Proses Sosialisasi untuk Penderita Autisme
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Dalam
kurun waktu 10 tahun terakhir ini masalah autisme meningkat pesat di seluruh
dunia termasuk di Indonesia, padahal metode deteksi dan terapi yang ada belum
memadai. Tahun 2005 biro sensus Amerika mendata ada 475.000 penyandang autis di
Indonesia. Namun, hingga kini belum ada proses belajar mengajar yang baku bagi
anak-anak ini, bahkan mereka masih sering dipandang sebagai beban (Kompas,
2005). Kondisi pusat terapi yang ada di Indonesia belum sebanding dengan jumlah
penderita yang ada, fasilitas ruang dan perlengkapan yang tersedia pun belum
maksimal. Autis merupakan kumpulan gejala gangguan perilaku yang bervariasi
pada setiap anak.
Gangguan
perilaku dapat berupa kurangnya interaksi sosial, penghindaran kontak mata,
kesulitan dalam mengembangkan bahasa dan pengulangan tingkah laku. Handojo (2003),
menjelaskan bahwa anak autis termasuk anak yang mengalami hambatan dalam
perkembangan perilakunya, antara lain perilaku wicara dan okupasi mereka tidak
berkembang seperti anak normal. Padahal kedua jenis perilaku ini penting untuk
komunikasi dan sosialisasi. Sehingga apabila hambatan ini tidak diatasi dengan
cepat dan tepat, maka proses belajar anak-anak tersebut juga akan terhambat.
Intelegensi, emosi dan perilaku sosialnya tidak dapat berkembang dengan baik.
Gangguan
ini menyebabkan mereka tidak mampu membentuk hubungan sosial atau mengembangkan
komunikasi yang normal, sehingga mengakibatkan anak menjadi terisolasi dari
kontak manusia serta tenggelam dalam dunianya sendiri yang diekspresikan dalam
minat dan perilaku yang terpaku dan diulang-ulang. Dukungan sosial terhadap
anak autis sangat diperlukan, karena pada anak autis terdapat hambatan dalam
berinteraksi sosial, sehingga potensi yang dimilikinya mengalami hambatan untuk
berkembang. Dengan dukungan sosial ini setidak-tidaknya keluarga menjadi media
dalam membantu anak penderita autis dalam penyesuaian diri dengan lingkungan
seiring dengan rentan kehidupannya. Keterlibatan keluarga merupakan hal yang
penting dalam proses sosial penderita autisme. Dukungan sosial memberikan
peranan penting dalam setiap perkembangan kehidupan manusia. Dari hasil
penelitian dapat diketahui bahwa dukungan sosial keluarga diperlukan bagi anak
penderita autis untuk dapat membantu proses sosialisasinya.
1.2 RUMUSAN MASALAH
Apakah pengertian dan penyebab autisme?
a. Bagaimana mengenali gejala autisme
sejak dini?
b. Terapi apa saja yang dapat dilakukan
pada penderita autis?
c. Apakah dukungan sosial keluarga
mempengaruhi proses sosialisasi penderita autis?
d. Bagaimana kebijakan pendidikan bagi
penderita autis?
1.3 TUJUAN
a.
Dapat mengetahui pengertian
dan penyebab autisme.
b.
Bisa lebih memahami gejala
autisme.
c.
Mengetahui terapi-terapi
bagi penderita autis.
d.
Mampu memahami bahwa
dukungan keluarga sangat berpengaruh dalam proses sosialisasi penderita autis.
e.
Mampu mengambil langkah
dalam menentukan kebijakan pendidikan bagi penderita autis.
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1 Dukungan Sosial Keluarga Dalam Membantu Proses Sosialisasi Penderita Autisme.
Autis
berasal dari kata auto yang berarti sendiri. Penyandang autis seakan-akan hidup
di dunianya sendiri. Istilah autisme baru diperkenalkan sejak tahun
1943 oleh Leo Kanner, ahli psikiater anak di John Hopkins University.
Autisme adalah gangguan perkembangan yang kompleks, yang disebabkan oleh adanya kerusakan pada otak, sehingga mengakibatkan gangguan pada perkembangan komunikasi, perilaku, kemampuan sosialisasi, sensori dan belajar. Autisme merupakan suatu gangguan perkembangan, gangguan pemahaman atau gangguan perpasif, dan bukan suatu bentuk penyakit mental (Peeters, 2004). Autisme diklasifikasikan sebagai ketidaknormalan perkembangan neuro yang menyebabkan interaksi sosial yang tidak normal, kemampuan komunikasi, pola kesukaan, dan pola sikap. Autisme bisa terdeteksi pada anak berumur paling sedikit 1 tahun. Autisme empat kali lebih banyak menyerang anak laki-laki dari pada anak perempuan
1943 oleh Leo Kanner, ahli psikiater anak di John Hopkins University.
Autisme adalah gangguan perkembangan yang kompleks, yang disebabkan oleh adanya kerusakan pada otak, sehingga mengakibatkan gangguan pada perkembangan komunikasi, perilaku, kemampuan sosialisasi, sensori dan belajar. Autisme merupakan suatu gangguan perkembangan, gangguan pemahaman atau gangguan perpasif, dan bukan suatu bentuk penyakit mental (Peeters, 2004). Autisme diklasifikasikan sebagai ketidaknormalan perkembangan neuro yang menyebabkan interaksi sosial yang tidak normal, kemampuan komunikasi, pola kesukaan, dan pola sikap. Autisme bisa terdeteksi pada anak berumur paling sedikit 1 tahun. Autisme empat kali lebih banyak menyerang anak laki-laki dari pada anak perempuan
Penyebab
pasti autisme belum diketahui sampai saat ini. Kemungkinan besar, ada banyak
penyebab autisme, bukan hanya satu. Dahulu sempat diduga bahwa autisme
disebabkan karena cacat genetik. Namun cacat genetika tidak mungkin terjadi
dalam skala demikian besar dan dalam waktu demikian singkat. Karena itu
kemudian para peneliti sepakat bahwa ada banyak kemungkinan penyebab autisme
lainnya. Berbagai hal yang dicurigai berpotensi untuk menyebabkan autisme :
1.
Vaksin Yang Mengandung
Thimerosal :
Thimerosal adalah zat pengawet yang digunakan
di berbagai vaksin. Karena banyaknya kritikan, kini sudah banyak vaksin yang
tidak lagi menggunakan Thimerosal di negara maju. Namun, entah bagaimana halnya
di negara berkembang.
2.
Televisi :
Semakin maju suatu negara, biasanya interaksi
antara anak - orang tua semakin berkurang karena berbagai hal. Sebagai
kompensasinya, seringkali TV digunakan sebagai penghibur anak. Ternyata ada
kemungkinan bahwa TV bisa menjadi penyebab autisme pada anak, terutama yang
menjadi jarang bersosialisasi karenanya. Dampak TV tidak dapat dipungkiri
memang sangat dahsyat, tidak hanya kepada perorangan, namun bahkan kepada
masyarakat dan/atau negara. Contoh paling nyata adalah kasus pada negara
terpencil Bhutan - begitu mereka mengizinkan TV di negara mereka, jumlah dan
jenis kejahatan meningkat dengan drastis. Bisa kita bayangkan sendiri apa
dampaknya kepada anak yang masih polos. Hiperaktif ? Autisme ? Sebuah
penelitian akhirnya kini telah mengakui kemungkinan tersebut.
3.
Genetik :
Ini adalah dugaan awal dari penyebab autisme.
Autisme telah lama diketahui bisa diturunkan dari orang tua kepada
anak-anaknya. Namun tidak itu saja, juga ada kemungkinan variasi-variasi
lainnya. Salah satu contohnya adalah bagaimana anak-anak yang lahir dari ayah
yang berusia lanjut memiliki kans lebih besar untuk menderita autisme.
(walaupun sang ayah normal atau bukan autis)
4.
Makanan :
Pada tahun 1970-an, Dr. Feingold dan
kolega-koleganya menyaksikan peningkatan kasus ADHD dalam skala yang sangat
besar. Sebagai seseorang yang pernah hidup di era 20 / 30-an, dia masih ingat
bagaimana ADHD nyaris tidak ada sama sekali di zaman tersebut. Dr. Feingold
kebetulan telah mulai mengobati beberapa kasus kelainan mental sejak tahun 1940
dengan memberlakukan diet khusus kepada pasiennya, dengan hasil yang jelas dan
cenderung dalam waktu yang singkat. Terapi diet tersebut kemudian dikenal
dengan nama The Feingold Program. Pada intinya, berbagai zat kimia yang ada di
makanan modern (pengawet, pewarna, dan lain - lain) dicurigai menjadi penyebab
dari autisme pada beberapa kasus. Ketika zat-zat tersebut dihilangkan dari
makanan para penderita autisme, banyak yang kemudian mengalami peningkatan
situasi secara drastis. Dr. Feingold membayar penemuannya ini dengan cukup
mahal. Sekitar tahun 1970-an, beliau dikhianati oleh The Nutrition Foundation,
dimana Coca cola, Kraft foods, dll adalah anggotanya. Beliau tiba-tiba
diasingkan oleh AMA, dan ditolak untuk menjadi pembicara dimana-mana. Syukurlah
kemudian berbagai buku beliau bisa terbit, dan hari ini kita jadi bisa tahu
berbagai temuan-temuannya seputar bahaya makanan modern.
5.
Radiasi Pada Janin Bayi :
Sebuah riset dalam skala besar di Swedia
menunjukkan bahwa bayi yang terkena gelombang Ultrasonic berlebihan akan
cenderung menjadi kidal. Dengan makin banyaknya radiasi di sekitar kita, ada
kemungkinan radiasi juga berperan menyebabkan autisme. Tapi bagaimana menghindarinya,
saya juga kurang tahu. Yang sudah jelas mudah untuk dihindari adalah USG -
hindari jika tidak perlu.
6.
Folic Acid :
Zat ini biasa diberikan kepada wanita hamil
untuk mencegah cacat fisik pada janin. Dan hasilnya memang cukup nyata, tingkat
cacat pada janin turun sampai sebesar 30%. Namun di lain pihak, tingkat autisme
jadi meningkat. Pada saat ini penelitian masih terus berlanjut mengenai ini.
Sementara ini, yang mungkin bisa dilakukan oleh para ibu hamil adalah tetap
mengkonsumsi folic acid - namun tidak dalam dosis yang sangat besar (normalnya
wanita hamil diberikan dosis folic acid 4x lipat dari dosis normal) atau yang
lebih baik perbanyak makan buah-buahan yang kaya dengan folic acid, karena alam
bisa mencegah tanpa menyebabkan efek samping.
7.
Sekolah Lebih Awal :
Agak mengejutkan, namun ada beberapa
penelitian yang menunjukkan bahwa menyekolahkan anak lebih awal (pre school)
dapat memicu reaksi autisme. Diperkirakan, bayi yang memiliki bakat autisme
sebetulnya bisa sembuh atau membaik dengan berada dalam lingkupan orang tuanya.
Namun, karena justru dipindahkan ke lingkungan asing yang berbeda (sekolah
playgroup atau preschool), maka beberapa anak jadi mengalami shock, dan bakat
autismenya menjadi muncul dengan sangat jelas. Untuk menghindari ini, para
orang tua perlu memiliki kemampuan untuk mendeteksi bakat autisme pada anaknya
secara dini. Jika ternyata ada terdeteksi, maka mungkin masa preschool-nya
perlu dibimbing secara khusus oleh orang tua sendiri. Hal ini agar ketika masuk
masa kanak-kanak maka gejala autismenya sudah hampir lenyap; dan sang anak jadi
bisa menikmati masa kecilnya di sekolah dengan bahagia. Dan mungkin saja masih
ada banyak lagi berbagai potensi penyebab autisme yang akan ditemukan di masa
depan, sejalan dengan terus berkembangnya pengetahuan di bidang ini.
Anak-anak
penderita autisme semakin lama semakin bertambah, karena itu ada baiknya
orangtua mengenali sejak awal dan mencari tahu terapi apa yang tepat untuknya.
Bila mendapatkan terapi yang tepat, tak sedikit anak autisme yang dapat hidup
normal. Menurut profesor psikiatri anak dan ahli autis kaliber dunia dari
Universitas Nijmegen Negeri Belanda, JK Buitelaar, mendiagnosa autisme tidak
mudah dan perlu kehati-hatian tinggi. Alat deteksi autisme yang kini populer,
yaitu CHAT untuk anak di bawah 18 bulan dan DSM IV yang digunakan untuk anak di
bawah tiga tahun, masih dapat menunjukkan kesalahan yang sangat tinggi.
Kesalahan akan terjadi terutama pada anak-anak yang mengalami gangguan lain,
selain autisme, yaitu anak yang mengalami cacat intelegensia (mental retarded)
dan keterlambatan bicara. Autisme sendiri merupakan gangguan yang menyangkut
banyak aspek perkembangan anak, ada tiga kelompok dengan fungsi berbeda yang
dapat diserang, yaitu bahasa, fungsi sosial, dan perilaku repetitif. Karena
gejala autisme beragam dan si anak tetap mengalami perkembangan, maka
diagnosanya pun dapat berubah setiap waktu. Anak di bawah tiga tahun sering
menunjukkan gejala yang ada pada anak autis. Sebaliknya, gejala autis juga
kerap dialami oleh anak dengan gangguan perkembangan lain. Sehingga orangtua
diharapkan teliti dan mewaspadai keterlambatan atau kelainan yang mirip gejala
autis pada si kecil. Dokter dan psikolog juga akan mengamati perkembangannya
setiap tiga bulan, secara berkala dan melakukan evaluasi mengenai terapi yang
diperlukan.
Deteksi dini autisme sudah dapat dilakukan sebelum si kecil berusia 3 tahun, karena pada umumnya gejala autisme sudah mulai terlihat jelas di usia 2 hingga 5 tahun. Tapi pada beberapa kasus, gejala baru terlihat di usia sekolah. Secara kuantitas dan kualitas, gejala autisme berbeda-beda. Penyandang autisme infantil klasik misalnya, memperlihatkan gejala dalam derajat yang berat. Kesulitan lainnya, sebagian gejala juga dapat muncul pada anak normal, hanya dengan intensitas dan kualitas yang berbeda. Gejala-gejala autisme mencakup beberapa gangguan perkembangan pada anak, yaitu:
Deteksi dini autisme sudah dapat dilakukan sebelum si kecil berusia 3 tahun, karena pada umumnya gejala autisme sudah mulai terlihat jelas di usia 2 hingga 5 tahun. Tapi pada beberapa kasus, gejala baru terlihat di usia sekolah. Secara kuantitas dan kualitas, gejala autisme berbeda-beda. Penyandang autisme infantil klasik misalnya, memperlihatkan gejala dalam derajat yang berat. Kesulitan lainnya, sebagian gejala juga dapat muncul pada anak normal, hanya dengan intensitas dan kualitas yang berbeda. Gejala-gejala autisme mencakup beberapa gangguan perkembangan pada anak, yaitu:
1. Gangguan
komunikasi, verbal dan non verbal.
·
Terlambat bicara atau tidak
dapat bicara.
·
Mengeluarkan kata - kata
yang tidak dapat dimengerti oleh orang lain.
·
Tidak mengerti dan tidak
menggunakan kata-kata dalam konteks yang sesuai.
·
Bicara tidak digunakan untuk
komunikasi.
·
Meniru atau membeo, ada yang
pandai meniru nyanyian, nada atau kata-kata yang tak ia mengerti artinya.
·
Kadang bicara monoton
seperti robot.
·
Mimik muka datar.
·
Seperti anak tuli, tetapi
bila mendengar suara yang disukainya akan bereaksi dengan cepat.
2. Gangguan interaksi
sosial
·
Menolak atau menghindar
untuk bertatap muka.
·
Mengalami ketulian.
·
Merasa tidak senang dan
menolak bila dipeluk.
·
Tidak berusaha untuk
berinteraksi dengan orang lain.
·
Bila menginginkan sesuatu ia
akan menarik tangan orang yang terdekat dan mengharapkan orang tersebut
melakukan sesuatu untuknya.
·
Bila didekati untuk bermain
justru menjauh.- Tidak berbagi kesenangan dengan orang lain.
·
Kadang mereka masih
mendekati orang lain untuk makan atau duduk di pangkuan sebentar, kemudian
berdiri tanpa memperlihatkan mimik apapun.
·
Keengganan untuk
berinteraksi lebih nyata pada anak sebaya dibandingkan terhadap orangtuanya.
3. Gangguan perilaku
dan bermain.
Ø Tidak
mengerti cara bermain, bermain sangat monoton dan melakukan gerakan yang sama
selama berjam-jam. Bila sudah senang dengan satu mainan, tidak mau mainan yang
lain dan cara bermainnya juga aneh. Terpaku pada roda (memegang roda
mobil-mobilan terus menerus untuk waktu lama) atau sesuatu yang berputar.
Ø Lekat
dengan benda-benda tertentu, seperti sepotong tali, kartu, kertas, gambar yang
terus dipegang dan dibawa kemana-mana. Sering memperhatikan jari-jarinya
sendiri, kipas angin yang berputar, air yang bergerak.- Sering melakukan
perilaku ritualistik. Kadang terlihat hiperaktif, seperti tidak dapat diam,
lari kesana sini, melompat-lompat, berputar-putar, memukul benda berulang-ulang
atau sangat diam dan tenang.
4. Gangguan perasaan
dan emosi
Ø Tidak
punya atau kurang berempati, misalnya tidak punya rasa kasihan. Bila ada anak
yang menangis, ia tidak kasihan tapi malah merasa terganggu. Ia bisa saja
mendatangi si anak dan memukulnya. Tertawa-tawa sendiri, menangis atau
marah-marah tanpa sebab yang nyata. Sering mengamuk tidak terkendali (temper
tantrum), terutama bila tidak mendapatkan apa yang diingginkan, bahkan dapat
menjadi agresif dan dekstruktif
5. Gangguan persepsi
sensoris
Ø Mencium,
menggigit atau menjilat mainan atau benda apa saja.
Bila mendengar suara keras langsung menutup mata. Tidak menyukai rabaan dan pelukan. bila digendong cenderung merosot untuk melepaskan diri dari pelukan.
Bila mendengar suara keras langsung menutup mata. Tidak menyukai rabaan dan pelukan. bila digendong cenderung merosot untuk melepaskan diri dari pelukan.
Ø Merasa
tidak nyaman bila memakai pakaian dengan bahan tertentu. Autisme masih menjadi
misteri yang belum terpecahkan sepenuhnya oleh kedokteran. Para pakar belum
sepakat soal penyebab penyakit ini. Namun, sebagian pakar setuju bahwa sindrom
autis terjadi karena kelainan pada otak. Hingga kini, bisa tidaknya autis
disembuhkan (total) juga masih menjadi pertentangan dalam dunia kedokteran dan
psikologi. Namun, orang tua hendaknya harus mencoba berbagai terapi. Setidaknya
dengan terapi keadaan si anak lebih baik. Saat ini, ada berbagai terapi autis,
baik yang diakui oleh dunia medis maupun yang masih bedasarkan disiplin ilmu
tradisional.
Ø Macam-macam
terapi autis diantaranya:
1. Terapi akupuntur. Metode tusuk jarum
ini diharapkan bisa menstimulasi sistem saraf pada otak hingga dapat bekerja
kembali.
2. Terapi musik. Lewat terapi ini, musik
diharapkan memberikan getaran gelombang yang akan berpengaruh terhadap
permukaan membran otak. Secara tak langsung, itu akan turut memperbaiki kondisi
fisiologis. Harapannya, fungsi indera pendengaran menjadi hidup sekaligus
merangsang kemampuan berbicara.
3. Terapi balur. Banyak yang yakin
autisme disebabkan oleh tingginya zat merkuri pada tubuh penderita. Terapi
balur ini bertujuan mengurangi kadar merkuri dalam tubuh penyandang autis.
Caranya, menggunakan cuka aren campur bawang yang dilulurkan lewat kulit.
Tujuannya melakukan detoksifikasi gas merkuri.
4. Terapi perilaku. Tujuannya, agar sang
anak memfokuskan perhatian dan bersosialisasi dengan lingkungannya. Caranya
dengan membuat si anak melakukan berbagai kegiatan seperti mengambil benda yang
ada di sekitarnya.
5. Terapi anggota keluarga. Orangtua
harus mendampingi dan memberi perhatian penuh pada sang anak hingga terbentuk
ikatan emosional yang kuat. Umumnya, terapi ini merupakan terapi pendukung yang
wajib dilakukan untuk semua jenis terapi lain
6. Terapi lumba-lumba. Telah diketahui
oleh dunia medis bahwa di tubuh lumba-lumba teerkandung potensi yang bisa
menyelaraskan kerja saraf motorik dan sensorik penderita autis. Sebab
lumba-lumba mempunyai gelombang sonar (gelombang suara dengan frekuensi
tertentu) yang dapat merangsang otak manusia untuk memproduksi energi yang ada
dalam tulang tengkorak, dada, dan tulang belakang pasien sehingga dapat
membentuk keseimbangan antara otak kanan dan kiri. Selain itu, gelombang suara
dari lumba-lumba juga dapat meningkatkan neurotransmitter. Terapi anak autis
dengan lumba-lumba sudah terbukti 4 kali lebih efektif dan lebih cepat
dibanding terpi lainnya. Gelombang suara yang dipancarkan lumba-lumba ternyata
berpengaruh pada perkembangan otak. Pemberian dukungan sosial terhadap anak
autis sangat diperlukan, karena pada anak autis terdapat hambatan dalam
berinteraksi sosial, sehingga potensi yang dimilikinya mengalami hambatan untuk
berkembang. Dengan dukungan sosial ini setidak-tidaknya keluarga menjadi media
dalam membantu anak penderita autis dalam penyesuaian diri dengan lingkungan
seiring dengan rentan kehidupannya. Keterlibatan keluarga merupakan hal yang
penting dalam proses sosial penderita autisme.
7. Dukungan sosial memberikan peranan
penting dalam setiap perkembangan kehidupan manusia. Penelitian ini merupakan
penelitian deskriptif kualitatif yang bertujuan untuk mengetahui dukungan
sosial keluarga dalam membantu proses sosialisasi pada anak penderita autisme.
Untuk mengumpulkan data metode yang digunakan adalah wawancara dan observasi.
Tujuan dari wawancara dan observasi ini adalah untuk mengetahui bagaimana
dukungan sosial keluarga dengan subyek penelitian yaitu 5 keluarga yang anaknya
menderita autis. Penelitian ini dilakukan selama 30 hari. Dari hasi penelitian
ini dapat diketahui bahwa dukungan sosial keluarga diperlukan bagi anak penderita
autis untuk dapat membantu proses sosialisasinya. Hal ini terbukti, anak autis
yang mendapat dukungan sosial dari keluarganya mempunyai kemampuan untuk
bersosialisasi seperti anak yang normal lainnya. Tetapi anak yang kurang
mendapatkan dukungan sosial dari keluarganya mengalami hambatan dalam proses
sosialisasinya.
2.2 KEBIJAKAN PENDIDIKAN BAGI PENDERITA
AUTIS.
Discrete
Trial Training dari Lovaas: Merupakan produk dari Lovaas,dkk
pada Young Autistikm Project di UCLA USA, walaupun kontroversial, namun mempunyai peran dalam pembelajaran dan hasil yang optimal pada anak-anak penyandang autistik. Program Lovaas (Program DTT) didasari oleh model perilaku kondisioning operant (Operant Conditioning) yang merupakan faktor utama dari program intensive DTT. Pengertian dari Applied Behavioral Analysis (ABA), implementasi dan evaluasi dari berbagai prinsip dan tehnik yang membentuk teori pembelajaran perilaku (behavioral learning), adalah suatu hal yang penting dalam memahami teori perilaku Lovaas ini. Teori pembelajaran perilaku (behavioral learning) didasari oleh 3 hal:
pada Young Autistikm Project di UCLA USA, walaupun kontroversial, namun mempunyai peran dalam pembelajaran dan hasil yang optimal pada anak-anak penyandang autistik. Program Lovaas (Program DTT) didasari oleh model perilaku kondisioning operant (Operant Conditioning) yang merupakan faktor utama dari program intensive DTT. Pengertian dari Applied Behavioral Analysis (ABA), implementasi dan evaluasi dari berbagai prinsip dan tehnik yang membentuk teori pembelajaran perilaku (behavioral learning), adalah suatu hal yang penting dalam memahami teori perilaku Lovaas ini. Teori pembelajaran perilaku (behavioral learning) didasari oleh 3 hal:
Ø Perilaku
secara konseptual meliputi 3 hal penting yaitu
antecedents atau perilaku yang lalu, perilaku, dan konsekwensi.
antecedents atau perilaku yang lalu, perilaku, dan konsekwensi.
Ø Stimulus
antecendent dan konsekwensi sebelumnya akan berefek pada
reaksi perilaku yang muncul.
reaksi perilaku yang muncul.
Ø Efektifitas
pengajaran berkaitan dengan kontrol terhadap antecendent dan konsekwensi. Yaitu
dengan memberikan reinforcement yang positif sebagai kunci dalam merubah
perilaku. Sehingga perilaku yang baik dapat terus dilakukan, sedangkan perilaku
buruk dihilangkan (melalui time out, hukuman, atau dengan kata 'tidak').
Dalam teknisnya, DTT
terdiri dari 4 bagian yaitu:
ü stimulus
dari guru agar anak berespons
ü respon
anak
ü konsekwensi
ü berhenti
sejenak,dilanjutkan dengan perintah selanjutnya
Intervensi
LEAP (Learning Experience and Alternative Program for preschooler and parents)
Intervensi LEAP menggabungkan Developmentally Appropriate Practice (DAP) dan
tehnik ABA dalam sebuah program inklusi dimana beberapa teori pembelajaran yang
berbeda digabungkan untuk membentuk sebuah kerangka konsep. Meskipun metoda Ini
menerima berbagai kelebihan dan kekurangan pada anak-anak penyandang autistik,
titik berat utama dari teori dan implementasi praktis yang mendasari program
ini adalah perkembangan sosial anak. Oleh sebab itu, dalam penerapan ini teori
autistik memusatkan diri pada central social deficit. Melalui beragamnya
pengaruh teoritis yang diperolehnya, model LEAP menggunakan teknik pengajaran
reinforcement dan kontrol stimulus. Prinsip yang mendasarinya adalah :
1. Semua anak mendapat keuntungan dari
lingkungan yang terpadu
2. Anak penyandang autistik semakin
membaik jika intervensi berlangsung konsisten baik di rumah, sekolah, maupun
masyarakat.
3. Keberhasilan semakin besar jika orang
tua dan guru bekerja bersama-sama
4. Anak penyandang autistik bisa saling
belajar dari teman-teman sebaya
mereka
mereka
Intervensi
haruslah terancang, sistematis, individual Anak-anak yang memiliki kebutuhan
khusus dan yang normal akan mendapat keuntungan dari kegiatan yang mencerminkan
DAP. Kerangka konsep DAP berdasarkan teori perilaku, prinsip DAP dan inklusi.
Floor Time: Pendekatan Floor Time berdasarkan pada teori perkembangan
interaktif yang mengatakan bahwa perkembangan ketrampilan kognitif dalam 4 atau
5 tahun pertama kehidupan didasarkan pada emosi dan relationship (Greenspan dan Wieder1997an). Jadi hubungan pengaruh
dan interaksi merupakan komponen utama dalam teori dan praktek model ini.
Greenspan, dkk mengembangkan suatu pendekatan perkembangan terintegrasi untuk
intervensi anak yang mempunyai kesulitan besar (severe) dalam berhubungan
(relationship) dan berkomunikasi, dan tehnik intervensi interaktif yang
sistematik inilah yang disebut Floor Time.
Kerangka
Konsep Program Ini Diantaranya:
·
Pentingnya relationship
·
Enam acuan (milestone)
sosial yang spesifik
·
Teori hipotetikal tentang
autistic.
TEACCH
(Treatment and Education of Autistic and Related Communication Handicapped
Children) Divisi TEACCH merupakan program nasional di North Carolina USA, yang
melayani anak penyandang autistik, dan diakui secara internasional sebagai
sistem pelayanan yang tidak terikat/bebas. Dibandingkan dengan ketiga program
yang telah dibicarakan, program TEACCH menyediakan pelayanan yang
berkesinambungan untuk individu, keluarga dan lembaga pelayanan untuk anak
penyandang autistik. Penanganan dalam program ini termasuk diagnosa,
terapi/treatment, konsultasi, kerjasama dengan masyarakat sekitar, tunjangan
hidup dan tenaga kerja, dan berbagai pelayanan lainnya untuk memenuhi kebutuhan
keluarga yang spesifik. Para terapis dalam program TEACCH harus memiliki
pengetahuan dalam berbagai bidang termasuk, speech pathology, lembaga
kemasyarakatan, intervensi dini, pendidikan luar biasa dan psikologi. Konsep
pembelajaran dari model TEACCh berdasarkan tingkah laku, perkembangan dan dari
sudut pandang teori ekologi, yang berhubungan erat dengan teori dasar autisme.
Terapi Penunjang
1.
Terapi Wicara: membantu anak
melancarkan otot-otot mulut sehingga membantu anak berbicara lebih baik.
2.
Terapi Okupasi: untuk
melatih motorik halus anak.
3.
Terapi Bermain: mengajarkan
anak melalui belajar sambil bermain.
4.
Terapi medikamentosa atau
obat-obatan (drug therapy): dengan pemberian obat-obatan oleh dokter yang
berwenang.
5.
Terapi melalui makanan (diet
therapy): untuk anak-anak dengan masalah alergi makanan tertentu.
6.
Sensory Integration Therapy:
untuk anak-anak yang mengalami gangguan pada sensorinya.
7.
Auditory Integration
Therapy: agar pendengaran anak lebih sempurna.
Biomedical
treatment atau therapy: penanganan biomedis yang paling mutakhir, melalui
perbaikan kondisi tubuh agar terlepas dari faktor-faktor yang merusak (dari
keracunan logam berat, efek casomorphine dan gliadorphin, alergen, dan
sebagainya). Layanan Pendidikan Lanjut. Pada anak autistik yang telah diterapi
dengan baik dan memperlihatkan keberhasilan yang menggembirakan, anak tersebut
dapat dikatakan "sembuh" dari gejala autistiknya. Ini terlihat bila
anak tersebut sudah dapat mengendalikan perilakunya sehingga tampak berperilaku
normal, berkomunikasi dan berbicara normal, serta mempunyai wawasan akademik
yang cukup sesuai anak seusianya. Pada saat ini anak sebaiknya mulai
diperkenalkan untuk masuk kedalam kelompok anak-anak normal, sehingga ia (yang
sangat bagus dalam meniru/imitating) dapat mempunyai figur atau role model anak
normal dan meniru tingkah laku anak normal seusianya.
Kelas
Terpadu sebagai kelas transisi. Kelas ini ditujukan untuk anak autistik yang
telah diterapi secara terpadu dan terstruktur juga merupakan kelas persiapan
dan pengenalan akan pengajaran dengan kurikulum sekolah biasa, tetapi melalui
tata cara pengajaran untuk anak autistik ( kelas kecil dengan jumlah guru
besar, dengan alat visual, gambar atau kartu, instruksi yang jelas, padat dan
konsisten,dan sebagainya). Tujuan kelas terpadu adalah: membantu anak dalam
mempersiapkan transisi ke sekolah reguler, belajar secara intensif pelajaran
yang tertinggal di kelas reguler, sehingga dapat mengejar ketinggalan dari
teman-teman sekelasnya. Prasyarat:
a.
Diperlukan guru SD dan
terapis sebagai pendamping, sesuai dengan keperluan anak didik (terapis
perilaku, terapis bicara, terapis okupasi dan sebagainya).
b.
Kurikulum masing-masing anak
dibuat melalui pengkajian oleh satu team dari berbagai bidang ilmu ( psikolog,
pedagogi, speech patologist, terapis, guru dan orang tua atau relawan).
c.
Kelas ini berada dalam satu
lingkungan sekolah reguler untuk
memudahkan proses transisi dilakukan (misal: mulai latihan bergabung dengan kelas reguler pada saat olah raga atau istirahat atau prakarya dan sebagainya).
memudahkan proses transisi dilakukan (misal: mulai latihan bergabung dengan kelas reguler pada saat olah raga atau istirahat atau prakarya dan sebagainya).
Program
inklusi (mainstreaming). Program ini dapat berhasil bila ada:
Keterbukaan dari sekolah umum. Test masuk tidak didasari hanya oleh test IQ untuk anak normal. Peningkatan SDM atau guru terkait. Proses shadowing atau dapat dilaksanakan Guru Pembimbing Khusus (GPK). Idealnya anak berhak memilih pelajaran yang ia mampu saja (Mempunyai IEP atau Program Pendidikan Individu sesuai dengan kemampuannya). Anak dapat "tamat" (bukan lulus) dari sekolahnya karena telah selesai melewati pendidikan di kelasnya bersama-sama teman sekelasnya atau peers.
Keterbukaan dari sekolah umum. Test masuk tidak didasari hanya oleh test IQ untuk anak normal. Peningkatan SDM atau guru terkait. Proses shadowing atau dapat dilaksanakan Guru Pembimbing Khusus (GPK). Idealnya anak berhak memilih pelajaran yang ia mampu saja (Mempunyai IEP atau Program Pendidikan Individu sesuai dengan kemampuannya). Anak dapat "tamat" (bukan lulus) dari sekolahnya karena telah selesai melewati pendidikan di kelasnya bersama-sama teman sekelasnya atau peers.
Tersedianya
tempat khusus (special unit) bila anak memerlukan terapi 1:1 di sekolah umum
Sekolah Khusus. Pada kenyataannya dari kelas Terpadu terevaluasi bahwa tidak
semua anak autistik dapat transisi ke sekolah reguler. Anak-anak ini sangat
sulit untuk dapat berkonsentrasi dengan adanya distraksi di sekeliling mereka.
Beberapa anak memperlihatkan potensi yang sangat baik dalam bidang tertentu
misalnya olah raga, musik, melukis, komputer, matematika, ketrampilan dsb.
Anak-anak ini sebaiknya dimasukkan ke dalam Kelas khusus, sehingga potensi
mereka dapat dikembangkan secara maksimal. Contoh sekolah khusus: Sekolah
ketrampilan, Sekolah pengembangan olahraga, Sekolah Musik, Sekolah seni lukis,
Sekolah Ketrampilan untuk usaha kecil, Sekolah komputer,dan lain – lain.
Home
Schooling adapula anak autistik yang bahkan tidak mampu ikut serta dalam Kelas
Khusus karena keterbatasannya, misalnya anak non verbal, retardasi mental,
masalah motorik dan auditory dsb. Anak ini sebaiknya diberi kesempatan ikut
serta dalam Program Sekolah Dirumah (Homeschooling Program). Melalui bimbingan
para guru/terapis serta kerjasama yang baik dengan orangtua dan orang-orang
disekitarnya, dapat dikembangkan potensi atau strength anak. Kerjasama guru dan
orangtua ini merupakan cara terbaik untuk men-generalisasi program dan
membentuk hubungan yang positif antara keluarga dan masyarakat. Bila
memungkinkan, dengan dukungan dan kerjasama antara guru sekolah dan terapis di
rumah anak-anak ini dapat diberi kesempatan untuk mendapat persamaan pendidikan
yang setara dengan sekolah reguler atau SLB untuk bidang yang ia kuasai. Dilain
pihak, perlu dukungan yang memadai untuk keluarga dan masyarakat sekitarnya
untuk dapat menghadapi kehidupan bersama seorang autistik
BAB
III
PENUTUP
3.1
KESIMPULAN
Autisme
adalah gangguan perkembangan yang kompleks, yang disebabkan oleh adanya
kerusakan pada otak, sehingga mengakibatkan gangguan pada perkembangan
komunikasi, perilaku, kemampuan sosialisasi, sensori dan belajar. Autisme
merupakan suatu gangguan perkembangan, gangguan pemahaman atau gangguan
perpasif, dan bukan suatu bentuk penyakit mental (Peeters, 2004). Autisme
diklasifikasikan sebagai ketidaknormalan perkembangan neuro yang menyebabkan
interaksi sosial yang tidak normal, kemampuan komunikasi, pola kesukaan, dan
pola sikap. Autisme bisa terdeteksi pada anak berumur paling sedikit 1 tahun.
Autisme empat kali lebih banyak menyerang anak laki-laki dari pada anak
perempuan. Gejala-gejala autisme mencakup beberapa gangguan perkembangan pada
anak yaitu gangguan komunikasi verbal dan non verbal, gangguan interaksi
sosial, gangguan perilaku dan bermain, gangguan perasaan dan emosi, gangguan
persepsi sensoris. Hingga kini, bisa tidaknya autis disembuhkan (total) juga
masih menjadi pertentangan dalam dunia kedokteran dan psikologi. Namun, orang
tua hendaknya harus mencoba berbagai terapi. Setidaknya dengan terapi keadaan
si anak lebih baik. Saat ini, ada berbagai terapi autis, baik yang diakui oleh
dunia medis maupun yang masih bedasarkan disiplin ilmu tradisional. Macam-macam
terapi autis diantaranya: terapi akupuntur, terapi musik, terapi balur, terapi
perilaku, terapi keluarga, terapi lumba-lumba. Keterlibatan keluarga merupakan
hal yang penting dalam proses sosial penderita autisme. Dukungan sosial
memberikan peranan penting dalam setiap perkembangan kehidupan manusia.
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif yang bertujuan untuk
mengetahui dukungan sosial keluarga dalam membantu proses sosialisasi pada anak
penderita autisme. Bagi penderita autisme diperlukan juga pendidikan yang
sesuia, diharapkan para orang tua memliki kebijakan pendidikan yang tepat bagi
anak penderita autis.
3.2 SARAN
Demikian
artikel yang dapat saya sajikan, masih terdapat kekurangan dikarenakan masih
terbatas ruang lingkup dan metode penelitian terhadap proses sosilisasi bagi
penderita autis. Sebagai pembaca diharapkan mengoreksi artikel ini dan bagi
peneliti yang lain semoga dapat menyajikan artikel yang lebih baik berdasarkan
penelitian yang dilakukan.
DAFTAR
PUSTAKA
Drs.Suyata,Msc,PhD.2000.SosioAntropologi
Pendidikan.Yogyakarta:Universitas Negeri Yogyakarta.
Handojo, Y. 2003. Autisma. Jakarta: PT.
Bhuana Ilmu Populer.