KONSEP DASAR KEDARURATAN PSIKIATRI
BAB 1
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Psikiatri dipenuhi oleh fenomenologi dan penelitian fenomena
mental. Dokter psikiatri harus belajar untuk menguasai observasi yang teliti
dan penjelasan yang mengungkapkan keterampilan termasuk belajar bahasa baru.
Bagian bahasa didalam psikiatri termasuk pengenalan dan definisi tanda dan
gejala perilaku dan emosional.
Kegawatdaruratan Psikiatrik merupakan aplikasi
klinis dari psikiatrik pada kondisi darurat. Kondisi ini menuntut intervensi
psikiatriks seperti percobaan bunuh diri, penyalahgunaan obat, depresi,
penyakit kejiwaan, kekerasan atau perubahan lainnya pada perilaku. Pelayanan
kegawatdaruratan psikiatrik dilakukan oleh para profesional di bidang
kedokteran, ilmu perawatan, psikologi dan pekerja sosial. Permintaan untuk
layanan kegawatdaruratan psikiatrik dengan cepat meningkat di seluruh dunia sejak
tahun 1960-an, terutama di perkotaan. Penatalaksanaan pada pasien
kegawatdaruratan psikiatrik sangat kompleks. Para profesional yang bekerja pada
pelayanan kegawatdaruratan psikiatrik umumnya beresiko tinggi mendapatkan
kekerasan akibat keadaan mental pasien mereka. Pasien biasanya datang atas
kemauan pribadi mereka, dianjurkan oleh petugas kesehatan lainnya, atau tanpa
disengaja. Penatalaksanaan pasien yang menuntut intervensi psikiatrik pada
umumnya meliputi stabilisasi krisis dari masalah hidup pasien yang bisa
meliputi gejala atau kekacauan mental baik sifatnya kronis ataupun akut.
B.
Tujuan Penyusunan
a.
Tujuan umum
Adapun
tujuan umum dari pembuatan makalah ini adalah untuk mengetahui gambaran umum
tentang keperawatan gawat darurat psikiatri serta mampu
berperan sebagai perawat jiwa baik di Rumah Sakit atau di komunitas.
b. Tujuan khusus
Setelah menyusun makalah ini diharapkan
- Memenuhi tugas keperawatan Gadar Psikiatri
- Untuk memperdalam pengetahuan dalam keperawatan Gadar Psikiatri
- Teman-teman mahasiswa mampu menjelaskan pengertian keperawatan Gadar Psikiatri
- Teman-teman mahasiswa mampu menjelaskan faktor penyebab diadakannya keperawatan Gadar Psikiatri
- Teman-teman mahasiswa mampu menjelaskan tanda dan gejala bunuh diri
- Teman-teman mahasiswa mampu menjelaskan tanda dan gejala prilaku kekerasan
- Teman-teman mahasiswa mampu menjelaskan tanda dan gejala gaduh/gelisah
- Teman-teman mahasiswa mampu menjelaskan tanda dan gejala withdrawal
- Teman-teman mahasiswa mampu menjelaskan dasar hukum yang melatarbelakangi keperawatan Gadar Psikiatri
- Teman-teman mahasiswa mampu menyebutkan adta mengenai psikosis, neurosis dan NAPZA
C. Sistematika Penulisan
Dalam menyusun makalah ini, penyusunannya dibagi menjadi
3 bab dengan urutan sebagai berikut :
Bab1
: Pendahuluan meliputi latar belakang masalah, tujuan penyusunan,
dan sistematika penulisan.
Bab
2 : Tinjauan teoritik terdiri dari konsep dasar mengenai jiwa
terdiri dari definisi, ciri-ciri/ karakteristik jiwa sehat dan sakit, faktor
penyebab gangguan jiwa, tanda dan gejala, pendekatan, peran dan fungsi
perawat, perkembangan keperawatan kesehatan jiwa, pelayanan keperawatan,
perkembangan pelayanan keperawatan jiwa psikiatri, dan perkembangan keperawatan
jiwa di Indonesia.
Bab
3 : Penutup berisi kesimpulan materi.
BAB
II
KONSEP
DASAR KEDARURATAN PSIKIATRI
A.
Pengertian
Rangkaian kegiatan praktik keperawatan kegawatdaruratan yang
diberikan oleh perawat yang kompeten untuk memberikan asuhan keperawatan di
ruang gawat darurat.
Keperawatan Kegawat Daruratan (emergency Nursing) Adalah
bagian dari keperawatan dimana perawat memberikan asuhan kepada klien yang
sedang mengalami keadaan yang mengancam kehidupan karena sakit atau kecelakaan.
Unit Gawat Darurat Adalah tempat/unit di RS yang memiliki
tim kerja dengan kemampuan khusus & peralatan yang memberikan pelayan
pasien gawat darurat, merupakan rangkaian dari upaya penanggulangan pasien
dengan gawat darurat yang terorganisir
Kondisi pada keadaan kegawatdaruratan psikiatrik meliputi
percobaan bunuh diri, ketergantungan obat, intoksikasi alkohol, depresi akut,
adanya delusi, kekerasan, serangan panik, dan perubahan tingkah laku yang cepat
dan signifikan, serta beberapa kondisi medis lainnya yang mematikan dan muncul
dengan gejala psikiatriks umum. Kegawatdaruratan psikiatrik ada untuk
mengidentifikasi dan menangani kondisi ini. Kemampuan dokter untuk
mengidentifikasi dan menangani kondisi ini sangatlah penting.
Keperawatan Gawat Darurat adalah pelayanan profesional yg
didasarkan pada ilmu keperawatan gawat darurat & tehnik keperawatan gawat
darurat berbentuk pelayanan bio-psiko-sosio- spiritual yang komprehensif
ditujukan pada semua kelompok usia yang sedang mengalami masalah kesehatan yang
bersifat urgen , akut dan kritis akibat trauma, proses kehidupan ataupun
bencana.
B.
Faktor Penyebab Gadar Psikiatri
Kondisi Kedaruratan Adalah suatu kondisi dimana terjadi
gangguan integritas fisiologis atau psikologis secara mendadak. Semua
masyarakat berhak mendapat perawatan kesehatan gawat darurat, pencegahan,
primer, spesialistik serta kronik. Perawatan GD harus dilakukan tanpa
memikirkan kemampuan pasien untuk membayar. Semua petugas medis harus diberi
kompensasi yang adekuat, adil dan tulus atas pelayanan kesehatan yang
diberikannya. Diperlukan mekanisme pembayaran penggantian atas pelayanan
gratis, hingga tenaga dan sarana tetap tejaga untuk setiap pelayanan. Ini
termasuk mekanisme kompensasi atas penderita yang tidak memiliki asuransi,
bukan penduduk setempat atau orang asing. Semua pasien harus mendapat
pengobatan, tindakan medis dan pelayanan memadai yang diperlukan agar didapat
pemulihan yang baik dari penyakit atau cedera akut yang ditindak secara gawat
darurat.
Tempat rujukan layanan kegawatdaruratan psikiatrik biasanya
dikenal sebagai Psychiatric Emergency Service, Psychiatric Emergency Care
Centres, atau Comprehensive Psychiatric Emergency Programs. Tenaga kesehatan
terdiri dari berbagai disiplin, mencakup kedokteran, ilmu perawatan, psikologi,
dan karya sosial di samping psikiater. Untuk fasilitas, kadang dirawat inap di
rumah sakit jiwa, bangsal jiwa, atau unit gawat darurat, yang menyediakan
perawatan segera bagi pasien selama 24 jam. Di dalam lingkungan yang
terlindungi, pelayanan kegawatdaruratan psikiatrik diberikan untuk memperoleh
suatu kejelasan diagnostik, menemukan solusi alternatif yang sesuai untuk
pasien, dan untuk memberikan penanganan pada pasien dalam jangka waktu tertentu.
Bahkan diagnosis tepatnya merupakan suatu prioritas sekunder dibandingkan
dengan intervensi pada keadaan kritis.
Fungsi pelayanan kegawatdaruratan psikiatrik adalah menilai
permasalahan pasien, memberikan perawatan jangka pendek, memberikan pengawasan
selama 24 jam , mengerahkan tim untuk menyelesaikan intervensi pada tempat
kediaman pasien, menggunakan layanan manajemen keadaan darurat untuk mencegah
krisis lebih lanjut, memberikan peringatan pada pasien rawat inap dan pasien
rawat jalan, dan menyediakan pelayanan konseling lewat telepon.
C.
Tanda dan Gejala Awal pada
1.
Bunuh diri
Bunuh diri adalah tindakan agresif yang merusak diri sendiri
dan dapat mengakhiri kehidupan. Perilaku bunuh diri yang tampak pada seseorang
disebabkan karena stress yang tinggi dan kegagalan mekanisme koping yang
digunakan dalam mengatasi masalah (Keliat, 1993). Perilaku bunuh diri atau
destruktif diri langsung terjadi terus menerus dan intensif pada diri kehidupan
seseorang. Perilaku yang tampak adalah berlebihan, gejala atau ucapan verbal
ingin bunuh diri, luka atau nyeri (Rawlin dan Heacock, 1993).
Dikutip dari situs kesehatan mental epigee.org, berikut ini
adalah tanda-tanda bunuh diri yang mungkin terjadi:
- Bicara mengenai kematian: Bicara tentang keinginan menghilang, melompat, menembak diri sendiri atau ungkapan membahayakan diri.
- Baru saja kehilangan: kematian, perceraian, putus dengan pacar atau kehilangan pekerjaan, semuanya bisa mengarah pada pemikiran bunuh diri atau percobaan bunuh diri. Kehilangan lainnya yang bisa menandakan bunuh diri termasuk hilangnya keyakinan beragama dan hilangnya ketertarikan pada seseorang atau pada aktivitas yang sebelumnya dinikmati.
- Perubahan kepribadian: seseorang mungkin memperlihatkan tanda-tanda kelelahan, keraguan atau kecemasan yang tidak biasa.
- Perubahan perilaku: kurangnya konsentrasi dalam bekerja, sekolah atau kegiatan sehari-hari, seperti pekerjaan rumah tangga.
- Perubahan pola tidur: tidur berlebihan, insomnia dan jenis gangguan tidur lainnya bisa menjadi tanda-tanda dan gejala bunuh diri.
- Perubahan kebiasaan makan: kehilangan nafsu makan atau bertambahnya nafsu makan. Perubahan lain bisa termasuk penambahan atau penurunan berat badan.
- Berkurangnya ketertarikan seksual: perubahan seperti ini bisa mencakup impotensi, keterlambatan atau ketidakteraturan menstruasi.
- Harga diri rendah: gejala bunuh diri ini bisa diperlihatkan melalui emosi seperti malu, minder atau membenci diri sendiri.
- Ketakutan atau kehilangan kendali: seseorang khawatir akan kehilangan jiwanya dan khawatir membahayakan dirinya atau orang lain.
- Kurangnya harapan akan masa depan: tanda bunuh diri lainnya adalah seseorang merasa bahwa tidak ada harapan untuk masa depan dan segala hal tidak akan pernah bertambah baik.
Beberapa tanda bunuh diri lainnya meliputi pernah mencoba
bunuh diri, memiliki riwayat penyalahgunaan obat atau alkohol, belanja
berlebihan, hiperaktivitas, kegelisahan dan kelesuan.
2.
Perilaku kekerasan
Umumnya klien dengan Perilaku Kekerasan dibawa dengan paksa
ke Rumah sakit Jiwa. Sering tampak klien diikat secara tidak manusiawi disertai
bentakan dan pengawalan oleh sejumlah anggota keluarga bahkan polisi.
Perilaku kekerasan adalah perilaku individu yang dapat membahayakan orang, diri sendiri baik secar fisik, emosional, dan atau sexua litas ( Nanda, 2005 ).
Perilaku kekerasan atau agresif merupakan suatu bentuk perilaku yang bertujuan untuk melukai seseorang secara fisik maupun psikologis (Berkowitz, 1993 dalam Depkes, 2000). Marah merupakan perasaan jengkel yang timbul sebagai respon terhadap kecemasan, kebutuhan yang tidak terpenuhi yang dirasakan sebagai ancaman ( Stuart dan Sunden, 1997 ).
Perilaku kekerasan adalah perilaku individu yang dapat membahayakan orang, diri sendiri baik secar fisik, emosional, dan atau sexua litas ( Nanda, 2005 ).
Perilaku kekerasan atau agresif merupakan suatu bentuk perilaku yang bertujuan untuk melukai seseorang secara fisik maupun psikologis (Berkowitz, 1993 dalam Depkes, 2000). Marah merupakan perasaan jengkel yang timbul sebagai respon terhadap kecemasan, kebutuhan yang tidak terpenuhi yang dirasakan sebagai ancaman ( Stuart dan Sunden, 1997 ).
Pengertian Perilaku kekerasan merupakan suatu bentuk
ekspresi kemarahan yang tidak sesuai dimana seseorang melakukan
tindakan-tindakan yang dapat membahayakan/mencederai diri sendiri, orang lain
bahkan dapat merusak lingkungan.
Pada pengkajian awal dapat diketahui alasan utama klien
masuk kerumah sakit adalah perilaku kekerasan di rumah. Dapat dilakukan
pengkajian dengan cara:
1.
Observasi:
· Muka
merah, pandangan tajam, otot tegang, nada suara yang tinggi, berdebat. Sering
pula tampak klien memaksakan kehendak : merampas makanan, memukul jika tidak
senang
2.
Wawancara
· Diarahkan
pada penyebab marah, perasaan marah, tanda-tanda marah yang dirasakan klien.
Keliat (2002) mengemukakan bahwa tanda -tanda marah adalah sebagai berikut :
- Emosi : tidak adekuat, tidak aman, rasa terganggu, marah (dendam), jengkel.
- Fisik : muka merah, pandangan tajam, nafas pendek, keringat, sakit fisik, penyalahgunaan obat dan tekanan darah.
- Intelektual : mendominasi, bawel, sarkasme, berdebat, meremehkan.
- Spiritual : kemahakuasaan, kebajikan/kebenaran diri, keraguan, tidak bermoral, kebejatan, kreativitas terhambat.
- Sosial : menarik diri, pengasingan, penolakan, kekerasan, ejekan dan humor.
Tanda ancaman kekerasan (Kaplan and Sadock, 1997) adalah:
- Tindakan kekerasan belum lama, termasuk kekerasan terhadap barang milik.
- Ancaman verbal atau fisik.
- Membawa senjata atau benda lain yang dapat digunakan sebagai senjata(misalnya : garpu, asbak).
- Agitasi psikomator progresif.
- Intoksikasi alkohol atau zat lain.
- Ciri paranoid pada pasien psikotik.
- Halusinasi dengar dengan perilaku kekerasan tetapi tidak semua pasien berada pada resiko tinggi.
- Penyakit otak, global atau dengan temuan lobus fantolis, lebih jarang pada temuan lobus temporalis (kontroversial).
- Kegembiraan katatonik.
- Episode manik tertentu.
- Episode depresif teragitasi tertentu.
- Gangguan kepribadian (kekerasan, penyerangan, atau diskontrol implus).
Gambaran klinis menurut Stuart dan Sundeen (1995) adalah
sebagai berikut:
- Muka merah
- Pandangan tajam
- Otot tegang
- Nada suara tinggi
- Berdebat
- Kadang memaksakan kehendak
Gejala
yang muncul :
- Stress
- Mengungkapkan secara verbal
- Menentang
Gambaran klinis menurut Direktorat Kesehatan Jiwa,
Direktorat Jendral Pelayanan Kesehatan Departemen Kesehatan RI (1994) adalah
sebagai berikut :
a. Pasif agresif
1)
Sikap suka menghambat
2)
Bermalas-malasan
3)
Bermuka masam
4)
Keras kepala dan pendendam
b.
Gejala agresif yang terbuka (tingkah laku agresif)
1)
Suka membantah
2)
Menolak sikap penjelasan
3)
Bicara kasar
4)
Cenderung menuntut secara terus-menerus
5)
Hiperaktivitas
6)
Bertingkah laku kasar disertai kekerasan
3.
Gaduh/Gelisah
Tanda
dan gejala pada pasien yang mengalami gaduh gelisah diantaranya:
a. Gelisah
b. Mondar-mandir
c. Berteriak-teriak
d. Loncat-loncat
e. Marah-marah
f. Curiga +++
g. Agresif
h. Beringas
i.
Agitasi
j.
Gembira
+++
k. Bernyanyi +++
l.
Bicara
kacau
m. Mengganggu orang lain
n. Tidak tidur beberapa hari
o. Sulit berkomunikasi
p. Dll
4.
Withdrawal
Tanda
dan gejala pada orang yang withdrawal diantaranya:
a. Nafsu makan hilang
b. Ansietas, gelisah
c. Mialgia, arthralgia
d. Lesu-lemas
e. Tremor, kram perut, kejang
f. ‘Craving’
D.
Dasar Hukum Pelayanan Kedaruratan Psikiatri
Penaturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pelayanan
gawat darurat adalah UU No 23/1992 tentang Kesehatan, Peraturan Menteri
Kesehatan No.585/1989 tentang Persetujuan Tindakan Medis, dan Peraturan Menteri
Kesehatan No.159b/1988 tentang Rumah Sakit.
Dipandang dan segi hukum dan medikolegal, pelayanan gawat
darurat berbeda dengan pelayanan non-gawat darurat karena memiliki
karakteristik khusus. Beberapa isu khusus dalam pelayanan gawat darurat
membutuhkan pengaturan hukum yang khusus dan akan menimbulkan hubungan hukum
yang berbeda dengan keadaan bukan gawat darurat.
Ketentuan tentang pemberian pertolongan dalam keadaan
darurat telah tegas diatur dalam pasal 5l UUNo.29/2004 tentang Praktik
Kedokteran, di mana seorang dokter wajib melakukan pertolongan darurat atas
dasar perikemanusiaan. Selanjutnya, walaupun dalam UU No.23/1992 tentang
Kesehatan tidak disebutkan istilah pelayanan gawat darurat namun secara
tersirat upaya penyelenggaraan pelayanan tersebut sebenamya merupakan hak
setiap orang untuk memperoleh derajat kesehatan yang optimal (pasal 4)
Selanjutnya pasal 7 mengatur bahwa “Pemerintah bertugas menyelenggarakan upaya
kesehatan yang merata dan terjangkau oleh masyarakat” termasuk fakir miskin,
orang terlantar dan kurang mampu. Tentunya upaya ini menyangkut pula pelayanan
gawat darurat, baik yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun masyarakat
(swasta).
Rumah sakit di Indonesia memiliki kewajiban untuk
menyelenggarakan pelayanan gawat darurat 24 jam sehari sebagai salah satu
persyaratan ijin rumah sakit. Dalam pelayanan gawat darurat tidak diperkenankan
untuk meminta uang muka sebagai persyaratan pemberian pelayanan.
Dalam penanggulangan pasien gawat darurat dikenal pelayanan
fase pra-rumah sakit dan fase rumah sakit. Pengaturan pelayanan gawat darurat untuk
fase rumah sakit telah terdapat dalam Peraturan Menteri Kesehatan No.159b/1988
tentang Rumah Sakit, di mana dalam pasal 23 telah disebutkan kewajiban rumah
sakit untuk menyelenggarakan pelayanan gawat darurat selama 24 jam per hari
Untuk fase pra-rumah sakit belum ada pengaturan yang
spesifik. Secara umum ketentuan yang dapat dipakai sebagai landasan hukum
adalah pasal 7 UU No.23/1992 tentang Kesehatan, yang harus dilanjutkan dengan
pengaturan yang spesifik untuk pelayanan gawat darurat fase pra-rumah sakit
Bentuk peraturan tersebut seyogyanya adalah peraturan pemerintah karena
menyangkut berbagai instansi di luar sektor kesehatan.
Pengertian tenaga kesehatan diatur dalam pasal 1 butir 3 UU
No.23/1992 tentang Kesehatan sebagai berikut: tenaga kesehatan adalah setiap
orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan
dan atau keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis
tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan”. Melihat
ketentuan tersebut nampak bahwa profesi kesehatan memerlukan kompetensi
tertentu dan kewenangan khusus karena tindakan yang dilakukan mengandung risiko
yang tidak kecil.
Pengaturan tindakan medis secara umum dalam UU No.23/1992
tentang Kesehatan dapat dilihat dalam pasal 32 ayat (4) yang menyatakan bahwa
“pelaksanaan pengobatan dan atau perawatan berdasarkan ilmu kedokteran dan ilmu
keperawatan hanya dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian
dan kewenangan untuk itu “. Ketentuan tersebut dimaksudkan untuk melindungi
masyarakat dari tindakan seseorang yang tidak mempunyai keahlian dan kewenangan
untuk melakukan pengobatan/perawatan, sehingga akibat yang dapat merugikan atau
membahayakan terhadap kesehatan pasien dapat dihindari, khususnya tindakan medis
yang memelakukanngandung risiko.
Pengaturan kewenangan tenaga kesehatan dalam melakukan
tindakan medik diatur dalam pasal 50 UUNo.23/1992 tentang Kesehatan yang
merumuskan bahwa “tenaga kesehatan bertugas menyelenggarakan atau melakukan
kegiatan kesehatan sesuai dengan bidang keahlian dan atau kewenangan tenaga
kesehatan yang bersangkutan”. Pengaturan di atas menyangkut pelayanan gawat
darurat pada fase di rumah sakit, di mana pada dasarnya setiap dokter memiliki
kewenangan untuk melakukan berbagai tindakan medik termasuk tindakan spesifik
dalam keadaan gawat darurat. Dalam hal pertolongan tersebut dilakukan oleh
tenaga kesehatan maka yang bersangkutan harus menemelakukanrapkan standar
profesi sesuai dengan situasi (gawat darurat) saat itu.
Pelayanan gawat darurat fase pra-rumah sakit umumnya
tindakan pertolongan pertama dilakukan oleh masyarakat awam baik yang tidak
terlatih maupun yang teriatih di bidang medis. Dalam hal itu ketentuan perihal
kewenangan untuk melakukan tindakan medis dalam undang-undang kesehatan seperti
di atas tidak akan diterapkan, karena masyarakat melakukan hal itu dengan
sukarela dan dengan itikad yang baik. Selain itu mereka tidak dapat disebut
sebagai tenaga kesehatan karena pekerjaan utamanya bukan di bidang kesehatan.
Jika tindakan fase pra-rumah sakit dilaksanakan oleh tenaga
terampil yang telah mendapat pendidikan khusus di bidang kedokteran gawat
darurat dan yang memang tugasnya di bidang ini (misainya petugas 118), maka
tanggungjawab hukumnya tidak berbeda dengan tenaga kesehatan di rumah sakit.
Penentuan ada tidaknya kelalaian dilakukan dengan membandingkan keterampilan
tindakannya dengan tenaga yang serupa.
Hal-hal yang disoroti hukum dalam pelayanan gawat darurat
dapat meliputi hubungan hukum dalam pelayanan gawat darurat dan pembiayaan
pelayanan gawat darurat Karena secara yuridis keadaan gawat darurat cenderung
menimbulkan privilege tertentu bagi tenaga kesehatan maka perlu ditegaskan
pengertian gawat darurat. Menurut The American Hospital Association (AHA)
pengertian gawat darurat adalah. An emergency is any condition that in the
opinion of the patient, his family, or whoever assumes the responsibility of
bringing the patient to the hospital-remelakukanquires immediate medical
attention. This condition continues until a determination has been made by a
health care professional that the patient’s life or well-being is not
threatened.
Adakalanya pasien untuk menempatkan dirinya dalam keadaan
gawat Dalam hal pertanggungjawaban hukum, bila pihak pasien menggugat tenaga kesehatan
karena diduga terdapat kekeliruan dalam penegakan diagnosis atau pemberian
terapi maka pihak pasien harus membuktikan bahwa hanya kekeliruan itulah yang
menjadi penyebab kerugiannya/cacat (proximate cause). Bila tuduhan kelalaian
tersebut dilamelakukankukan dalam situasi gawat darurat maka perlu
dipertimbangkan faktor kondisi dan situasi saat peristiwa tersebut terjadi.
Jadi, tepat atau tidaknya tindakan tenaga kesehatan perlu dibandingkan dengan
tenaga kesehatan yang berkuamelakukanlifikasi sama, pada pada situasi dan
kondisi yang sama pula.
Setiap tindakan medis harus mendapatkan persetujuan dari
pasien (informed consent). Hal itu telah diatur sebagai hak pasien dalam UU
No.23/1992 tentang Kesehatan pasal 53 ayat 2 dan Peraturan Menteri Kesehatan No.585/1989
tentang Persetujuan Tindakan Medis. Dalam keadaan gawat darurat di mana harus
segera dilakukan tindakan medis pada pasien yang tidak sadar dan tidak
didampingi pasien, tidak perLu persetujuan dari siapapun (pasal 11 Peraturan
Menteri Kesehatan No.585/1989). Dalam hal persetujuan tersbut dapat diperoleh
dalam bentuk tertulis, maka lembar persetujuan tersebut harus disimpan dalam
berkas rekam medis.
E.
Data Tentang Psikosis
Skizofrenia adalah suatu gangguan psikosis fungsional berupa
gangguan mental berulang yang ditandai dengan gejala-gejala psikotik yang khas
dan oleh kemunduran fungsi sosial, fungsi kerja, dan perawatan diri.
Data American Psychiatric Association (APA) tahun 1995
menyebutkan 1% populasi penduduk dunia menderita skizofrenia. 75% Penderita
skizofrenia mulai mengidapnya pada usia 16-25 tahun. Usia remaja dan dewasa
muda memang berisiko tinggi karena tahap kehidupan ini penuh stresor. Kondisi
penderita sering terlambat disadari keluarga dan lingkungannya karena dianggap
sebagai bagian dari tahap penyesuaian diri. Pengenalan dan intervensi dini
berupa obat dan psikososial sangat penting karena semakin lama ia tidak
diobati, kemungkinan kambuh semakin sering dan resistensi terhadap upaya terapi
semakin kuat. Seseorang yang mengalami gejala skizofrenia sebaiknya segera
dibawa ke psikiater dan psikolog.
Pasien dengan gejala psikosis sering ditemukan di bagian
kegawatdaruratan psikiatrik. Menentukan sumber psikosis dapat menjadi sulit.
Kadang pasien masuk ke dalam status psikosis setelah sebelumnya putus dari
perawatan yang direncanakan. Pelayanan kegawatdaruratan psikiatrik tidak akan
mampu menyediakan penanganan jangka panjang untuk pasien jenis ini, cukup
dengan istirahat ringkas dan mengembalikan pasien kepada orang yang menangani
kasus mereka dan/atau memberikan lagi pengobatan psikiatrik yang diperlukan.
Suatu kunjungan pasien yang menderita suatu gangguan mental yang kronis dapat
menandakan perubahan dalam lifestyle dari individu atau suatu pergeseran
kondisi medis. Pertimbangan ini dapat berperan dalam perencanaan perawatan.
Seseorang dapat juga sedang menderita psikosis akut. Kondisi seperti itu dapat disiapkan untuk diagnosis dengan memperoleh riwayat psikopatologi pasien, melakukan suatu pengujian status mental, pelaksanaan pengujian psikologis, perolehan neuroimages, dan memperoleh pengujian neurofisiologi lain. Berdasarkan ini, tenaga kesehatan dapat memperoleh suatu diagnosa diferensial dan menyiapkan pasien untuk perawatan. Seperti pertimbangan penanganan pasien lainnya, asal psikosis akut dapat sukar ditentukan karena keadaan mental dari pasien.
Seseorang dapat juga sedang menderita psikosis akut. Kondisi seperti itu dapat disiapkan untuk diagnosis dengan memperoleh riwayat psikopatologi pasien, melakukan suatu pengujian status mental, pelaksanaan pengujian psikologis, perolehan neuroimages, dan memperoleh pengujian neurofisiologi lain. Berdasarkan ini, tenaga kesehatan dapat memperoleh suatu diagnosa diferensial dan menyiapkan pasien untuk perawatan. Seperti pertimbangan penanganan pasien lainnya, asal psikosis akut dapat sukar ditentukan karena keadaan mental dari pasien.
F.
Data Tentang Neurosis
Gangguan neurosis dialami sekitar
10-20% kelompok lanjut usia (lansia). Sering sukar untuk mengenali gangguan ini
pada lanjut usia (lansia) karena disangka sebagai gejala ketuaan. Hampir
separuhnya merupakan gangguan yang ada sejak masa mudanya, sedangkan separuhnya
lagi adalah gangguan yang didapatkannya pada masa memasuki lanjut usia
(lansia). Gangguan neurosis pada lanjut usia (lansia) berhubungan erat dengan
masalah psikososial dalam memasuki tahap lanjut usia (lansia). Gangguan ini
ditandai oleh kecemasan sebagai gejala utama dengan daya tilikan (insight)
serta daya menilai realitasnya yang baik. Kepribadiannya tetap utuh, secara
kualitas perilaku orang neurosis tetap baik, namun secara kuantitas perilakunya
menjadi irrasional. Sebagai contoh : mandi adalah hal yang biasa dilakukan oleh
orang normal sehari 2 kali, namun bagi orang neurosis obsesive untuk mandi, ia
akan mandi berkali-kali dalam satu hari dengan alasan tidak puas-puas untuk
mandi.
G.
Data Tentang NAPZA
Masalah
penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif lainya (NAPZA) atau
istilah yang populer dikenal masyarakat sebagai NARKOBA (Narkotika dan Bahan/
Obat berbahanya) merupakan masalah yang sangat kompleks, yang memerlukan upaya
penanggulangan secara komprehensif dengan melibatkan kerja sama multidispliner,
multisektor, dan peran serta masyarakat secara aktif yang dilaksanakan secara
berkesinambungan, konsekuen dan konsisten.
Meskipun
dalam Kedokteran, sebagian besar golongan Narkotika, Psikotropika dan Zat
Adiktif lainnya (NAPZA) masih bermanfaat bagi pengobatan, namun bila
disalahgunakan atau digunakan tidak menurut indikasi medis atau standar
pengobatan terlebih lagi bila disertai peredaran dijalur ilegal, akan berakibat
sangat merugikan bagi individu maupun masyarakat luas khususnya generasi muda.
Maraknya penyalahgunaan NAPZA tidak hanya dikota-kota besar saja, tapi sudah
sampai ke kota-kota kecil diseluruh wilayah Republik Indonesia, mulai dari
tingkat sosial ekonomi menengah bawah sampai tingkat sosial ekonomi atas. Dari
data yang ada, penyalahgunaan NAPZA paling banyak berumur antara 15–24 tahun.
Tampaknya
generasi muda adalah sasaran strategis perdagangan gelap NAPZA. Oleh karena itu
kita semua perlu mewaspadai bahaya dan pengaruhnya terhadap ancaman
kelangsungan pembinaan generasi muda. Sektor kesehatan memegang peranan penting
dalam upaya penanggulangan penyalahgunaan NAPZA.
Dari hasil
identifikasi masalah NAPZA dilapangan melalui diskusi kelompok terarah yang
dilakukan Direktorat Kesehatan Jiwa Masyarakat bekerja sama dengan Direktorat
Promosi Kesehatan – Ditjen Kesehatan Masyarakat Depkes-Kesos RI dengan
petugas-petugas puskesmas di beberapa propinsi yaitu DKI Jakarta, Jawa Barat,
Banten, Jawa Timur, Bali ternyata pengetahuan petugas puskesmas mengenai
masalah NAPZA sangat minim sekali serta masih kurangnya buku yang dapat
dijadikan pedoman.
DAFTAR
PUSTAKA
http://astaqauliyah.com/2006/12/falsafah-dasar-kegawatdaruratan/trackback/
http://www.lintasberita.com/Lifestyle/Kesehatan/tahukah-anda-tanda-tanda-jika-orang-ingin-bunuh-diri-
Kaplan
dan Sadock. 1997. Sinopsis Psikiatri, Edisi 7, Jilid 1 dan 2. Jakarta:
Bina Rupa Aksara.
Maramis.
1998. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Surabaya : Airlangga University
Press.