BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Usaha-usaha
menurunkan angka kematian maternal dan angka kematian perinatal masih menjadi
prioritas utama program Departemen Kesehatan RI,penyebab utama kematian
maternal masih disebabkan oleh tiga hal pokok yaitu perdarahan,
pereklamsi/ekiamsi, dan infeksi. Walaupun angka kematian maternal telah menurun
dengan meningkatnya pelayanan kesehatan obstetri namun kematian ibu akibat
perdarahan masih tetap merupakan faktor utama dalam kematian maternal.
Perdarahan dapat terjadi
baik selama kehamilan, persalinan maupun masa nifas. Prognosis dan
penatalaksanaan kasus perdarahan selama kehamilan dipengaruhi oleh umur
kehamilan, banyaknya perdarahan, keadaan fetus dan sebab dan perdarahan.
Dalam
tulisan ini hanya dibahas perdarahan selama kehamilan, setiap perdarahan selama
kehamilan harus dianggap sebagai keadaan akut dan senus serta berisiko tinggi
karena dapat membahayakan ibu dan janin.
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1 PERDARAHAN PADA TRIMESTER I
Sekitar
20% wanita hamil pernah mengalami perdarahan pada awal kehamilan dan separuhnya
mengalami abortus. Abortus ialah ancaman/pengeluaran hasil konsepsi sebelum
janin dapat hidup di luar kandungan; sebagai batasan umur kehamilan kurang dari
20 minggu atau berat badan anak kurang dari 500 gram. Setiap perdarahan pada
awal kehamilan terlebih dahulu harus dipikirkan berasal dari tempat pelekatan
plasenta atau permukaan choriodecidua dan dianggap mengancam kelangsungan dan
kehamilan. Anamnesis diperlukan dalam mendiagnosis perdarahan pada penyebab
perdarahan pada kehamilan trimester I sering sulit ditentukan walaupun telah
dilakukan pemeriksaan lengkap. Pemeriksaan dalam dan spekulum hendaknya
dilakukan dengan hati-hati terutama jika penyebabnya adalah karsinoma servik.
Walaupun insiden karsinoma servik dengan kehamilan sangat jarang yaitu 1 :3000.
Dalam
pemeriksaan spekulum dapat dilihat asal perdarahan, perdarahan disebabkan oleh
gangguan kehamilan jika darah berasal dari ostium uteri. Pada beberapa wanita
hamil dapat terjadi pula perdarahan dalam jumlah sedikit yang disebabkan oleh
penembusan villi khorialis ke dalam desidua saat implantasi ovum. Abortus dapat
dikatagorikan dan diagnosis banding perdarahan pada awal kehamilan harus selalu
dipikirkan.
Pemeriksaan
pènunjang yang diperlukan adalah:
1) USG untuk
menentukan apakah janin masih hidup
2) Test Kehamilan
3) Fibrinogen pada
missed abortion
Terapi
sangat tergantung dari banyaknya perdarahan dan kelangsungan hidup hasil
konsepsi. Pada abortus iminen penanganannya terdiri atas istirahat baring untuk
menambah aliran darah ke uterus dan mengurangi rangsangan mekanis. Fenobarbital
3 x 30 mg atau diazepam 3 x 2 mg dapat diberikan untuk menenangkan pasien.
Pemberian hormon atau tokolitik dapat dipertimbangkan bila hasil USG
menunjukkan janin masih hidup. Pengeluaran hasil konsepsi diindikasikan pada
abortus insipien, abortus inkomplit, missed abortion dan
abortus dengan infeksi. Pengosongan uterus dapat ditakukan dengan kuret vakum
atau cunam abortus disusul kerokan. Pada kasus dengan perdarahan berat atau
syok, resusitasi cairan hendaknya dilakukan terlebih dahulu dengan NaCl atau RL
disusul transfusi darah. Setetah syok teratasi dilakukan kuret.
Pada missed
abortion bila kadar fibrinogen rendah sebaiknya
dikoteksi terlebih dahulu.
Pengeluaran hasil konsepsi dapat diinduksi terlebih dahulu dengan pitosin drip
atau dilatasi dengan laminaria. Pengeluaran hasil konsepsi pada abortus
infeksi hendaknya dilindungi dengan antibiotika spektrum 1uas. Komplikasi
abortus biasanya anemi oleh karena perdarahan, infeksi dan perforasi karena
tindakan kuret.
2.2 Perdarahan
Pada Trimester II
Perdarahan
pada trimester II sering dihubungkan dengan adanya komplikasi lambat dalam
kehamilan, seperti partus prematurus imminen, pertumbuhan janin yang terlambat,
dan solusio plasenta. Dapat juga perdarahan disebabkan oieh mola
hidatidosa dan inkompetensi
sevik. Pemeriksaan obstetri lengkap dan USG perlu dikerjakan pada setiap
perdarahan trimester II. Pada USG dapat dipantau pertumbuhan dan keadaan bayi
dalam kandungan. Pasien dengan perdarahan trimester II memerlukan pemeriksaan
rutin spesialistik, dan karditokografi dapat diindikasikan pada kehamilan
trimester III. Penanganan perdarahan yang disebabkan partus prematurus imminen
berupa istirahat baring, pemberian tokolitik dan pe-
nanganan terhadap faktor
risiko persalinan preterm. Sedangkan pada inkompetensi servik dapat dilakukan
pengikatan servik.
2.3 Perdarahan Pada
Trimester III (antepartum)
Definisi perdarahan
antepartum menurut WHO adalah perdarahan pervagina setelah 29 minggu kehamilan
atau lebih. Insidennya ± 3% dan penyebab perdarahan antepartum. Perdarahan yang
terjadi umumnya lebih berbahaya dibandingkan perdarahan pada umur kehamilan
kurang dari 28 minggu karena biasanya disebabkan faktor plasenta; perdarahan
dan plasenta biasanya hebat dan mengganggu sirkulasi O2, CO2 dan
nutrisi dari ibu ke janin. Penyebab utama perdarahan antepartum yaitu plasenta previa
dan solusio plasenta; penyebab lainnya biasanya berasal dari lesilokat pada
vagina/servik. Gambaran khas untuk membedakan plasenta previa dan solusio
plasenta. Setiap pasien perdarahan antepartum hams dikelota oleh
spesialis. Pemeriksaan dalam merupakan kontra indikasi kecuali dilakukan
di kamar operasi dengan perlindungan infus atau tranfusi darah. USG sebagai
pemeriksaan penunjang dapat dilakukan untuk membantu diagnosis. Bila
plasenta previa dapat disingkirkan dengan pemeriksaan USG dan pemeriksaan
dengan spekutum dapat menyingkirkan kelainan tokal pada servik/vagina maka
kemuñgkinan sotusio ptasenta harus dipikirkan dan dipersiapkan penanganannya
dengan seksama.
2.4 PLASENTA
PREVIA
Plasenta
previa adalah plasenta yang letaknya abnormal yaitu pada segmen bawah rahim
sehingga menutupi sebagian atau seluruh ostium uteri internum. Dikenal 4
klasifikasi dari plasenta previa:
1) Plasenta previa
totalis : - Plasenta menutupi seluruh ostium uteri internum
2) Plasenta previa
latralis : - Plasenta menutupi sebagian dan ostium uteri Intenum
3) Plasenta previa
marginalis - Tepi plasenta berada tepat pada tepi ostium uteri internum
4) Plasenta letak
rendah : - Plasenta berada 3 - 4 cm pada tepi ostium uteri internum
.
2.5 Pengelolaan
Pengelolaan
plasenta previa tergantung dari banyaknya perdarahan, umur kehamilan dan
derajat plasenta previa. Setiap ibu yang dicurigai plasenta previa hams dikirim
ke rumah sakit yang memiliki fasilitas untuk transfusi darah dan operasi.
Sebelum penderita syok, pasang infus NaCl/RL sebanyak 2 -3 kali jumlah darah
yang hilang. Jangan melakukan pemeriksaan dalam atau tampon vagina, karena akan
memperbanyak perdarahan dan menyebabkan infeksi. Bila usia kehamilan kurang 37
minggu/TBF <>
Bila
umur kehamilan 37 minggu/lebih dan TBF 2500 g maka dilakukan penanganan secara
aktif yaitu segera mengakhiri kehamilan, baik secara pervagina/perabdominal.
Persalinan pervagina diindikasikan pada plasentaprevia marginalis, plasenta
previa letak rendah dan plasenta previa lateralis dengan pembukaan 4 cm/lebih.
Pada kasus tersebut bila tidak banyak perdarahan maka dapat dilakukan pemecahan
kulit ketuban agar bagian bawah anak dapat masuk pintu atas panggul menekan
plasenta yang berdarah. Bila his tidak adekuat dapat diberikan pitosin drip.
Namun bila perdarahan tetap ada maka dilakukan seksio sesar.
Persalinan
dengan seksio sesar diindikasikan untuk plasenta previa totalis baik janin mati
atau hidup, plasenta previa lateralis dimana perbukaan <4>
2.6 SOLUSIO PLASENTA
Solusio
plasenta adalah terlepasnya plasenta yang letaknya normal pada fundus/korpus
uteri sebelum janin lahir Dalam klinik, solusio plasenta dibagi menjadi 3:
a) Ringan Bila
perdarahan kurang dan 100 - 200 ml, uterus tidak tegang, terlepasnya plasenta
<1/6,>
b) Sedang Bila
perdarahan 200 m1 uterus tegang, presyok, gawat janin, pelepasan plasenta 1/4 -
2,3 bagian, fibrinogen 120 - 150 mg %.
c) Berat Bila uterus
tegang, syok, janin telah mati, plasenta lepas 2/3 sampai se1uruhnya
Namun
demikian, sifat perdarahan pada solusio ptasenta sangat bervariasi. Perdarahan
dapat banyak, sedikit atau berulang, perdarahan dapat pula terselubung bahkan
dapat juga regresi.Gejala yang kadang ringan menyebabkan kesulitan dalam
diagnosis pasti solusio otasenta pada pemeriksaan antenatal. Pemeriksaan USG
tidak selalu memberikan gambaran yang jelas. Namun 50% pasien mempunyai tanda
dan gejala yang cukup jelas untuk didiagnosis solusio p1asenta. Pasien yang
mempunyai risiko mengalami solusio plasenta adalah : primitua, multi-paritas,
tali pusat pendek, trauma, hipertensi, pereklamsi/eklamasi, riwayat obstetri
jelek, merokok
dan riwayat perdarahan pada
trimester I dan II. Hipertensi merupakan penyebab tersering terjadinya
solusioplasenta (47%), kemungkinan solusio plasenta pada kehamilan selanjutnya
adalah 10%
2.7 Pengelolaan
Setiap
pasien yang dicurigai solusio plasenta harus dirujuk ke spesialis karena
memerlukan monitoring yang lengkap baik dalam kehamilan maupun persalinan. Bila
umur kehamilan <37>
Ø Solusio
plasenta ringan maka pengelolaan konservatif meliputi tirah baring, sedatif,
mengatasi anemia, monitoring keadaan janin dengan kardiotokografi dan USG serta
menunggu persalinan spontan.
Ø Pada
solusio plasenta sedang dan berat atau solusio plasenta ringan yang memburuk,
jika persalinan diperkirakan <> 6 jam.
Bila
umur kehamilan 37 minggu/TBF 2500 g seksio sesar diindikasikan jika persalinan
pervagina diperkirakan ber- langsung lama baik pada solusio plasenta ringan,
sedang maupun berat. Pasien dengan solusio plasenta sedang/berat, tranfusi
darah atau resusitasi
cairan hendaknya dilakukan terlebih dahulu sebelum tindakan obstetri. Ketuban
dapat segera dipecah tanpa memperdulikan apakah persalinan pervagina atau
perabdominal untuk mengurangi regangan uterus. Komplikasi solusi plasenta pada
ibu biasanya berhubungan dengan banyaknya darah yang hilang. gangguan pembekuan
darah, infeksi, gagal ginjal akut, perdarahan post partum yang disebabkan
atonia uteri atau uterus couvelaire, reaksi transfusi serta syok neurogenikoleh
karena kesakitan. Komplikasi pada janin berupa asfiksi, berat bayi lahir
rendah, prematuritas dan infeksi. Disamping itu bayi yang lahir hidup dengan
riwayat solusio plasenta mempunyai risiko 7 x lebih sering mengalami cerebral
palsy yang mungkin disebabkan anoksia dan komplikasi dan syok.
BAB
III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Semua
wanita dengan perdarahan pervagina selama kehamilan seyogyanya ditangani oleh
spesialis. Peranan USG dalam menunjang diagnosis sangat diperlukan.Pemeriksaan
Hb (hemoglobin) harus dilakukan untuk mengetahui beratnya anemi dan perdarahan
yang terjadi. Pemeriksaan fibrinogen perlu dilakukan bagi kasus missed abortion
dan solusio plasenta.Pemeriksaan spekulum berguna untuk mendeteksi adanya
kelainan lokal pada saluran genital bagian bawah. Jika dalam anamnesis,
pemeriksaan fisik dan penunjang tidak dapat ditentukan diagnosisnya, dan
perdarahan minimal maka pasien dapat dikelola sebagai pasien rawat jalan dengan
pemeriksaan antenatal biasa. Perdarahan akibat solusio plasenta berhubungan
erat dengan angka kematian bayi dan mempunyai risiko 3 kali lebih tinggi untuk
terjadinya prematuritas dan pertumbuhan janin yang terhambat.
KEPUSTAKAAN
Nardho Gunawan.
Kebijaksanaan Departemen Kesehatan RI dalam upaya menurunkan kematian maternal.
Simposium Kemajuan Pelayanan Obstetri Semarang : l3adan Penerbit UNDIP, 1993; 1-2.
Soejoenoes A. Morbiditas
maternal dan perinatal. Pelatihan Gawat Darurat Perinatal. Semarang : Badan
Penerbit UNDIP, 1991; 1-4.
Bagian Obstetri dan
Ginekologi Fakultas Kedokteran UNPAD Bandung.
Obstetri Patologi. Bandung:
Elstar offset, 1982; 110-27.