Defenisi Farmasi Klinis
Farmasi Klinis merupakan praktek kefarmasian yang
berorientasi kepada pasien lebih dari orientasi kepada produk. Istilah farmasi
klinik mulai muncul pada tahun 1960-an di Amerika, yaitu suatu disiplin ilmu
farmasi yang menekankan fungsi farmasis untuk memberikan asuhan kefarmasian
(pharmaceutical care) kepada pasien, bertujuan untuk meningkatkan outcome
pengobatan.
II. Tujuan Farmasi Klinis
1. Memaksimalkan efek terapeutik
- Efektivitas terapi meliputi:
- Ketepatan indikasi
- Ketepatan pemilihan obat
- Ketepatan pengaturan dosis sesuai dengan kebutuhan dan kondisi pasien
- Evaluasi terapi
2. Meminimalkan resiko
- Memastikan risiko yang sekecil mungkin bagi pasien
- Meminimalkan masalah ketidakamanan pemakaian obat meliputi efek samping, dosis, interaksi, dan kontra indikasi
3. Meminimalkan biaya
Untuk rumah sakit dan pasien
- Apakah jenis obat yang dipilih adalah yang paling efektif dalam hal biaya dan rasional ?
- Apakah terjangkau oleh kemampuan pasien atau rumah sakit ?
- Jika tidak, alternatif jenis obat apa yang memberikan kemanfaatan dan keamanan yang sama
4. Menghormati pilihan pasien
·
Keterlibatan
pasien dalam proses pengobatan akan menetukan keberhasilan terapi.
·
Hak
pasien harus diakui dan diterima semua pihan
III. Sejarah
Farmasi Klinis
Secara historis, perubahan-perubahan dalam profesi
kefarmasian di Inggris, khususnya dalam abad ke-20, dapat dibagi dalam
periode/tahap:
Periode / tahap tradisional
Dalam periode tradisional ini, fungsi farmasis yaitu
menyediakan, membuat, dan mendistribusikan produk yang berkhasiat obat. Tenaga
farmasi sangat dibutuhkan di apotek sebagai peracik obat. Periode ini mulai
mulai goyah saat terjadi revolusi industri dimana terjadi perkembangan pesat di
bidang industri tidak terkecuali industri farmasi. Ketika itu sediaan obat jadi
dibuat oleh industri farmasi dalam jumlah besar-besaran. Dengan beralihnya
sebagian besar pembuatan obat oleh industri maka fungsi dan tugas farmasis
berubah. Dalam pelayanan resep dokter, farmasis tidak lagi banyak berperan pada
peracikan obat karena obat yang tertulis di resep sudah bentuk obat jadi yang
tinggal diserahkan kepada pasien. Dengan demikian peran profesi kefarmasian
makin menyempit.
Tahap Transisional (1960-1970)
Perkembangan-perkembangan dan kecenderungan tahun
1960-an/1970-an
A. Ilmu kedokteran cenderung semakin spesialistis
Kemajuan dalam ilmu kedokteran yang pesat, khusunya dalam
bidang farmakologi dan banyaknya macam obat yang mulai membanjiri dunia
menyebabkan para dokter merasa ketinggalan dalam ilmunya. Selain ini kemajuan
dalam ilmu diagnosa, aalat-alat diagnosa baru serta penyakit-penyakit yang baru
muncul (atau yangbaru dapat didefinisikan) membingungkan para dokter. Satu
profesi tiadak dapat lagi menangani semua pengetahuan yang berkembang dengan
pesat.
B. Obat-obat baru yang efektif secara terapeutik berkembang
pesat sekali dalam dekade-dekade tersebut. Akan tetapi keuntungan dari segi
terapi ini membawa masalah-masalah tersendiri dengan meningkatnya pula masalah
baru yang menyangkut obat; antara lain efek samping obat, teratogenesis,
interaksi obat-obat, interaksi obat-makanan, dan interaksi obat-uji
laboratorium.
C. Meningkatnya biaya kesehatan sektor publik amtara lain
disebabkan oleh penggunaan teknologi canggih yang mahal, meningkatnya
permintaan pelayanan kesehatan secara kualitatif maupun kuantitatif, serta
meningkatnya jumlah penduduk lansia dalam struktur demografi di negara-negara
maju, seperti Inggris. Karena tekanan biaya kesehatan yang semakin mahal,
pemerintah melakuakn berbagai kebijakan untuk meningkatkan efektifitas biaya
(cost-effectiveness), termasuk dalam hal belanja obat (drugs expenditure).
D. Tuntunan masyarakat untuk pelayanan medis dan farmasi
yang bermutu tinggi disertai tuntunan pertanggungjawaban peran para dokter dan
farmasis, sampai gugatan atas setiap kekurangan atau kesalahan pengobatan.
Kecenderungan-kecenderungan tersebut terjadi secara paralel
dengan perubahan peranan farmasis yang semakin sempit. Banyak orang
mempertanyakan peranan farmasis yang overtrained dan underutilised, yaitu
pendidikan yang tinggi akan tetapi tidak dimanfaatkan sesuai dengan pendidikan
mereka. Situasi ini memunculkan perkembangan farmasi bangsal (ward pharmacy)
atau farmasi klinis (clinical pharmacy).
Farmasi klinis lahir pada tahun 1960-an di Amerika Serikat
dan Inggris dalam periode transisi ini. Masa transisi ini adalah masa perubahan
yang cepat dari perkembangan fungsi dan peningkatan jenis-jenis pelayanan
profesional yang dilakukan oleh bebrapa perintis dan sifatnya masih individual.
Yang paling menonjol adalah kehadiran farmasis di ruang rawat rumah sakit,
meskipun masukan mereka masih terbatas. Banyak farmasis mulai mengembangkan
fungsi-fungsi baru dan mencoba menerapkannya. Akan tetapi tampaknya,
perkembangannya masih cukup lambat. Diantara para dokter, farmasis dan perawat,
ada yang mendukung, tetapi adapula yang menolaknya.
Tahap Masa Kini
Pada periode ini mulai terjadi pergeseran paradigma yang
semula pelayanan farmasi berorientasi pada produk, beralih ke pelayanan farmasi
yang berorientasi lebih pada pasien. Farmasis ditekankan pada kemampuan
memberian pelayanan pengobatan rasional. Terjadi perubahan yang mencolok pada
praktek kefarmasian khususnya di rumah sakit, yaitu dengan ikut sertanya tenaga
farmasi di bangsal dan terlibat langsung dalam pengobatan pasien.
Karakteristik pelayanan farmasi klinik di rumah sakit adalah
:
- Berorientasi kepada pasien
- Terlibat langsung di ruang perawatan di rumah sakit (bangsal)
- Bersifat pasif, dengan melakukan intervensi setelah pengobatan dimulai dan memberi informasi bila diperlukan
- Bersifat aktif, dengan memberi masukan kepada dokter sebelum pengobatan dimulai, atau menerbitkan buletin informasi obat atau pengobatan
- Bertanggung jawab atas semua saran atau tindakan yang dilakukan
- Menjadi mitra dan pendamping dokter.
Dalam sistem pelayanan kesehatan pada konteks
farmasi klinik, farmasis adalah ahli pengobatan dalam terapi. Mereka bertugas
melakukan evalusi pengobatan dan memberikan rekomendasi pengobatan, baik kepada
pasien maupun tenaga kesehatan lain. Farmasis merupakan sumber utama informasi
ilmiah terkait dengan penggunaan obat yang aman, tepat dan cost effective.
Tahap Masa Depan Pelayanan Kefarmasian (Pharmaceutical Care)
Gagasan ini masih dalam proses perkembangan. Diberikan
disini untuk perluasan wawasan karena kita akan sering mendengar konsep ini.
Pelayanan kefarmasiaan (Pharmaceutical Care) didefinisikan oleh Cipolle,
Strand, dan Morley (1998) sebagai: “A practice in which the practitioner takes
responsibility for a patient’s drug therapy needs, and is held accountable for
this commitment”. Dalam prakteknya, tanggung jawab terapi obat diwujudkan pada
pencapaian hasil positif bagi pasien.
Proses pelayanan kefarmasian dapat dibagi menjadi tiga
komponen, yaitu;
1. Penilaian (assessment): untuk menjamin bahwa semua terapi obat yang diiberikan
kepada pasien terindikasikan, berkasiat, aman dan sesuai serta untuk
mengidentifikasi setiap masalah terapi obat yang muncul, atau memerlikan
pencegahan dini.
2. Pengembangan perencanaan perawatan (Development of a Care
Plan): secara
bersama – sama, pasien dan praktisi membuat suatu perencanaan untuk
menyelesaikan dan mencegah masalah terapi obat dan untuk mencapai tujuan
terapi. Tujuan ini (dan intervensi) didesain untuk:
- Menyelesaikan setiap masalah terapi yang muncul
- Mencapai tujuan terapi individual
- Mencegah masalah terapi obat yang potensial terjadi kemudian
3. Evaluasi: mencatat hasil terapi, untuk mengkaji perkembangan dalam
pencapaian tujuan terapi dan menilai kembali munculnya masalah baru.
Ketiga tahap proses ini terjadi secara terus – menerus bagi
seorang pasien.
Konsep perencanaan pelayanan kefarmasian telah dirangkai
oleh banyak praktisi farmasi klinis. Meskipun definisi pelayanan kefarmasian
telah diterapkan secara berbeda dalam negara yang berbeda, gagasan dasar
adalah farmasis bertanggungjawab terhadap hasil penggunaan obat oleh/untuk
pasien sama seperti seorang dokter atau perawat bertanggungjawab terhadap
pelayanan medis dan keperawatan yang mereka berikan. Dengan kata lain, praktek
ini berorientasi pada pelayanan yang terpusat kepada pasien dan tanggungjawab
farmasis terhadap morbiditas dan mortalitas yang berkaitan dengan obat.
IV. Farmasi Klinik diberbagai Belahan Dunia
Farmasi Klinik di Eropa
Gerakan farmasi klinik di Eropa mulai menggeliat dengan
didirikannya European Society of Clinical Pharmacy (ESCP) pada
tahun 1979 (Leufkens et al, 1997). Sejak itu terjadi perdebatan
yang terus menerus mengenai tujuan, peran dan nilai tambah farmasi klinik
terhadap pelayanan pasien. Pada tahun 1983, ESCP mengkompilasi dokumen
pendidikan berisi persyaratan dan standar untuk keahlian dan ketrampilan
seorang farmasis klinik (ESCP, 1983). Pada tahun itu, Federation
Internationale Pharmaceutique (FIP) mempublikasikan prosiding
simposium bertemakan ‘Roles and Responsibilities of the Pharmacists in
Primary Health Care’ di mana berhasil disimpulkan peran klinis seorang
farmasis (Breimer et al, 1983). Sejak itu, World Health Organisation
(WHO) dan berbagai institusi lain mulai mengenal dan memperjuangkan
farmasis sebagai tenaga pelayanan kesehatan yang strategis (Lunde dan Dukes,
1989). Pada tahun 1992, ESCP mempublikasikan “The Future of Clinical
Pharmacy in Europe” yang merefleksikan perubahan cepat tentang
peran farmasi di dalam sistem pelayanan kesehatan (Bonal et
al, 1993). Perubahan tersebut terjadi secara universal di berbagai negara,
dan itu terkait dengan perkembangan teknologi kesehatan, ekonomi kesehatan,
informatika, sosial ekonomi, dan hubungan profesional (Waldo et al,
1991).
Menurut ESCP, farmasi klinik merupakan pelayanan yang
diberikan oleh apoteker di RS, apotek, perawatan di rumah, klinik, dan di
manapun, dimana terjadi peresepan dan penggunaan obat. Adapun tujuan secara
menyeluruh aktivitas farmasi klinik adalah meningkatkan penggunaan obat yang
tepat dan rasional, dan hal ini berarti:
- Memaksimalkan efek pengobatan yaitu penggunaan obat yang paling efektif untuk setiap kondisi tertentu pasien.
- Meminimalkan risiko terjadinya adverse effect, yaitu dengan cara memantau terapi dan kepatuhan pasien terhadap terapi.
- Meminimalkan biaya pengobatan yang harus dikeluarkan oleh pasien atau pemerintah (ESCP, 2009).
Walaupun
demikian, perkembangan pelayanan farmasi klinik tidaklah sama di semua negara
Eropa. Inggris merupakan negara di Eropa yang paling lama menerapkan farmasi
klinik. Sebagian besar penelitian tentang peran penting farmasi klinik dalam
pelayanan kesehatan sebagian besar diperoleh dari pengalaman di Amerika dan
Inggris.
Farmasi Klinik di Australia
Di Australia, 90% rumah sakit swasta dan 100% rumah sakit
pemerintah memberikan pelayanan farmasi klinik. Organisasi profesi utama yang
mewadahi farmasis yang bekerja di RS di Australia adalah The Society of
Hospital Pharmacists of Australia (SHPA),yang didirikan pada tahun 1941.
Pada tahun 1996, SHPA mempublikasikan Standar Pelayanan Farmasi Klinik yang
menjadi referensi utama pemberian pelayanan farmasi klinik di Australia.
Komponen fundamental dari standar ini adalah pernyataan
tentang tujuan farmasi klinik dan dokumentasi dari aktivitas farmasi klinik
terpilih. Standar ini juga digunakan dalam pengembangan kebijakan pemerintah
dalam akreditasi pelayanan farmasi klinik di Australia, dan juga sebagai
standar untuk pendidikan farmasi, baik di tingkat S1 maupun pasca sarjana
(DiPiro, 2002)
Farmasi Klinik di Indonesia
Praktek pelayanan farmasi klinik di Indonesia relatif baru
berkembang pada tahun 2000-an, dimulai dengan adanya beberapa sejawat farmasis
yang belajar farmasi klinik di berbagai institusi pendidikan di luar negeri.
Belum sepenuhnya penerimaan konsep farmasi klinik oleh tenaga kesehatan di RS
merupakan salah satu faktor lambatnya perkembangan pelayanan farmasi klinik di
Indonesia. Masih dianggap atau merupakan keganjilan jika apoteker yang semula
berfungsi menyiapkan obat di Instalasi Farmasi RS, kemudian ikut masuk ke
bangsal perawatan dan memantau perkembangan pengobatan pasien, apalagi jika
turut memberikan rekomendasi pengobatan, seperti yang lazim terjadi di negara
maju. Farmasis sendiri selama ini terkesan kurang menyakinkan untuk bisa
memainkan peran dalam pengobatan. Hal ini kemungkinan besar disebabkan oleh
sejarah pendidikan farmasi yang bersifat monovalen dengan muatan sains yang
masih cukup besar (sebelum tahun 2001), sementara pendidikan ke arah klinik
masih sangat terbatas, sehingga menyebabkan farmasis merasa gamang berbicara
tentang penyakit dan pengobatan
Sebagai informasi, sejak tahun 2001, pendidikan farmasi di
Indonesia, khususnya di UGM, telah mengakomodasi ilmu-ilmu yang diperlukan
dalam pelayanan farmasi klinik, seperti patofisiologi, farmakoterapi, dll.
dengan adanya minat studi Farmasi Klinik dan Komunitas.
Bersamaan dengan itu, mulai tahun 2001, berhembus angin
segar dalam pelayanan kefarmasian di Indonesia. Saat itu terjadi
restrukturisasi pada organisasi Departemen Kesehatan di mana dibentuk
Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan, dengan Direktorat Bina
Farmasi Komunitas dan Klinik di bawahnya, yang mengakomodasi pekerjaan kefarmasian
sebagai salah satu pelayanan kesehatan utama, tidak sekedar sebagai penunjang.
Menangkap peluang itu, Fakultas Farmasi UGM termasuk menjadi salah satu pioner
dalam pendidikan Farmasi Klinik dengan dibukanya Program Magister Farmasi
Klinik. Di sisi lain, beberapa sejawat farmasis rumah sakit di Indonesia mulai
melakukan kegiatan pelayanan farmasi klinik, walaupun masih terbatas. Namun
demikian, bukan berarti perkembangan farmasi klinik serta merta meningkat
pesat, bahkan perkembangannya masih jauh dari harapan. Kasus Prita di sebuah RS
di Tangerang yang cukup menghebohkan beberapa saat lalu merupakan salah satu
cermin bahwa pelayanan kesehatan di Indonesia masih harus ditingkatkan, dan
farmasis klinik mestinya bisa mengambil peran mencegah kejadian serupa.
Kiranya ke depan, perlu dilakukan upaya-upaya strategis untuk membuktikan
kepada pemegang kebijakan dan masyarakat luas bahwa adanya pelayanan farmasi
langsung kepada pasien akan benar-benar meningkatkan outcome terapi
bagi pasien, seperti yang diharapkan ketika gerakan farmasi klinik ini
dimulai.
V. Macam – Macam Aktivitas Farmasi Klinik
Walaupun ada sedikit variasi di berbagai negara, pada
prinsipnya aktivitas farmasi klinik meliputi :
- Pemantauan pengobatan.
Hal ini dilakukan dengan menganalisis terapi, memberikan advis kepada praktisi kesehatan tentang kebenaran pengobatan, dan memberikan pelayanan kefarmasian pada pasien secara langsung - Seleksi obat.
Aktivitas ini dilakukan dengan bekerja sama dengan dokter dan pemegang kebijakan di bidang obat dalam penyusunan formularium obat atau daftar obat yang digunakan. - Pemberian informasi obat.
Farmasis bertanggug-jawab mencari informasi dan melakukan evaluasi literatur ilmiah secara kritis, dan kemudian mengatur pelayanan informasi obat untuk praktisi pelayanan kesehatan dan pasien - Penyiapan dan peracikan obat.
Farmasis bertugas menyiapkan dan meracik obat sesuai dengan standar dan kebutuhan pasien - Penelitian dan studi penggunaan obat.
Kegiatan farmasi klinik antara lain meliputi studi penggunaan obat, farmakoepidemio- logi, farmakovigilansi, dan farmakoekonomi. - Therapeutic drug monitoring (TDM).
Farmasi klinik bertugas menjalankan pemantauan kadar oba - Uji klinik.
Farmasis juga terlibat dalam perencanaan dan evaluasi obat, serta berpartisipasi dalam uji klinik. - Pendidikan dan pelatihan, terkait dengan pelayanan
kefarmasian.
Semua yang dipaparkan di atas adalah gambaran perkembangan profesi farmasi, khususnya farmasi klinik, yang terjadi di beberapa belahan dunia. Bagaimana dengan Indonesia?