya menjadi tanggung jawab pemberi pelayanan kesehatan saja tetapi juga bagi penyelenggara asuransi. Dan benchmarking sebagai salah satu metoda untuk peningkatannya perlu pula dilaksanakan oleh perusahaan asuransi.
3.2 Kritik dan Saran
Penulis mohon maaf bila pada penulisan makalah ini masih sangat jauh dari kesempurnaan. Maka dari itu penulis mohon kritik dan saran dari pembaca guna untuk membangun kesempurnaan makalah ini.

DAFTAR PUSTAKA
http://www.jpkm-online.net/index.php?option=com_content&task=view&id=22&Itemid=612002© Direktori - Departemen Kesehatan RI. Dikelola oleh Pusat Pembiayaan dan Jaminan Kesehatan Website oleh Penta Software Indonesia

 

Link Kesehatan Copyright © 2011-2012 | Powered by Blogger