Perlindungan Hukum Dalam Praktik Keperawatan
Undang
– undang praktik keperawatan sudah lama menjadi bahan diskusi para
perawat. PPNI pada kongres Nasional ke duanya di Surabaya tahun 1980
mulai merekomendasikan perlunya bahan-bahan perundang-undangan untuk
perlindungan hukum bagi tenaga keperawatan.
Tidak
adanya undang-undang perlindungan bagi perawat menyebabkan perawat
secara penuh belum dapat bertanggung jawab terhadap pelayanan yang
mereka lakukan. Tumpang tindih antara tugas dokter dan perawat masih
sering terjadi dan beberapa perawat lulusan pendidikan tingi merasa
frustasi karena tidak adanya kejelasan tentang peran, fungsi dan
kewenangannya. Hal ini juga menyebabkan semua perawat dianggap sama
pengetahuan dan ketrampilannya, tanpa memperhatikan latar belakang
ilmiah yang mereka miliki.
Undang-Undang yang ada di Indonesia yang berkaitan dengan praktik keperawatan :
UU No. 9 tahun 1960, tentang pokok-pokok kesehatan
Bab
II (Tugas Pemerintah), pasal 10 antara lain menyebutkan bahwa
pemerintah mengatur kedudukan hukum, wewenang dan kesanggupan hukum.
UU No. 6 tahun 1963 tentang Tenaga Kesehatan.
UU
ini merupakan penjabaran dari UU No. 9 tahun 1960. UU ini membedakan
tenaga kesehatan sarjana dan bukan sarjana. Tenaga sarjana meliputi
dokter, dokter gigi dan apoteker. Tenaga perawat termasuk dalam tenaga
bukan sarjana atau tenaga kesehatan dengan pendidikan rendah, termasuk
bidan dan asisten farmasi dimana dalam menjalankan tugas dibawah
pengawasan dokter, dokter gigi dan apoteker. Pada keadaan tertentu
kepada tenaga pendidikan rendah dapat diberikan kewenangan terbatas
untuk menjalankan pekerjaannya tanpa pengawasan langsung. UU ini boleh
dikatakan sudah usang karena hanya mengkalasifikasikan tenaga kesehatan
secara dikotomis (tenaga sarjana dan bukan sarjana). UU
ini juga tidak mengatur landasan hukum bagi tenaga kesehatan dalam
menjalankan pekerjaannya. Dalam UU ini juga belum tercantum berbagai
jenis tenaga sarjana keperawatan seperti sekarang ini dan perawat
ditempatkan pada posisi yang secara hukum tidak mempunyai tanggung jawab
mandiri karena harus tergantung pada tenaga kesehatan lainnya.
UU Kesehatan No. 14 tahun 1964, tentang Wajib Kerja Paramedis.
Pada
pasal 2, ayat (3) dijelaskan bahwa tenaga kesehatan sarjana muda,
menengah dan rendah wajib menjalankan wajib kerja pada pemerintah selama
3 tahun.
Dalam
pasal 3 dijelaskan bahwa selama bekerja pada pemerintah, tenaga
kesehatan yang dimaksud pada pasaal 2 memiliki kedudukan sebagai pegawai
negeri sehingga peraturan-peraturan pegawai negeri juga diberlakukan
terhadapnya.
UU
ini untuk saat ini sudah tidak sesuai dengan kemampuan pemerintah dalam
mengangkat pegawai negeri. Penatalaksanaan wajib kerja juga tidak jelas
dalam UU tersebut sebagai contoh bagaimana sistem rekruitmen calon
peserta wajib kerja, apa sangsinya bila seseorang tidak menjalankan
wajib kerja dan lain-lain. Yang perlu diperhatikan bahwa dalam UU ini,
lagi posisi perawat dinyatakan sebagai tenaga kerja pembantu bagi tenaga
kesehatan akademis termasuk dokter, sehingga dari aspek
profesionalisasian, perawat rasanya masih jauh dari kewenangan tanggung
jawab terhadap pelayanannya sendiri.
SK Menkes No. 262/Per/VII/1979 tahun 1979
Membedakan
paramedis menjadi dua golongan yaitu paramedis keperawatan (temasuk
bidan) dan paramedis non keperawatan. Dari aspek hukum, suatu hal yang
perlu dicatat disini bahwa tenaga bidan tidak lagi terpisah tetapi juga
termasuk katagori tenaga keperawatan.
Permenkes. No. 363/Menkes/Per/XX/1980 tahun 1980
Pemerintah
membuat suatu pernyataan yang jelas perbedaan antara tenaga keperawtaan
dan bidan. Bidan seperti halnya dokter, diijinkan mengadakan praktik
swasta, sedangkan tenaga keperawatan secara resmi tidak diijinkan. Dokter
dapat membuka praktik swasta untuk mengobati orang sakit dan bidan
dapat menolong persalinan dan pelayanan KB. Peraturan ini boleh
dikatakan kurang relevan atau adil bagi profesi keperawatan. Kita
ketahui negara lain perawat diijinkan membuka praktik swasta. Dalam
bidang kuratif banyak perawat harus menggatikan atau mengisi kekurangan
tenaga dokter untuk menegakkan penyakit dan mengobati terutama
dipuskesmas-puskesma tetapi secara hukum hal tersebut tidak dilindungi
terutama bagi perawat yang memperpanjang pelayanan di rumah. Bila memang
secara resmi tidak diakui, maka seyogyanya perawat harus dibebaskan
dari pelayanan kuratif atau pengobatan utnuk benar-benar melakukan nursing care.
SK Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara No. 94/Menpan/1986, tanggal 4 November 1986, tentang jabatan fungsional tenaga keperawatan dan sistem kredit point.
Dalam
sisitem ini dijelaskan bahwa tenaga keperawatan dapat naik jabatannya
atau naik pangkatnya setiap dua tahun bila memenuhi angka kredit
tertentu.
Dalam
SK ini, tenaga keperawatan yang dimaksud adalah : Penyenang Kesehatan,
yang sudah mencapai golingan II/a, Pengatur Rawat/Perawat
Kesehatan/Bidan, Sarjana Muda/D III Keperawatan dan Sarjana/S1
Keperawatan.
Sistem ini menguntungkan perawat, karena dapat naik pangkatnya dan tidak tergantung kepada pangkat/golongan atasannya
UU Kesehatan No. 23 Tahun 1992,
merupakan
UU yang banyak memberi kesempatan bagi perkembangan termasuk praktik
keperawatan profesional karena dalam UU ini dinyatakan tentang standar
praktik, hak-hak pasien, kewenangan,maupun perlindungan hukum bagi
profesi kesehatan termasuk keperawatan.
Beberapa pernyataaan UU Kes. No. 23 Th. 1992 yang dapat dipakai sebagai acuan pembuatan UU Praktik Keperawatan adalah :
1) Pasal 53 ayat 4 menyebutkan bahwa ketentuan mengenai standar profesi dan hak-hak pasien ditetapkan dengan peraturan pemerintah.
2) Pasal 50 ayat 1 menyatakan
bahwa tenaga kesehatan bertugas menyelenggarakan atau melaksanakan
kegiatan sesuai dengan bidang keahlian dan kewenangannya
Pasal 53 ayat 4 menyatakan tentang hak untuk mendapat perlindungan hukum bagi tenaga kesehatan.