Proses Sosialisasi untuk Penderita Autisme

Proses Sosialisasi untuk Penderita Autisme


BAB I

PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Dalam kurun waktu 10 tahun terakhir ini masalah autisme meningkat pesat di seluruh dunia termasuk di Indonesia, padahal metode deteksi dan terapi yang ada belum memadai. Tahun 2005 biro sensus Amerika mendata ada 475.000 penyandang autis di Indonesia. Namun, hingga kini belum ada proses belajar mengajar yang baku bagi anak-anak ini, bahkan mereka masih sering dipandang sebagai beban (Kompas, 2005). Kondisi pusat terapi yang ada di Indonesia belum sebanding dengan jumlah penderita yang ada, fasilitas ruang dan perlengkapan yang tersedia pun belum maksimal. Autis merupakan kumpulan gejala gangguan perilaku yang bervariasi pada setiap anak.
Gangguan perilaku dapat berupa kurangnya interaksi sosial, penghindaran kontak mata, kesulitan dalam mengembangkan bahasa dan pengulangan tingkah laku. Handojo (2003), menjelaskan bahwa anak autis termasuk anak yang mengalami hambatan dalam perkembangan perilakunya, antara lain perilaku wicara dan okupasi mereka tidak berkembang seperti anak normal. Padahal kedua jenis perilaku ini penting untuk komunikasi dan sosialisasi. Sehingga apabila hambatan ini tidak diatasi dengan cepat dan tepat, maka proses belajar anak-anak tersebut juga akan terhambat. Intelegensi, emosi dan perilaku sosialnya tidak dapat berkembang dengan baik.
Gangguan ini menyebabkan mereka tidak mampu membentuk hubungan sosial atau mengembangkan komunikasi yang normal, sehingga mengakibatkan anak menjadi terisolasi dari kontak manusia serta tenggelam dalam dunianya sendiri yang diekspresikan dalam minat dan perilaku yang terpaku dan diulang-ulang. Dukungan sosial terhadap anak autis sangat diperlukan, karena pada anak autis terdapat hambatan dalam berinteraksi sosial, sehingga potensi yang dimilikinya mengalami hambatan untuk berkembang. Dengan dukungan sosial ini setidak-tidaknya keluarga menjadi media dalam membantu anak penderita autis dalam penyesuaian diri dengan lingkungan seiring dengan rentan kehidupannya. Keterlibatan keluarga merupakan hal yang penting dalam proses sosial penderita autisme. Dukungan sosial memberikan peranan penting dalam setiap perkembangan kehidupan manusia. Dari hasil penelitian dapat diketahui bahwa dukungan sosial keluarga diperlukan bagi anak penderita autis untuk dapat membantu proses sosialisasinya.
1.2 RUMUSAN MASALAH
Apakah pengertian dan penyebab autisme?
a. Bagaimana mengenali gejala autisme sejak dini?
b. Terapi apa saja yang dapat dilakukan pada penderita autis?
c. Apakah dukungan sosial keluarga mempengaruhi proses sosialisasi penderita autis?
d. Bagaimana kebijakan pendidikan bagi penderita autis?
1.3 TUJUAN
a.                  Dapat mengetahui pengertian dan penyebab autisme.
b.                  Bisa lebih memahami gejala autisme.
c.                   Mengetahui terapi-terapi bagi penderita autis.
d.                  Mampu memahami bahwa dukungan keluarga sangat berpengaruh dalam proses sosialisasi penderita autis.
e.                  Mampu mengambil langkah dalam menentukan kebijakan pendidikan bagi penderita autis.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Dukungan Sosial Keluarga Dalam Membantu Proses Sosialisasi Penderita Autisme.

Autis berasal dari kata auto yang berarti sendiri. Penyandang autis seakan-akan hidup di dunianya sendiri. Istilah autisme baru diperkenalkan sejak tahun 
1943 oleh Leo Kanner, ahli psikiater anak di John Hopkins University. 
Autisme adalah gangguan perkembangan yang kompleks, yang disebabkan oleh adanya kerusakan pada otak, sehingga mengakibatkan gangguan pada perkembangan komunikasi, perilaku, kemampuan sosialisasi, sensori dan belajar. Autisme merupakan suatu gangguan perkembangan, gangguan pemahaman atau gangguan perpasif, dan bukan suatu bentuk penyakit mental (Peeters, 2004). Autisme diklasifikasikan sebagai ketidaknormalan perkembangan neuro yang menyebabkan interaksi sosial yang tidak normal, kemampuan komunikasi, pola kesukaan, dan pola sikap. Autisme bisa terdeteksi pada anak berumur paling sedikit 1 tahun. Autisme empat kali lebih banyak menyerang anak laki-laki dari pada anak perempuan
Penyebab pasti autisme belum diketahui sampai saat ini. Kemungkinan besar, ada banyak penyebab autisme, bukan hanya satu. Dahulu sempat diduga bahwa autisme disebabkan karena cacat genetik. Namun cacat genetika tidak mungkin terjadi dalam skala demikian besar dan dalam waktu demikian singkat. Karena itu kemudian para peneliti sepakat bahwa ada banyak kemungkinan penyebab autisme lainnya. Berbagai hal yang dicurigai berpotensi untuk menyebabkan autisme :
1.                  Vaksin Yang Mengandung Thimerosal :
Thimerosal adalah zat pengawet yang digunakan di berbagai vaksin. Karena banyaknya kritikan, kini sudah banyak vaksin yang tidak lagi menggunakan Thimerosal di negara maju. Namun, entah bagaimana halnya di negara berkembang.
2.                  Televisi :
Semakin maju suatu negara, biasanya interaksi antara anak - orang tua semakin berkurang karena berbagai hal. Sebagai kompensasinya, seringkali TV digunakan sebagai penghibur anak. Ternyata ada kemungkinan bahwa TV bisa menjadi penyebab autisme pada anak, terutama yang menjadi jarang bersosialisasi karenanya. Dampak TV tidak dapat dipungkiri memang sangat dahsyat, tidak hanya kepada perorangan, namun bahkan kepada masyarakat dan/atau negara. Contoh paling nyata adalah kasus pada negara terpencil Bhutan - begitu mereka mengizinkan TV di negara mereka, jumlah dan jenis kejahatan meningkat dengan drastis. Bisa kita bayangkan sendiri apa dampaknya kepada anak yang masih polos. Hiperaktif ? Autisme ? Sebuah penelitian akhirnya kini telah mengakui kemungkinan tersebut.
3.                  Genetik :
Ini adalah dugaan awal dari penyebab autisme. Autisme telah lama diketahui bisa diturunkan dari orang tua kepada anak-anaknya. Namun tidak itu saja, juga ada kemungkinan variasi-variasi lainnya. Salah satu contohnya adalah bagaimana anak-anak yang lahir dari ayah yang berusia lanjut memiliki kans lebih besar untuk menderita autisme. (walaupun sang ayah normal atau bukan autis)
4.                  Makanan :
Pada tahun 1970-an, Dr. Feingold dan kolega-koleganya menyaksikan peningkatan kasus ADHD dalam skala yang sangat besar. Sebagai seseorang yang pernah hidup di era 20 / 30-an, dia masih ingat bagaimana ADHD nyaris tidak ada sama sekali di zaman tersebut. Dr. Feingold kebetulan telah mulai mengobati beberapa kasus kelainan mental sejak tahun 1940 dengan memberlakukan diet khusus kepada pasiennya, dengan hasil yang jelas dan cenderung dalam waktu yang singkat. Terapi diet tersebut kemudian dikenal dengan nama The Feingold Program. Pada intinya, berbagai zat kimia yang ada di makanan modern (pengawet, pewarna, dan lain - lain) dicurigai menjadi penyebab dari autisme pada beberapa kasus. Ketika zat-zat tersebut dihilangkan dari makanan para penderita autisme, banyak yang kemudian mengalami peningkatan situasi secara drastis. Dr. Feingold membayar penemuannya ini dengan cukup mahal. Sekitar tahun 1970-an, beliau dikhianati oleh The Nutrition Foundation, dimana Coca cola, Kraft foods, dll adalah anggotanya. Beliau tiba-tiba diasingkan oleh AMA, dan ditolak untuk menjadi pembicara dimana-mana. Syukurlah kemudian berbagai buku beliau bisa terbit, dan hari ini kita jadi bisa tahu berbagai temuan-temuannya seputar bahaya makanan modern.
5.                  Radiasi Pada Janin Bayi :
Sebuah riset dalam skala besar di Swedia menunjukkan bahwa bayi yang terkena gelombang Ultrasonic berlebihan akan cenderung menjadi kidal. Dengan makin banyaknya radiasi di sekitar kita, ada kemungkinan radiasi juga berperan menyebabkan autisme. Tapi bagaimana menghindarinya, saya juga kurang tahu. Yang sudah jelas mudah untuk dihindari adalah USG - hindari jika tidak perlu.
6.                  Folic Acid :
Zat ini biasa diberikan kepada wanita hamil untuk mencegah cacat fisik pada janin. Dan hasilnya memang cukup nyata, tingkat cacat pada janin turun sampai sebesar 30%. Namun di lain pihak, tingkat autisme jadi meningkat. Pada saat ini penelitian masih terus berlanjut mengenai ini. Sementara ini, yang mungkin bisa dilakukan oleh para ibu hamil adalah tetap mengkonsumsi folic acid - namun tidak dalam dosis yang sangat besar (normalnya wanita hamil diberikan dosis folic acid 4x lipat dari dosis normal) atau yang lebih baik perbanyak makan buah-buahan yang kaya dengan folic acid, karena alam bisa mencegah tanpa menyebabkan efek samping.
7.                  Sekolah Lebih Awal :
Agak mengejutkan, namun ada beberapa penelitian yang menunjukkan bahwa menyekolahkan anak lebih awal (pre school) dapat memicu reaksi autisme. Diperkirakan, bayi yang memiliki bakat autisme sebetulnya bisa sembuh atau membaik dengan berada dalam lingkupan orang tuanya. Namun, karena justru dipindahkan ke lingkungan asing yang berbeda (sekolah playgroup atau preschool), maka beberapa anak jadi mengalami shock, dan bakat autismenya menjadi muncul dengan sangat jelas. Untuk menghindari ini, para orang tua perlu memiliki kemampuan untuk mendeteksi bakat autisme pada anaknya secara dini. Jika ternyata ada terdeteksi, maka mungkin masa preschool-nya perlu dibimbing secara khusus oleh orang tua sendiri. Hal ini agar ketika masuk masa kanak-kanak maka gejala autismenya sudah hampir lenyap; dan sang anak jadi bisa menikmati masa kecilnya di sekolah dengan bahagia. Dan mungkin saja masih ada banyak lagi berbagai potensi penyebab autisme yang akan ditemukan di masa depan, sejalan dengan terus berkembangnya pengetahuan di bidang ini.
Anak-anak penderita autisme semakin lama semakin bertambah, karena itu ada baiknya orangtua mengenali sejak awal dan mencari tahu terapi apa yang tepat untuknya. Bila mendapatkan terapi yang tepat, tak sedikit anak autisme yang dapat hidup normal. Menurut profesor psikiatri anak dan ahli autis kaliber dunia dari Universitas Nijmegen Negeri Belanda, JK Buitelaar, mendiagnosa autisme tidak mudah dan perlu kehati-hatian tinggi. Alat deteksi autisme yang kini populer, yaitu CHAT untuk anak di bawah 18 bulan dan DSM IV yang digunakan untuk anak di bawah tiga tahun, masih dapat menunjukkan kesalahan yang sangat tinggi. Kesalahan akan terjadi terutama pada anak-anak yang mengalami gangguan lain, selain autisme, yaitu anak yang mengalami cacat intelegensia (mental retarded) dan keterlambatan bicara. Autisme sendiri merupakan gangguan yang menyangkut banyak aspek perkembangan anak, ada tiga kelompok dengan fungsi berbeda yang dapat diserang, yaitu bahasa, fungsi sosial, dan perilaku repetitif. Karena gejala autisme beragam dan si anak tetap mengalami perkembangan, maka diagnosanya pun dapat berubah setiap waktu. Anak di bawah tiga tahun sering menunjukkan gejala yang ada pada anak autis. Sebaliknya, gejala autis juga kerap dialami oleh anak dengan gangguan perkembangan lain. Sehingga orangtua diharapkan teliti dan mewaspadai keterlambatan atau kelainan yang mirip gejala autis pada si kecil. Dokter dan psikolog juga akan mengamati perkembangannya setiap tiga bulan, secara berkala dan melakukan evaluasi mengenai terapi yang diperlukan. 
Deteksi dini autisme sudah dapat dilakukan sebelum si kecil berusia 3 tahun, karena pada umumnya gejala autisme sudah mulai terlihat jelas di usia 2 hingga 5 tahun. Tapi pada beberapa kasus, gejala baru terlihat di usia sekolah. Secara kuantitas dan kualitas, gejala autisme berbeda-beda. Penyandang autisme infantil klasik misalnya, memperlihatkan gejala dalam derajat yang berat. Kesulitan lainnya, sebagian gejala juga dapat muncul pada anak normal, hanya dengan intensitas dan kualitas yang berbeda. Gejala-gejala autisme mencakup beberapa gangguan perkembangan pada anak, yaitu:
1. Gangguan komunikasi, verbal dan non verbal.
·                     Terlambat bicara atau tidak dapat bicara.
·                     Mengeluarkan kata - kata yang tidak dapat dimengerti oleh orang lain.
·                     Tidak mengerti dan tidak menggunakan kata-kata dalam konteks yang sesuai.
·                     Bicara tidak digunakan untuk komunikasi.
·                     Meniru atau membeo, ada yang pandai meniru nyanyian, nada atau kata-kata yang tak ia mengerti artinya.
·                     Kadang bicara monoton seperti robot.
·                     Mimik muka datar.
·                     Seperti anak tuli, tetapi bila mendengar suara yang disukainya akan bereaksi dengan cepat.
2. Gangguan interaksi sosial
·                     Menolak atau menghindar untuk bertatap muka.
·                     Mengalami ketulian.
·                     Merasa tidak senang dan menolak bila dipeluk.
·                     Tidak berusaha untuk berinteraksi dengan orang lain.
·                     Bila menginginkan sesuatu ia akan menarik tangan orang yang terdekat dan mengharapkan orang tersebut melakukan sesuatu untuknya.
·                     Bila didekati untuk bermain justru menjauh.- Tidak berbagi kesenangan dengan orang lain.
·                     Kadang mereka masih mendekati orang lain untuk makan atau duduk di pangkuan sebentar, kemudian berdiri tanpa memperlihatkan mimik apapun.
·                     Keengganan untuk berinteraksi lebih nyata pada anak sebaya dibandingkan terhadap orangtuanya.
3. Gangguan perilaku dan bermain.
Ø Tidak mengerti cara bermain, bermain sangat monoton dan melakukan gerakan yang sama selama berjam-jam. Bila sudah senang dengan satu mainan, tidak mau mainan yang lain dan cara bermainnya juga aneh. Terpaku pada roda (memegang roda mobil-mobilan terus menerus untuk waktu lama) atau sesuatu yang berputar.
Ø Lekat dengan benda-benda tertentu, seperti sepotong tali, kartu, kertas, gambar yang terus dipegang dan dibawa kemana-mana. Sering memperhatikan jari-jarinya sendiri, kipas angin yang berputar, air yang bergerak.- Sering melakukan perilaku ritualistik. Kadang terlihat hiperaktif, seperti tidak dapat diam, lari kesana sini, melompat-lompat, berputar-putar, memukul benda berulang-ulang atau sangat diam dan tenang.
4. Gangguan perasaan dan emosi
Ø Tidak punya atau kurang berempati, misalnya tidak punya rasa kasihan. Bila ada anak yang menangis, ia tidak kasihan tapi malah merasa terganggu. Ia bisa saja mendatangi si anak dan memukulnya. Tertawa-tawa sendiri, menangis atau marah-marah tanpa sebab yang nyata. Sering mengamuk tidak terkendali (temper tantrum), terutama bila tidak mendapatkan apa yang diingginkan, bahkan dapat menjadi agresif dan dekstruktif
5. Gangguan persepsi sensoris
Ø Mencium, menggigit atau menjilat mainan atau benda apa saja. 
Bila mendengar suara keras langsung menutup mata. Tidak menyukai rabaan dan pelukan. bila digendong cenderung merosot untuk melepaskan diri dari pelukan.
Ø Merasa tidak nyaman bila memakai pakaian dengan bahan tertentu. Autisme masih menjadi misteri yang belum terpecahkan sepenuhnya oleh kedokteran. Para pakar belum sepakat soal penyebab penyakit ini. Namun, sebagian pakar setuju bahwa sindrom autis terjadi karena kelainan pada otak. Hingga kini, bisa tidaknya autis disembuhkan (total) juga masih menjadi pertentangan dalam dunia kedokteran dan psikologi. Namun, orang tua hendaknya harus mencoba berbagai terapi. Setidaknya dengan terapi keadaan si anak lebih baik. Saat ini, ada berbagai terapi autis, baik yang diakui oleh dunia medis maupun yang masih bedasarkan disiplin ilmu tradisional.
Ø Macam-macam terapi autis diantaranya:
1. Terapi akupuntur. Metode tusuk jarum ini diharapkan bisa menstimulasi sistem saraf pada otak hingga dapat bekerja kembali.
2. Terapi musik. Lewat terapi ini, musik diharapkan memberikan getaran gelombang yang akan berpengaruh terhadap permukaan membran otak. Secara tak langsung, itu akan turut memperbaiki kondisi fisiologis. Harapannya, fungsi indera pendengaran menjadi hidup sekaligus merangsang kemampuan berbicara.
3. Terapi balur. Banyak yang yakin autisme disebabkan oleh tingginya zat merkuri pada tubuh penderita. Terapi balur ini bertujuan mengurangi kadar merkuri dalam tubuh penyandang autis. Caranya, menggunakan cuka aren campur bawang yang dilulurkan lewat kulit. Tujuannya melakukan detoksifikasi gas merkuri.
4. Terapi perilaku. Tujuannya, agar sang anak memfokuskan perhatian dan bersosialisasi dengan lingkungannya. Caranya dengan membuat si anak melakukan berbagai kegiatan seperti mengambil benda yang ada di sekitarnya.
5. Terapi anggota keluarga. Orangtua harus mendampingi dan memberi perhatian penuh pada sang anak hingga terbentuk ikatan emosional yang kuat. Umumnya, terapi ini merupakan terapi pendukung yang wajib dilakukan untuk semua jenis terapi lain
6. Terapi lumba-lumba. Telah diketahui oleh dunia medis bahwa di tubuh lumba-lumba teerkandung potensi yang bisa menyelaraskan kerja saraf motorik dan sensorik penderita autis. Sebab lumba-lumba mempunyai gelombang sonar (gelombang suara dengan frekuensi tertentu) yang dapat merangsang otak manusia untuk memproduksi energi yang ada dalam tulang tengkorak, dada, dan tulang belakang pasien sehingga dapat membentuk keseimbangan antara otak kanan dan kiri. Selain itu, gelombang suara dari lumba-lumba juga dapat meningkatkan neurotransmitter. Terapi anak autis dengan lumba-lumba sudah terbukti 4 kali lebih efektif dan lebih cepat dibanding terpi lainnya. Gelombang suara yang dipancarkan lumba-lumba ternyata berpengaruh pada perkembangan otak. Pemberian dukungan sosial terhadap anak autis sangat diperlukan, karena pada anak autis terdapat hambatan dalam berinteraksi sosial, sehingga potensi yang dimilikinya mengalami hambatan untuk berkembang. Dengan dukungan sosial ini setidak-tidaknya keluarga menjadi media dalam membantu anak penderita autis dalam penyesuaian diri dengan lingkungan seiring dengan rentan kehidupannya. Keterlibatan keluarga merupakan hal yang penting dalam proses sosial penderita autisme.
7. Dukungan sosial memberikan peranan penting dalam setiap perkembangan kehidupan manusia. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif yang bertujuan untuk mengetahui dukungan sosial keluarga dalam membantu proses sosialisasi pada anak penderita autisme. Untuk mengumpulkan data metode yang digunakan adalah wawancara dan observasi. Tujuan dari wawancara dan observasi ini adalah untuk mengetahui bagaimana dukungan sosial keluarga dengan subyek penelitian yaitu 5 keluarga yang anaknya menderita autis. Penelitian ini dilakukan selama 30 hari. Dari hasi penelitian ini dapat diketahui bahwa dukungan sosial keluarga diperlukan bagi anak penderita autis untuk dapat membantu proses sosialisasinya. Hal ini terbukti, anak autis yang mendapat dukungan sosial dari keluarganya mempunyai kemampuan untuk bersosialisasi seperti anak yang normal lainnya. Tetapi anak yang kurang mendapatkan dukungan sosial dari keluarganya mengalami hambatan dalam proses sosialisasinya.
2.2 KEBIJAKAN PENDIDIKAN BAGI PENDERITA AUTIS.
Discrete Trial Training dari Lovaas: Merupakan produk dari Lovaas,dkk 
pada Young Autistikm Project di UCLA USA, walaupun kontroversial, namun mempunyai peran dalam pembelajaran dan hasil yang optimal pada anak-anak penyandang autistik. Program Lovaas (Program DTT) didasari oleh model perilaku kondisioning operant (Operant Conditioning) yang merupakan faktor utama dari program intensive DTT. Pengertian dari Applied Behavioral Analysis (ABA), implementasi dan evaluasi dari berbagai prinsip dan tehnik yang membentuk teori pembelajaran perilaku (behavioral learning), adalah suatu hal yang penting dalam memahami teori perilaku Lovaas ini. Teori pembelajaran perilaku (behavioral learning) didasari oleh 3 hal:
Ø Perilaku secara konseptual meliputi 3 hal penting yaitu 
antecedents atau perilaku yang lalu, perilaku, dan konsekwensi.
Ø Stimulus antecendent dan konsekwensi sebelumnya akan berefek pada 
reaksi perilaku yang muncul.
Ø Efektifitas pengajaran berkaitan dengan kontrol terhadap antecendent dan konsekwensi. Yaitu dengan memberikan reinforcement yang positif sebagai kunci dalam merubah perilaku. Sehingga perilaku yang baik dapat terus dilakukan, sedangkan perilaku buruk dihilangkan (melalui time out, hukuman, atau dengan kata 'tidak').
Dalam teknisnya, DTT terdiri dari 4 bagian yaitu:
ü stimulus dari guru agar anak berespons
ü respon anak
ü konsekwensi
ü berhenti sejenak,dilanjutkan dengan perintah selanjutnya
Intervensi LEAP (Learning Experience and Alternative Program for preschooler and parents) Intervensi LEAP menggabungkan Developmentally Appropriate Practice (DAP) dan tehnik ABA dalam sebuah program inklusi dimana beberapa teori pembelajaran yang berbeda digabungkan untuk membentuk sebuah kerangka konsep. Meskipun metoda Ini menerima berbagai kelebihan dan kekurangan pada anak-anak penyandang autistik, titik berat utama dari teori dan implementasi praktis yang mendasari program ini adalah perkembangan sosial anak. Oleh sebab itu, dalam penerapan ini teori autistik memusatkan diri pada central social deficit. Melalui beragamnya pengaruh teoritis yang diperolehnya, model LEAP menggunakan teknik pengajaran reinforcement dan kontrol stimulus. Prinsip yang mendasarinya adalah :
1. Semua anak mendapat keuntungan dari lingkungan yang terpadu
2. Anak penyandang autistik semakin membaik jika intervensi berlangsung konsisten baik di rumah, sekolah, maupun masyarakat.
3. Keberhasilan semakin besar jika orang tua dan guru bekerja bersama-sama
4. Anak penyandang autistik bisa saling belajar dari teman-teman sebaya 
mereka
Intervensi haruslah terancang, sistematis, individual Anak-anak yang memiliki kebutuhan khusus dan yang normal akan mendapat keuntungan dari kegiatan yang mencerminkan DAP. Kerangka konsep DAP berdasarkan teori perilaku, prinsip DAP dan inklusi. Floor Time: Pendekatan Floor Time berdasarkan pada teori perkembangan interaktif yang mengatakan bahwa perkembangan ketrampilan kognitif dalam 4 atau 5 tahun pertama kehidupan didasarkan pada emosi dan relationship (Greenspan dan Wieder1997an). Jadi hubungan pengaruh dan interaksi merupakan komponen utama dalam teori dan praktek model ini. Greenspan, dkk mengembangkan suatu pendekatan perkembangan terintegrasi untuk intervensi anak yang mempunyai kesulitan besar (severe) dalam berhubungan (relationship) dan berkomunikasi, dan tehnik intervensi interaktif yang sistematik inilah yang disebut Floor Time.
Kerangka Konsep Program Ini Diantaranya:
·                     Pentingnya relationship
·                     Enam acuan (milestone) sosial yang spesifik
·                     Teori hipotetikal tentang autistic.
TEACCH (Treatment and Education of Autistic and Related Communication Handicapped Children) Divisi TEACCH merupakan program nasional di North Carolina USA, yang melayani anak penyandang autistik, dan diakui secara internasional sebagai sistem pelayanan yang tidak terikat/bebas. Dibandingkan dengan ketiga program yang telah dibicarakan, program TEACCH menyediakan pelayanan yang berkesinambungan untuk individu, keluarga dan lembaga pelayanan untuk anak penyandang autistik. Penanganan dalam program ini termasuk diagnosa, terapi/treatment, konsultasi, kerjasama dengan masyarakat sekitar, tunjangan hidup dan tenaga kerja, dan berbagai pelayanan lainnya untuk memenuhi kebutuhan keluarga yang spesifik. Para terapis dalam program TEACCH harus memiliki pengetahuan dalam berbagai bidang termasuk, speech pathology, lembaga kemasyarakatan, intervensi dini, pendidikan luar biasa dan psikologi. Konsep pembelajaran dari model TEACCh berdasarkan tingkah laku, perkembangan dan dari sudut pandang teori ekologi, yang berhubungan erat dengan teori dasar autisme. Terapi Penunjang
1.                  Terapi Wicara: membantu anak melancarkan otot-otot mulut sehingga membantu anak berbicara lebih baik.
2.                  Terapi Okupasi: untuk melatih motorik halus anak.
3.                  Terapi Bermain: mengajarkan anak melalui belajar sambil bermain.
4.                  Terapi medikamentosa atau obat-obatan (drug therapy): dengan pemberian obat-obatan oleh dokter yang berwenang.
5.                  Terapi melalui makanan (diet therapy): untuk anak-anak dengan masalah alergi makanan tertentu.
6.                  Sensory Integration Therapy: untuk anak-anak yang mengalami gangguan pada sensorinya.
7.                  Auditory Integration Therapy: agar pendengaran anak lebih sempurna.
Biomedical treatment atau therapy: penanganan biomedis yang paling mutakhir, melalui perbaikan kondisi tubuh agar terlepas dari faktor-faktor yang merusak (dari keracunan logam berat, efek casomorphine dan gliadorphin, alergen, dan sebagainya). Layanan Pendidikan Lanjut. Pada anak autistik yang telah diterapi dengan baik dan memperlihatkan keberhasilan yang menggembirakan, anak tersebut dapat dikatakan "sembuh" dari gejala autistiknya. Ini terlihat bila anak tersebut sudah dapat mengendalikan perilakunya sehingga tampak berperilaku normal, berkomunikasi dan berbicara normal, serta mempunyai wawasan akademik yang cukup sesuai anak seusianya. Pada saat ini anak sebaiknya mulai diperkenalkan untuk masuk kedalam kelompok anak-anak normal, sehingga ia (yang sangat bagus dalam meniru/imitating) dapat mempunyai figur atau role model anak normal dan meniru tingkah laku anak normal seusianya.
Kelas Terpadu sebagai kelas transisi. Kelas ini ditujukan untuk anak autistik yang telah diterapi secara terpadu dan terstruktur juga merupakan kelas persiapan dan pengenalan akan pengajaran dengan kurikulum sekolah biasa, tetapi melalui tata cara pengajaran untuk anak autistik ( kelas kecil dengan jumlah guru besar, dengan alat visual, gambar atau kartu, instruksi yang jelas, padat dan konsisten,dan sebagainya). Tujuan kelas terpadu adalah: membantu anak dalam mempersiapkan transisi ke sekolah reguler, belajar secara intensif pelajaran yang tertinggal di kelas reguler, sehingga dapat mengejar ketinggalan dari teman-teman sekelasnya. Prasyarat:
a.                  Diperlukan guru SD dan terapis sebagai pendamping, sesuai dengan keperluan anak didik (terapis perilaku, terapis bicara, terapis okupasi dan sebagainya).
b.                  Kurikulum masing-masing anak dibuat melalui pengkajian oleh satu team dari berbagai bidang ilmu ( psikolog, pedagogi, speech patologist, terapis, guru dan orang tua atau relawan).
c.                   Kelas ini berada dalam satu lingkungan sekolah reguler untuk 
memudahkan proses transisi dilakukan (misal: mulai latihan bergabung dengan kelas reguler pada saat olah raga atau istirahat atau prakarya dan sebagainya).
Program inklusi (mainstreaming). Program ini dapat berhasil bila ada: 
Keterbukaan dari sekolah umum. Test masuk tidak didasari hanya oleh test IQ untuk anak normal. Peningkatan SDM atau guru terkait. Proses shadowing atau dapat dilaksanakan Guru Pembimbing Khusus (GPK). Idealnya anak berhak memilih pelajaran yang ia mampu saja (Mempunyai IEP atau Program Pendidikan Individu sesuai dengan kemampuannya). Anak dapat "tamat" (bukan lulus) dari sekolahnya karena telah selesai melewati pendidikan di kelasnya bersama-sama teman sekelasnya atau peers.
Tersedianya tempat khusus (special unit) bila anak memerlukan terapi 1:1 di sekolah umum Sekolah Khusus. Pada kenyataannya dari kelas Terpadu terevaluasi bahwa tidak semua anak autistik dapat transisi ke sekolah reguler. Anak-anak ini sangat sulit untuk dapat berkonsentrasi dengan adanya distraksi di sekeliling mereka. Beberapa anak memperlihatkan potensi yang sangat baik dalam bidang tertentu misalnya olah raga, musik, melukis, komputer, matematika, ketrampilan dsb. Anak-anak ini sebaiknya dimasukkan ke dalam Kelas khusus, sehingga potensi mereka dapat dikembangkan secara maksimal. Contoh sekolah khusus: Sekolah ketrampilan, Sekolah pengembangan olahraga, Sekolah Musik, Sekolah seni lukis, Sekolah Ketrampilan untuk usaha kecil, Sekolah komputer,dan lain – lain.
Home Schooling adapula anak autistik yang bahkan tidak mampu ikut serta dalam Kelas Khusus karena keterbatasannya, misalnya anak non verbal, retardasi mental, masalah motorik dan auditory dsb. Anak ini sebaiknya diberi kesempatan ikut serta dalam Program Sekolah Dirumah (Homeschooling Program). Melalui bimbingan para guru/terapis serta kerjasama yang baik dengan orangtua dan orang-orang disekitarnya, dapat dikembangkan potensi atau strength anak. Kerjasama guru dan orangtua ini merupakan cara terbaik untuk men-generalisasi program dan membentuk hubungan yang positif antara keluarga dan masyarakat. Bila memungkinkan, dengan dukungan dan kerjasama antara guru sekolah dan terapis di rumah anak-anak ini dapat diberi kesempatan untuk mendapat persamaan pendidikan yang setara dengan sekolah reguler atau SLB untuk bidang yang ia kuasai. Dilain pihak, perlu dukungan yang memadai untuk keluarga dan masyarakat sekitarnya untuk dapat menghadapi kehidupan bersama seorang autistik
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Autisme adalah gangguan perkembangan yang kompleks, yang disebabkan oleh adanya kerusakan pada otak, sehingga mengakibatkan gangguan pada perkembangan komunikasi, perilaku, kemampuan sosialisasi, sensori dan belajar. Autisme merupakan suatu gangguan perkembangan, gangguan pemahaman atau gangguan perpasif, dan bukan suatu bentuk penyakit mental (Peeters, 2004). Autisme diklasifikasikan sebagai ketidaknormalan perkembangan neuro yang menyebabkan interaksi sosial yang tidak normal, kemampuan komunikasi, pola kesukaan, dan pola sikap. Autisme bisa terdeteksi pada anak berumur paling sedikit 1 tahun. Autisme empat kali lebih banyak menyerang anak laki-laki dari pada anak perempuan. Gejala-gejala autisme mencakup beberapa gangguan perkembangan pada anak yaitu gangguan komunikasi verbal dan non verbal, gangguan interaksi sosial, gangguan perilaku dan bermain, gangguan perasaan dan emosi, gangguan persepsi sensoris. Hingga kini, bisa tidaknya autis disembuhkan (total) juga masih menjadi pertentangan dalam dunia kedokteran dan psikologi. Namun, orang tua hendaknya harus mencoba berbagai terapi. Setidaknya dengan terapi keadaan si anak lebih baik. Saat ini, ada berbagai terapi autis, baik yang diakui oleh dunia medis maupun yang masih bedasarkan disiplin ilmu tradisional. Macam-macam terapi autis diantaranya: terapi akupuntur, terapi musik, terapi balur, terapi perilaku, terapi keluarga, terapi lumba-lumba. Keterlibatan keluarga merupakan hal yang penting dalam proses sosial penderita autisme. Dukungan sosial memberikan peranan penting dalam setiap perkembangan kehidupan manusia. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif yang bertujuan untuk mengetahui dukungan sosial keluarga dalam membantu proses sosialisasi pada anak penderita autisme. Bagi penderita autisme diperlukan juga pendidikan yang sesuia, diharapkan para orang tua memliki kebijakan pendidikan yang tepat bagi anak penderita autis.

3.2 SARAN
Demikian artikel yang dapat saya sajikan, masih terdapat kekurangan dikarenakan masih terbatas ruang lingkup dan metode penelitian terhadap proses sosilisasi bagi penderita autis. Sebagai pembaca diharapkan mengoreksi artikel ini dan bagi peneliti yang lain semoga dapat menyajikan artikel yang lebih baik berdasarkan penelitian yang dilakukan.
DAFTAR PUSTAKA
Drs.Suyata,Msc,PhD.2000.SosioAntropologi Pendidikan.Yogyakarta:Universitas Negeri Yogyakarta.
Handojo, Y. 2003. Autisma. Jakarta: PT. Bhuana Ilmu Populer.


 

Link Kesehatan Copyright © 2011-2012 | Powered by Blogger